Monday, December 8, 2008

Puasa Sunnah di Hari Sabtu

Abu Umair As-Sundawy
Al-hamdulillah washshalaatu wassalaamu ‘ala rasulillah

Permasalahan hukum puasa sunnah di hari sabtu adalah permasalahan yang diperselisihkan para ulama.Sehinga perlu “kelapangan dada” dalam mensikapinya.

Tulisan berikut adalah Ta’qib (komentar) terhadap pendapat haramnya puasa sunnah di hari sabtu dan tentunya Tarjih dari pendapat yang terpilih.Perlu diketahui Ulama kontemporer semisal Al-Imam Al-Albani rahimahullah dan beberapa murid beliau berpemahaman seperti ini.Oleh karenanya bukanlah tulisan ini bermaksud melampaui serta mendeskreditkan beliau rahimahullah.

Mohon bagi yang pernah menjelajah pembahasan puasa hari sabtu ini bisa mengkoreksi dan menambahkan apa yang keliru dari apa yang saya pahami.Karena sifat tulisan ini lebih kepada kesimpulan dengan bahasa bebas dari yang saya baca,telaah dan dengar.Kesimpulan yang saya pilih sedikit berbeda dengan kesimpulan Al-Akh Abu Ishaq (setidaknya hingga saat ini).Kesimpulan saya adalah bahwa Puasa sunnah pada hari sabtu hukumnya boleh jika ada sebab walaupun tidak dibarengi sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya selama tidak bertujuan mengagungkan.

Sebelumnya, agar pemahaman kita menyeluruh,silahkan untuk menelaah silahkan terlebih dahulu seluk beluk mengenai pendapat yang mengatakan haram mutlak , diantaranya yang jadi bahan bacaan dan telaah saya:
  1. Trankrip kaset berjudul “at-Thoifah al-Manshuroh” (saya dapat di forum syabkah almenhaj, berjudul “Hukmu syiyam yaumis sabti idza waafaqo yauma arafah” ,
  2. Silsilah ahadist shohehah
  3. Ad-Dhoifah
  4. Irwa’ul Ghalil
  5. Tamamul Minnah di halaman 406-408 (kitab-kitab scan pdf Syaikh Albani bisa di dunlod di http://waqfeya.com),
  6. Kaset Silsilah Huda Wan-Nur No.166,182,204,380,438,542 (Kaset-kaset Silsilatul huda wan Nur, semuanya bisa didunlod di situs islamweb atau http://alalbany.info)
  7. Syaikh Muhammad Ibrahim Syaqrah dalam kitabnya Irsyad As-Syaari’ ila ‘Ibadatil Baari
  8. Al-Akh Abu Salma Al-Atsary dalam blog beliau http://abusalma.wordpress.com, dua tulisan yang secara umum menukil kitab Zahru ar-Raudli fi Hukmi Shiyaami Yawmi Sabti fi Ghoyril Fardli karya Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid hafidzahullah ta’ala.
  9. Al-Qoul Ats-Tsabit fi hurmati shiyam yaum as-sabt ,oleh Abu Sanad Muhammad http://sahab.net
  10. ”Hiwar baina Syaikh Albani wa Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad haula shiyam yaum as-sabt”.Trankip ini bisa didapat di situs Syaikh Yahya Al-Hajuri hafidzahullah ta’ala.http://ajurry.com
  11. Dan sumber-sumber lain yang saya rujuk sebagaimana nanti ditemukan dalam tulisan ini.
Fabillahi nastain :

Pertama,

Sebenarnya ada tiga kelompok dalil yang biasa kita ajukan untuk dihadapkan kepada Hadits Abdullah bin Busr mengenai larangan puasa hari sabtu
  • Hadist Juwairiyah (Nabi pernah mendatangi Juwairiyah pada hari jumat dan saat itu Juwairiyah sedang berpuasa. Nabi bertanya:Apakah kemarin kamu berpuasa? Juwairiyah menjawab: Tidak. Nabi melanjutkan: Apakah kamu besok akan berpuasa? Juwairiyah menjawab: Tidak.Maka Nabi bersabda: Kalau begitu sekarang kamu harus berbuka. (Al-Bukhari)).Juga hadist-hadist larangan pengkhususan puasa dihari jumat.
  • Hadist Ummu Salamah :Sesungguhnya hari yang Rasulullah banyak berpuasa padanya adalah sabtu dan ahad. Beliau bersabda: Keduanya adalah hari raya orang-orang musyrik dan saya ingin menyelisihi mereka (An-Nasa’i, Ahmad, Al-Hakim)
  • Hadits-hadist umum karena bisa saja bertepatan dengan hari sabtu. Diantaranya Hadist puasa sepanjang masa, hadist shaum arafah,a syuro, ayyamul bidh, 6 hari dibulan syawal, shaum daud.
Kedua,

