Saturday, December 18, 2010

Kisah Nabi Yunus 'alayhissalaam

Nabi Yunus ‘alaihissalam termasuk nabi dari keturunan Bani Israil. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutusnya kepada penduduk negeri Ninawa di Mosul (Irak). Beliau menyeru kaumnya untuk kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, namun mereka menolaknya. Nabi Yunus ‘alaihissalam tidak berputus asa, selalu berusaha dan berusaha mendakwahi mereka, namun mereka tetap menolak. Kemudian Nabi Yunus ‘alaihissalam mengancam dengan azab dan pergi meninggalkan mereka, tidak sabar sebagaimana mestinya. Beliau ‘alaihissalam pergi dalam keadaan marah.

Sementara itu, sepeninggal Nabi Yunus ‘alaihissalam, Allah mengilhamkan kepada kaum tersebut untuk bertaubat dan kembali kepada-Nya. Itu terjadi setelah mereka menyaksikan sebagian dari pendahuluan azab yang diancamkan kepada mereka. Allah pun menyelamatkan mereka dari azab tersebut. Secara lahiriah, Nabi Yunus ‘alaihissalam mengetahui mereka telah selamat dari azab itu, namun beliau tetap tidak mau kembali. Oleh karena itulah Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِذْ ذَهَبَ مُغَاضِبًا

“Ketika dia pergi dalam keadaan marah.” (Al-Anbiya: 87)
Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
إِذْ أَبَقَ إِلَى الْفُلْكِ الْمَشْحُونِ

“ketika dia lari ke kapal yang penuh muatan.” (Ash-Shaffat: 140)
Nabi Yunus ‘alaihissalam naik ke kapal yang sudah penuh dengan penumpang dan barang. Sampai di tengah lautan, kapal tersebut mulai memperlihatkan tanda-tanda akan tenggelam. Saat itu hanya ada dua pilihan, mereka tetap bersama-sama di atas kapal tapi tenggelam semua, atau satu per satu dilemparkan ke laut sekedar meringankan muatan kapal dan menyelamatkan yang lain. Akhirnya diputuskan untuk memilih yang kedua. Mulailah diundi siapa yang akan dilemparkan ke laut. Termasuk dalam undian itu adalah Nabi Yunus ‘alaihissalam. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan:
فَكَانَ مِنَ الْمُدْحَضِيْنَ

“Lalu dia termasuk orang-orang yang kalah.” (Ash-Shaffat: 141)
Yakni, Nabi Yunus ‘alaihissalam kalah dalam undian tersebut. Merekapun melemparnya ke laut dan kemudian ditelan bulat-bulat oleh seekor ikan dari dalam laut. Di dalam kegelapan perut ikan itu, beliau berdoa:
لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِيْنَ

“Tidak ada Ilah melainkan Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang dzalim.” (Al-Anbiya: 87)

Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan ikan tersebut melemparkannya ke tanah yang tandus. Nabi Yunus ‘alaihissalam keluar dari perut ikan seperti anak burung yang keluar dari sebutir telur, betul-betul dalam keadaan sangat lemah. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengasihani beliau dengan menumbuhkan untuknya sebuah pohon dari jenis labu, dan menaunginya hingga menjadi kuat.

Setelah itu Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi perintah kepadanya untuk kembali ke tengah-tengah kaumnya, supaya mengajari dan mendakwahi mereka. Dan sekarang penduduk negeri yang berjumlah lebih 100.000 orang itu menyambut seruan beliau. Mereka beriman kepadanya dan mendapat kesenangan sampai waktu yang telah ditentukan.

Pelajaran

1. Dalam kisah ini, Allah menegur Nabi Yunus ‘alaihissalam dengan cara yang halus. Dengan menahannya di dalam perut seekor ikan, sebagai kaffarah (tebusan atas kesalahan beliau) sekaligus tanda kekuasaan Allah yang sangat besar dan karamah (mukjizat) bagi Nabi Yunus ‘alaihissalam.

2. Termasuk nikmat pula dari Allah kepada beliau adalah diterimanya dakwah beliau oleh penduduk negerinya yang berjumlah lebih dari 100.000 orang. Dan besarnya jumlah pengikut, termasuk sebagian keutamaan mereka.

3. Bolehnya melakukan undian ketika menghadapi persoalan yang musykil, mengenai siapa yang berhak atau tidak terhadap suatu perkara, apabila tidak ada yang menguatkan salah satunya. Apa yang dilakukan penumpang kapal tersebut menunjukkan kaidah yang sudah dikenal, yaitu mengambil kemudharatan yang lebih ringan untuk menolak kerusakan yang lebih besar. Tentunya sudah jelas, melempar salah seorang penumpang ke laut sangat berbahaya, namun malapetaka yang akan menimpa seluruh penumpang jauh lebih besar bahayanya.

4. Seorang hamba apabila dia memiliki hubungan yang baik dengan Rabb-nya, di mana dia selalu beramal shalih ketika dia dalam keadaan senang, Allah  tentu mensyukuri amalnya dan mengingatnya pula ketika dia dalam keadaan kesulitan, yakni dengan melepaskannya dari kesulitan itu atau meringankan keadaannya. Oleh karena itulah Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam kisah Nabi Yunus ‘alaihissalam ini:
فَلَوْلاَ أَنَّهُ كَانَ مِنَ الْمُسَبِّحِيْنَ. لَلَبِثَ فِي بَطْنِهِ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ
“Maka kalau sekiranya dia tidak termasuk orang-orang yang banyak mengingat Allah. Niscaya ia akan tetap tinggal di perut ikan itu sampai hari berbangkit.” (Ash-Shaffat: 143-144)
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
دَعْوَةُ أَخِيْ ذِي النُّون مَا دَعَا بِهَا مَكْرُوبٌ إِلاَّ فَرَّجَ اللهُ عَنْهُ: لآ إِلهَ إِلاَّ أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِيْنَ.
“Doa saudaraku Dzin Nun (Nabi Yunus). Tidaklah seorang yang dalam kesulitan, lalu berdoa dengan doa ini melainkan Allah akan lepaskan dia dari kesulitan itu, yaitu: ‘Tidak ada ilah melainkan Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang dzalim’.” (HR. At-Tirmidzi dan An-Nasai dari Sa’d bin Abi Waqqash radhiallahu ‘anhu
5. Iman itu menyelamatkan pemiliknya dari ketakutan dan kesulitan sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala firmankan:
وَكَذَلِكَ نُنْجِي الْمُؤْمِنِيْنَ
“Dan demikianlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman.” (Al-Anbiya: 88)
(Diterjemahkan dari Taisir Al-Lathifil Mannan, karya Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah)

sumbernya yaitu : www.asysyariah.com

Saturday, December 4, 2010

Ayat-Ayat Makiyah dan Madaniyah

Oleh: Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullaahu

Al-Qur’an turun kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam secara berangsur-angsur dalam jangka waktu dua puluh tiga tahun dan sebagian besar diterima oleh Rasul shallallaahu ‘alaihi wa sallam di Mekah. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
وَقُرْءَانًا فَرَقْنَاهُ‏‎ ‎لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَى‎ ‎مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيْلاً

“Dan Al-Qur’an itu telah Kami turunkan secara berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.” (QS. Al-Israa’: 106)
Oleh karena itu, para ulama rahimahumullaahu membagi Al-Qur’an menjadi dua:
  1. Al-Makiyah: ayat yang diturunkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebelum hijrah ke Madinah.
  2. Al-Madaniyah: ayat yang diturunkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam setelah hijrah ke Madinah.
Berdasarkan hal tersebut maka firman Allah ‘Azza wa Jalla:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ‏‎ ‎دِيْنَكُمْ وَأَتْمَمْتُ‏‎ ‎عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ‏‎ ‎لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِيْنًا

“Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untukmu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam sebagai agama bagimu.” (Al-Maa’idah: 3), termasuk ayat Madaniyah walaupun turun kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pada haji wada’ di Arafah.
Disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari dari ‘Umar radhiyallaahu ‘anhu bahwa dia berkata: Sungguh kami mengetahui hari dan tempat turunnya ayat tersebut kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yaitu saat beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam berada di Arafah pada hari Jum’at.

Perbedaan Surat Makiyah dan Madaniyah dari Sisi Konteks Kalimat dan Tema

Perbedaan dari segi konteks kalimat:
  • Sebagian besar surat Makiyah mempunyai cara penyampaian yang keras dalam konteks pembicaraan karena ditujukan kepada orang-orang yang mayoritas adalah pembangkang lagi sombong dan hal tersebut sangat pantas bagi mereka. Bacalah surat Al-Muddatstsir dan Al-Qamar. Sedangkan sebagian besar surat Madaniyah mempunyai penyampaian lembut dalam konteks pembicaraan karena ditujukan kepada orang-orang yang mayoritas menerima dakwah. Bacalah surat Al-Ma’idah!
  • Sebagian besar surat Makiyah pendek dan di dalamnya banyak terjadi perdebatan (antara para Rasul dengan kaumnya), karena kebanyakan ditujukan kepada orang-orang yang memusuhi dan menentang, sehingga konteks kalimat yang digunakan disesuaikan dengan keadaan mereka. Baca surat Ath-Thur! Adapun surat Madaniyah kebanyakan panjang dan berisi tentang hukum-hukum tanpa ada perdebatan karena keadaan mereka yang menerima. Baca ayat dain (ayat tentang hutang) pada surat Al-Baqarah (ayat 282).
Perbedaan dari segi tema:
  • Sebagian besar surat Makiyah bertemakan pengokohan tauhid dan aqidah yang benar, khususnya berkaitan dengan tauhid uluhiyah dan penetapan iman kepada Hari Kebangkitan karena kebanyakan yang diajak bicara mengingkari hal itu.Sedangkan sebagian besar ayat Madaniyah berisi perincian ibadah-ibadah dan mu’amalah karena keadaan manusia waktu itu jiwanya telah kokoh dengan tauhid dan aqidah yang benar, sehingga membutuhkan perincian tentang berbagai ibadah dan mu’amalah.
  • Dalam ayat Madaniyah banyak disebutkan tentang jihad, hukum-hukumnya dan keadaan orang-orang munafiq karena keadaan yang menuntut demikian dimana pada masa tersebut telah disyari’atkan jihad dan mulai bermunculan orang-orang munafiq. Berbeda dengan isi ayat Makiyah.
Beberapa Faedah Mengetahui Surat Madaniyyah dan Makkiyyah

Mengetahui surat Madaniyah dan Makiyah merupakan salah satu bidang ilmu Al-Qur’an yang penting karena di dalamnya terdapat beberapa manfaat:
  • Bukti ketinggian bahasa Al-Qur’an. Di dalam Al-Qur’an Allah ‘Azza wa Jalla mengajak bicara setiap kaum sesuai keadaan mereka baik dengan penyampaian yang keras maupun lembut.
  • Tampaknya hikmah pembuatan syari’at ini. Hal tersebut sangat nyata dimana Al-Qur’an turun secara berangsur-angsur dan bertahap sesuai keadaan umat pada masa itu dan kesiapan mereka di dalam menerima dan melaksanakan syari’at yang diturunkan.
  • Pendidikan terhadap para da’i di jalan Allah ‘Azza wa Jalla dan pengarahan bagi mereka agar mengikuti metode Al-Qur’an dalam tata cara penyampaian dan pemilihan tema yakni memulai dari perkara yang paling penting serta menggunakan kekerasan dan kelembutan sesuai tempatnya.
  • Pembeda antara nasikh (hukum yang menghapus) dengan mansukh (hukum yang dihapus). Seandainya terdapat dua ayat yaitu Madaniyah dan Makiyah yang keduanya memenuhi syarat-syarat naskh (penghapusan) maka ayat Madaniyah tersebut menjadi nasikh bagi ayat Makiyah karena ayat Madaniyah datang belakangan setelah ayat Makiyah.
Hikmah Turunnya Al-Qur’an secara Berangsur-angsur

Telah jelas dari pembagian Al-Qur’an menjadi ayat-ayat Makiyah dan Madaniyah menunjukkan bahwa Al-Qur’an turun secara berangsur-angsur. Turunnya Al-Qur’an dengan cara tersebut memiliki hikmah yang banyak, di antaranya:

1. Pengokohan hati Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, berdasarkan firman Allah ‘Azza wa Jalla:
وَقَالَ الَّذِيْنَ كَفَرُوا‎ ‎لَوْلاَ نُزِّلَ عَلَيْهِ‏‎ ‎الْقُرْءَانُ جُمْلَةً وَاحِدَةً‏‎ ‎كَذَلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ‏‎ ‎فُؤَادَكَ وَرَتَّلْنَاهُ‏‎ ‎تَرْتِيْلاً. وَلاَ يَأْتُوْنَكَ‏‎ ‎بِمَثَلٍ إِلاَّ جِئْنَاكَ‏‎ ‎بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيْرًا
“Berkatalah orang-orang yang kafir: ‘Mengapa Al-Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?’, demikianlah (yaitu demikianlah Kami turunkan secara berangsur-angsur) supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara tartil. Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.” (QS. Al-Furqaan: 32-33)
2. Memberi kemudahan bagi manusia untuk menghafal, memahami serta mengamalkan serta mengamalkannya karena Al-Qur’an dibacakan kepada mereka secara bertahap. Berdasarkan firman Allah ‘Azza wa Jalla:
وَقُرْءَانًا فَرَقْنَاهُ‏‎ ‎لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَى‎ ‎مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيْلاً
“Dan Al-Qur’an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.” (QS. Al-Israa’: 106)
3. Memberikan semangat untuk menerima dan melaksanakan apa yang telah diturunkan di dalam Al-Qur’an karena manusia rindu dan mengharapkan turunnya ayat, terlebih lagi ketika mereka sangat membutuhkannya. Seperti dalam ayat-ayat Ifk dan Li’an.

