Monday, December 8, 2008

Puasa Sunnah di Hari Sabtu

Abu Umair As-Sundawy
Al-hamdulillah washshalaatu wassalaamu ‘ala rasulillah

Permasalahan hukum puasa sunnah di hari sabtu adalah permasalahan yang diperselisihkan para ulama.Sehinga perlu “kelapangan dada” dalam mensikapinya.

Tulisan berikut adalah Ta’qib (komentar) terhadap pendapat haramnya puasa sunnah di hari sabtu dan tentunya Tarjih dari pendapat yang terpilih.Perlu diketahui Ulama kontemporer semisal Al-Imam Al-Albani rahimahullah dan beberapa murid beliau berpemahaman seperti ini.Oleh karenanya bukanlah tulisan ini bermaksud melampaui serta mendeskreditkan beliau rahimahullah.

Mohon bagi yang pernah menjelajah pembahasan puasa hari sabtu ini bisa mengkoreksi dan menambahkan apa yang keliru dari apa yang saya pahami.Karena sifat tulisan ini lebih kepada kesimpulan dengan bahasa bebas dari yang saya baca,telaah dan dengar.Kesimpulan yang saya pilih sedikit berbeda dengan kesimpulan Al-Akh Abu Ishaq (setidaknya hingga saat ini).Kesimpulan saya adalah bahwa Puasa sunnah pada hari sabtu hukumnya boleh jika ada sebab walaupun tidak dibarengi sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya selama tidak bertujuan mengagungkan.

Sebelumnya, agar pemahaman kita menyeluruh,silahkan untuk menelaah silahkan terlebih dahulu seluk beluk mengenai pendapat yang mengatakan haram mutlak , diantaranya yang jadi bahan bacaan dan telaah saya:
  1. Trankrip kaset berjudul “at-Thoifah al-Manshuroh” (saya dapat di forum syabkah almenhaj, berjudul “Hukmu syiyam yaumis sabti idza waafaqo yauma arafah” ,
  2. Silsilah ahadist shohehah
  3. Ad-Dhoifah
  4. Irwa’ul Ghalil
  5. Tamamul Minnah di halaman 406-408 (kitab-kitab scan pdf Syaikh Albani bisa di dunlod di http://waqfeya.com),
  6. Kaset Silsilah Huda Wan-Nur No.166,182,204,380,438,542 (Kaset-kaset Silsilatul huda wan Nur, semuanya bisa didunlod di situs islamweb atau http://alalbany.info)
  7. Syaikh Muhammad Ibrahim Syaqrah dalam kitabnya Irsyad As-Syaari’ ila ‘Ibadatil Baari
  8. Al-Akh Abu Salma Al-Atsary dalam blog beliau http://abusalma.wordpress.com, dua tulisan yang secara umum menukil kitab Zahru ar-Raudli fi Hukmi Shiyaami Yawmi Sabti fi Ghoyril Fardli karya Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid hafidzahullah ta’ala.
  9. Al-Qoul Ats-Tsabit fi hurmati shiyam yaum as-sabt ,oleh Abu Sanad Muhammad http://sahab.net
  10. ”Hiwar baina Syaikh Albani wa Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad haula shiyam yaum as-sabt”.Trankip ini bisa didapat di situs Syaikh Yahya Al-Hajuri hafidzahullah ta’ala.http://ajurry.com
  11. Dan sumber-sumber lain yang saya rujuk sebagaimana nanti ditemukan dalam tulisan ini.
Fabillahi nastain :

Pertama,

Sebenarnya ada tiga kelompok dalil yang biasa kita ajukan untuk dihadapkan kepada Hadits Abdullah bin Busr mengenai larangan puasa hari sabtu
  • Hadist Juwairiyah (Nabi pernah mendatangi Juwairiyah pada hari jumat dan saat itu Juwairiyah sedang berpuasa. Nabi bertanya:Apakah kemarin kamu berpuasa? Juwairiyah menjawab: Tidak. Nabi melanjutkan: Apakah kamu besok akan berpuasa? Juwairiyah menjawab: Tidak.Maka Nabi bersabda: Kalau begitu sekarang kamu harus berbuka. (Al-Bukhari)).Juga hadist-hadist larangan pengkhususan puasa dihari jumat.
  • Hadist Ummu Salamah :Sesungguhnya hari yang Rasulullah banyak berpuasa padanya adalah sabtu dan ahad. Beliau bersabda: Keduanya adalah hari raya orang-orang musyrik dan saya ingin menyelisihi mereka (An-Nasa’i, Ahmad, Al-Hakim)
  • Hadits-hadist umum karena bisa saja bertepatan dengan hari sabtu. Diantaranya Hadist puasa sepanjang masa, hadist shaum arafah,a syuro, ayyamul bidh, 6 hari dibulan syawal, shaum daud.
Kedua,