Sebagian ulama ada yang lebih memilih menghukumi Syadz nya hadist Abdullah bin Busr karena selain tidak lebih kuat menyeimbangi kekuatan shahih hadist-hadist yang ada terutama point a & c juga maknanya tidak bisa dijama’ serta beberapa ahli hadist menyatakan adanya illat tersembunyi.K alangan ini diantaranya Ibnu Taimiyah, Ibnul Qoyyim serta murid-murid Imam Ahmad. (lihat analisis mengenai cara berpikir Imam Albani atau Ibnul Qoyyim dibawah ini). Muaranya adalah kesimpulan boleh secara mutlak berpuasa hari sabtu. Ada juga yang bermuara padas kesimpulan ini dengan menilai mansukh hukum larangan hadist Busr ini, akan tetapi pendapat ini lemah. Syaikh Ali Hasan dalam Zahru Raudh cukup baik membantah kedua hal ini.

Ketiga,

Hadits Abdullah bin Busr mengenai larangan puasa sabtu insyaAllah shahih secara dzahir berdasar bidang ilmu hadist.Konsekuensinya “berterima” dan harus diamalkan tidak diabaikan.Jadi pendapat hukumnya syadz dan muaranya boleh puasa sabtu secara mutlak menjadi gugur terbantahkan,Allahu a’lam.

Keempat,

Jika dihadapkan dengan kelompok dalil a & c , maka Syaikh Albani dan yang sepemahaman dengan beliau begitu kuat berargumen dan hampir-hampir tidak tergoyahkan. Yakni,tidak bisa membawa makna larangan disini “apabila mengkhusukan hari sabtu saja”.
Begini kira-kira analisnya :

“Laa tashumu yaum as-sabt illa fiimafturidho ‘alaikum”. Maka adalah tidak konsisten & bernuansa kontradiktif jika kemudian menyimpulkan “boleh tetapi harus diiringi sehari atau sesudahnya” (ini kan dalam bahasa lain bermakna tidak boleh “mengkhususkan”hari sabtu saja).Padahal bentuk kalimat larangan“Laa” kemudian disambung dengan pengecualian “Illa”, maknanya umum.Tidak bisa ditarik maknanya kepada “Jangan kamu khususkan puasa hari sabtu (kecuali diiring sehari sesudah atau sebelumnya), kecuali yang wajib” Padahal yang namanya puasa wajib itu tentu tidak dalam koridor mengkhususkan.Kata mereka kaidahnya adalah :“Annal ististna dalilu at-tanawul,fala yustastna ghoiruha” (bahwa pengecualian adalah dalil yang diberikannya ,maka jangan dikecualikan lagi dengan yang lain)

Inilah jalur berpikir yang sering diungkapkan Syaikh Albani dalam beberapa tempat.Dan logika ini pulalah yang dipegang IbnuTaimiyah,Ibnul Qoyyim, Imam Ahmad.Hanya saja Ibnu Taimiyah dkk berkesimpulan menilai hadist Bushr itu syadz (ganjil) ,tidak shahih atau dibatalkan hukumnya.Karena apa?Karena kata mereka tidak bisa di jama’ seperti analis diatas serta bertentangan dengan hadist-hadist lainnya yang lebih kuat (cermati Tamamul Minnah hal 406 serta Iqtidho Shirotol Mustaqim Ibnu Taimiyah II/572).Jadi, seandainya hadist Bushr ini tidak syadz, besar kemungkinan akan bermuara pada kesimpulan seperti kesimpulan Syaikh Albani (meureun…) .Akan terjawab syubhat ini,insyaAllah ta’ala dalam tulisan ini.

Kelima,

Syaikh Albani sebenarnya melakukan “jama’” hadits Juwairiyah dengan Hadist Abdullah bin Bushr. Kata beliau jika kita misalnya berpuasa hari jumat tetapi dihari kamisnya tidak shaum,maka boleh berpuasa dihari sabtu,karena puasa tersebut menjadi “wajib” berdasar hadist Juwairiyah yang mengatakan sebelum atau sesudah harus mengiringi puasa dihari jumat.Apalagi terhadap kelompok dalil c sangat mudah digugurkan,karena hadist umum harus dibawa kepada larangan khusus.Wallahu a’lam saya melihat cara jama’ seperti ini berbeda dengan cara menjama’nya jumur ulama sebelumnya.Walaupun “aneh” ,perlu dicatat beliau ini Mujtahid Mutlaq.