4. Penetapan syari’at secara bertahap sampai kepada tingkatan yang sempurna. Seperti yang terdapat dalam ayat khamar yang mana manusia pada masa itu hidup dengan khamr dan terbiasa dengan hal tersebut, sehingga sulit jika mereka diperintahkan secara spontan meninggalkannya secara total. Maka untuk pertama kali turunlah firman Allah ‘Azza wa Jalla yang menerangkan keadaan mereka:
يَسْأَلُوْنَكَ عَنِ الْخَمْرِ‏‎ ‎وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيْهِمَا‎ ‎إِثْمٌ كَبِيْرٌ وَمَنَافِعُ‏‎ ‎لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ‏‎ ‎مِنْ نَّفْعِهِمَا
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: ‘Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan berupa manfa’at bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya.’” (QS. Al-Baqarah: 219)
Ayat ini membentuk kesiapan jiwa-jiwa manusia untuk pada akhirnya mau menerima pengharaman khamr, dimana akal menuntut untuk tidak membiasakan diri dengan sesuatu yang dosanya lebih besar daripada manfaatnya.

Kemudian yang kedua turun firman Allah ‘Azza wa Jalla:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا‎ ‎لاَ تَقْرَبُوا الصَّلَوةَ‏‎ ‎وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى‎ ‎تَعْلَمُوا مَا تَقُوْلُوْنَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.” (QS. An-Nisaa’: 43)
Dalam ayat tersebut terdapat perintah untuk untuk membiasakan meninggalkan khamar pada keadaan-keadaan tertentu yaitu waktu shalat.
Kemudian tahap ketiga turunlah firman Allah ‘Azza wa Jalla:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا‎ ‎إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ‏‎ ‎وَالأَنْصَابُ وَالأَزْلاَمُ‏‎ ‎رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَنِ‏‎ ‎فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ‏‎ ‎تُفْلِحُوْنَ. إِنَّمَا يُرِيْدُ‏‎ ‎الشَّيْطَانُ أَنْ يُوْقِعَ‏‎ ‎بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ‏‎ ‎وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ‏‎ ‎وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ‏‎ ‎ذِكْرِ اللهِ وَعَنِ الصَّلَوةِ‏‎ ‎فَهَلْ أَنْتُمْ مُّنْتَهُوْنَ.‏‎ ‎وَأَطِيْعُوا اللهَ وَأَطِيْعُوا‎ ‎الرَّسُوْلَ وَاحْذَرُوا فَإِنْ‏‎ ‎تَوَلَّيْتُمْ فَاعْلَمُوا‎ ‎أَنَّمَا عَلَى رَسُوْلِنَا‎ ‎الْبَلاَغُ الْمُبِيْنُ
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya meminum khamar, berjudi, beribadah kepada berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaithan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keuntungan. Sesungguhnya syaithan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) arak atau berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu). Dan taatlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan berhati-hatilah. Jika kamu berpaling, maka ketahuilah sesungguhnya kewajiban Rasul Kami, hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.” (QS. Al-Maa’idah: 90-91)
Dalam ayat di atas terdapat larangan meminum khamar pada semua keadaan, hal itu sempurna setelah melalui tahap pembentukan kesiapan jiwa-jiwa manusia kemudian diperintah untuk membiasakan diri meninggalkan khamar pada keadaan tertentu.

(Dinukil dari “Bagaimana Kita Memahami Al-Qur’an” karya Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, penerjemah: Muhammad Qawwam, LC., Abu Luqman, penerbit: Cahaya Tauhid Press Malang, cet. ke-1 Muharram 1427 H / Pebruari 2006 M, hal. 33-38)

Sumber: http://almuslimah.wordpress.com/2009/08/11/ayat-ayat-makiyah-dan-madaniyah/

Thursday, October 14, 2010

Jangan Lihat Tampangnya..

Sebagian orang beranggapan bahwa ciri wanita shalihah adalah wanita yang tidak pilih-pilih wajah lelaki yang penting baik agamanya alias bertakwa dan berakhlak mulia meski dia seorang yang buruk rupa. Benarkah anggapan ini?
Marilah kita cermati perkataan Khalifah Umar bin al Khattab berikut ini:

قال عمر رضى الله عنه: لا تزوجوا بناتكم من الرجل الدميم فانه يعجبهن منهم ما يعجبهم منهن

Umar radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Janganlah kalian nikahkan anak gadis kalian dengan laki-laki yang bertampang jelek karena wanita itu menyukai laki-laki yang ganteng sebagaimana laki-laki itu menyukai perempuan yang cantik” [Takmilah al Majmu’ Syarh al Muhadzdzab karya jilid 17 hal 214 karya Muhammad Najib al Muthi’i, terbitan Maktabah al Irsyad, Jeddah KSA]
Jadi boleh saja seorang wanita muslimah shalihah atau walinya menolak keinginan seorang laki-laki shalih sejati dan tidak ada alasan untuk menolak laki-laki tersebut melainkan karena dia adalah seorang yang buruk rupa.

Namun ingat, yang namanya boleh itu tidak mesti wajib.

Artikel www.ustadzaris.com

Terlalu Cantik

Mungkin Anda adalah di antara pemuda yang punya kriteria calon hidup yang cukup muluk-muluk, tinggi semampai, langsing, kulitnya demikian, wajah harus demikian dan seterusnya.

Kriteria tersebut perlu ditelaah ulang dengan menimbang penjelasan salah seorang ulama Syafi’iyyah berikut ini:

Penulis kitab Fathul Mu’in bi Syarh Qurrah al ‘Ain mengatakan:
(وجميلة) أولى لخبر: خير النساء من تسر إذا نظرت

“Memperisteri wanita yang cantik itu yang lebih baik mengingat hadits yang mengatakan bahwa sebaik-baik adalah yang menyenangkanmu jika engkau memandanginya”
Perkataan di atas dijelaskan lebih lanjut oleh penulis Hasyiyah I’anah al Thalibin sebagai berikut:
(قوله: وجميلة) أي بحسب طبعه ولو سوداء عند حجر أو بحسب ذوي الطباع السليمة عند م ر.

“Yang dimaksud dengan wanita cantik adalah cantik menurut versi masing-masing laki-laki meskipun wanita tersebut berkulit hitam. Ada juga yang menjelaskan bahwa tolak ukur wanita cantik dalam hal ini adalah wanita cantik menurut laki-laki yang tabiatnya masih normal (baca: selera standar, tidak muluk-muluk, tidak pula terlalu buruk).
وتكره بارعة الجمال لانها إما أن تزهو، أي تتكبر، لجمالها، أو تمتد الاعين إليها

Makruh hukumnya menikahi wanita yang terlalu cantik karena dua pertimbangan:

Pertama, biasanya wanita yang terlalu cantik itu memiliki sifat sombong karena kecantikannya

Kedua, terlalu mata yang melirik kepadanya” [Hasyiyah I’anah al Thalibin juz 3 hal 270, karya Sayyid Muhammad Syatho cetakan al Haramain].

***

Dalam kutipan di atas Sayyid Muhammad Syatho menilai makruh menikahi wanita yang memiliki nilai ‘terlalu cantik’ dengan dua alasan di atas.

Wanita dengan kelas demikian itu cenderung sombong boleh jadi kepada suaminya jika suaminya dia nilai kurang selevel akibatnya dia akan sering tidak mau diatur oleh suaminya. Sehingga apalah artinya punya isteri sangat cantik namun pembangkan terhadap suami. Ataupun sombong terhadap wanita-wanita yang lain. Bergaul dengan orang yang sombong bisa-bisa menyebabkan kita tertular penyakit kesombongannya.

Banyaknya mata yang melirik kepadanya juga merupakan permasalahan tersendiri karena hal ini menyebabkan setiap hari suami dirundung rasa cemburu dan selalu dibayang-bayangi ketakutan jangan-jangan isterinya tergoda. Jika demikian, hidup terasa kurang nyaman.
Jika demikian sungguh tepat nasihat Sayyid Muhammad Syatho di atas.

Artikel www.ustadzaris.com

Sunday, October 3, 2010

Perkembangan Janin

Saat yang dinanti sepasang suami-isteri, dari perwujudan buah percintaan kasih-sayang sekian waktu, yaitu ketika rahim sang isteri mengandung janin calon bayi. Sungguh terasa sebagai anugerah indah tiada tara dari Allah Subhanahu waTa’ala . Gerakan-gerakan kecil menyentak dinding perut sang ibu. Betapa bahagia calon orang tuanya. Ingin segera mengasuh dan merawatnya.

Itulah kebesaran Allah Azza wa Jalla sebagai bukti kekuasaan Nya kepada manusia. Agar mereka banyak bersyukur. Di dalam al-Qur’an Allah Azza wa Jalla telah berfirman:
“Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani). Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh)nya ruh (ciptaan)Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur. Dan mereka berkata, “Apakah bila kami telah lenyap (hancur) di dalam tanah, kami benar-benar akan berada dalam ciptaan yang baru?” Bahkan (sebenarnya) mereka ingkar akan menemui Rabbnya”. [As Sajdah : 7-10]
Firman Allah yang lain tentang penciptaan manusia ialah :
“Dia-lah yang menciptakan kamu dari tanah kemudian dari setetes mani, sesudah itu dari segumpal darah, kemudian dilahirkanNya kamu sebagai seorang anak, kemudian (kamu dibiarkan hidup) supaya kamu sampai kepada masa (dewasa), kemudian (dibiarkan hidup lagi) sampai tua, di antara kamu ada yang diwafatkan sebelum itu. (Kami perbuat demikian) supaya kamu sampai kepada ajal yang ditentukan dan supaya kamu memahami(nya).” [Al-Mu'min : 67]
TAHAPAN PERKEMBANGAN JANIN

Setelah terjadi pembuahan yang ditakdirkan oleh Allah Azza wa Jalla hingga berproses menjadi seorang anak, mulailah sang ibu mengalami perubahan-perubahan di rahimnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam satu hadits shahih bersabda :
“Artinya : Sesungguhnya salah seorang diantara kalian dipadukan bentuk ciptaannya dalam perut ibunya selama empat puluh hari (dalam bentuk mani) lalu menjadi segumpal darah selama itu pula (selama 40 hari), lalu menjadi segumpal daging selama itu pula, kemudian Allah mengutus malaikat untuk meniupkan ruh pada janin tersebut, lalu ditetapkan baginya empat hal: rizkinya, ajalnya, perbuatannya, serta kesengsaraannya dan kebahagiaannya.” [HR Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu 'anhu].
Dilihat dari perkembangan ilmu medis sekarang ini, jelas hadits tersebut akan dibenarkan para ilmuwan, karena tidaklah jauh berbeda dengan penemuan-penemuan mereka. Disebutkan pula, bahwa pada kehamilan antara 8 sampai 10 pekan (sekitar 56-70 hari) pembuluh darah janin mulai terbentuk. Dengan alat-alat modern seperti alat perekam jantung bayi (elektrokardiografi/EKG untuk bayi) dan ultrasonografi (USG) dapat diketahui sedini mungkin, apakah jantung bayi sudah berdenyut atau belum. Umumnya denyut jantung bayi dapat diketahui dan dicatat pada pekan ke 12 (lebih kurang 84 hari). Tetapi dengan alat sederhana, baru terdengar pada kehamilan 20 pekan (kira-kira 140 hari).

Dibuktikan bahwa kira-kira pada kehamilan 10 pekan (kira-kira 70 hari) sudah mulai terbentuk sistem jantung dan pembuluh darah.

Sejak umur kehamilan 8 pekan (kira-kira 56 hari) mulai terbentuk hidung, telinga, dan jari-jari dengan kepala membungkuk ke dada.