Sebagian ulama ada yang lebih memilih menghukumi Syadz nya hadist Abdullah bin Busr karena selain tidak lebih kuat menyeimbangi kekuatan shahih hadist-hadist yang ada terutama point a & c juga maknanya tidak bisa dijama’ serta beberapa ahli hadist menyatakan adanya illat tersembunyi.K alangan ini diantaranya Ibnu Taimiyah, Ibnul Qoyyim serta murid-murid Imam Ahmad. (lihat analisis mengenai cara berpikir Imam Albani atau Ibnul Qoyyim dibawah ini). Muaranya adalah kesimpulan boleh secara mutlak berpuasa hari sabtu. Ada juga yang bermuara padas kesimpulan ini dengan menilai mansukh hukum larangan hadist Busr ini, akan tetapi pendapat ini lemah. Syaikh Ali Hasan dalam Zahru Raudh cukup baik membantah kedua hal ini.

Ketiga,

Hadits Abdullah bin Busr mengenai larangan puasa sabtu insyaAllah shahih secara dzahir berdasar bidang ilmu hadist.Konsekuensinya “berterima” dan harus diamalkan tidak diabaikan.Jadi pendapat hukumnya syadz dan muaranya boleh puasa sabtu secara mutlak menjadi gugur terbantahkan,Allahu a’lam.

Keempat,

Jika dihadapkan dengan kelompok dalil a & c , maka Syaikh Albani dan yang sepemahaman dengan beliau begitu kuat berargumen dan hampir-hampir tidak tergoyahkan. Yakni,tidak bisa membawa makna larangan disini “apabila mengkhusukan hari sabtu saja”.
Begini kira-kira analisnya :

“Laa tashumu yaum as-sabt illa fiimafturidho ‘alaikum”. Maka adalah tidak konsisten & bernuansa kontradiktif jika kemudian menyimpulkan “boleh tetapi harus diiringi sehari atau sesudahnya” (ini kan dalam bahasa lain bermakna tidak boleh “mengkhususkan”hari sabtu saja).Padahal bentuk kalimat larangan“Laa” kemudian disambung dengan pengecualian “Illa”, maknanya umum.Tidak bisa ditarik maknanya kepada “Jangan kamu khususkan puasa hari sabtu (kecuali diiring sehari sesudah atau sebelumnya), kecuali yang wajib” Padahal yang namanya puasa wajib itu tentu tidak dalam koridor mengkhususkan.Kata mereka kaidahnya adalah :“Annal ististna dalilu at-tanawul,fala yustastna ghoiruha” (bahwa pengecualian adalah dalil yang diberikannya ,maka jangan dikecualikan lagi dengan yang lain)

Inilah jalur berpikir yang sering diungkapkan Syaikh Albani dalam beberapa tempat.Dan logika ini pulalah yang dipegang IbnuTaimiyah,Ibnul Qoyyim, Imam Ahmad.Hanya saja Ibnu Taimiyah dkk berkesimpulan menilai hadist Bushr itu syadz (ganjil) ,tidak shahih atau dibatalkan hukumnya.Karena apa?Karena kata mereka tidak bisa di jama’ seperti analis diatas serta bertentangan dengan hadist-hadist lainnya yang lebih kuat (cermati Tamamul Minnah hal 406 serta Iqtidho Shirotol Mustaqim Ibnu Taimiyah II/572).Jadi, seandainya hadist Bushr ini tidak syadz, besar kemungkinan akan bermuara pada kesimpulan seperti kesimpulan Syaikh Albani (meureun…) .Akan terjawab syubhat ini,insyaAllah ta’ala dalam tulisan ini.

