Thursday, March 3, 2011

Pembebasan Bani Israil dari Imperium Egypt

Pembebasan Bani Israil dari Imperium Egypt - Pelajaran Politik dari Sejarah Bani Israil
Al Ustadz Muhammad Umar As Sewwed


Israil adalah sebuah kata majemuk, tersusun dari kata Isra dan El. Isra yang berarti hamba, dan El atau Eli yang bermakna ilah. Sehingga Israil bermakna “hamba Allah” seperti nama dalam bahasa Arab “Abdullah”.

Bani Israil sebagaimana dikatakan Ibnu Katsir adalah turunan Nabiyullah Ya’qub ‘Alaihis Salam. Beliaulah yang dijuluki dengan nama Israil (hamba Allah). Sehingga ketika Ibnu Katsir menafsirkan ayat Allah Ta’ala:

يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ اذْكُرُوا نِعْمَتِيَ الَّتِي أَنْعَمْتُ عَلَيْكُمْ وَأَوْفُوا بِعَهْدِي أُوفِ بِعَهْدِكُمْ وَإِيَّايَ فَارْهَبُونِ

“Wahai Bani Israil, ingatlah nikmat-Ku yang Aku berikan kepada kalian dan tepatilah janjimu kepada-Ku, niscaya Aku akan penuhi janji-Ku kepada kalian dan hanya kepada-Ku-lah kalian harus takut.” (Al Baqarah: 40)

Beliau berkata: “Allah memerintahkan kepada Bani Israil untuk masuk kepada Islam, mengikuti Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dengan memberikan semangat kepada mereka dengan menyebut nama bapak mereka, Israil, yaitu Nabiyullah Ya’qub ‘Alaihis Salam. Seakan-akan Allah berkata: ‘Wahai turunan seorang yang shalih yang taat kepada Allah, jadilah kalian seperti bapak kalian dalam mengikuti kebenaran’. Seperti ketika engkau mengatakan kepada seseorang: ‘Wahai anak orang yang dermawan, jadilah engkau dermawan’. Atau seperti engkau berkata: ‘Wahai anak orang yang pemberani, lawanlah mereka’. Atau engkau berkata kepada seseorang: ‘Wahai anak seorang ulama, carilah ilmu’ dan seterusnya.” (Tafsir Ibnu Katsir juz 1 hal. 88)

Inilah Bani Israil yang akan kita ambil pelajaran-pelajaran dari kisah mereka. Mereka sesungguhnya suatu bangsa yang banyak mendapatkan kenikmatan dan keistimewaan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, namun karena perbuatan mereka dan kekufuran mereka, Allah cabut semua kenikmatan itu dan kemudian Allah laknat menjadi bangsa yang keras hatinya, yang terjajah dan tertindas, dan tidak memiliki negara sepanjang masa.

Kenikmatan Yang Allah Ta’ala Berikan Terhadap Bani Israil

Allah Subhanahu wa Ta’ala mengajak Bani Israil untuk kembali kepada tauhid dan mengikuti Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dengan mengingatkan mereka pada bapak mereka Ya’qub dan kepada kenikmatan-kenikmatan yang telah Allah Subhanahu wata’ala berikan kepada mereka.

Di antara kenikmatan-kenikmatan yang Allah Subhanahu wata’ala berikan kepada Bani Israil adalah diangkatnya para Nabi dari kalangan mereka mulai dari Nabi Ya’qub sampai Isa ‘Alaihis Salam. Demikian pula diistimewakan Bani Israil dengan diberikannya kepada mereka makanan-makanan surga seperti manna dan salwa, yang tidak diberikan kepada bangsa selain mereka. Juga Allah istimewakan mereka dengan dipancarkannya 12 mata air -sesuai dengan jumlah suku mereka- dari sebuah batu. Dan yang lebih penting lagi diturunkannya kitab-kitab Allah kepada mereka sehingga mereka dikenal dengan Ahlul Kitab.

Allah ingatkan mereka dengan kenikmatan-kenikmatan tersebut agar bersyukur kepada-Nya dan mengikuti Nabi-Nya yang terakhir Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam:

يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ اذْكُرُوا نِعْمَتِيَ الَّتِي أَنْعَمْتُ عَلَيْكُمْ وَأَوْفُوا بِعَهْدِي أُوفِ بِعَهْدِكُمْ وَإِيَّايَ فَارْهَبُونِ

“Wahai Bani Israil, ingatlah nikmat-Ku yang Aku berikan kepada kalian dan tepatilah janjimu kepada-Ku, niscaya Aku akan penuhi janji-Ku kepada kalian.” (Al Baqarah: 40)

Janji mereka kepada Allah Subhanahu wata’ala adalah: Bahwa mereka telah mengetahui akan datangnya seorang Nabi yang menyeluruh, Nabi yang agung, yang akan ditaati oleh seluruh bangsa. Jika mereka mengikutinya dan menaatinya, maka Allah Subhanahu wata’ala berjanji untuk memasukkan mereka ke dalam surga, mengampuni dosa-dosanya dan memberikan pahala bagi mereka dua kali lipat. Janji Allah Subhanahu wata’ala ini tertera dalam kitab-kitab mereka yang mereka baca seperti Kitab Taurat dan Injil.

Maka mereka berkata: “Jika datang Nabi tersebut kami akan menjadi pengikutnya.” Bahkan mereka mengancam orang-orang musyrikin Arab dengan ancaman: “Kalau datang kepada kami Nabi yang dijanjikan, kami akan memerangi kalian bersama Nabi tersebut.”

وَلَمَّا جَاءَهُمْ كِتَابٌ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ مُصَدِّقٌ لِمَا مَعَهُمْ وَكَانُوا مِنْ قَبْلُ يَسْتَفْتِحُونَ عَلَى الَّذِينَ كَفَرُوا فَلَمَّا جَاءَهُمْ مَا عَرَفُوا كَفَرُوا بِهِ فَلَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الْكَافِرِينَ

“Dan setelah datang kepada mereka Al Qur’an dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka, padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir, maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka laknat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu.” (Al Baqarah: 89)

Inilah janji yang Allah tagih dari mereka. Sekarang telah datang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, Nabi yang agung, Nabi untuk seluruh bangsa. Tapi apakah mereka mau beriman kepadanya? Ternyata mereka menolak dan mengingkarinya sebagaimana Allah kisahkan dalam lanjutan ayat tadi:

فَلَمَّا جَاءَهُمْ مَا عَرَفُوا كَفَرُوا بِهِ

“… ketika datang apa yang mereka ketahui (yakni Nabi tersebut), mereka mengingkarinya (kafir kepadanya) … .” (Al Baqarah: 89)

Hingga Allah Subhanahu wata’ala katakan kepada mereka di akhir ayat tersebut:

فَلَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الْكَافِرِين

“… maka laknat Allah atas orang-orang kafir.” (Al Baqarah: 89)

Lepas Dari Imperium Egypt (Qibti)

Termasuk kenikmatan yang Allah Subhanahu wata’ala berikan kepada mereka adalah dilepaskannya mereka dari penjajahan Fir’aun dan tentaranya di Mesir.

Sejak ditemukannya Nabi Yusuf ‘Alaihis Salam oleh kafilah dagang bangsa Qibti yang kemudian beliau dijadikan budak yang diperjualbelikan, mulailah bangsa Israil dari keluarga Yusuf ‘Alaihis Salam dan kerabatnya tinggal di negeri Mesir, meninggalkan tempat asalnya yaitu Siria. Apalagi ketika beliau diangkat menjadi bendahara kerajaan.