Setelah 12 pekan (84 hari) telinga lebih jelas, tetapi mata masih melekat. Leher sudah mulai terbentuk, alat kelamin sudah terbentuk tetapi belum begitu nampak. Baru setelah 16 pekan (112 hari) alat kelamin luar terbentuk, sehingga dapat dikenali dan kulit janin berwarna merah tipis sekali. Pada umumnya plasenta atau ari-ari sudah terbentuk lengkap pada 16 pekan.

Menginjak kehamilan 24 pekan (168 hari), kelopak mata sudah terpisah. Ditandai dengan adanya alis dan bulu mata. Maha luas ilmu Allah k dalam segala penciptaanNya.

Apa yang disampaikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits tersebut memang benar adanya. Manusia baru membuktikannya pada abad ini. Padahal kebenaran ayat-ayat Allah Azza wa Jalla sudah disampaikan puluhan abad lalu; sebagai bukti, bahwa Allah Azza wa Jalla telah menciptakan manusia dari segumpal darah (alaqah) 40 hari, setelah terbentuknya air mani. Hal ini bisa diketahui oleh ahli medis, bahwa kurang lebih umur 56-70 hari pembuluh darah janin mulai terbentuk..Kemudian ada gerakan-gerakan. Gerakan inilah yang mungkin terdeteksi oleh alat-alat kedokteran modern sebagai denyut jantung janin. Namun berdasarkan dhohir hadits, bahwa ruh ditiupkan pada saat janin berumur lebih dari 120 hari. Wallahu a’lam

MENENTUKAN USIA KEHAMILAN

Seringkali ibu hamil tidak mengetahui secara pasti berapa usia kehamilannya. Ini dapat dimaklumi, mengingat waktu terjadinya pembuahan sering tidak dapat diketahui secara pasti. Tidak demikian halnya, bila sepasang suami-isteri terakhir berhubungan tanpa melakukannya lagi, dan diketahui sang isteri langsung terlambat haid, serta mendapatkan tanda-tanda kehamilan. Maka, usia kehamilannya langsung dapat diketahui.

Rahim (uterus) wanita yang tidak hamil kira-kira sebesar telur ayam. Bila terjadi kehamilan, rahim tumbuh secara teratur. Kecuali jika ada gangguan pada kehamilan tersebut.

Pada kehamilan 8 pekan (kurang lebih 2 bulan), rahim membesar sebesar telur bebek, kemudian pada kehamilan 12 pekan kira-kira 3 bulan membesar seperti telur angsa. Pada saat inilah puncak rahim atau fundus uterus dapat diraba dari luar.

Secara syariat tidak ada cara khusus untuk menentukan umur kehamilan wanita. Namun secara medis ada cara-cara tertentu, untuk mengetahui usia kehamilan walaupun hanya perkiraan.

Ada tiga cara untuk memperkirakan usia kehamilan. Dengan mengukur tinggi dari puncak rahim. Yaitu bagian tertinggi puncak rahim yang menonjol di dinding perut. Kadang terasa keras karena terasa kepala, atau lunak apabila teraba pantat janin.

Pertama : Dengan ukuran sentimeter.

Apabila jarak dari tulang kemaluan sampai puncak rahim menunjukkan lebih kurang 25 cm, berarti usia kehamilan 28 pekan (kira-kira 7 bulan). Apabila 27 cm, lebih kurang 32 pekan (kira-kira 8 bulan). Terukur 30 cm, menunjukkan umur 36 pekan (kira-kira 9 bulan).

Pada kehamilan 40 pekan (lebih kurang 9 bulan lebih), puncak rahim turun kembali dan terletak kira-kira 3 jari di bawah tulang dada, yang terletak di tengah-tengah melekatnya beberapa tulang rusuk. Ukuran ini tidak akan bertambah, walau usia kehamilan mencapai 40 pekan. Jika tingginya bertambah, kemungkinan bayi besar, kembar atau cairan tubuh berlebih.

Kedua : Menghitung dengan 2 jari tangan.

Setiap pertambahan selebar 2 jari tangan menunjukkan pertumbuhan 2 pekan. Perhitungan ini digunakan jika jarak antara tulang kemaluan dengan puncak rahim masih di bawah pusar. Sebaliknya, jika jarak tulang kemaluan dengan puncak rahim sudah di atas pusar perhitungan 2 jari, menunjukkan pertambahan 4 pekan.

Ketiga : Memperkirakan kalau tinggi puncak rahim sudah tepat di pusar, itu menunjukkan usia kehamilan 5 bulan-6 bulan. Sementara, jika puncak rahim sudah sampai di tengah antara tulang dada dan pusar, menunjukkan usia kehamilan kira-kira 7 bulan. Apabila puncak rahim sudah mencapai dada, diperkirakan usia kehamilan 9 bulan. Hasil pengukuran ini akan meragukan, jika ibu hamil terlalu gemuk atau otot perut tegang.

Jika calon ibu sudah mulai dapat merasakan gerakan janin, diperkirakan usia kehamilan mencapai 18 pekan (kira-kira 4,5-5 bulan). Tetapi pada kehamilan kedua, gerakan janin sudah terasa pada usia kehamilan 16 pekan.

GANGGUAN PADA PEMBENTUKAN JANIN

Terkadang seorang wanita yang positif hamil, hasil pembuahannya bisa mengalami gangguan. Atau pembentukan janin tidak berlanjut. Ada beberapa jenis gangguan yang berhubungan dengan hasil pembuahan. Sebagian besar dengan keluhan pendarahan. Macam-macam gangguan pada pembentukan janin diantaranya ialah :

Abortus (Keguguran).

Abortus adalah berakhirnya kehamilan, sebelum janin mampu hidup di dunia luar. Rata-rata dengan umur kehamilan kurang dari 22 pekan (kurang dari 5 bulan), dengan berat badan kurang dari 500 gr. Sebab-sebab terjadinya keguguran, bisa diakibatkan karena kelainan zigote. Yaitu kelainan hasil penyatuan dari sel sperma (sel kelamin laki-laki) dan ovum (sel kelamin perempuan).

Adanya gangguan di selaput lendir dalam rahim (endometrium), juga bisa mengakibatkan keguguran. Hal ini karena masuknya ovum yang telah dibuahi ke dalam rahim tersebut, mengalami gangguan. Atau gangguan tersebut terjadi dalam pertumbuhan embrio.

Faktor-faktor yang menyebabkan gangguan fungsi selaput lendir rahim tersebut ialah kelainan hormonal, gangguan nutrisi. Contohnya, anemia berat, penyakit menahun, dan lain-lain yang dapat mempengaruhi gizi penderita. Juga penyakit infeksi, kelainan imunologik (misalnya gangguan darah, faktor rhesus, dsb.). Selain itu, faktor psikologis (mental) seorang wanita juga dapat mempengaruhi gangguan di rahimnya.

Kehamilan Di Luar Kandungan (Kehamilan Ektopik)


Kehamilan ini terjadi, apabila ovum yang dibuahi masuk dan tumbuh tidak di tempat yang normal di dalam rahim. Tempat-tempat tersebut bisa di saluran telur, rahim yang bukan tempat kebiasaan janin untuk tumbuh, di tempat indung telur (organ penghasil telur), diantara jaringan ikat yang berbentuk seperti tali penghubung organ-organ tertentu dengan rahim.

Kehamilan di luar kandungan bisa juga terjadi di dalam rongga perut. Tempat pertumbuhan janin yang tidak sempurna menyebabkan kematian janin. Atau janin tidak tumbuh secara normal. Kondisi seperti inilah oleh tim medis harus dilakukan operasi segera; apalagi untuk janin yang masih hidup.

Mengingat resiko pendarahan bagi wanita yang mengalami kehamilan ektopik tersebut. Biasanya kehamilan seperti ini sering berakhir setelah umur 6-8 pekan. Ada yang sampai 10 pekan, dan ada juga yang berakhir sampai pada umur 5-6 bulan pada janin yang berkembang di perut (abdomen). Tetapi biasanya meninggal atau cacat.

Kehamilan Anggur (Mola Hidatidosa)
 

Kehamilan ini adalah kehamilan abnormal. Pada kehamilan biasa, embrio tumbuh terus menjadi janin dan kemudian dapat dilahirkan sebagai bayi. Adapun pada kehamilan anggur ini, perkembangan sel ovum bukan menjadi embrio. Tetapi menjadi bentuk seperti anggur. Biasanya tidak ada tanda-tanda kehidupan pada janin.

Kehamilan anggur ini bisa berkembang menjadi tumor ganas. Kelainan bentuk rahim juga dapat menghalangi berkembangnya janin secara sempurna.

PENUTUP

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menciptakan seorang wanita, yang secara fitrah berlainan dengan laki-laki. Dengan fitrahnya, disiapkanlah seorang wanita yang siap untuk mengandung dan melahirkan. Yang akhirnya akan mengasuh anak yang telah dilahirkannya sebagai calon generasi penerus.
Berkenaan keadaan fitrahnya tersebut, wanita juga mendapatkan hukum-hukum tersendiri berkenaan dengan keadaan organ rahim yang dimilikinya. Sehingga seorang wanita bisa berbeda dalam melaksanakan ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala , dikarenakan sebab hukum haid, nifas, atau istihadhah yang terjadi pada dirinya. Ataupun sebab kehamilannya.

Oleh karena itu, kita harus merujuk kepada ayat-ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sunnah Rasulullah n , serta para ulama fiqh yang bermanhaj salaf yang telah membahasnya panjang lebar berkenaan kondisi fitrah seorang wanita. Wallahu a’lam. (dr. Ummu Muhammad)

Maraji’
- Ilmu Kebidanan, Prof. Sarwono P, Yayasan Bina Pustaka FKUI, 1994.
- Ilmu Kandungan, Prof. Sarwono P, Yayasan Bina Pustaka FKUI, 1991.
- Indeks Al Qur’an, Yusuf Rocy Asyarif. S, Penerbit Pustaka Salman ITB, 1984.
- Kamus Istilah Kedokteran, Penerbit FKUI, 1984.
- Al Qur’nul Karim, terjemahan.
- Fatwa-fatwa Tetantang Wanita Edisi Indonesia. Penerbit Darul Hak Jakarta.

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun VI/1423H/2003M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Alamat Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton – Gondangrejo Solo, 57183]

Saturday, October 2, 2010

Bercanda yang Berpahala

Sering kali kita melengkapi kehidupan ini dengan canda dan tawa. Terkadang kita memerlukan penyegaran kembali setelah lama beraktifitas dan menjalani berbagai kesibukan yang melelahkan. Di saat itulah kita dapat melepaskan lelah dan penat dengan canda dan tawa. Hal itu kerap kali terjadi pada para wanita, terkadang bermula dari pembicaraan beberapa orang (ngobrol) dan setelah itu timbul canda dan tawa (guyon).

Namun perlu diwaspadai, akankah canda tersebut menimbulkan masalah atau tidak?

Karena banyak masalah besar yang awalnya hanya diakibatkan karena bercanda yang berlebihan. Nah, mengapa hal ini bisa terjadi? Kemungkinan ada sesuatu yang salah di dalamnya.

Dalam agama Islam canda dan tawa ini diperbolehkan sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, beliau pernah bercanda dengan isteri dan sahabat beliau. Oleh karena itu saudariku, kita perlu mengetahui bagaimana adab bercanda sehingga tidak menimbulkan masalah tetapi justru berpahala yaitu dengan meneladani bagaimana adab bercanda yang Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam ajarkan.

Bercandalah dengan Niat yang Benar

Saudariku mulailah dari niat yang benar ketika akan mengawali suatu amalan, setelah itu lakukan amalan tersebut sesuai dengan petunjuk dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam termasuk dalam bercanda. Perbuatan ini akan mejnadi sia-sia apabila tidak dilandasi dengan kedua syarat tersebut (niat yang lurus dan mengukuti petunjuk Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam). Niat yang lurus maksudnya supaya bersemangat untuk melakukan perkerjaan yang bermanfaat untuk dunia dan akhirat dan memperhatikan adab Rasulullah dalam bercanda.

Jangan Berlebihan dalam Bercanda dan Tertawa

Saudariku, ketahuilah. Bercanda dan tertawa yang berlebihan dapat mengeraskan hati, serta dapat menjatuhkan kewibawaan kita di hadapan orang lain.

Jangan Bercanda dengan Orang yang Tidak Suka Bercanda

Setiap orang mempunyai sifat yang berbeda-beda. Ada tipe orang yang suka bercanda namun juga ada orang yang serius atau tidak suka bercanda. Terkadang juga ada yang mempunyai sifat perasa dan ada juga yang nyantai/ cuek. Mengenali sifat orang dalam bergaul apalagi dalam bercanda sangat diperlukan. Jangan sampai menempatkan sesuatu yang tidak sesuai dengan tempatnya sehingga berlaku dhzolim terhadap saudara kita. Bisa saja dengan ucapan tersebut saudara kita menjadi sakit hati, padahal kita tidak menyadari akan hal tersebut.