Kelima,

Syaikh Albani sebenarnya melakukan “jama’” hadits Juwairiyah dengan Hadist Abdullah bin Bushr. Kata beliau jika kita misalnya berpuasa hari jumat tetapi dihari kamisnya tidak shaum,maka boleh berpuasa dihari sabtu,karena puasa tersebut menjadi “wajib” berdasar hadist Juwairiyah yang mengatakan sebelum atau sesudah harus mengiringi puasa dihari jumat.Apalagi terhadap kelompok dalil c sangat mudah digugurkan,karena hadist umum harus dibawa kepada larangan khusus.Wallahu a’lam saya melihat cara jama’ seperti ini berbeda dengan cara menjama’nya jumur ulama sebelumnya.Walaupun “aneh” ,perlu dicatat beliau ini Mujtahid Mutlaq.

Adapun terhadap hadist Ummu Salamah, maka beliau melakukan “tarjih”.Jadi secara umum bisa dikatakan Imam Al-Albani melakukan “tarjih” dalam hukum puasa hari sabtu ini.Karena memang susah menggabungkannya jika tidak mau dibawa kepada “makna pelarangan tersebut jika mengkhususkan hari sabtu saja”

Keenam,

Berkata Syaikh Usamah Abdul Aziz dalan kitab Shiyam at-Tathowwu bahwa Hadist Ummu Salamah ini dho’if. Ada rawi Abdullah bin Umar yang dinilai tidak tsiqat seperti oleh Imam Ibnu Al-Madini.Ibnu Hajar mengatakan bisa diterima tetapi jika ada syahidnya ,namun jika tidak maka dia lemah.”

Pendapat beliau ini dibantah dengan “manstab” oleh Syaikh Abu Umar Al-Utaibi dalam makalahnya Al-Qoul Al-Qowim fistihbab shiyam saumis sabti fi ghoyril fardhi min ghoiri takhshishin wala qoshdit ta’dzim” (silahkan merujuk kesana untuk takhrijnya,bisa diliat di http://www.otiby.net/book/files/elemia/alqol.doc) dan Syaikh Muhaddist Al-Albani pun dikatakan oleh penulis Al-Qoul Ats-Tsabit fi hurmati shiyam saum as-sabt menghasankannya. Yang benar Syaikh Albani mendho’ifkan hadist ini mengacu kepada Ad-Dho’ifah No.1099.Sesungguhnya Syaikh Albani sempat ragu & bimbang (yataroddad) menghukumin hadist ini.Sebelumnya Syaikh menghasankannya di Shohihil Jami’ dan dalam ta’liq Shohih Ibnu Khuzaimah,kemudian mendhoifkannya di Ad-Dhoifah No.1099,kemudian menulis dalam Al-Irwa :”Telah mendhoifkan isnad hadist ini Abdul haq Al-Isybili di kitab “Al-Ahkam Al-Wushtho” Syaikh Albani berkata :”Inilah yang rajih menurut saya,karena keadaannya tidak dikenal sebagaimana saya jelaskan dalam Ad-Dho’ifah “.

Kemudian Sayikh menulis dalam Al-Hasyiyah :”Saya telah menghasankannya di ta’liq Shohih Ibnu Khuzaimah dan ini yang lebih dekat”.Kemudian berjalanlah hukum dhoi’f ini bagi Syaikh.Syaikh Utaibi menyatakan bahwa yang benar menurut dia, adalah yang di hukumi Syaikh Albani di Shahihil Jami’& Shahih Ibnu Khuzaimah.Kata Syaikh Al-Utaibi hadist ini Hasan lidzatihi,bahkan yang menshahihkannya punya pandangan yang kuat.

Al-Qoul Ats-Tsabit fi hurmati shiyam saum as-sabt).Konsekuensinya hadist ini “berterima” dan harus diamalkan tidak diabaikan

Ketujuh,

Kalau kita melakukan tarjih seperti pendapat Syaikh Albani, maka kita menelantarkan hadist Ummu Salamah ini.Padahal kaidah mengatakan bahwa jika memungkinkan, maka dipakai kaidah “Al-Jam’u Muqoddamun ‘alat Tarjih” (jama’ itu harus dikedepankan dari tarjih).Mungkin tidak? Sekian banyak ulama salaf terdahulu (bahkan kata Syaikh Utaibi, ratusan jumlahnya) thoriqoh jama’ adalah mungkin dan memungkinkan..Yakni larangan hadist Bushr dibawa kepada makna “makruh” jika dikhususkan atau bermaksud pengagungan. Dengan demikian kita tidak menelantarkan satu dalil pun.