Adapun terhadap hadist Ummu Salamah, maka beliau melakukan “tarjih”.Jadi secara umum bisa dikatakan Imam Al-Albani melakukan “tarjih” dalam hukum puasa hari sabtu ini.Karena memang susah menggabungkannya jika tidak mau dibawa kepada “makna pelarangan tersebut jika mengkhususkan hari sabtu saja”

Keenam,

Berkata Syaikh Usamah Abdul Aziz dalan kitab Shiyam at-Tathowwu bahwa Hadist Ummu Salamah ini dho’if. Ada rawi Abdullah bin Umar yang dinilai tidak tsiqat seperti oleh Imam Ibnu Al-Madini.Ibnu Hajar mengatakan bisa diterima tetapi jika ada syahidnya ,namun jika tidak maka dia lemah.”

Pendapat beliau ini dibantah dengan “manstab” oleh Syaikh Abu Umar Al-Utaibi dalam makalahnya Al-Qoul Al-Qowim fistihbab shiyam saumis sabti fi ghoyril fardhi min ghoiri takhshishin wala qoshdit ta’dzim” (silahkan merujuk kesana untuk takhrijnya,bisa diliat di http://www.otiby.net/book/files/elemia/alqol.doc) dan Syaikh Muhaddist Al-Albani pun dikatakan oleh penulis Al-Qoul Ats-Tsabit fi hurmati shiyam saum as-sabt menghasankannya. Yang benar Syaikh Albani mendho’ifkan hadist ini mengacu kepada Ad-Dho’ifah No.1099.Sesungguhnya Syaikh Albani sempat ragu & bimbang (yataroddad) menghukumin hadist ini.Sebelumnya Syaikh menghasankannya di Shohihil Jami’ dan dalam ta’liq Shohih Ibnu Khuzaimah,kemudian mendhoifkannya di Ad-Dhoifah No.1099,kemudian menulis dalam Al-Irwa :”Telah mendhoifkan isnad hadist ini Abdul haq Al-Isybili di kitab “Al-Ahkam Al-Wushtho” Syaikh Albani berkata :”Inilah yang rajih menurut saya,karena keadaannya tidak dikenal sebagaimana saya jelaskan dalam Ad-Dho’ifah “.

Kemudian Sayikh menulis dalam Al-Hasyiyah :”Saya telah menghasankannya di ta’liq Shohih Ibnu Khuzaimah dan ini yang lebih dekat”.Kemudian berjalanlah hukum dhoi’f ini bagi Syaikh.Syaikh Utaibi menyatakan bahwa yang benar menurut dia, adalah yang di hukumi Syaikh Albani di Shahihil Jami’& Shahih Ibnu Khuzaimah.Kata Syaikh Al-Utaibi hadist ini Hasan lidzatihi,bahkan yang menshahihkannya punya pandangan yang kuat.

Al-Qoul Ats-Tsabit fi hurmati shiyam saum as-sabt).Konsekuensinya hadist ini “berterima” dan harus diamalkan tidak diabaikan

Ketujuh,

Kalau kita melakukan tarjih seperti pendapat Syaikh Albani, maka kita menelantarkan hadist Ummu Salamah ini.Padahal kaidah mengatakan bahwa jika memungkinkan, maka dipakai kaidah “Al-Jam’u Muqoddamun ‘alat Tarjih” (jama’ itu harus dikedepankan dari tarjih).Mungkin tidak? Sekian banyak ulama salaf terdahulu (bahkan kata Syaikh Utaibi, ratusan jumlahnya) thoriqoh jama’ adalah mungkin dan memungkinkan..Yakni larangan hadist Bushr dibawa kepada makna “makruh” jika dikhususkan atau bermaksud pengagungan. Dengan demikian kita tidak menelantarkan satu dalil pun.

Kedelapan,

Lantas bagaimana argumen cara berpikir Syaikh Albani, Ibnul Qoyyimm, Ibnu Taimiyah diatas, bahwa makna larangannya umum?!

Sebelumnya camkanlah kaidah berikut:
إذا كان النهي عاماً لم يخصص باستثناء ولا غيره إذا وجد دليل آخر يعارضه فإنه يصار إلى الجمع –إن أمكن- دون الوقوف عند عموم النهي
Apabila Larangan (An-Nahyu) berbentuk umum tidak di khususkan dengan pengecualian atau yang lainnya, maka apabila terdapat dalil lain yang menyelisihinya,maka dilakukanlah jama’-apabila mungkin-tanpa berhenti pada keumuman larangan tersebut.