Saudariku, tidak dalam segala perkara kita boleh bercanda, ada hal-hal yang diharamkan kita bercanda yaitu:

1. Bercanda/ bermain-main dengan syari’at Allah Subhanahu wa Ta’ala

Orang-orang bermain-main atau mengejek syari’at Allah atau Al Qur’an atau Rasulullah serta sunnah, maka sesungguhnya dia kafir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah berfirman, yang artinya,
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab,”Sesungguhnya kami hanyalah bersendau gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu meminta maaf, karena engkau telah kafir sesudah beriman…” (Qs. At Taubah: 65-66).
Ayat ini turun berkaitan dengan seorang laki-laki yang mengolok-olok dan berdusta dengan mengatakan bahwa Rosulullah dan shahabatnya adalah orang yang paling buncit perutnya, pengecut dan dusta lisannya. Padahal laki-laki ini hanya bermaksud untuk bercanda saja. Namun bercanda dengan mengolok-olok atau mengejek syari’at agama dilarang bahkan dapat menjatuhkan pelakunya pada kekafiran.

2. Berdusta saat bercanda

Ada sebagian orang yang meremehkan dosa dusta dalam hal bercanda dengan alasan hal ini hanya guyon saja untuk mencairkan suasana. Hal ini telah di jawab oleh sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam,
“Aku menjamin sebuah taman di tepi surga bagi orang yang meninggalkan debat meskipun ia berada di pihak yang benar, sebuah istana di bagian tengah Surga bagi orang yang meninggalkan dusta meskipun ia bercanda, dan istana di bagian atas surga bagi seorang yang baik akhlaknya.” (HR. Abu Daud)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bercanda, namun tetap jujur serta tidak ditambahi kata-kata dusta. Beliau bersabda,
“Sesungguhnya aku juga bercanda, dan aku tidak mengatakan kecuali yang benar.” (HR. At-Thabrani dalam Al-Kabir)
Dalam hadits lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Celakalah seorang yang berbicara dusta untuk membuat orang tertawa, celakalah ia, celakalah ia.” (HR. Ahmad).
Dusta dalam bercanda bahkan sering ditemui bahkan dijadikan tontonan seperti lawak yang dijadikan sebagai hiburan di televisi dan sepertinya sudah akrab dan tidak lagi disalahkan. Padahal hal tersebut bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh Nabi shallallahu’alaihi wa sallam.
Apabila kita mau merenungi hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka tentunya kita tidak akan berani untuk berdusta sekalipun dalam bercanda.

3. Menakuti-nakuti seorang muslim untuk bercanda

Tidak diperbolehkan menakuti seorang muslim baik serius atau bercanda. Bayangkan apabila kita membuat terkejut seseorang, padahal beliau mempunyai sakit jantung. Perbuatan ini dapat membuat mudharat yang lebih besar, yaitu dapat mendadak meninggal dengan sebab perbuatan tersebut. Perbuatan ini tidak boleh dilakukan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Janganlah salah seorang dari kalian mengambil barang milik saudaranya baik bercanda ataupun bersungguh-sungguh, barangsiapa mengambil tongkat saudaranya hendaklah ia mengembalikan.” (HR. Abu Daud).
4. Melecehkan kelompok tertentu

Ada juga orang yang bercanda dengab mengatakan “Hai si hitam” dengan maksud menjelek-jelekkan penduduk dari daerah tertentu yang asal kulitnya adalah hitam.
Hal ini tidak diperbolehkan sesuai dengan firman Allah Ta’ala, yang artinya,
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan jangan suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah panggilan yang buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zhalim” (Qs. Al-Hujuraat: 11)
Yang dimaksud dengan “Jangan suka mencela dirimu sendiri”, ialah mencela antara sesama mukmin, sebab orang-orang mukmin seperti satu tubuh.

5. Menuduh manusia dan berdusta atas mereka

Misalnya seorang bercanda dengan sahabatnya lalu ia mencela, menuduhnya atau mensifatinya dengan perbuatan keji. Seperti seseorang berkata kepada temannya, “Hai anak zina.” Tuduhan ini bisa menyebabkan jatuhnya hukum, karena menuduh ibu dari anak tersebut telah melakukan zina.

Bercandalah kepada Orang yang Membutuhkan

Bercandalah kepada anak-anak seperti yang pernah dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Anas bin Malik radhiyallahu’anhu meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya, “Hai dzul udzunain (wahai pemilik dua telinga).”

Dari hadits ini dapat kita lihat bahwa Rasulullah tidak pernah berdusta walaupun dalam keadaan bercanda dan beliaulah orang yang paling lembut hatinya.

Saudariku, semoga Allah menjaga kita dari hal-hal yang tidak bermanfaat dan dapat menjadikan setiap detik kita amalan yang diberkahi. Wallohul musta’an.

*) Diringkas dari buku Panduan Amal Sehari Semalam pada bab “Bercanda Boleh Saja, Tetapi…” dengan sedikit perubahan dan tambahan dari kitab Al Irsyad oleh Ummu Salamah.

Wednesday, September 29, 2010

Permasalahan Campur Baur Antara Laki-Laki dan Perempuan Menurut Pandangan Syariat

Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Salawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi yang telah diutus oleh Allah sebagai rahmat untuk alam ini, kepada keluarga, sahabat, dan para pengikutnya (yang baik) sampai hari kiamat. Amma ba’du. Ikhtilat Antara Laki-Laki dan Wanita Terdiri dari Tiga Keadaan

Keadaan Pertama

Ikhtilat yang terjadi antar-mahram, Dibolehkan secara syar’i dan tidak ada khilaf (di antara para ulama) tentang kebolehannya. Demikian juga, ikhtilat di antara laki-laki dan wanita yang sudah ada ikatan pernikahan. (Kebolehan) ikhtilat jenis ini terdapat di dalam nash-nash yang menunjukkan akan haramnya (menikah) antar-mahram. Kemudian, ikhtilat yang dibolehkan berikutnya adalah ikhtilat antara laki-laki dan wanita, yang mana boleh bagi wanita tersebut menampakkan perhiasaanya di depan laki-laki tersebut.

Allah Ta’ala berfirman,
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاَتُكُمْ وَبَنَاتُ الأَخِ وَبَنَاتُ الأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاَّتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُم مِّنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَآئِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللاَّتِي فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ اللاَّتِي دَخَلْتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمْ تَكُونُواْ دَخَلْتُم بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلاَئِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلاَبِكُمْ وَأَن تَجْمَعُواْ بَيْنَ الأُخْتَيْنِ إَلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللّهَ كَانَ غَفُوراً رَّحِيماً

“Diharamkan atas kalian (menikahi) ibi-ibu kalian, anak-anak kalian yang wanita, saudara-saudara kalian yang wanita, saudara-saudara ibu kalian yang wanita, anak-anak wanita dari saudara-saudara kalian yang laki-laki, anak-anak wanita dari saudara-saudara kalian yang wanita, ibu-ibu yang menyusui kalian, saudara wanita sepersusuan, ibu-ibu istri kalian (mertua), anak-anak istri kalian yang dalam pemeliharaan kalian dari istri yang telah kalian campuri, tetapi jika kalian belum campur dengan istri kalian itu (yang sudah kalian ceraikan), maka tidak berdosa bagi kalian menikahinya, (dan diharamkan bagi kalian) istri-istri anak kandung kalian (menantu) dan menghimpunkan (dalam pernikahan) dua wanita yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. an-Nisa’: 23)
Allah Ta’ala juga berfirman,
وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاء بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاء بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُوْلِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاء وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِن زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعاً أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Dan janganlah mereka (wanita beriman) menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengetahui tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya supaya diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kalian beruntung.” (Qs. an-Nur: 31)
Keadaan Kedua

Ikhtilat yang berdosa, yaitu ikhtilat yang tujuannya adalah zina dan kerusakan, maka hukumnya haram berdasarkan nash dan ijma’ . Di antaranya, Allah Ta’ala berfirman,
وَلاَ تَقْرَبُواْ الزِّنَى إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاء سَبِيلاً

“Janganlah kalian mendekati zina. Sesungguhnya zina itu merupakan perbuatan yang keji dan jalan yang buruk.” (Qs. al-Isra’: 32)
Allah Ta’ala juga berfirman,
وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهاً آخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَاماً

“Dan orang-orang yang tidak menyembah Ilah (sesembahan) yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk dibunuh) kecuali dengan alasan yang benar, dan tidak berzina. Barangsiapa yang melakukan demikian itu, niscaya akan mendapatkan (pembalasan) dosanya.” (Qs. al-Furqan: 68)
Keadaan Ketiga

Ikhtilat di antara non-mahram yang terjadi di sekolah-sekolah, kantor, jalan-jalan, rumah sakit, bus-bus, dan tempat-tempat umum lainnya. Ikhtilat ini bisa sebagai jalan bagi terfitnahnya laki-laki dengan wanita, atau sebaliknya. Maka, hukum ikhtilat yang seperti ini terlarang, karena ditinjau dari adanya saling ketertarikan antara laki-laki dan perempuan akan mengantarkan kepada jenis ikhtilat kedua yaitu berupa kerusakan, kekejian, dan kemungkaran. Sebagaimana kaidah:
الوَسَائِلُ لَهَا حُكْمُ المَقَاصِدِ

“Sarana memiliki hukum sebagaimana tujuan.” [1]
وَسِيلَةُ المَقْصُودِ مَقْصُودَةٌ

“Sarana yang mengantarkan kepada tujuan (hukumnya) seperti tujuan.”
Akan tetapi, terdapat berbagai permasalahan tentang jenis ikhtilat ketiga ini, yang sudah tersebar secara umum, khususnya di negara Aljazair, yang menimbulkan beberapa pertanyaan:

1. Apakah dosa ikhtilat ini didapatkan oleh laki-laki dan wanita sekaligus, meskipun ada kebutuhan (syar’i) dan darurat, atau mereka tidak berdosa? Atau apakah dosanya hanya didapatkan oleh salah satu dari mereka?

2. Apakah dosa ikhtilat ini hukumnya tetap, meskipun aman dari fitnah atau berubah hukumnya? Apakah dosanya itu disebabkan oleh keluarnya wanita, sehingga terjadilah ikhtilat dengan para laki-laki, (serta) karena mereka telah menyelisihi perintah untuk tetap tinggal di rumah sebagaimana asalnya. Apakah wanita tidak berdosa jika wanita itu keluar dari rumahnya karena adanya kebutuhan syar’i dan keadaan darurat, dengan tetap menjaga aturan-aturan syariat saat keluar dari rumah?

3. Apakah semua laki-laki yang langsung berikhtilat dengan wanita adalah lelaki yang berdosa? Ataukah dosa mereka dilihat dari sisi yang lain, yaitu karena mereka tidak memelihara dan mengambil sarana-sarana agar tidak terjatuh ke dalam fitnah dan kerusakan, yaitu dengan menahan pandangan, bertakwa kepada Allah sesuai dengan kemampuan ketika bermuamalah dengan para wanita, berpuasa, dan sarana-sarana lainnya yang dapat menjaga agama serta menjauhkan hati dari ketertarikan terhadap wanita?

Ini adalah Permasalahan-permasalahan yang Terjadi Tentang Ikhtilat Jenis yang Ketiga, Sehingga Memerlukan Pembahasan dan Perincian

Sebab Terjadinya Ikhtilat

Layak untuk diperhatikan, bahwa sebab munculnya fitnah wanita adalah keluarnya mereka dari tempat asalnya, yaitu (hendaknya mereka) tetap berada di dalam rumah mereka, sehingga tidak berikhtilat dengan para laki-laki dan berhias di hadapan mereka. Hal tersebut disebabkan oleh pembenaran dan pengamalan atas firman Allah Ta’ala,
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى

“Hendaklah kalian (para wanita) tetap berada dirumah-rumah kalian dan janganlah kalian berhias sebagaimana berhiasnya orang-orang jahiliyah zaman dulu.” (Qs. al-Ahzab: 33)
Oleh karena itu, syariat tetap memerintahkan mereka untuk tinggal di rumah-rumah mereka dan melarang mereka keluar dari rumah kecuali jika ada kebutuhan syar’i. Sebagaimana telah disebutkan oleh hadits Saudah binti Zum’ah radhiyallahu ‘anha,
قَدْ أَذِنَ اللهُ لَكُنَّ أَنْ تَخْرُجْنَ لِحَوَائِجِكُنَّ

“Allah telah mengizinkan kalian (para wanita) untuk keluar untuk kebutuhan kalian.” [2]
Yaitu, wanita yang keluar untuk memenuhi kebutuhannya. Khususnya, jika tidak ada orang yang menafkahi dia, atau dia keluar untuk perkara-perkara yang memang dibutuhkan atau kewajiban seperti menyambung tali silaturahim, serta yang terkait dengan kebutuhan wanita lainnya, selama aman dari fitnah.