Kedelapan,

Lantas bagaimana argumen cara berpikir Syaikh Albani, Ibnul Qoyyimm, Ibnu Taimiyah diatas, bahwa makna larangannya umum?!

Sebelumnya camkanlah kaidah berikut:
إذا كان النهي عاماً لم يخصص باستثناء ولا غيره إذا وجد دليل آخر يعارضه فإنه يصار إلى الجمع –إن أمكن- دون الوقوف عند عموم النهي
Apabila Larangan (An-Nahyu) berbentuk umum tidak di khususkan dengan pengecualian atau yang lainnya, maka apabila terdapat dalil lain yang menyelisihinya,maka dilakukanlah jama’-apabila mungkin-tanpa berhenti pada keumuman larangan tersebut.

Contoh kasus : Nabi melarang sholat ba’da ashar. Nash nya umum tanpa pengecualian apapun. Akan tetapi sejumlah ulama berpendapat mustahabbnya dua rokaat ba’da ashar, karena ada keterangan bahwa Nabi melakukan sholat ba’da ashar. Mengapa bisa begitu yah? Padahal ini bertentangan dengan dua kaidah yang menyatakan : Al-haazhiru muqaddamun ‘ala al-mubiih (Pelarangan lebih didahulukan dari pembolehan) dan Al-Qaulu muqaddamun ‘ala al-fi’lu (Perkataan lebih didahulukan dari pada perbuatan). Perlu diketahui bahwa Syaikh Albani juga berpendapat boleh sholat ba’da ashar.

Apa alasan kebolehan sholat ba’da ashar ini? Karena beliau dan mereka melakukan thoriqoh jama’ sebagaimana kaidah diatas.

Bagaimana Hadits larangan puasa sabtu?, tentu berbeda dengan contoh ini, karena disana ada pengecualian “illa fimafturidho ‘alaikum”. Intinya disini ada “mukhoshshos munfashshol” (pengkhususan yang terpisah). Kita akan berikan contoh pembanding lain yang sejenis dengan larangan puasa sabtu ini.


Contoh 1 :adalah larangan bepergian yang memberatkan (syaddur rihal).

Hadits menyatakan : لا تعمل المطي إلا إلى ثلاثة مساجد “Laa ta’mal Al-Muthi’ illa ilaa tsalatsatil masajid……Hadist ini mutawatir.(jangan melakukan ketaatan kecuali ke tiga masjid).Bandingkan dengan hadist “Jangan kamu berpuasa dihari sabtu kecuali puasa yang wajib”. Persis sama bukan bentuk larangannya?!

Mengomentari contoh hadist diatas, At-Thibi mengatakan:
“هو أبلغ من صريح النهي كأنه قال لا يستقيم أن يقصد بالزياره إلا هذه البقاع لاختصاصها بما اختصت به”
Kata beliau bahwa Ini larangan yang paling jelas dan gamblang ,seolah beliau menyuruh jangan melakukan ziyaroh kecuali ketempat yang dkhususkan ini.

Berkata pula Imam Ibnu Hajar dalam Fathul Baari (3/64) :
والتقدير لا تشد الرحال إلى موضع ولازمه منع السفر إلى كل موضع غيرها لأن المستثنى منه في المفرغ مقدر بأعم العام لكن يمكن أن يكون المراد بالعموم هنا الموضع المخصوص وهو المسجد
Kata beliau maknanya bahwa Ini larangan “syaddur rihal” (berperjalana yang membebani), dan terlarang safar seperti ini kecuali hanya kepada tempat yang disebutkan yakni masjid tersebut
Tetapi kemudian terdapatnya dalil-dalil lain yang membolehkan rihlah ibadah seperti kasus menuntut ilmu. Lihat safar ibadahnya Nabi Musa dengan Nabi Haidhir ‘alaihimassalam, rihlahnya sahabat, ziyarohnya seseorang kepada temannya, rihlah untuk menyambung silaturahim dll.Sehingga larangan yang dimaksud ini dipahami ulama sebagai rihlah ibadah ke tempat-tempat tertentu yang memiliki keutamaan selain masjid yang dimaksudkan dalam hadist (lihat tafsir Ibnu Taimiyah dalam makna ini)

Dalam contoh ini kita tidaklah kita menggunakan kaidah al-haadzir muqoddamun ‘alal mubiih atau Annal ististna dalilu at-tanawul,fala yustastna ghoiruha tetapi kaidah yang dipakai adalah Al-Jam’u muqoddamun alat tarjih.