Jumlah mereka ketika itu sekitar tujuh puluh orang, dan jumlah ini terus menerus bertambah. Namun setelah rentang waktu yang panjang dan jauh dari masa kenabian Yusuf ‘Alaihis Salam serta dilupakannya ilmu beliau, bangsa Qibti kembali menganggap bahwa Bani Israil adalah turunan budak yang hina. Mulailah Fir’aun-Fir’aun yang melampaui batas dan zalim muncul, menindas dan menjajah seluruh keturunan Bani Israil.

Perlu pembaca ketahui bahwa Fir’aun atau Pharaoh adalah nama julukan bagi seluruh penguasa Qibti (Egypt), sebagaimana Kaisar bagi seluruh penguasa Romawi, Kisra untuk seluruh penguasa bangsa Persia dan Najasyi bagi seluruh penguasa Habasyah.

Adapun nama Fir’aun di masa Musa ‘Alaihis Salam adalah Qabus (sebagaimana dalam riwayat Ahli Kitab). Sedangkan menurut beberapa Ahli Tafsir bahwa nama sebenarnya adalah Al Walid bin Mush’ab bin Rayyan dari suku Amlaq atau Amaliqah bin Lawudz dari turunan Sam bin Nuh ’Alaihis Salam. (Al Jami’ li Ahkamil Qur’an 1/326)

Disebutkan oleh Abu Ja’far Ibnu Jarir At Thabari dari Ibnu Ishaq bahwa waktu itu Fir’aun menyiksa mereka dengan menjadikan mereka budak-budak pekerja (kerja paksa). Ia membagi mereka dalam tugas-tugas yang rendah, sebagian mereka menjadi buruh-buruh bangunan, sebagian lain menjadi buruh-buruh tani dan seterusnya. Sedangkan yang tidak bekerja dipaksa membayar upeti. Inilah yang dimaksud oleh Allah:

يَسُومُونَكُمْ سُوءَ الْعَذَابِ

Mereka menimpakan kepada kalian sejelek-jelek adzab.” (Al Baqarah: 49) (Tafsir Ath Thabari 1/310)

Kemudian Fir’aun sang taghut tersebut bermimpi melihat sebuah sinar dari Baitul Maqdis ke Mesir kemudian membakar bangsa Qibti dan menyelamatkan Bani Israil. Maka para ahli takwil kerajaan mengatakan kepadanya bahwa kerajaannya akan hancur dengan datangnya seorang lakii-laki dari Bani Israil. Maka segeralah ia memerintahkan untuk membunuh semua anak laki-laki dari Bani Israil dan membiarkan para wanitanya. Dengan ini bertambah dahsyatlah kesengsaraan Bani Israil. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 1/96)

Ibnu Abi Hatim berkata: “Sesungguhnya Fir’aun menguasai mereka 400 tahun lamanya. Kemudian para dukun kerajaan berkata kepadanya: ‘Akan lahir seorang laki-laki di Mesir yang kamu akan binasa di tangannya’. Maka Fir’aun mengutus tentaranya pada seluruh penduduk Mesir untuk mendatangi wanita-wanita hamil. Jika lahir bayi laki-laki, maka dibawa ke Fir’aun dan kemudian disembelihnya.” (Tafsirul Qur’anil Adhim juz 1/106)

Sesungguhnya itu adalah tanda-tanda akan diselamatkannya Bani Israil dari Imperium Egypt dengan didatangkannya seorang dari Bani Israil sebagai Nabi dan Utusan Allah Subhanahu wata’ala. Namun iblis melalui anak buahnya dari para dukun-dukun kerajaan membisikkan kepada Fir’aun untuk membunuh semua anak laki-laki yang lahir dari Bani Israil.

Di saat seperti inilah lahir dari keluarga Bani Israil Nabiyullah Musa ‘Alaihis Salam. Sebelum tentara Fir’aun mendapatkan bayi tersebut, Allah Subhanahu wata’ala mengilhamkan kepada Ibu Musa ‘Alaihis Salam untuk menghanyutkan bayi Musa ‘Alaihis Salam di sebuah sungai, sehingga terdampar di kebun istana Fir’aun. Bayi ini kemudian dipelihara oleh Asiah, istri Fir’aun sendiri. Inilah takdir Allah dalam menyelamatkan Nabi-Nya, hingga beliau dibesarkan di istana tersebut.

Ketika Musa ‘Alaihis Salam telah dewasa, terjadilah -dengan takdir Allah- perkelahian antara beliau dan seorang pemuda dari bangsa Qibti yang berakhir dengan terbunuhnya pemuda tersebut. Peristiwa itu menyebabkan Musa ‘Alaihis Salam melarikan diri ke daerah Madyan hingga bertemu dengan Nabiyullah Syu’aib Alaihis salam. Melalui beliaulah, Allah Subhanahu wata’ala mengajari Musa ‘Alaihis Salam agama tauhid, agama yang mengajarkan manusia untuk beribadah dan memperbudak dirinya hanya kepada Allah, dan sekaligus melepaskan manusia dari segala bentuk perbudakan makhluk.

Sekembalinya Musa ‘Alaihis Salam dari Madyan, tepatnya di lembah Thuwa yang suci, ia dipanggil oleh Allah Subhanahu wata’ala dan di ajak bicara secara langsung. Allah Subhanahu wata’ala memilihnya sebagai Rasul utusan-Nya. Beliau diperintahkan untuk beribadah dan mendirikan shalat, serta diberikan kepadanya beberapa mukjizat. Kemudian Allah Subhanahu wata’ala perintahkan kepadanya untuk mendatangi Fir’aun dan mengajaknya beribadah kepada Allah Subhanahu wata’ala saja.

Allah Subhanahu wata’ala berfirman kepada Musa ‘Alaihis Salam:

Sesungguhnya Aku inilah Tuhanmu, maka tanggalkanlah kedua terompahmu; sesungguhnya kamu berada di lembah yang suci, Thuwa.
إِنِّي أَنَا رَبُّكَ فَاخْلَعْ نَعْلَيْكَ إِنَّكَ بِالْوَادِ الْمُقَدَّسِ طُوًى

Dan Aku telah memilih kamu, maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan (kepadamu).
وَأَنَا اخْتَرْتُكَ فَاسْتَمِعْ لِمَا يُوحَى

Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah salat untuk mengingat Aku.
إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لا إِلَهَ إِلا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلاةَ لِذِكْرِي

Sesungguhnya hari kiamat itu akan datang Aku merahasiakan (waktunya) agar supaya tiap-tiap diri itu dibalas dengan apa yang ia usahakan.
إِنَّ السَّاعَةَ آتِيَةٌ أَكَادُ أُخْفِيهَا لِتُجْزَى كُلُّ نَفْسٍ بِمَا تَسْعَى

Maka sekali-kali janganlah kamu dipalingkan daripadanya oleh orang yang tidak beriman kepadanya dan oleh orang yang mengikuti hawa nafsunya, yang menyebabkan kamu jadi binasa".
فَلا يَصُدَّنَّكَ عَنْهَا مَنْ لا يُؤْمِنُ بِهَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ فَتَرْدَى

Apakah itu yang di tangan kananmu, hai Musa?
وَمَا تِلْكَ بِيَمِينِكَ يَا مُوسَى

Berkata Musa: "Ini adalah tongkatku, aku bertelekan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya".
قَالَ هِيَ عَصَايَ أَتَوَكَّأُ عَلَيْهَا وَأَهُشُّ بِهَا عَلَى غَنَمِي وَلِيَ فِيهَا مَآرِبُ أُخْرَى

Allah berfirman: "Lemparkanlah ia, hai Musa!"
قَالَ أَلْقِهَا يَا مُوسَى

Lalu dilemparkannyalah tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat.
فَأَلْقَاهَا فَإِذَا هِيَ حَيَّةٌ تَسْعَى