Dengan demikian, bolehnya wanita keluar dari rumahnya pada keadaan tersebut merupakan pengecualian dari hukum asal, yaitu wanita tetap tinggal di rumah.

Berbeda hukumnya dengan laki-laki. Ketika mereka keluar untuk bekerja dan mencari rezeki, maka mereka memang diperintahkan untuk menafkahi keluarganya. Berdasarkan firman Allah Ta’ala,
لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِ

“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya.” (Qs. ath-Thalaq: 7)
Juga firman Allah Ta’ala,
وَعلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“Dan kewajiban ayah adalah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf.” (Qs. al-Baqarah: 233)
Allah mewajibkan bagi laki-laki untuk memberi nafkah pada istrinya dan menjadi pemimpin atas semua urusannya. Allah Ta’ala berfirman,
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاء بِمَا فَضَّلَ اللّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُواْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ

“Laki-laki adalah pemimpin bagi para wanita karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), serta karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (Qs. an-Nisa’: 34)
Maka, laki-laki adalah qayyim bagi para wanita yaitu pemimpinnya dan menjadi hakim atasnya. Hal ini disebabkan oleh keutamaan yang ada pada laki-laki daripada wanita, serta karena laki-laki telah memberi nafkah dan mahar kepada mereka, sehingga layak untuk memimpin mereka (wanita). [3]
Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ

“Bagi laki-laki ada mempunyai satu tingkatan lebih daripada wanita.” (Qs. al-Baqarah: 228)
Sama saja, baik dia sebagai wali atau sebagai suami, sampai para wanita tetap berada di rumah. Para wanita alam akan ditanyai tentang tempat yang menjadi tanggungjawabnya. Sebagaiman sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
وَالمرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى أَهْلِ بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ

“Wanita adalah pemimpin di rumah tangga suami dan pemimpin anak-anaknya, dan dia akan ditanya tentang mereka.” [4]
Dalil-dalil ini menegaskan dan menguatkan tentang hukum asal tempat wanita (yaitu, di rumahnya), sebagaimana firman Allah Ta’ala,
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى

“Tetaplah kalian berada dirumah-rumah kalian dan janganlah kalian berhias sebagaimana berhiasnya orang-orang jahiliyah zaman dulu.” (Qs. al-Ahzab: 33)
Oleh karena itu, tidak boleh bagi para laki-laki untuk masuk ke dalam rumah wanita, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Hati-hatilah kalian ketika masuk ke dalam (rumah) wanita. Salah seorang sahabat dari kalangan Anshar berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang saudara ipar?” Beliau menjawab, “Saudara ipar adalah al-maut (bahaya).” [5]
Meskipun wanita diperbolehkan keluar dari tempat asalnya (rumahnya) karena adanya pengecualian, tetapi dipersyaratkan bahwa hal tersebut boleh jika aman dari fitnah dan tetap menunaikan aturan-aturan syariat [6].

Di antara syarat tersebut adalah tetap mengenakan jilbab, tidak memakai parfum, berjalan di tepi jalan bukan malah di tengahnya, dengan tetap menjaga diri dari perbuatan atau gerakan tubuh yang dapat mengundang perhatian dan syahwat para laki-laki, dalam rangka untuk menjaga diri dari jerat-jerat setan dan menjauhkan diri dari tipu dayanya, karena setan selalu memerintahkan kepada perbuatan keji dan mungkar. Demikian juga, jiwa manusia itu cenderung untuk memerintahkan kepada keburukan, karena hawa nafsu itu bisa membutakan orang dan membuat orang tidak mampu lagi mendengar (nasihat).

Fitnah ini terjadi karena wanita keluar dari tempat asalnya (rumah) tanpa ada kebutuhan syar’i dan keadaan yang mengharuskan dia (untuk keluar). Maka, tidak diragukan lagi kalau wanita tersebut berdosa, karena dia menjadi penyebab fitnah.

Adapun laki-laki, maka dia tidak berdosa jika dia benar-benar mengingkari hal tersebut sebisa mungkin, demi penjagaan terhadap agama dan keselamatan kehormatannya. Demikian ini dilakukan dengan menempuh penyebab yang dapat menjaga supaya tidak tertarik kepada para wanita dan terjerumus ke dalam jerat-jerat mereka. [7]

Tidak mengapa bila wanita yang keluar dari rumah karena adanya kebutuhan syar’i, berdasarkan hadits Saudah binti Zum’ah radhiyallahu ‘anha sebelumnya, tetapi dengan syarat: tidak menimbulkan fitnah, dengan tetap memegang dan melaksanakan aturan-aturan syariat. [8]

Perlu diketahui bahwa ikhtilat yang demikian ini tidaklah diharamkan zat-nya. Oleh karena itu, terdapat kaidah fikih yang menyatakan:

مَا حُرِّمَ لِذَاتِهِ يُبَاحُ عِنْدَ الضَّرُورَةِ وَمَا حُرِّمَ لِغَيْرِهِ يُبَاحُ عِنْدَ الحَاجَة

“Sesuatu yang diharamkan zat-nya adalah dibolehkan ketika keadaan darurat, dan sesuatu yang diharamkan karena sebab yang lainnya adalah dibolehkan ketika ada kebutuhan.”

مَا حُرِّمَ سَدًّا لِلذَّرِيعَةِ أُبِيحَ لِلْمَصْلَحَةِ الرَّاجِحَةِ

“Sesuatu yang diharamkan untuk menutup jalan terhadap sesuatu yang haram adalah diperbolehkan jika ada maslahat yang lebih kuat.”

Di antara contoh kaidah ini adalah firman Allah Ta’ala,
قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ

“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya. Yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu yang mereka perbuat.” (Qs. an-Nur: 30)
وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ

“Katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya”. (Qs. an-Nur: 31)
Ketika menjelaskan sisi pendalialan ayat ini, Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Ketika menundukkan pandangan merupakan cara utama untuk menjaga kemaluan, maka penyebutannya didahulukan. Ketika haramnya (melihat wanita) disebabkan oleh keharaman wasilah atau sarana, maka dibolehkan (memandang wanita), jika ada maslahat yang lebih besar, dan diharamkan jika dikhawatirkan dapat menimbulkan kerusakan. Maslahat yang lebih besar ini dengan kerusakan (akibat memandang wanita) bukan merupakan hal yang dipertentangkan, karena Allah tidaklah memerintahkan menundukkan pandangan secara mutlak. Akan tetapi, Allah memerintahkan untuk menundukkan sebagian pandangan. Adapun menjaga kemaluan, maka hukumnya wajib dalam setiap keadaan, tidaklah dibolehkan kecuali terhadap orang yang halal. Hal ini disebabkan oleh keumuman perintah untuk menjaga kemaluan.” [9]

Di antara dalil dari sunnah Nabi yang menunjukkan kaidah ini adalah:

“Pada suatu hari, Ummu Kultsum binti Uqbah bin Abi Mu’aith keluar untuk melakukan safar ke rumah Rasulullah shallallahu’ alaihi wa sallam, ketika itu dia sudah tua. Maka, datanglah suaminya untuk meminta Rasullallah shallallahu’ alaihi wa sallam supaya mengembalikan Ummu Kultsum kepadanya. Akan tetapi Rasullallah shallallahu’ alaihi wa sallam tidak mengembalikan Ummu Kultsum kepadanya, sehingga turun ayat tentang wanita ini,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا جَاءكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ اللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ

“Wahai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka. Jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka, janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir.” (Qs. al-Mumtahanah: 10)
Demikian juga, safarnya Aisyah radhiyallahu ‘anha ketika tertinggal (dari rombongan Nabi) bersama Shafwan bin Muatthal. [11]

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Terlarangnya berdua-duaan dengan wanita non-mahram, safar dengannya, dan memandangnya adalah karena (seluruh hal tersebut) akan menimbulkan kerusakan. Oleh karena itu, maka wanita dilarang untuk melakukan safar, kecuali jika dia bersafar bersama dengan suami atau mahramnya….

Sesungguhnya, hal tersebut terlarang dengan tujuan untuk mencegah jalan menuju suatu hal yang haram. Hal ini dibolehkan jika ada maslahat yang lebih besar, sebagaimana dibolehkan memandang wanita yang akan dilamar. Dengan demikian, safar bersama wanita yang dikhawatirkan keselamatannya, seperti safarnya wanita dari negeri kafir, sebagaimana yang dilakukan oleh Ummu Kultsum, serta safarnya Aisyah ketika tertinggal (dari rombongan Nabi) bersama Shafwan bin Muatthal adalah safar yang tidak terlarang, kecuali jika hal tersebut malah mengantarkan kepada kerusakan. Jika hal tersebut untuk meraih maslahat yang lebih besar, maka (pertimbangan akan) kerusakan atau mafsadatnya menjadi terabaikan.” [12]

Dengan demikian, jika tidak ada kebutuhan syar’i, maka terlarang bagi wanita untuk keluar (dari rumahnya). (Hal ini adalah) dalam rangka mencegah kerusakan.
 
Telah terdapat nash-nash dari sunnah Nabi yang menegaskan perkara ini, di antaranya:

Tidak disukai bagi wanita bila mereka keluar untuk mengiringi jenazah, sebagaimana hadits Ummu Athiyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata,
كُنَّا نُنْهَى عَنِ اتِّبَاعِ الجَنَائِزِ، وَلَم يُعْزَمْ عَلَيْنَا

“Kami dilarang untuk mengiringi jenazah, namun bukanlah larangan yang ditekankan kepada kami.” [13]
Di antara sebab penjagaan dari terjadinya ikhtilat adalah larangan ikhtilat didalam shaf ketika shalat. Nabi shallallahu’ alaihi wa sallam bersabda,
خَيْرُ صُفُوفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا، وَخَيْرُ صُفُوفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا

“Shaf terbaik bagi laki-laki adalah paling depan sedangkan yang terjelek adalah paling belakang, dan shaf terbaik bagi wanita adalah paling belakang sedangkan terjelek adalah paling depan.” [14]
Maka Nabi menginginkan jauhnya tempat wanita dari para laki-laki, dan menjadikan shaf terakhir wanita sebagai shaf terbaik baginya. Ini menunjukkan bahwa Islam sangat memperhatikan jauhnya tempat wanita dari para laki-laki. Demikian juga Nabi bersabda kepada para wanita,
لاَ تَرْفَعْنَ رُؤوسَكُنَّ حَتَّى يَسْتَوِيَ الرِّجَالُ جُلُوسًا

“Janganlah kalian (para wanita) mengangkat kepala kalian sehingga sama dengan posisinya laki-laki ketika duduk.” [15]
Nabi shallallahu’alaihi wa sallam telah memberi berita tentang bahaya ikhtilat dan segala sesuatu yang dapat mengantarkan kepada tersebarnya keburukan dan kerusakan disebabkan fitnah wanita, serta bahaya keluarnya wanita (dari rumahnya). Dalam sabda beliau,
مَا تَرَكْتُ فِتْنَةً أَضَرَّ بِهَا عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ

“Tidaklah aku meninggalkan fitnah yang lebih berbahaya bagi para laki-laki kecuali fitnah wanita.” [16]
فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ، فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ

“Hati-hatilah kalian terhadap fitnah dunia dan fitnah wanita, karena fitnah yang pertama kali menimpa Bani Israil adalah fitnah wanita.” [17]
إِيَّاكُمْ وَالدُّخُولَ عَلَى النِّسَاءِ. قَالُوا: أَرَأَيْتَ الحَمْوَ؟ قَالَ: الحَمْوُ المَوْتُ

“Hati-hatilah kalian ketika masuk ke dalam (rumah) wanita.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulallah bagaimana menurutmu tentang saudara ipar?” Beliau menjawab, “Saudara ipar adalah al-maut (bahaya).”
Demikian juga, tafsir Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu terhadap firman Allah Ta’ala,
يَعْلَمُ خَائِنَةَ الأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُورُ

Dia mengetahui mata yang berkhianat dan apa yang disembunyikan didalam dada.” (Al Mukmin: 19)
“Yaitu, seorang laki-laki yang berada dalam suatu kampung, kemudian ada seorang wanita yang melewati kampung tersebut, maka laki-laki tadi memperlihatkan kepada warga kampungnya bahwa dia adalah orang yang menundukkan pandangan terhadap wanita tadi, sedangkan jika warga kampung lalai maka laki-laki tadi melihat wanita tersebut, maka jika laki-laki tadi khawatir terhadap warga kampungnya maka dia tundukkan pandangannya. Padahal Allah mengetahui apa yang ada didalam hatinya bahwa hatinya menginginkan untuk melihat aurat wanita tersebut.”