Wal hashil contoh ini yang notabene serupa dalam penujukkan teks dengan larangan puasa hari sabtu , adalah bantahan bagi yang melakukan tarjih.Karena metode yang lebih utama ditempuh adalah Al-Jam’u muqoddamun alat tarjih.Allahu a’lam

Contoh kedua: Larangan menghalalkan darah seorang muslim

Hadist menyebutkan :“Laayahillu damumri’im muslim yashhadu anna laa ilaha illallah wa anni Rasulullah,“illa bi ihdaa ats-tsalats :an-nafsi bin nafsi, wa tsaibuz zaniy al-mufariq lidinihi wat tarik liljama’ah” (Tidak halal darah seorang muslim yang bersyahadatain Kecuali dengan salah satu dari diantara tiga hal berikut……)

Kalau kita pakai Annal ististna dalilu at-tanawul,fala yustastna ghoiruha , maka tidak boleh menambahkan syarat keempat atau kelima.Harus mencukupkan 3 syarat ini saja yang menunjukkan halalnya darah seorang muslim yang telah bersyahadat.Jika demikian,maka ini pemahaman salah besar!

Karena ada dalil-dalil lain yang harus kita jama’ dengan hadist ini ,seperti pelaku kerusakan besar(fa’il fahisyah bahimah),atau pelaku homoseksual dan lainnya.

Contoh ketiga: Larangan menghalalkan darah seorang muslim

Allah ta’ala berfirman :ولا تقربوهن حتى يطهرن
Jangan dekati mereka hingga mereka suci

Mafhum ayat ini menunjukkan bahwa dilarang (haram) mendekati istri hingga mereka suci dari haidhnya.Akan tetapi ulama tafsir membatasi larangan ini dengan ucapan dan perbuatan Nabi shalallahu’alaihi wasalam mengatakan Ishna’uu kulla syaiin illa an-nikah (lalukan apapun kecuali nikah/jima’).Juga perbuatan beliau menggauli istrinya yang haidh dengan alas sarung.(Muttafaq alaihi)
Keberadaan makna Ististna (pengecualian) dalam ayat alquran ini,bisa di khususkan oleh kedua hadist yang ada.Jima’ itu tentunya lebih khusus dari pada “mendekati”.Yang umum ini maka dikhususkan oleh kedua hadist ini.Karea kaidah mengatkan “Al-Jam;u miuqoddam ‘alat tarjih”Inilah memang kaidah asalnya

Maka qiyaskan pengambilan dalil ini dengan larangan puasa hari sabtu!

Kesembilan

Ada yang mengatakan berdasar kaidah yang disiratkan dalam Irsyadul Fuhul nya Imam As-Syaukani bahwa kita tidak bisa menjama’ hadist Abdullah bin Bushr ini karena apabila kita takshish dengan puasa-puasa sunnah, otomatis akan menggugurkan istitsna (pengecualian) puasa wajib yang ada dalam hadist.Maka ini tidak bisa di jama’,karena yang namanya jama’ harus dalam satu koridor yang berterima semua makna dari yang digabungkan.Kata mereka, “Ya” kita akan menjama’ jika konteks kalimat nya seperti “Laa tashumu yaum as-sabt ” (Jangan kamu puasa hari sabtu!) atau “Laa tashuumu yaum as-sabt illa an tashuumuu yauman qobalahu aw ba’dahu”(Jangan kalian puasa sabtu kecuali berpuasa juga sehari sebelum atau sesudahnya)

Atau bentuk kalimat semisal larangan puasa hari jumat.Bagaimana?