Allah berfirman: "Peganglah ia dan jangan takut, Kami akan mengembalikannya kepada keadaannya semula,
قَالَ خُذْهَا وَلا تَخَفْ سَنُعِيدُهَا سِيرَتَهَا الأولَى

dan kepitkanlah tanganmu ke ketiakmu niscaya ia ke luar menjadi putih cemerlang tanpa cacad, sebagai mukjizat yang lain (pula),
وَاضْمُمْ يَدَكَ إِلَى جَنَاحِكَ تَخْرُجْ بَيْضَاءَ مِنْ غَيْرِ سُوءٍ آيَةً أُخْرَى

untuk Kami perlihatkan kepadamu sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Kami yang sangat besar,
لِنُرِيَكَ مِنْ آيَاتِنَا الْكُبْرَى

Pergilah kepada Firaun; sesungguhnya ia telah melampaui batas".
اذْهَبْ إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى

(Thaha: 12-24)

Musa ‘Alaihis Salam berangkat dengan perintah dari Allah Subhanahu wata’ala tersebut kepada Fir’aun dengan misi pembebasan, seperti apa yang diajarkan oleh Allah dalam ayat-Nya sebagai berikut:

قَالَ لا تَخَافَا إِنَّنِي مَعَكُمَا أَسْمَعُ وَأَرَى. فَأْتِيَاهُ فَقُولا إِنَّا رَسُولا رَبِّكَ فَأَرْسِلْ مَعَنَا بَنِي إِسْرَائِيلَ وَلا تُعَذِّبْهُمْ قَدْ جِئْنَاكَ بِآيَةٍ مِنْ رَبِّكَ وَالسَّلامُ عَلَى مَنِ اتَّبَعَ الْهُدَى

”Allah berfirman: Maka datanglah kamu berdua kepadanya (Fir’aun) dan katakanlah: ‘Sesungguhnya kami berdua adalah utusan Rabb-mu, maka lepaskanlah Bani Israil bersama kami dan janganlah kamu menyiksa mereka. Sesungguhnya kami telah datang kepadamu dengan membawa bukti (atas kerasulan kami) dari Rabb-mu. Dan keselamatan itu dilimpahkan kepada orang yang mengikuti petunjuk.’ ” (Thaha: 46 – 47)

Dengan aqidah yang ditanamkan kepada Bani Israil, Nabiyullah Musa ‘Alaihis Salam berharap mereka mengerti bahwa Fir’aun tidaklah memiliki apa-apa di hadapan Allah. Allah-lah satu-satunya Dzat yang memiliki kekuasaan mutlak. Yang memiliki seluruh alam, memiliki langit dan bumi, memiliki surga dan neraka.

Dakwah Nabi Musa ‘Alaihis Salam bukanlah dakwah politik. Beliau tidak mengajak Bani Israil untuk merebut kekuasaan atau menggulingkan Fir’aun. Dakwah beliau adalah “dakwah tauhid” yaitu mengajak Fir’aun dan seluruh bangsa Qibti serta Bani Israil untuk beriman kepada Allah dan tidak boleh beribadah kepada manusia atau meminta untuk diibadahi.

Fir’aun yang merasa sebagai tuhan penguasa yang paling tinggi terkejut dengan dakwah ini. Maka dia bertanya pada Musa ‘Alaihis Salam sebagaimana Allah kisahkan:

قَالَ فَمَنْ رَبُّكُمَا يَا مُوسَى

“Berkata Fir’aun: ‘Kalau begitu, siapakah Rabb-mu berdua, hai Musa?’ “ (Thaha: 49)

Musa ‘Alaihis Salam menjawab:

قَالَ رَبُّنَا الَّذِي أَعْطَى كُلَّ شَيْءٍ خَلْقَهُ ثُمَّ هَدَى

“Musa berkata: ‘Rabb kami ialah (Rabb) yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk.’ ” (Thaha: 50)

Namun Fir’aun menuduh Musa ‘Alaihis Salam akan menggulingkan kekuasaannya dan mengusir dia dan bangsa Qibti dari negerinya. Dia berkata sebagaimana Allah kisahkan dalam surat yang sama:

قَالَ أَجِئْتَنَا لِتُخْرِجَنَا مِنْ أَرْضِنَا بِسِحْرِكَ يَا مُوسَى

“Berkata Fir’aun: ‘Adakah kamu datang kepada kami untuk mengusir kami dari negeri kami (ini) dengan sihirmu, hai Musa?’ “ (Thaha: 57)

Fir’aun menganggap mu’jizat yang dibawa Musa ‘Alaihis Salam adalah sihir. Maka dia menantang untuk bertanding dengan para tukang sihir kerajaan, yang tentu saja berakhir dengan kemenangan mu’jizat Musa ‘Alaihis Salam. Bahkan tukang-tukang sihir tersebut mengerti kalau yang dibawa oleh Musa ‘Alaihis Salam bukanlah sihir, melainkan mu’jizat yang datang dari Allah. Dengan serentak mereka pun beriman pada Allah, Rabb-nya Musa dan Harun ‘Alaihimas sallam:

فَأُلْقِيَ السَّحَرَةُ سُجَّدًا قَالُوا آمَنَّا بِرَبِّ هَارُونَ وَمُوسَى

“Lalu tukang-tukang sihir itu tersungkur dengan bersujud, seraya berkata: ‘Kami telah percaya kepada Rabb-nya Harun dan Musa.’ ” (Thaha: 70)

Fir’aun pun murka. Lalu ia mengancam tukang-tukang sihir itu dengan siksaan yang pedih. Dia berkata sebagaimana Allah kisahkan dalam ayat selanjutnya:

قَالَ آمَنْتُمْ لَهُ قَبْلَ أَنْ آذَنَ لَكُمْ إِنَّهُ لَكَبِيرُكُمُ الَّذِي عَلَّمَكُمُ السِّحْرَ فَلأقَطِّعَنَّ أَيْدِيَكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ مِنْ خِلافٍ وَلأصَلِّبَنَّكُمْ فِي جُذُوعِ النَّخْلِ وَلَتَعْلَمُنَّ أَيُّنَا أَشَدُّ عَذَابًا وَأَبْقَى

“Berkata Fir’aun: ‘Apakah kamu beriman kepadanya (Musa) sebelum aku memberi ijin kepadamu sekalian. Sesungguhnya ia adalah pemimpinmu yang mengajarkan sihir kepadamu sekalian. Maka sesungguhnya aku akan memotong tangan dan kaki kamu sekalian dengan bersilang secara bertimbal balik, dan sesungguhnya aku akan menyalib kamu sekalian pada pangkal pohon kurma dan sesungguhnya kamu akan mengetahui siapa di antara kita yang lebih pedih dan lebih kekal siksanya.’ “ (Thaha: 71)

Lihatlah, Fir’aun menantang Allah Subhanahu wata’ala ketika Musa ‘Alaihis Salam mengancam dengan adzab Allah yang pedih dengan berkata: “Siapakah di antara kita yang lebih pedih dan lebih kekal siksaannya?”

Inilah thaghut yang sesungguhnya, yang menantang Allah dan Rasul-Nya, yang menghalangi manusia dari jalan yang lurus. Inilah makna thagha dalam ayat di atas:

اذْهَبْ إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى
“Pergilah kepada Fir’aun, sesungguhnya ia telah melampaui batas.” (Thaha: 43)

Kemudian Allah Subhanahu wata’ala memerintahkan Musa ‘Alaihis Salam untuk membawa Bani Israil pada malam hari keluar dari Mesir dan lepas dari perbudakan Fir’aun.