وإذا كان الله تعالى وصف اختلاس النظر إلى ما لا يحلُّ من النساء بأنَّها خائنة، -ولو كانت في بيوت محارمها- فكيف بالاختلاط الآثم المؤدِّي إلى الهلكة.

Maka apabila Allah menyifati memandang wanita yang tidak halal baginya merupakan pandangan khianat, meskipun berada di rumah mahram wanita tersebut, maka bagaimana lagi dengan ikhtilat terlarang yang dapat menghantarkan kepada kebinasaan?

Tidak diragukan lagi bahwa penurunan dan kerusakan akhlak akan melemahkan umat dan kekuatan suatu bangsa, sebagaimana perkataan seorang penyair,

Sesungguhnya yang tersisa dari masyarakat adalah akhlak.
Jika akhlak sudah tidak ada, maka hancurlah masyarakat.

Seorang laki-laki jika pergi ke kantor tempat dia kerja untuk mencari rezeki, maka tidak ada tuntutan supaya kembali ke rumahnya, meskipun tempat kerjanya tidaklah terbebas dari fitnah wanita. Akan tetapi, dia dituntut untuk memutus segala sebab yang dapat mendatangkan fitnah, yaitu dengan menundukkan pandangan, berhati-hati ketika berbicara dengan mereka (wanita), bertakwa kepada Allah dengan menjauhi (tempat) wanita sebisa mungkin. [19]

Hanya saja, hal tersebut (kembali ke rumah) dituntut bagi wanita yang keluar dari tempat asalnya (rumah), maka wanita tersebut berdosa karena telah menyelisihi dalil-dalil yang memerintahkan kepada wanita untuk tetap tinggal di rumahnya.

Selain itu, wanita tersebut berdosa karena sebab berhias ketika keluar rumah, membuka wajah, atau malah seperti orang yang tidak berpakaian. Ini merupakan fitnah yang sangat berbahaya bagi para laki-laki, seluruh umat, dan agama.

Maka, bagi laki-laki yang berada di tempat kerjanya tidaklah berdosa jika dia berusaha menjaga agama dia sebisa mungkin, karena memberi nafkah kepada keluarga dan orang yang menjadi tanggungannya merupakan kewajiban baginya. Berbeda dengan wanita, dia adalah orang yang diberi makan. [20]

Yang penting untuk jadi perhatian adalah bahwa jika ada wanita yang keluar untuk kebutuhan syar’i, seperti menuntut ilmu syar’i, yang mana ilmu tersebut tidak dapat diperoleh kecuali dengan keluar rumah dan ilmu tersebut diperlukan untuk menjaga dirinya dari api neraka, karena mengamalkan firman Allah Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا

“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri-diri kalian serta keluarga kalian dari api neraka.” (Qs. at-Tahrim: 6)
Maka, keluarnya wanita tersebut dari rumahnya tidaklah berdosa dan tercela, karena untuk mendapatkan maslahat (manfaat) yang lebih besar, sebagaimana telah berlalu penjelasannya. Menjaga diri agar tidak terjerumus kedalam api neraka hanya bisa didapatkan dengan iman dan amal shalih, dan tidaklah mungkin memperoleh keduanya kecuali dengan ilmu syar’i yang benar, sebagaimana kaidah:
ما لا يتمُّ الواجب إلاَّ به فهو واجب

“Suatu kewajiban tidak dapat sempurna kecuali dengan perkara yang lain, maka perkara tersebut hukumnya menjadi wajib.”
Kemudian, jika wanita yang keluar rumah untuk tujuan bekerja dan memelihara kehidupannya karena sudah tidak ada lagi orang yang menafkahinya saja diperbolehkan, maka keluarnya wanita untuk menegakkan agama dia lebih diperbolehkan lagi. Akan tetapi, keluarnya wanita tersebut tetap disyaratkan menjaga aturan-aturan syariat dan aman dari fitnah.

Kesimpulannya:

Merupakan kewajiban seorang laki-laki untuk berusaha sekuat tenaga mencari tempat kerja yang terhindar dari fitnah wanita atau paling tidak, sedikit fitnahnya, sebagai pengamalan kaidah “mencegah kerusakan lebih utama dari kehilangan kebaikan.”

Akan tetapi, jika tidak ada tempat kerja yang demikian, dan hal ini lebih banyak dan lebih umum, maka boleh baginya untuk pergi ke tempat kerja dan menyibukan diri dengan pekerjaannya untuk memenuhi nafkahnya dan keluargannya. Sedangkan berikhtilatnya dengan wanita di tempat kerja tidaklah menjadi sebab untuk meninggalkan pekerjaannya.

Serta, tidaklah menjadi dosa baginya jika dia menjaga dirinya, membenci keadaannya itu, dan mengingkarinya walau dengan tingkatan pengingkaran yang paling rendah, sehingga dia tidak ridha dengan kemaksiatan yang terjadi karena ikhtilat tersebut. Hal tersebut berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Jika kesalahan di muka bumi dilakukan, maka orang yang menyaksikannya dan membencinya –atau di riwayat yang lain, “…dan mengingkarinya,” maka dia seperti orang yang tidak menghadirinya. Sedangkan orang yang tidak menghadirinya dan dia ridha dengannya, maka dia seperti orang yang menyaksikannya.” [21]

Sebagai padanannya adalah ikhtilat yang terjadi karena darurat, kepentingan yang mendesak dan keluarnya wanita dengan kaidah-kaidah syar’yiyah, seperti yang terjadi di tempat-tempat ibadah, tempat-tempat shalat, atau seperti yang terjadi pada pelaksanaan manasik haji dan umrah [22] di kedua tanah haram, maka hal itu tidaklah terlarang.

Sebabnya adalah, keadaan darurat dan kepentingan tersebut merupakan pengecualian dari hukum asalnya, ditinjau dari satu sisi. Ditinjau dari sisi yang lain, kerusakan yang ditimbulkan oleh fitnah tersebut juga tertutup oleh kebaikan ibadah karena “jenis amal yang diperintahkan lebih utama dari jenis hal yang dilarang”, seperti yang tercantum dalam kaidah umum.

Adapun orang yang menyelisihi hukum asal wanita untuk tinggal di rumah dan keluar menuju pintu-pintu fitnah tanpa sebab yang membolehkannya atau tanpa ketentuan-ketentuan syari’ah berupa tabarruj, tanpa kerudung, telanjang, dan aib, maka dia lebih memilih perbuatan dosa.
Ilmu hanyalah di sisi Allah Ta’ala, dan akhir seruan kami adalah segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. Salawat dan keselamatan semoga selalu tercurah kepada Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, keluarganya, sahabat-sahabatnya, dan saudara-saudaranya sampai hari kebangkitan.

Al Jazair 28 Sya’ban 1428 H, bertepatan dengan 10 September 2007 M.