Al-jawab:

Bahwa pengkhususan larangan umum ini memang mengugurkan “ististna” (pengecualian) , tetapi tidaklah mengugurkan keumuman larangan (an-nahyu).Atau mengkhususkan larangan, serta menambah pengecualian.Dengan melakukan jama’ maka tentu lebih tercapai kaidah “Inna I’malul adillah awlaa bi ihmaaliha” (Mengkompromikan seluruh dalil lebih utama daripada menelantarkan salahsatunya) daripada melakukan tarjih.Juga bahwa mengkhusukan yang umum tidak lahmembatalkan keumumannya.Sehingga yang berpuasa pada hari sabtu saja, maka termasuk dalam larangan “Laa tashumu yaum as-sabt”

Kesepuluh

Ada yang menqiyaskan dengan larangan berpuasa di hari raya.Misalnya dalam buku Irsyadul Baari ila Ibadatil Baari Syaikh Ibrahim Syaqrah mengatakan demikian :”Ada hadist mengenai larangan (haramnya) berpuasa pada hari tasyrik (11,12,13 Dzulhijah). Dikatakan bahwa pada hari tasyrik tersebut adalah hari makan dan minum.Jika seseorang biasa puasa senin kamis, lalu hari tersebut jatuh pada hari tasyrik.Apakah boleh berpuasa senin-kamis pada hari itu??Tentu tidak. Lalu mengapa kita masih belum dapat menerima larangan puasa hari sabtu!!!

Al-Jawab :
  1. Telah tsabit dari Nabi bahwa beliau berpuasa dihari sabtu dan ahad.Sebab yang diungkapkan Nabi adalah untuk menyelisihi hari raya nya ahlul kitab.Illat (sebab) semacam ini tidaklah dijumapi pada kasus larangan puasa dihari araya.
  2. Tidak lah ada keterangan bahwa Rasulullah ataupun salahsatu sahabatnya berpuasa dihari raya.Berbeda dengan puasa dihari sabtu, dimana Rasulullah berpuasa di hari sabtu disambung dengan ahad.Atau adanya perintah untuk menyambung sehari sebelum atau sesudah bagi yang berpuasa jumat.
  3. Hadist larangan berpuasa di hari raya atau tasyrik itu telah mutawatir diketahui kaum muslimin.
  4. Hari raya itu tidak berulang kecuali setahun sekali, berbeda dengan hari sabtu yang datang tiap pekan.Maka tentu tidak bisa disamakan mengenai larangan ini.Untuk point nomor 4 ini, hampir mirip dengan penjelasan Syaikh Utsaimin ketika membahas larangan puasa jumat diqiyaskan kepada larangan puasa dihari raya.( Fatawa No.414 jilid 20 di http://www.al-eman.com/Islamlib/viewchp.asp?BID=353&CID=376 )

Khulashoh,

1.Larangan puasa dihari sabtu itu dimaksudkan apabila dengan maksud mengkhususkan atau mengagungkan.

2.Yang terpilih dari pendapat yang ada, wallahu a’lam adalah pendapat yang membolehkannya walaupun hari sabtu saja tanpa diiringi jika ada sebab,misalnya ketika bertepatan dengan shaum-shaum yang disyariatkan atau puasa rutinnya.Jika tidak ada sebab (baca :mengkhususkan) maka harus diiringi sehari sebelum atau sesudahnya.

Saya sependapat dengan Imam Ibnu Utsaimin bahwa tatkala berpuasa sunnah yang disyariatkan atau karena kebiasaan rutinnya jatuh di hari sabtu, maka bukan karena hari sabtunya kita berpuasa akan tetapi karena disyareatkannya.Dan hal tersebut diluar makna mengkhususkan.

Hadist Ummu Salamah tidak menujukkan keharusan dibarengi sabtu itu dengan sehari sebelum dan sesudahnya.Ini berbeda dengan kasus puasa di hari jumat.Coba kita perhatiakan perbedaan masalahnya dengan larangan mengkhususkan puasa dihari jumat:

“Janganlah seseorang darimu berpuasa dihari jumat kecuali ia berpuasa sehari sebelum atau setelahnya” (Bukhori & Muslim)
”Aku bertanya kebada Jabir bin Abdillah,apakah Rasulullah melarang puasa dihari jumat?”kata Jabir :”Ya, demi Rabb ka’bah”(Bukhori & Muslim)
- Perhatikan juga hadist Juwairiyah
Puasa jumat yang dalilnya sangat terang saja masih diartikan para ulama tidak mengapa jika bertepatan dengan puasa rutinnya seperti shaum Daud,atau karena sebab lain seperti Asyura, Arafah dll. Apalagi untuk puasa hari sabtu. Allahu a’lam.

Silahkan lihat pertanyaan berkaitan dengan hari jumat ini oleh Syaikh Al-Imam Ibnu Utsaimin di http://www.al-eman.com/Islamlib/viewchp.asp?BID=353&CID=376

Walhamdulillah