وَلَقَدْ أَوْحَيْنَا إِلَى مُوسَى أَنْ أَسْرِ بِعِبَادِي فَاضْرِبْ لَهُمْ طَرِيقًا فِي الْبَحْرِ يَبَسًا لا تَخَافُ دَرَكًا وَلا تَخْشَى

“Dan sesungguhnya telah Kami wahyukan kepada Musa: ‘Pergilah kamu dengan hamba-hamba-Ku (Bani Israil) di malam hari, maka buatlah untuk mereka jalan yang kering di laut itu, kamu tidak usah khawatir akan tersusul dan tidak usah takut (tenggelam).” (Thaha: 77)

Pada malam itu juga berangkatlah Musa ‘Alaihis Salam membawa Bani Israil yang berjumlah 670 ribu orang untuk keluar dari Mesir, lepas dari penindasan Fir’aun. Allah Subhanahu wata’ala membuatkan untuk mereka jalan kering dengan membelah lautan, hingga ketika Fir’aun mengejarnya dan tepat di tengah lautan tersebut, Allah Subhanahu wata’ala tenggelamkan mereka, maka binasalah Fir’aun dan tentaranya.

فَأَتْبَعَهُمْ فِرْعَوْنُ بِجُنُودِهِ فَغَشِيَهُمْ مِنَ الْيَمِّ مَا غَشِيَهُمْ

“Maka Fir’aun dengan bala tentaranya mengejar mereka, lalu mereka ditutup oleh laut yang menenggelamkan mereka.” (Thaha: 78)

Inilah kenikmatan besar yang Allah Subhanahu wata’ala berikan kepada Bani Israil. Bangsa Israil yang sebelumnya merupakan bangsa yang tertindas, sebagai budak-budak bangsa Qibti (Egypt) di Mesir, dengan datangnya Nabi Musa ‘Alaihis Salam, mereka mendapatkan kemerdekaannya dan kebebasan dari perbudakan.

Allah Subhanahu wata’ala selalu ingatkan kenikmatan ini kepada Bani Israil dan turunannya agar mereka bersyukur, karena walaupun keturunannya tidak merasakan siksaan Fir’aun, kenikmatan itu mengenai mereka juga. Sebab jika Allah Subhanahu wata’ala tidak selamatkan Bani Israil dari Fir’aun dan tentaranya, tentu keturunannya akan tetap sebagai budak-budak yang tertindas hingga hari ini. Allah Subhanahu wata’ala berfirman:

وَإِذْ نَجَّيْنَاكُمْ مِنْ آلِ فِرْعَوْنَ يَسُومُونَكُمْ سُوءَ الْعَذَابِ يُذَبِّحُونَ أَبْنَاءَكُمْ وَيَسْتَحْيُونَ نِسَاءَكُمْ وَفِي ذَلِكُمْ بَلاءٌ مِنْ رَبِّكُمْ عَظِيمٌ

“Dan ingatlah ketika Kami selamatkan kalian dari Fir’aun dan pengikut-pengikutnya, mereka menimpakan siksaan kepada kalian yang seberat-beratnya, mereka menyembelih anak laki-laki kalian dan membiarkan hidup anak perempuan kalian. Dan pada yang demikian itu terdapat cobaan yang berat dari Rabb kalian.” (Al Baqarah: 49)

Pembangkangan Bani Israil

Bani Israil yang mendapatkan banyak keutamaan dari Allah Subhanahu wata’ala, ternyata bukanlah suatu bangsa yang pandai bersyukur. Bangsa ini terkenal sombong dan merasa sebagai anak emas yang diistimewakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mereka berkata sebagaimana Allah kisahkan:

وَقَالَتِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى نَحْنُ أَبْنَاءُ اللَّهِ وَأَحِبَّاؤُهُ

“Berkata orang-orang Yahudi dan Nashrani: [Kami adalah anak-anak Allah dan kekasihnya].” (Al Maidah: 18)

Cukuplah kisah mereka dengan Nabi Musa ‘Alaihis Salam sebagai contoh betapa jeleknya perangai mereka terhadap Nabinya. Mereka diselamatkan oleh Allah Subhanahu wata’ala melalui dakwah Nabi Musa ‘Alaihis Salam dari penjajahan bangsa Qibti. Namun begitu rapuhnya iman mereka sehingga sedikit saja mereka mendapat cobaan, mereka segera menyalahkan Nabi Musa ‘Alaihis Salam.

Pada malam ketika Musa ‘Alaihis Salam dan Bani Israil berangkat meninggalkan Mesir, Fir’aun mengejarnya dengan tentara Qibti yang berjumlah 600.000 orang. Sesampai di pantai, seseorang dari Bani Israil yang bernama Yusya’ bin Nun berkata: “Musa mana janji Tuhanmu, wahai Musa!” Nabi Musa ‘Alaihis Salam menunjuk ke laut. Tetapi ketika kuda Yusya’ menyentuh lautan, lautan itu tetap tidak berubah menjadi kering. Maka dia kembali pada Musa ‘Alaihis Salam dan bertanya kepadanya: “Mana janji Tuhanmu, wahai Musa?” Musa ‘Alaihis Salam menjawab: “Demi Allah, aku tidak berdusta dan tidak pula didustai.” Sambil menunjuk ke laut.

Dalam keadaan yang sangat genting, yaitu ketika mereka terkepung, di depan mereka lautan sedangkan di belakang mereka tentara Fir’aun, mereka mengeluh kepada Musa ‘Alaihis Salam dan menganggap bahwa Musa-lah penyebabnya. Seraya mengatakan bahwa mereka pasti dibinasakan oleh Fir’aun.

فَلَمَّا تَرَاءَى الْجَمْعَانِ قَالَ أَصْحَابُ مُوسَى إِنَّا لَمُدْرَكُونَ

“Maka setelah kedua golongan itu saling melihat, berkatalah pengikut-pengikut Musa: [Sesungguhnya kita benar-benar akan tersusul].” (Asy Syu’ara: 61)

Dalam Al Bidayah Wan Nihayah dikatakan bahwa mereka sampai-sampai berkata: “Kami tinggal di Mesir (yakni di bawah penindasan Fir’aun) lebih baik daripada kami binasa di lautan ini.” (Al Bidayah 1/258)

Dalam keadaan seperti ini, Musa ‘Alaihis Salam berdoa kepada Allah Subhanahu wata’ala dan Allah Subhanahu wata’ala memberikan jalan keluar dengan membelah lautan untuk mereka. Allah Subhanahu wata’ala memanjakan mereka dengan memberikan dua belas jalan kering di lautan.

Bani Israil terus mengeluh. Ketika mereka melewati jalan itu, mereka mengatakan bahwa saudara-saudara mereka di jalan yang lain pasti telah binasa dibantai oleh Fir’aun. Maka Allah Subhanahu wata’ala pun menjadikan dinding-dinding lautan yang memisahkan mereka menjadi transparan. Mereka dapat melihat saudara-saudara mereka di jalan lain dengan jelas, bahkan dapat mendengar suara mereka, sehingga mereka yakin bahwa saudara-saudara mereka selamat. (Ma’alimut Tanzil juz 1 hal. 80)

Setelah Allah Subhanahu wata’ala menyelamatkan mereka dan membinasakan musuhnya, Bani israil masih tidak percaya. Mereka masih tetap yakin bahwa Fir’aun tidak akan mati dan terus mengejar mereka. Hingga Allah Subhanahu wata’ala memerintahkan laut untuk melemparkan jasad Fir’aun ke daratan agar Bani israil melihatnya. Inilah makna ayat:

وَإِذْ فَرَقْنَا بِكُمُ الْبَحْرَ فَأَنْجَيْنَاكُمْ وَأَغْرَقْنَا آلَ فِرْعَوْنَ وَأَنْتُمْ تَنْظُرُونَ

“Dan (ingatlah), ketika Kami belah laut untukmu, lalu Kami selamatkan kamu dan Kami tenggelamkan (Fir’aun) dan pengikut-pengikutnya sedang kamu sendiri menyaksikan.” (Al Baqarah: 50)

Berkata Imam Qurthubi ketika menafsirkan ucapan Allah Subhanahu wata’ala, “Dan kalian melihatnya”: Dikatakan bahwa Fir’aun terapung-apung di atas air dan Bani Israil menyaksikan mereka tenggelam, sedangkan diri mereka dalam keadaan selamat. Yang demikian ini merupakan kenikmatan yang besar dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Dikatakan pula bahwa bangkai mereka terdampar di pantai sedangkan Bani Israil menyaksikannya. Inipun merupakan kenikmatan di atas kenikmatan.