Catatan Kaki:
[1] Lihat keadaan ketiga dalam fatwa dan risalah Syekh Muhammad bin Ibrahim Ali asy-Syaikh (10/35–44).
[2] Dikeluarkan oleh Bukhari dalam (Nikah), bab “Keluarnya Wanita untuk Kebutuhannya”: (4939), Muslim dalam (Salam), bab “Bolehnya Keluarnya Wanita untuk Menunaikan Keperluan Manusia”: (5668), Ahmad: (23769), Baihaqi dalam (Sunan Kubra): (13793), dari hadist ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.
[3] Tafsir Ibnu Katsir (1/491).
[4] Bukhari mengeluarkannya dalam (Ahkam), bab Firman Allah: ” taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu”: (7138), Muslim dalam (Imaroh) bab Keutamaan Pemimpin yang Adil dan Balasan Bagi yang Zalim”: (1829), Abu Daud dalam (Kharaj dan Imaroh), bab “Apa yang harus dipenuhi pemimpin dari hak rakyat: (2928) dan Turmudzi dalam (Jihad), bab “Hal-hal tentang Pemimpin”: (1705), dari hadist Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma.
[5] Bukhari mengeluarkannya dalam (Nikah), bab “Laki-laki Tidak Bertamu kepada Perempuan Kecuali Mahramnya”: (4934), Muslim dalam (Salam), bab “Larangan Berduaan dengan Wanita yang Bukan Mahram dan Bertamu Kepadanya”: (5674), Turmudzi dalam (Radha’), bab “Hal-hal Tentang Dibencinya Bertamu Kepada Istri-istri yang Ditinggal Suaminya”: (1171), dan Ahmad: (16945), dari hadist Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu.
[6] Syekh Abdullah bin Abdurrahman bin Jibrin rahimahullah ditanya tentang wanita yang belajar di universitas yang bercampur-baur antara laki-laki dan perempuan, Beliau menjawab:
“Kami memberikan wasiat kepadamu untuk memegang teguh agama, selalu menggunakan hijab syar’i dan besemangat untuk menutup diri, menjauhi ikhtilat, menyelisihi laki-laki, serta menjaga diri dari sebab-sebab kemaksiatan dan dosa. Kami juga mewasiatakan kepadamu untuk bersemangat dalam menaati ibu dan membahagiakannya, mencari keridhaannya semampunya untuk melanjutkan pendidikan jika aman dari fitnah. Jika diperlukan untuk masuk sekolah yang terdapat ikhtilat di dalamnya, hendaknya setiap pemudi menjauhi pemuda dan menutup diri, dan tidak menampakkan perhiasan dengan semampunya. Wallahu A’lam. (Dari situs resmi Syekh Abdullah bin Abdurrahman bin Jibrin rahimahullah, no. fatwa: 12636)
[7] Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah ditanya, “Bolehkan seorang muslim masuk pasar sedangkan dia tahu bahwa di dalamnya ada wanita yang berpakaian tapi telanjang dan ada ikhtilat yang tidak diridhai Allah ‘Azza wa Jalla? Beliau menjawab:
“(Pasar yang seperti itu tidak boleh dimasuki kecuali bagi orang yang akan melakukan amar ma’ruf nahi munkar, atau untuk keperluan mendesak dengan menundukan pandangan dan berhati-hati dari sebab-sebab fitnah, demi menjaga kehormatannya, dan menjauhi keburukan).” (Fatawa –Kitab Dakwah Syekh Bin Baz (2/227, 228). Lihat: [Fatawa Wanita Muslimah] memperhatikannya Ibnu Abdul Maqsud: (2/574), Adhwa’ Assalaf, Dar Ibnu Hazm)
Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah ditanya, “Di universitas kami di Mesir banyak terjadi ikhtilat antara mahasiswa dan mahasiswi, lalu apa yang harus kami lakukan sedangkan kami membutuhkan pendidikan itu untuk melayani Islam dan kaum muslimin di negara kami, dan tidak membiarkan tempat-tempat tersebut diambil alih oleh non-muslim sehingga mereka bisa menguasai urusan-urusan kaum muslimin yang penting, seperti: kedokteran, teknik, dan lainnya? Beliau menjawab:
“Ikhtilat antara laki-laki dan perempuan adalah fitnah yang besar, maka jagalah diri kalian darinya sebisa mungkin, dan ingkarilah semampunya. Kami memohon keselamatan kepada Allah bagi diri kami dan kalian.” (Dari risalah Syekh dengan tulisan tangannya, pada tanggal 4/4/1406 H, dari Fatawa Syekh Muhammad Shaleh Al ‘Utsaimin (2/896). Lihat: (Fatawa Wanita Muslimah) yang diperhatikan Ibnu Abdul Maqsud: (2/572), Adhwa’ Assalaf – Dar Ibnu Hazm)
Syekh Abdullah bin Abdurrahman bin Jibrin rahimahullah ditanya tentang permasalan bermu’amalah dengan wanita saat bekerja. Beliau menjawab:
“Kami menasihatkan kepadamu untuk meninggalkan pekerjaan yang terdapat ikhtilat dengan wanita, apalagi jika mereka tidak berkerudung. Akan tetapi jika Anda harus melakukan pekerjaan itu, menjadi kewajiban Anda untuk mengarahkan mereka untuk berhijab dan menutup diri. Hendaknya Anda tidak berbicara dengan mereka kecuali seperlunya saja, tanpa disertai lemah-lembut dan kegenitan. Jangan berduaan dengan salah satu dari mereka, bahkan jangan duduk bersama mereka kecuali darurat dengan kondisi ruangan yang tidak tertutup dan terdapat kumpulan orang laki-laki dan perempuan. Anda juga harus mengarahkan wanita-wanita tersebut untuk menjauhi kumpulan laki-laki demi keamanan dan menjauhi fitnah beserta sebab-sebabnya.” (Dari situs resmi Syekh Abdullah bin Abdurrahman bin Jibrin rahimahullah, no. fatwa: 12627)
[8] Syekh Shaleh bin Fauzan bin Abdullah Al Fauzan hafizahullah ditanya, “Apa hukum percakapan antara wanita dengan pemilik toko baju dan penjahit? Beserta arahan secara umum bagi wanita.” Beliau menjawab, “Pembicaraan seorang perempuan dengan pemilik toko adalah pembicaraan yang sesuai kebutuhan, tidak ada fitnah di dalamnya maka tidaklah mengapa. Kaum wanita hendaklah berbicara dengan laki-laki dalam kebutuhan dan urusan-urusan yang tidak mengandung fitnah sesuai dengan kebutuhan. Adapun jika disertai dengan canda dan basa-basi atau dengan suara yang mengundang fitnah, maka hal itu terlarang dan tidak diperbolehkan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (Qs. al-Ahzab: 32), dan perkataan yang baik atau ma’ruf adalah perkataan yang dimengerti oleh manusia dan sebatas kebutuhan.
Adapun selebihnya, berupa canda, basa-basi, suara yang mengandung fitnah, atau hal lainnya, atau membuka wajahnya di depan pemilik toko, membuka hastanya atau telapak tangannya, maka semuanya itu adalah hal yang haram, munkar, mengundang fitnah, dan merupakan sebab terjatuhnya dalam perbuatan keji. Wajib bagi seorang wanita muslimah yang takut kepada Allah untuk bertakwa kepada-Nya, dan tidak berbicara kepada laki-laki dengan perkataan yang mengundang fitnah terhadap hati-hati mereka, dan menjauhi hal-hal tersebut. Apabila perlu untuk pergi ke toko atau tempat yang ada laki-lakinya, maka hendaklah malu, menutup diri dan beradab dengan adab Islam. Dan jika berbicara dengan laki-laki hendaklah berbicara dengan baik, tanpa fitnah dan kebimbangan di dalamnya. (Al-Mufti dari Fatawa Syekh Shaleh bin Fauzan: 3/156, 157)
[9] Raudhatul Muhibbin, Ibnul Qayyim (92).
[10] Bukhari mengeluarkannya dalam (Syuruth) (5/312), bab “Hal-hal yang Boleh dari Syarat-syarat dalam Islam, Hukum-hukum dan Penjelasan”, no. (2711, 2712), dari hadist Marwan dan Masurah bin Makhzamah radhiyallahu ‘anhuma.
[11] Bukhari mengeluarkannya dalam (Maghazy) (7/431), bab “Hadits Ifki”, No (4141), dan Muslim dalam (Taubat) (17/102), bab “Hadist Ifki dan Diterimanya Tobat Penuduh Zina”, dari hadist ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.
[12] Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyah (23/186–187).
[13] Bukhari mengeluarkannya di (Janaiz), bab “Wanita Mengikuti Jenazah”: (1219). Muslim di (Janaiz), bab “Larangan bagi Wanita untuk Mengikuti Jenazah”: (2166), dan Ahmad: (26758), dari hadist Ummu ‘Athiyah radhiyallahu ‘anha.
[14] Muslim mengeluarkannya di (Shalat), bab “Meluruskan shaf, Menegakkannya, dan Keutamaan Shaf yang Pertama”: (1013), Abu Daud dalam (Shalat), bab “Shaf Wanita dan Tidak Disukainnya Terlambat dari Shaf Pertama”: (687), Turmudzi dalam (Shalat), bab “Hal-hal Tentang Keutamaan Shaf Pertama”: (224), Nasa’i dalam (Imamah), bab “Shaf Perempuan”: (1053), dan Ahmad: (7565), dari hadist Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
[15] Bukhari mengeluarkannya dalam (Shalat), bab “Jika Baju Sempit”: (355), Muslim dalam (Shalat), bab “Perintah bagi Wanita yang Shalat Di Belakang Laki-laki untuk Tidak Mengangkat”: (986), Abu Daud dalam (Shalat), bab Laki-laki yang Mengikat Baju Di Tengkuknya Kemudian Shalat”: (530), Nasa’i dalam (Qiblat), bab “Shalat Dengan Sarung”: (766) dan Ahmad: (15134), dari hadist Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu.
[16] Bukhari mengeluarkannya dalam (Nikah), bab “Apa yang Dijaga dari Kesialan Wanita: (4808), Muslim dalam (Riqaq), bab “Mayoritas Penghuni Surga Adalah Orang-orang Miskin dan Mayoritas Penghuni Neraka Adalah Wanita”: (6945), Turmudzi dalam (Adab), bab “Riwayat Tentang Ancaman dari Fitnah Wanita”: (2780), Ibu Majah dalam (Fitan), bab “Fitnah Wanita”: (3989) dan Ahmad: (21239), dari hadist ‘Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma.
[17] Muslim mengeluarkannya dalam (Zikir dan Do’a), bab “Mayoritas Penghuni Surga Adalah Orang-orang Miskin dan Mayoritas Penghuni Neraka”: (6948), Turmudzi dalam (Fitan), (2191), Ibu Majah dalam (Fitan), bab “Fitnah Wanita”: (4000). Ibnu Hiban: (3221), Ahmad: (10785), dan Baihaqi: (6746) dari hadist Abu Sa’id al-Khudry radhiyallahu ‘anhu.
[18] Ibnu Abi Syaibah mengeluarkannya dalam (Mushanaf): (13246), Sa’id bin Manshur, Ibnu Mundzir dan Ibnu Abi Hatim mengeluarkannya seperti yang dikatakan Al Jalal Suyuthi dalam (Darul Matsur): (7/282), dan Ibnu Katsir menyebutnya dalam tafsirnya: (7/123).
[19] Syekh Muhammad bin Shaleh Al ‘Ustaimin rahimahullah ditanya tentang hukum belajar di sekolah yang berikhtilat. Beliau menjawab, “Bagaimanapun kami katakan, wahai Saudaraku, Anda harus mencari sekolah yang tidak seperti itu. Jika tidak ada dan Anda membutuhkan pendidikan, maka hendaklah Anda membaca, belajar dan berusaha sekuat tenaga untuk menghindari perbuatan keji dan fitnah, dengan menundukkan pandangan, menjaga ucapan, tidak berbicara dengan perempuan dan tidak melewati mereka.” (Dari situs ‘Allamah Syekh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimain, Maktabah Fatawa: Fatawa Nur ‘ala Ad Darbi (Nashiyah): Ilmu)
[20] Syekh Abdullah bin Abdurrahman bin Jibrin rahimahullah ditanya tentang hukum belajar dan mengajar di sekolah yang berikhtilat. Beliau menjawab, “Terlarang bagi wanita untuk belajar di sekolah yang bercampur dengan laki-laki, baik itu sebagai murid ataupun sebagai guru; karena adanya fitnah dalam hal tersebut. Adapun laki-laki, maka boleh bagi mereka untuk belajar dengan berusaha keras untuk menundukkan pandangan dan menjauhi wanita-wanita yang tidak berkerudung. Wallahu a’lam.” (Dari situs resmi Syekh Abdullah bin Abdurrahman bin Jibrin rahimahullah, no. fatwa: 11661)
Dalam jawaban beliau yang lain, “Hal tersebut tidak diperbolehkan jika memiliki kemampuan untuk meninggalakannya. Wajib hukumnya untuk menjauhkan antara laki-laki dan perempuan di setiap jenjang pendidikan karena adanya fitnah dalam ikhtilat. Jika seorang murid laki-laki tidak mendapatkan sekolah selain itu, hendaklah dia berusaha keras untuk menjauhi pandangan dan ikhtilat yang akan menimbulkan fitnah. (Dari situs resmi Syekh Abdullah bin Abdurrahman bin Jibrin rahimahullah, no. fatwa: 11754)
[21] Abu Daud mengeluarkannya dalam (Malamih), bab “Perintah dan Larangan”: (4345), dan Thabari dalam (Mu’jam Kabir) (345) dari hadist Al ‘Ars Ibnu ‘Umairah Al Kindi radhiyallahu ‘anhu. Hadist dihasankan oleh Albani dalam (Shahih Jami’) (702) dan (Shahih Abi Daud) (4345).
[22] Lihat (Fatawa Syekh Muhammad bin Ibrahim) (10/22–44).

***

Penulis: Syeikh Muhammad Ali Farqus Al-Jazairi
Penerjemah: Ust. Didik Suyadi
Artikel: PengusahaMuslim.Com
Di-copas dari catatan Fadil Basymeleh
http://www.facebook.com/note.php?note_id=399384879012

Wednesday, September 1, 2010

Yang Tua Dihormati, Yang Kecil Disayangi

Tiada tatanan kehidupan yang lebih indah dari yang dibawa oleh syariat Islam. Konsep menuju kehidupan yang tenteram dan damai baik sebagai individu maupun kelompok telah dipaparkan dengan gamblangnya dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara konsep tersebut adalah keharusan menjalin kasih sayang kepada sesama muslim tanpa memandang usia, asal-usul serta status sosial.

Eratnya tali cinta kasih ini juga tidak terbatas ketika mereka sama-sama masih hidup, bahkan telah mati sekalipun. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengabadikan doa orang-orang yang beriman yang datang setelah kaum Muhajirin dan Anshar dalam Al-Qur’an:
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ ءَامَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: ‘Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha penyantun lagi Maha penyayang’.” (Al-Hasyr: 10)
Ucapan selamat dan doa kebaikan selalu muncul dari mulut mereka yang manis terhadap saudara-saudaranya. Coba kita lihat bagaimana bimbingan Nabi kita saat kita berziarah kubur. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membimbing mengucapkan doa:
السَّلَامُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ لَلَاحِقُونَ أَسْأَلُ اللهَ لَنَا وَلَكُمُ الْعَافِيَةَ

“Semoga kesejahteraan dilimpahkan atas kalian wahai penghuni kubur dari kaum mukminin dan muslimin. Sesungguhnya kami (juga) akan menyusul (kalian) insya Allah. Aku memohon keselamatan untuk kami dan kalian kepada Allah.”

(HR. Muslim, kitab Al-Janaiz no. 975)
Bahkan setiap tasyahud dalam shalat, kita membaca:
السَّلَامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِينَ

“Semoga kesejahteraan dilimpahkan kepada kita dan hamba-hamba Allah yang shalih.”
Inilah bentuk kecintaan yang bersumber dari hati-hati yang dalam. Kaum muslimin akan selalu kuat dan berwibawa manakala tali agama ini dipegang erat-erat. Dengannya, musuh-musuh agama ditimpa perasaan takut dan tidak bisa melihat umat ini dengan pandangan remeh.

Berikut akan kami uraikan dua permasalahan penting demi tercapainya suasana keakraban yang membuahkan kasih sayang di antara kaum muslimin.

Pertama: memuliakan orang yang lebih tua.

Menghormati orang yang tua bukan hanya budaya, namun bagian dari akhlak mulia dan terpuji yang diseru oleh Islam. Hal ini dilakukan dengan cara memuliakannya dan memerhatikan hak-haknya. Terlebih, bila disamping tua umurnya, juga lemah fisik, mental, dan status sosialnya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيْرَنَا وَيَعْرِفْ حَقَّ كَبِيرَنَا فَلَيْسَ مِنَّا

“Barangsiapa tidak menyayangi anak kecil kami dan tidak mengenal hak orang tua kami maka bukan termasuk golongan kami.”

(HR. Al-Bukhari dalam Al-Adab, lihat Shahih Al-Adab Al-Mufrad no. 271)
Hadits ini merupakan ancaman bagi orang yang menyia-nyiakan dan meremehkan hak orang yang sudah tua, di mana orang tersebut tidak di atas petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak menepati jalannya.

Menghormati mereka termasuk mengagungkan Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّ مِنْ إِجْلَالِ اللهِ إِكْرَامَ ذِي الشَّيْبَةِ الْمُسْلِمِ وَحَامِلِ الْقُرْآنِ غَيْرَ الْغَالِي فِيْهِ وَالْجَافِي عَنْهُ وَإِكْرَامَ ذِي السُّلْطَانِ الْمُقْسِطِ

“Sesungguhnya termasuk mengagungkan Allah adalah menghormati seorang muslim yang beruban (sudah tua), pembawa Al-Qur’an yang tidak berlebih-lebihan padanya (dengan melampaui batas) dan tidak menjauh (dari mengamalkan) Al-Qur’an tersebut, serta memuliakan penguasa yang adil.”