Namun dikatakan pula bahwa kata-kata, “Kalian melihat” yakni bermakna: Kalian dapat menyaksikan kejadian tersebut dan kalian mendapatkan pelajaran, karena mereka tidak sempat ketika itu untuk berhenti dan menyaksikan dengan mata-mata mereka karena mereka sedang sibuk melarikan diri.

Pendapat lain menyatakan maknanya bahwa: Kalian dalam keadaan dapat melihatnya kalau kalian mau melihat. Sebagaimana salah seorang berkata, "perkara ini adalah perkara yang bisa kau dengar dan kau lihat". Yakni kalau mau melihat, kalau mau mendengar sesungguhnya engkau bisa.”

Demikian pendapat-pendapat para ahli tafsir. Namun pendapat pertama lebih dekat dengan keadaan Bani Israil, karena mereka sesungguhnya bukan kaum yang bisa mengambil pelajaran. Sebagaimana ketika Bani Israil berhasil melewati lautan, Allah Subhanahu wata’ala telah menyelamatkan mereka dan menenggelamkan musuh mereka, mereka masih menggugat Musa ‘Alaihis Salam dengan berkata: “Ya Musa, sesungguhnya hati-hati kami belum tenang bahwa Fir’aun telah tenggelam.” Hingga Allah Subhanahu wata’ala memerintahkan lautan untuk melemparkan jasadnya ke pantai dan disaksikan oleh mereka.

Disebutkan oleh Abu Bakar ibnu Syaibah dari Qais ibnu Ubad bahwa Bani Israil berkata: “Fir’aun tidak mati dan dia tidak mati selama-lamanya.” Belum sempat pendustaan itu terdengar oleh Nabi-nya, Musa ‘Alaihis Salam, laut telah melemparkan bangkai Fir’aun seperti banteng merah ke daratan, dan peristiwa ini disaksikan oleh Bani Israil. Selesai ucapan Qurthubi. (Lihat Al Jami’ li Ahkamil Qur’an 1/335)

Setelah mereka yakin kebinasaan Fir’aun dan tentaranya, mereka mengutus orang untuk kembali ke Mesir guna mengambil harta-harta peninggalan mereka. Inilah makna ayat Allah Subhanahu wata’ala:

كَذَلِكَ وَأَوْرَثْنَاهَا بَنِي إِسْرَائِيلَ

“Demikianlah halnya dan Kami anugerahkan semuanya itu (harta peninggalan Fir’aun) kepada Bani Israil.” (Asy Syu’ara: 59)

Tetapi apakah Bani Israil bersyukur? Bani Israil tetap Bani Israil. Mereka bukan kaum yang pandai bersyukur. Mereka adalah orang-orang yang lemah keyakinannya dan rapuh imannya. Mereka dibawa oleh Musa ‘Alaihis Salam kembali ke tempat nenek moyang mereka Ya’qub ‘Alaihis Salam di Syam. Namun di perjalanan mereka melihat suatu kaum dari bangsa Qibti menyembah berhala. Maka mereka pun meminta kepada Musa ‘Alaihis Salam agar diberikan kepada mereka berhala sebagaimana mereka punya berhala.

Lihatlah Bani Israil yang telah selamat dari penindasan bangsa Qibti secara fisik, ternyata mental mereka masih terjajah. Mereka masih menganggap Fir’aun adalah penguasa yang paling kuat dan tidak akan mati. Kemudian sekarang mereka menganggap bangsa Qibti adalah bangsa yang hebat dan apa yang datang dari mereka pasti hebat pula. Sampai-sampai mereka menganggap bahwa penyembahan berhala yang dilakukan oleh bangsa Qibti adalah sesuatu yang perlu ditiru dan diikuti.

Nabi Musa ‘Alaihis Salam marah besar dan berkata kepada mereka: “Apakah tuhan selain Allah yang kalian inginkan, padahal Allah telah mengutamakan kalian di atas seluruh alam (yakni alam di jaman itu) ?”

وَجَاوَزْنَا بِبَنِي إِسْرَائِيلَ الْبَحْرَ فَأَتَوْا عَلَى قَوْمٍ يَعْكُفُونَ عَلَى أَصْنَامٍ لَهُمْ قَالُوا يَا مُوسَى اجْعَلْ لَنَا إِلَهًا كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ قَالَ إِنَّكُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُونَ

“Dan Kami seberangkan Bani Israil ke seberang lautan itu, maka setelah mereka sampai kepada suatu kaum yang tetap menyembah berhala mereka, Bani Israil berkata: ‘Hai Musa, buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala).’ Musa menjawab: ‘Sesungguhnya kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui (sifat-sifat Tuhan).’ ” (Al A’raf: 138)

Di dalam perjalanannya, mereka diperintahkan untuk berjalan memasuki Baitul Maqdis, negeri yang suci tempat asal nenek moyang mereka sendiri. Akan tetapi negeri tersebut dikuasaai oleh penguasa-penguasa yang jahat (Jabbarin) dan untuk memasukinya, mereka harus mengusir Jabbarin terlebih dahulu dengan peperangan.

Namun Bani Israil sebagaimana biasanya membantah perintah Nabinya, mereka berkata: “Apakah engkau menghendaki agar kami menjadi daging santapan mereka? Kalau engkau membiarkan kami di tangan Fir’aun, niscaya lebih baik bagi kami.”

Maka Allah ceritakan tentang mereka dalam ayat-Nya:

Hai kaumku, masuklah ke tanah suci (Palestina) yang telah ditentukan Allah bagimu, dan janganlah kamu lari ke belakang (karena takut kepada musuh), maka kamu menjadi orang-orang yang merugi.
يَا قَوْمِ ادْخُلُوا الأرْضَ الْمُقَدَّسَةَ الَّتِي كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَلا تَرْتَدُّوا عَلَى أَدْبَارِكُمْ فَتَنْقَلِبُوا خَاسِرِينَ

Mereka berkata: "Hai Musa, sesungguhnya dalam negeri itu ada orang-orang yang gagah perkasa, sesungguhnya kami sekali-kali tidak akan memasukinya sebelum mereka ke luar daripadanya. Jika mereka ke luar daripadanya, pasti kami akan memasukinya."
قَالُوا يَا مُوسَى إِنَّ فِيهَا قَوْمًا جَبَّارِينَ وَإِنَّا لَنْ نَدْخُلَهَا حَتَّى يَخْرُجُوا مِنْهَا فَإِنْ يَخْرُجُوا مِنْهَا فَإِنَّا دَاخِلُونَ

Berkatalah dua orang di antara orang-orang yang takut (kepada Allah) yang Allah telah memberi nikmat atas keduanya: "Serbulah mereka dengan melalui pintu gerbang (kota) itu, maka bila kamu memasukinya niscaya kamu akan menang. Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakal, jika kamu benar-benar orang yang beriman".
قَالَ رَجُلانِ مِنَ الَّذِينَ يَخَافُونَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمَا ادْخُلُوا عَلَيْهِمُ الْبَابَ فَإِذَا دَخَلْتُمُوهُ فَإِنَّكُمْ غَالِبُونَ وَعَلَى اللَّهِ فَتَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

Mereka berkata: "Hai Musa, kami sekali-sekali tidak akan memasukinya selama-lamanya, selagi mereka ada di dalamnya, karena itu pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja."
قَالُوا يَا مُوسَى إِنَّا لَنْ نَدْخُلَهَا أَبَدًا مَا دَامُوا فِيهَا فَاذْهَبْ أَنْتَ وَرَبُّكَ فَقَاتِلا إِنَّا هَا هُنَا قَاعِدُونَ

(Al Maidah: 21-24)

Akibatnya Allah Subhanahu wata’ala cela mereka sebagai orang-orang fasiq. Sebagai balasannya, Allah Subhanahu wata’ala jadikan mereka mengembara tanpa arah dan tidak memiliki tempat bermukim selama empat puluh tahun.

Dalam pengembaraan yang sesungguhnya akibat ulah mereka sendiri, Bani Israil kembali menyalahkan Nabinya. Mereka menganggap semua ini karena Nabi Musa ‘Alaihis Salam mengajak mereka keluar dari Mesir. Mereka mengeluh kehausan, mereka mengeluh kelaparan, mereka mengeluh kepanasan, dan seterusnya.

Nabi Musa ‘Alaihis Salam pun berdoa kepada Allah Subhanahu wata’ala agar Allah Subhanahu wata’ala memaafkan mereka. Allah Subhanahu wata’ala kemudian mengirimkan awan yang menaungi mereka dari panas matahari, menurunkan manna yang turun seperti salju menyelimuti pohon-pohon dan batu-batu, rasanya sangat manis seperti madu.

Diriwayatkan bahwa Bani Israil mengatakan kepada Musa ‘Alaihis Salam: “Manisnya manna akan membunuh kami, wahai Musa. Berdoalah kepada Tuhanmu agar memberi makan untuk kami dengan daging!” Maka Allah menurunkan kepada mereka salwa, berupa daging burung yang telah masak dan siap dimakan. Turun seperti awan kemudian menghujani mereka dengan salwa tersebut, hingga daging-daging burung tersebut berada satu tombak di atas tanah seluas satu mil. Dengan mudah Bani Israil mengambilnya. (Ma’alimut Tanzil: 1/87)

Demikianlah manna dan salwa turun mulai terbit fajar hingga terbit matahari. Bani Israil mengambilnya untuk kebutuhan sehari itu. Inilah yang Allah kisahkan dalam ayat-Nya:

وَظَلَّلْنَا عَلَيْكُمُ الْغَمَامَ وَأَنْزَلْنَا عَلَيْكُمُ الْمَنَّ وَالسَّلْوَى كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَمَا ظَلَمُونَا وَلَكِنْ كَانُوا أَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ

“Dan Kami naungi kamu dengan awan, dan Kami turunkan kepadamu ‘manna’ dan ‘salwa’. Makanlah dari makanan yang baik-baik yang telah Kami berikan kepadamu. Dan tidaklah mereka menganiaya Kami, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (Al Baqarah: 57)

Kembali Bani Israil memprotes Nabinya. Mereka merasa bosan dengan makanan yang itu-itu terus, mereka meminta sayur mayur, bawang, dan lain-lain.

وَإِذْ قُلْتُمْ يَا مُوسَى لَنْ نَصْبِرَ عَلَى طَعَامٍ وَاحِدٍ فَادْعُ لَنَا رَبَّكَ يُخْرِجْ لَنَا مِمَّا تُنْبِتُ الأرْضُ مِنْ بَقْلِهَا وَقِثَّائِهَا وَفُومِهَا وَعَدَسِهَا وَبَصَلِهَا قَالَ أَتَسْتَبْدِلُونَ الَّذِي هُوَ أَدْنَى بِالَّذِي هُوَ خَيْرٌ اهْبِطُوا مِصْرًا فَإِنَّ لَكُمْ مَا سَأَلْتُمْ

“Dan (ingatlah), ketika kamu berkata: ‘Hai Musa, kami tidak bisa sabar (tahan) dengan satu macam makanan saja. Sebab itu mohonkanlah untuk kami kepada Tuhanmu, agar Dia mengeluarkan bagi kami dari apa yang ditumbuhkan bumi, yaitu: Sayur mayurnya, ketimunnya, bawang putihnya, kacang adasnya, dan bawang merahnya.’ Musa berkata: ‘Maukah kamu mengambil sesuatu yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik? Pergilah kamu ke suatu kota, pasti kamu memperoleh apa yang kamu minta … .’ ” (Al Baqarah: 61)

Maka Allah Subhanahu wata’ala marah dan menetapkan bagi mereka kerendahan dan kehinaan. Sebagaimana Allah katakan dalam lanjutan ayat tersebut.

وَضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ وَالْمَسْكَنَةُ وَبَاءُوا بِغَضَبٍ مِنَ اللَّهِ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَانُوا يَكْفُرُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ وَيَقْتُلُونَ النَّبِيِّينَ بِغَيْرِ الْحَقِّ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ

“… lalu ditimpakan kepada mereka kenistaan dan kehinaan, serta mereka mendapatkan kemurkaan dari Allah. Yang demikian itu karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para Nabi tanpa kebenaran. Yang demikian karena mereka selalu berbuat durhaka dan melampaui batas.” (Al Baqarah: 61)

Ketika Nabi Musa ‘Alaihis Salam dipanggil oleh Allah Subhanahu wata’ala ke bukit Thursina untuk diberi Kitab Taurat sebagai pegangan dan syari’at bagi Bani Israil, beliau menjanjikan kepada mereka untuk pergi tidak lebih dari empat puluh malam.

Ternyata iman mereka sangatlah rapuh. Di saat Nabi Musa ‘Alaihis Salam meninggalkan mereka, dengan mudah, mereka diperdaya oleh Samiri. Ia membuat seekor lembu dari perhiasan-perhiasan mereka dan menjadikannya bersuara. Setelah itu Samiri mengatakan bahwa itulah tuhannya Musa. Maka sesatlah Bani Israil, mereka menyembah anak sapi tersebut. Dari 670.000 orang, hanya Harun ‘Alaihis Salam dan 12 ribu orang saja yang tidak mau menyembahnya.

Al Baghawi dalam Ma’alimut Tanzil menyebutkan bahwa Bani Israil telah mengkhianati janji Musa. Mereka menghitung malam dan siang sebagai dua malam sehingga setelah lewat dua puluh hari mereka menganggap telah habis masa yang dijanjikan oleh Musa yaitu 40 malam. Mereka tidak mau lagi memegang pesan-pesan Nabi Musa ‘Alaihis Salam. Mereka mengira Musa telah mati, kemudian mereka mengikuti ucapan Samiri dan tidak mau mendengarkan nasihat Nabi Harun. Sebagian besar dari mereka menjadi pengikut Samiri dan menjadi penyembah anak sapi, bahkan mereka beri’tikaf (tirakat) di sekiktar anak sapi tersebut kecuali Harun dan pengikutnya (Ma’alimut Tanzil jilid 1 halaman 82)

Sekembali Musa ‘Alaihis Salam dari pertemuannya dengan Allah Subhanahu wata’ala, beliau mendapati kaumnya seperti itu. Maka beliau pun sangat marah dan meminta mereka untuk bertaubat kepada Allah Subhanahu wata’ala. Maka mereka bertanya: ‘Bagaimana kami bertaubat?’ Maka Allah Subhanahu wata’ala memerintahkan kepada mereka untuk membunuh diri-diri mereka sebagaimana Allah kisahkan:

وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ يَا قَوْمِ إِنَّكُمْ ظَلَمْتُمْ أَنْفُسَكُمْ بِاتِّخَاذِكُمُ الْعِجْلَ فَتُوبُوا إِلَى بَارِئِكُمْ فَاقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ عِنْدَ بَارِئِكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ

“Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya: ‘Hai kaumku, sesungguhnya kamu telah menganiaya dirimu sendiri karena kamu telah menjadikan anak lembu (sesembahanmu), maka bertaubatlah kepada Tuhan yang menjadikan kamu dan bunuhlah dirimu. Dan itu adalah lebih baik bagimu pada sisi Tuhan yang menjadikan kamu, maka Allah akan menerima taubatmu. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (Al Baqarah: 54)

Yakni menurut Imam Al Baghawi hendaklah orang yang tidak menyembah anak sapi membunuh orang yang menyembah anak sapi.