(HR. Abu Dawud dan dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih At-Tarhib no. 92)
Orang tua tentunya telah melewati berbagai macam tahapan hidup di dunia ini sehingga setumpuk pengalaman dimilikinya. Orang yang telah mencapai kondisi ini biasanya ketika hendak melakukan sesuatu telah dipikirkan matang-matang. Terlebih lagi, disamping banyak pengalamannya, juga mendalam ilmu dan ibadahnya. Ini berbeda dengan kebanyakan anak muda yang umumnya masih minim ilmunya, dangkal pengalamannya, dan sering memperturutkan hawa nafsunya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الْبَرَكَةُ مَعَ أَكَابِرِكُمْ

“Barakah itu bersama orang-orang tua dari kalian.”

(HR. Ibnu Hibban, Al-Hakim, dll, lihat Shahihul Jami’ no. 2884)
Mungkin kita bisa mengambil pelajaran dari fitnah Khawarij (kelompok sesat) di masa sahabat Ali radhiyallahu ‘anhu. Semangat mereka dalam mengamalkan agama tidak diimbangi dengan mengikuti pemahaman para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Para Khawarij yang umumnya dari kalangan muda terkadang berdalilkan dengan dalil-dalil syariat, sesuatu yang sebenarnya bukan dalil bagi mereka. Para sahabat yang mengetahui sebab turunnya ayat dan sebab periwayatan hadits tentunya lebih tahu maksudnya dari mereka. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan di antara ciri-ciri Khawarij yang akan muncul adalah:
سَيَخْرُجُ قَوْمٌ فِي آَخِرِ الزَّمَانِ أَحْدَاثُ الْأَسْنَانِ سُفَهَاءُ الْأَحْلَامِ

“Akan muncul di akhir zaman suatu kaum yang muda umurnya (para pemuda) yang bodoh akalnya.”

(HR. Al-Bukhari no. 6930)
An-Nawawi rahimahullahu menerangkan: “Diambil faedah dari hadits ini bahwa kekokohan dan kuatnya pandangan hati adalah ketika seorang telah sempurna umurnya, banyak pengalamannya, dan kuat pemahamannya.”

(Fathul Bari 12/287)

Mendahulukan orang yang lebih tua

Ada beberapa keadaan yang disyariatkan untuk mengutamakan orang yang lebih tua, di antaranya:

1. Dalam mengimami shalat.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits Malik bin Al-Huwairits radhiyallahu ‘anhu:
إِذَا حَضَرَتِ الصَّلَاةُ لِيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمُّكُمْ أَكْبَرُكُمْ

“Bila waktu shalat telah tiba maka hendaklah salah seorang kalian mengumandangkan adzan dan orang yang paling tua mengimami shalat kalian.”
(HR. Al-Bukhari no. 628)
Disebutkan dalam hadits lain, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang) artinya:
“Yang mengimami manusia adalah orang yang pandai membaca (memahami) Al-Qur’an. Bila dari sisi bacaan Al-Qur’an mereka sama maka yang paling tahu tentang sunnah. Bila pengetahuan mereka tentang sunnah sama maka yang paling dahulu berhijrah. Bila dalam hijrah mereka sama maka yang paling tua umurnya.” (HR. Muslim)
2. Dalam berbicara dan memberikan keterangan, kecuali yang kecil lebih tahu dan lebih mampu berbicara.
Disebutkan oleh Sahl bin Abi Hatsmah bahwa Abdullah bin Sahl dan Muhayyishah bertolak pergi menuju Khaibar yang pada saat itu ada ikatan perdamaian. Sesampainya di sana keduanya berada di tempat yang berbeda. Setelah itu Muhayyishah datang (menemui temannya), Abdullah bin Sahl, dan ternyata didapati dalam keadaan bersimbah darah, terbunuh. Muhayyishah lalu mengubur temannya kemudian pulang ke Madinah. Setelah itu Abdurrahman bin Sahl (saudara Abdullah yang terbunuh tersebut), Muhayyishah, dan Huwayyishah putra Mas’ud datang menghadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Abdurrahman yang waktu itu adalah orang paling kecil yang menghadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin berbicara, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “Hendaknya yang paling tua yang berbicara.” Maka kedua temannya yang berbicara dan Abdurrahman diam.” (HR. Al-Bukhari no. 3173)
Perhatikanlah. Meski seorang dalam keadaan tertimpa musibah namun seorang tetap menjaga adab-adab agamanya.

3. Dalam pemberian.

Sebagaimana hadits yang diceritakan oleh Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa ia melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersiwak (membersihkan gigi dan lisan dengan batang siwak), lalu beliau memberikan siwak tadi kepada orang yang paling tua. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan:
إِنَّ جِبْرِيلَ أَمَرَنِي أَنْ أُكَبِّرَ

“Sesungguhnya Jibril memerintahkan aku untuk memberikan kepada yang paling tua.”
(lihat Ash-Shahihah no. 1555, dan hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad)
Ibnu Baththal rahimahullahu mengatakan: “Dalam hadits ini ada faedah yaitu mengutamakan orang yang sudah berusia lanjut dalam pemberian siwak. Masuk pula dalam hal ini mendahulukan dalam hal diberi makanan dan minuman, berjalan dan berbicara. Al-Muhallab berkata: ‘Hal ini dilakukan apabila manusia tidak duduk dengan berurutan, bila mereka duduk berurutan maka yang sunnah ketika itu mendahulukan yang kanan’.” (Ash-Shahihah vol. IV/76)

Sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi susu yang dicampur dengan air. Di sebelah kanan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ada seorang badui sedangkan di sebelah kirinya ada Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu. Nabi meminum susu tadi lalu memberikannya kepada badui itu. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan:
الْأَيْمَنَ فَالْأَيْمَنَ

“(Dahulukan) yang kanan lalu yang kanan.” (HR. Al-Bukhari no. 5619)
Demikian besarnya hak-hak orang yang sudah tua dan penghormatan kepada mereka sangat ditekankan bila dia itu adalah orangtuanya, kakeknya, pamannya, kerabat atau tetangganya. Karena mereka memiliki hak yang besar sebagai karib kerabat dan tetangga. Orang yang menghormati/memuliakan mereka maka dia akan dihormati saat tuanya. Balasan setimpal dengan perbuatan. Seperti apa kamu berbuat, maka seperti itu pula kamu dibalas.

Disebutkan dari Yahya bin Sa’id Al-Madani, ia berkata, “Telah sampai berita kepada kami bahwa siapa saja yang menghinakan orang yang sudah tua maka ia tidak akan mati sampai Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus seorang yang menghinakannya di saat dia telah tua.”

(lihat Al-Fawaid Al-Mantsurah hal. 84 karya Dr. Abdurrazzaq Al-Badr)

Orang yang sudah beruban

Termasuk tanda-tanda orang yang telah menginjak usia lanjut adalah uban yang menghiasi kepalanya, kekuatan fisik yang mengendur, pandangan dan penglihatan yang mulai berkurang ketajamannya. Seorang muslim yang telah mencapai kondisi seperti ini tentunya telah melewati masa-masa yang panjang dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Berbagai manis dan getirnya kehidupan telah dilakoninya. Dia pun merasa ajal telah dekat sehingga pendekatan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semakin bertambah. Orang yang panjang umurnya dan baik amalannya adalah sebaik-baik orang, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
خَيْرُ النَّاسِ مَنْ طَالَ عُمْرُهُ وَحَسُنَ عَمَلُهُ

“Sebaik-baik orang ialah yang panjang umurnya dan baik amalannya.”
(HR. At-Tirmidzi dan dia menghasankannya)
Orang yang beruban rambutnya karena menjalankan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dia memiliki keutamaan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ شَابَ شَيْبَةً فِي الْإِسْلَامِ كَانَتْ لَهُ نُوْرًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Barangsiapa beruban dengan suatu uban di dalam Islam maka uban itu akan menjadi cahaya baginya di hari kiamat.”
(HR. At-Tirmidzi dan An-Nasa’i. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam kitab Shahihul Jami’ no. 6307)
Maksudnya, uban tersebut akan menjadi cahaya, sehingga pemiliknya menjadikannya sebagai penunjuk jalan. Cahaya itu akan berjalan di hadapannya di kegelapan padang mahsyar, sampai Allah Subhanahu wa Ta’ala memasukkannya ke dalam jannah (surga). Uban, meski bukan rekayasa hamba, namun bila muncul karena suatu sebab, seperti jihad atau takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka ditempatkan pada usaha (amalan) hamba. Oleh karena itu, dimakruhkan –bahkan tidak keliru bila dikatakan haram– mencabut uban yang ada di jenggot atau semisalnya.

(lihat Faidhul Qadir karya Al-Munawi, 6/202)

Tentang larangan mencabut uban, telah diriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا تَنْتَفُوا الشَّيْبَ فَإِنَّهُ نُورُ الْمُسْلِمِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Janganlah kalian mencabut uban, karena ia merupakan cahaya seorang muslim di hari kiamat.”
(HR. Abu Dawud, dll. Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu dalam Riyadush Shalihin menghasankannya)

Kedua: menyayangi anak kecil

Bila orang yang telah lanjut usia mendapatkan hak penghormatan dan pemuliaan, demikian pula dengan anak yang masih kecil, dia berhak mendapat kasih sayang yang penuh. Anak kecil yang belum baligh secara umum masih lemah fisik dan mentalnya, serta belum mengetahui persis tentang kemaslahatan untuk dirinya. Kondisi yang seperti ini tentunya menggugah kita untuk memberikan kasih sayang kepadanya, karena beban syariat juga belum ditujukan kepadanya dan pena pencatat dosa pun belum berlaku atasnya. Oleh karenanya, menyayangi anak kecil merupakan keharusan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيرَنَا

“Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak menyayangi anak kecil kami.”
(HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi. Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menshahihkannya dalam Riyadhush Shalihin)
Bila sifat belas kasihan dicabut dari seseorang maka hal itu menjadi pertanda kecelakaan baginya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تُنْزَعُ الرَّحْمَةُ إِلاَّ مِنْ شَقِيٍّ

“Tidaklah sifat kasih sayang dicabut melainkan dari orang yang celaka.”
(HR. Ahmad dll. Dalam Shahihul Jami’ no. 7467, Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu menshahihkannya)
Pernah pada suatu saat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhuma, cucunya. Waktu itu, di sisi Nabi ada seorang bernama Al-Aqra’ bin Habis At-Tamimi sedang duduk. Maka Al-Aqra’ mengatakan: “Sesungguhnya saya memiliki sepuluh anak, tidak pernah satu pun yang saya cium.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat kepadanya dan mengatakan:
مَنْ لَا يَرْحَمْ لَا يُرْحَمْ
“Orang yang tidak menyayangi maka tidak disayangi (Allah Subhanahu wa Ta’ala).”
(HR. Al-Bukhari no. 5997)
Lihatlah, betapa meruginya yang tidak mendapat rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala padahal rahmat-Nya sangat luas. Sungguh balasan kebaikan adalah kebaikan, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
هَلْ جَزَاءُ الْإِحْسَانِ إِلَّا الْإِحْسَانُ
“Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula).” (Ar-Rahman: 60)
Tentunya, menyayangi anak kecil tidak hanya terbatas pada anaknya sendiri bahkan umum sifatnya. Bentuk menyayangi anak kecil juga banyak. Misalnya, dengan mencandainya tanpa ada kedustaan untuk memasukkan kegembiraan pada dirinya, menciumnya, menggendongnya, mengusap kepalanya, menyapa dan menyalaminya, serta mengucapkan salam kepadanya.
Pada suatu saat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu melewati anak-anak kecil lalu ia mengucapkan salam kepada mereka. Anas radhiyallahu ‘anhu berkata: “Dahulu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan demikian.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Termasuk menyayangi anak kecil adalah tidak mengarahkan mereka kepada hal-hal yang membahayakannya.

Demikianlah bimbingan Islam yang sangat mulia. Umat hendaknya membuka mata agar melihat dengan nyata indahnya agama yang mereka anut ini. Perlu dipertegas kembali bahwa bimbingan Islam selalu relevan, tidak akan pernah usang dengan perubahan waktu dan zaman. Kita tidak akan terlalu bahagia dengan pesatnya teknologi dan menjamurnya penemuan (inovasi) baru, bila mental umat tidak dibangun, sehingga akidahnya rapuh dan akhlaknya karut-marut. Lihat saja, ketika kecanggihan teknologi telah merambah berbagai lapisan masyarakat yang semestinya dimanfaatkan sebagai sarana kebaikan, namun ternyata tidak sedikit dijadikan alat dan media untuk saling mencaci, memfitnah, membenci, dan menzalimi.

Mari kita semua kembali kepada bimbingan agama kita dan bangkit dari kelalaian kita. Semoga kewibawaan umat yang diharapkan tidak hanya angan-angan belaka.

Wallahu a’lam.

Sumber: http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=906