Maka mereka pun duduk bersila di depan kemah-kemah mereka. Kemudian dikatakan pada mereka: ‘Barangsiapa pindah dari tempatnya, menjulurkan tangan kepada pembunuhnya atau mencoba menangkis dengan tangan dan kakinya, maka dia terlaknat.’ Sedangkan orang-orang yang tidak menyelisihi Musa dan Harun diperintahkan untuk membunuh mereka dengan pedang-pedangnya.

Akan tetapi mereka tidak tega mengayunkan pedang kepada saudaranya, bapaknya, anaknya, kerabatnya, temannya, ataupun tetangganya, dalam keadaan mereka melihatnya, hingga tidak mungkin bagi mereka untuk melakukan perintah Allah Subhanahu wata’ala tersebut. Mereka bertanya pada Musa: ‘Apa yang harus kita lakukan?’’

Dengan tiba-tiba Allah mengirimkan pada mereka kabut hitam yang menyelimuti mereka, mendadak cuaca gelap. Masing-masing tidak bisa melihat siapa yang ada di hadapannya. Maka muncullah semangat dari 12.000 orang pengikut Musa untuk membunuh orang-orang yang durhaka yang sudah duduk di halamannya masing-masing. Pembantaian besar-besaran pun terjadilah sehingga setelah beberapa saat berlangsung, Nabi Musa dan Harun menangis dan memohon pada Allah Subhanahu wata’ala: ‘Wahai Rabb kami, telah binasa Bani Israil, sisakanlah mereka, sisakanlah mereka!’ Allah Subhanahu wata’ala pun menyingkapkan kembali awan hitam tersebut dan memerintahkan mereka untuk berhenti membunuh. Maka terlihatlah oleh mereka puluhan ribu mayat (Lihat Ma’alimut Tanzil 1/84-85)

Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu bahwasanya ia berkata: ‘Jumlah mayat mereka yang terbunuh adalah 70.000 orang. Kejadian ini menyedihkan Nabi Musa ‘Alaihis Salam. Maka Allah Subhanahu wata’ala mewahyukan padanya: "Tidakkah engkau ridha Aku memasukkan yang membunuh dan terbunuh ke dalam surga? Karena orang yang terbunuh dari mereka sebagai syahid dan yang tersisa diampuni dosanya" (Masih dalam sumber yang sama)

Inilah makna ayat Allah Subhanahu wata’ala:

فَتَابَ عَلَيْكُمْ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ

“Maka Allah pun menerima taubat kalian. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (Al Baqarah: 54)

Tidak cukup sampai disitu kedurhakaan Bani Israil kepada Nabi-Nya. Mereka juga meminta untuk mendengar ucapan Allah Subhanahu wata’ala secara langsung, yaitu ketika Musa memilih 70 orang dari kaumnya yang termasuk orang-orang pilihan. Nabi Musa memerintahkan pada mereka untuk berpuasa dan mensucikan diri serta pakaiannya, kemudian mereka dibawa ke bukit Thursina. Di sana mereka berkata: ‘Mintakan agar kami dapat mendengar ucapan Rabb kami!’ Musa menjawab: ‘Saya akan lakukan.’

Ketika Musa mendekat ke puncak gunung Thursina, awan hitam turun menutupi gunung sehingga gunung itu seluruhnya diselimuti awan hitam. Musa berkata kepada mereka: ‘Mendekatlah.’ Maka mendekatlah mereka hingga memasuki awan hitam tersebut dan mereka tersungkur sujud.

Ketika Allah mengajak bicara Musa, terlihatlah cahaya yang memancar ke wajah Nabi Musa dengan sangat terangnya sehingga tidak ada seorang pun dari manusia yang mampu memandangnya.

Allah Subhanahu wata’ala pun kemudian memperdengarkan suara-Nya kepada Bani Israil. Maka mereka mendengar ucapan Allah Subhanahu wata’ala yang memberikan perintah dan larangan kepada Musa.

Setelah selesai dialog Musa dengan Rabb-nya dan disingkapkan kembali awan tersebut. Mereka berkata sebagaimana Allah Subhanahu wata’ala kisahkan dalam Al Qur’an:

وَإِذْ قُلْتُمْ يَا مُوسَى لَنْ نُؤْمِنَ لَكَ حَتَّى نَرَى اللَّهَ جَهْرَةً

“Dan ingatlah ketika kalian berkata: ‘Wahai Musa, kami tidak akan percaya kepadamu hingga kami melihat Allah secara langsung (dengan mata kepala mereka)… .’ “ (Al Baqarah: 55)

Maka Allah Subhanahu wata’ala murka dan bergelegarlah petir menyambar mereka dari langit satu persatu. Sebagian terhadap sebagian yang lain saling melihat bagaimana api menyambar mereka dari langit. Inilah yang Allah katakan dalam kelanjutan ayat-Nya:

فَأَخَذَتْكُمُ الصَّاعِقَةُ وَأَنْتُمْ تَنْظُرُونَ

“… maka kalian disambar halilintar sedangkan kalian menyaksikannya.” (Al Baqarah: 55)

Nabi Musa menangis sedih melihat mereka binasa dan berkata kepada Allah Subhanahu wata’ala: “Apa yang akan aku katakan kepada Bani Israil jika aku datang kepada mereka, sedangkan orang-orang pilihan mereka telah binasa.” Kemudian Nabi Musa berkata seperti Allah Subhanahu wata’ala kisahkan:

رَبِّ لَوْ شِئْتَ أَهْلَكْتَهُمْ مِنْ قَبْلُ وَإِيَّايَ أَتُهْلِكُنَا بِمَا فَعَلَ السُّفَهَاءُ مِنَّا

“Kalau Kau kehendaki kau binasakan mereka sebelum ini dan juga aku. Apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang bodoh di antara kami?” (Al A’raf: 155)

Akhirnya Allah Subhanahu wata’ala mengabulkan doa Musa. Dengan kasih sayangnya Allah Subhanahu wata’ala menghidupkan kembali orang-orang pilihan tersebut agar mereka bersyukur. Inilah yang dikatakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَإِذْ قُلْنَا ادْخُلُوا هَذِهِ الْقَرْيَةَ فَكُلُوا مِنْهَا حَيْثُ شِئْتُمْ رَغَدًا وَادْخُلُوا الْبَابَ سُجَّدًا وَقُولُوا حِطَّةٌ نَغْفِرْ لَكُمْ خَطَايَاكُمْ وَسَنَزِيدُ الْمُحْسِنِينَ

“Dan ingatlah, ketika Kami berfirman: ‘Masuklah kamu ke negeri ini (Baitul Maqdis), dan makanlah dari hasil buminya, yang banyak lagi enak di mana yang kamu sukai, dan masukilah pintu gerbangnya sambil bersujud, dan katakanlah: ‘hitthah’ (Bebaskanlah kami dari dosa), niscaya Kami ampuni kesalahan-kesalahanmu dan kelak Kami akan menambah (pemberian Kami) kepada orang-orang yang berbuat baik.’ “ (Al Baqarah: 58)

فَبَدَّلَ الَّذِينَ ظَلَمُوا قَوْلا غَيْرَ الَّذِي قِيلَ لَهُمْ فَأَنْزَلْنَا عَلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا رِجْزًا مِنَ السَّمَاءِ بِمَا كَانُوا يَفْسُقُونَ

“Lalu orang-orang yang dhalim mengganti perintah dengan (mengerjakan) yang tidak diperintahkan kepada mereka, sebab itu Kami timpakan atas orang-orang yang dhalim siksa dari langit, karena mereka berbuat fasiq.” (Al Baqarah: 59)

Ketika Nabi Musa tidak mau mandi bersama, seperti layaknya Bani Israil, mereka menuduh Nabi-Nya berpenyakit kelamin (adar), tuduhan ini betul-betul menyakitkan hati Musa ‘Alaihis Salam. Maka Allah Subhanahu wata’ala berfirman mengingatkan kita agar jangan seperti mereka:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَكُونُوا كَالَّذِينَ آذَوْا مُوسَى فَبَرَّأَهُ اللَّهُ مِمَّا قَالُوا وَكَانَ عِنْدَ اللَّهِ وَجِيهًا

“Hai orang-orang yang beriman, jangan kalian menjadi seperti orang yang menyakiti hati Musa, maka Allah membersihkannya dari tuduhan-tuduhan yang mereka katakan. Dan adalah dia seorang yang mempunyai kedudukan terhormat di sisi Allah.” (Al Ahzab: 69)

Dan terus mereka membantah Nabi-Nya, mendebatnya, menentangnya, dan seterusnya.

Ketika Nabi Harun ‘Alaihis Salam meninggal, mereka menuduh Musa ‘Alaihis Salam karena dengki. Mereka meminta bukti-bukti nyata kalau kurban mereka telah diterima oleh Allahmeminta bukti-bukti yang nyata kalau dosa-dosa mereka telah dihapuskan Subhanahu wata’ala. Mereka . Mereka merubah-ubah Taurat, berdusta atas nama Allah Subhanahu wata’ala, menulis dengan tangan-tangan mereka sendiri dan kemudian menyatakan: ‘Ini dari Allah.’ Karena menginginkan keuntungan dunia. Mereka menghapus hukum rajam. Mereka menghalalkan riba. Mereka … . Mereka … . Dan seterusnya.

Kemudian yang terakhir, mereka tidak mau menepati janjinya kepada Allah Subhanahu wata’ala untuk mengikuti Nabi terakhir, Nabi untuk seluruh bangsa, untuk seluruh manusia, Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dengan merubah semua berita-berita Taurat yang berkaitan dengan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Maka Allah Subhanahu wata’ala melaknatnya sampai hari kiamat.

Penutup

Demikianlah Bani Israil yang dijajah, ditindas dan diperbudak selama 400 tahun oleh bangsa Qibti. Kemudian Allah Subhanahu wata’ala selamatkan mereka daripadanya, dengan diutusnya Nabi Musa ‘Alaihis Salam membawa dakwah tauhid.

Namun terlihat walaupun mereka telah merdeka secara fisik, mental mereka masih terjajah. Mereka masih menganggap kebesaran dan kehebatan Fir’aun sehingga mereka tetap belum percaya kalau Fir’aun dan tentaranya telah binasa di Laut Merah. Mereka mengatakan Fir’aun tidak akan mati, hingga Allah Subhanahu wata’ala memperlihatkan kepada mereka bangkai Fir’aun.

Juga mereka masih menganggap bangsa Qibti adalah bangsa yang besar dan mulia. Semua yang datang dari bangsa Qibti adalah hebat hingga cenderung untuk mengikuti budaya mereka. Bahkan yang paling parah mereka meminta kepada Musa ‘Alaihis Salam agar dijadikan untuk mereka berhala seperti mereka punya berhala.

Mental mereka masih tetap mental budak, kerdil dan penakut. Sehingga ketika mereka dihadapkan untuk berperang melawan Jabbarin di Baitul Maqdis, mereka mengatakan: ‘Lebih baik kami tetap di Mesir (di bawah jajahan Fir’aun) daripada kami jadi santapan Jabbarin.’

Demikian pula pikiran mereka masih terjajah dengan pikiran Fir’aunisme yang mengatakan:

وَقَالَ فِرْعَوْنُ يَا هَامَانُ ابْنِ لِي صَرْحًا لَعَلِّي أَبْلُغُ الأسْبَابَ

“Wahai Hamman, bangunlah untukku menara yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu, yaitu pintu-pintu langit, supaya aku bisa melihat tuhannya Musa. Dan sesungguhnya aku yakin Musa berdusta.” (Al Ghafir: 36-37)

Yakni Fir’aun tidak percaya dengan perkara yang ghaib kecuali kalau melihatnya sendiri dengan mata kepala mereka. Inilah Fir’aunisme yang masih merasuk di kepala-kepala Bani Israil sehingga mereka berkata kepada Nabi Musa:

وَإِذْ قُلْتُمْ يَا مُوسَى لَنْ نُؤْمِنَ لَكَ حَتَّى نَرَى اللَّهَ جَهْرَةً

“Dan ingatlah ketika kalian berkata kepada Musa: ‘Kami tidak akan percaya kepadamu (wahai Musa) hingga kami melihat Allah dengan mata kepala kami … .” (Al Baqarah: 55)

Lihatlah wahai pembaca! Sering kali penjajahan membentuk kepribadian suatu bangsa. Maka bagaimana dengan bangsa kita yang dijajah selama 350 tahun oleh bangsa asing dengan misi kristenisasinya.

Tentunya jika kita ingin merdeka dengan makna yang sebenarnya, tidak cukup kita hanya mengusir penjajah secara fisik. Tetapi kita harus memperbaiki kembali mental bangsa kita dan membuang mental bangsa terjajah atau mental budak yang telah terbentuk.

Di antara contoh mental budak adalah:
  1. Ketika berada di bawah dia menjilat atasan, ketika berada di atas dia menindas dan menginjak-injak yang ada di bawah kekuasaannya.
  2. Bersifat oportunis, mementingkan keselamatan dan keuntungan pribadi, tidak peduli dengan bangsanya sendiri, membebek kepada bangsa asing, meniru budaya mereka yang notabenenya budaya kafir. Ketergantungan pada negara-negara penjajahnya dalam hal ekonomi dan lain sebagainya.
  3. Perasaan takut dan minder kepada negara-negara eks penjajahnya atau negara Eropa lainnya secara umum. Ingat penjajahan anak bangsa lebih kejam dari penjajahan bangsa asing.

Dan perlu diketahui bahwa tidak akan terwujud perbaikan mental terjajah menjadi mental seorang yang mulia dan merdeka kecuali dengan dakwah tauhid yang mengajarkan manusia untuk hanya beribadah kepada Allah Azza wajalla, hanya mengagungkan Allah Azza wajalla dan tidak mau diperbudak kecuali oleh Allah Azza wajalla melalui Nabi dan utusan-Nya dengan bimbingan para ulama pewaris Nabi. Bahkan tidak mau diperbudak oleh harta dunia ataupun hawa nafsu sendiri sekalipun. Wallahu A’lam Bish Shawab.

Daftar Pustaka

1. Al Qur’anul Adhim.
2. Al Jami’ li Ahkamil Qur’an. Abi Abdillah Al Qurthubi, penerbit Darus Sa’bi.
3. Al Bidayah Wan Nihayah. Abul Fida’ Al Hafidh Ibnu Katsir. Penerbit Darul Kutub Al Ilmiyah. Beirut.
4. Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Qur’an. Abu Ja’far At Thabari. Penerbit Darul Kutub Al Ilmiyah. Beirut. 1412 H / 1992 M.
5. Tafsirul Qur’anil Adhim. Ibnu Katsir. Penerbit Darus Salam. Tanpa Tahun.
6. Tafsirul Qur’anil Adhim. Imam Ibnu Abi Hatim. Penerbit Nizar Musthafa Al Baz. 1419 H / 1999 M.
7. Ma’alimut Tanzil fit Tafsiri wa Ta’wil. Abu Muhammad Al Baghawi. Penerbit Darul Fikr. 1405 H / 1985 M.

[Sumber: Majalah Salafy Edisi 38 tahun 1422 H / tahun 2001 M.]