Contoh kasus : Nabi melarang sholat ba’da ashar. Nash nya umum tanpa pengecualian apapun. Akan tetapi sejumlah ulama berpendapat mustahabbnya dua rokaat ba’da ashar, karena ada keterangan bahwa Nabi melakukan sholat ba’da ashar. Mengapa bisa begitu yah? Padahal ini bertentangan dengan dua kaidah yang menyatakan : Al-haazhiru muqaddamun ‘ala al-mubiih (Pelarangan lebih didahulukan dari pembolehan) dan Al-Qaulu muqaddamun ‘ala al-fi’lu (Perkataan lebih didahulukan dari pada perbuatan). Perlu diketahui bahwa Syaikh Albani juga berpendapat boleh sholat ba’da ashar.

Apa alasan kebolehan sholat ba’da ashar ini? Karena beliau dan mereka melakukan thoriqoh jama’ sebagaimana kaidah diatas.

Bagaimana Hadits larangan puasa sabtu?, tentu berbeda dengan contoh ini, karena disana ada pengecualian “illa fimafturidho ‘alaikum”. Intinya disini ada “mukhoshshos munfashshol” (pengkhususan yang terpisah). Kita akan berikan contoh pembanding lain yang sejenis dengan larangan puasa sabtu ini.


Contoh 1 :adalah larangan bepergian yang memberatkan (syaddur rihal).

Hadits menyatakan : لا تعمل المطي إلا إلى ثلاثة مساجد “Laa ta’mal Al-Muthi’ illa ilaa tsalatsatil masajid……Hadist ini mutawatir.(jangan melakukan ketaatan kecuali ke tiga masjid).Bandingkan dengan hadist “Jangan kamu berpuasa dihari sabtu kecuali puasa yang wajib”. Persis sama bukan bentuk larangannya?!

Mengomentari contoh hadist diatas, At-Thibi mengatakan:
“هو أبلغ من صريح النهي كأنه قال لا يستقيم أن يقصد بالزياره إلا هذه البقاع لاختصاصها بما اختصت به”
Kata beliau bahwa Ini larangan yang paling jelas dan gamblang ,seolah beliau menyuruh jangan melakukan ziyaroh kecuali ketempat yang dkhususkan ini.

Berkata pula Imam Ibnu Hajar dalam Fathul Baari (3/64) :
والتقدير لا تشد الرحال إلى موضع ولازمه منع السفر إلى كل موضع غيرها لأن المستثنى منه في المفرغ مقدر بأعم العام لكن يمكن أن يكون المراد بالعموم هنا الموضع المخصوص وهو المسجد
Kata beliau maknanya bahwa Ini larangan “syaddur rihal” (berperjalana yang membebani), dan terlarang safar seperti ini kecuali hanya kepada tempat yang disebutkan yakni masjid tersebut
Tetapi kemudian terdapatnya dalil-dalil lain yang membolehkan rihlah ibadah seperti kasus menuntut ilmu. Lihat safar ibadahnya Nabi Musa dengan Nabi Haidhir ‘alaihimassalam, rihlahnya sahabat, ziyarohnya seseorang kepada temannya, rihlah untuk menyambung silaturahim dll.Sehingga larangan yang dimaksud ini dipahami ulama sebagai rihlah ibadah ke tempat-tempat tertentu yang memiliki keutamaan selain masjid yang dimaksudkan dalam hadist (lihat tafsir Ibnu Taimiyah dalam makna ini)

Dalam contoh ini kita tidaklah kita menggunakan kaidah al-haadzir muqoddamun ‘alal mubiih atau Annal ististna dalilu at-tanawul,fala yustastna ghoiruha tetapi kaidah yang dipakai adalah Al-Jam’u muqoddamun alat tarjih.

Wal hashil contoh ini yang notabene serupa dalam penujukkan teks dengan larangan puasa hari sabtu , adalah bantahan bagi yang melakukan tarjih.Karena metode yang lebih utama ditempuh adalah Al-Jam’u muqoddamun alat tarjih.Allahu a’lam

Contoh kedua: Larangan menghalalkan darah seorang muslim

Hadist menyebutkan :“Laayahillu damumri’im muslim yashhadu anna laa ilaha illallah wa anni Rasulullah,“illa bi ihdaa ats-tsalats :an-nafsi bin nafsi, wa tsaibuz zaniy al-mufariq lidinihi wat tarik liljama’ah” (Tidak halal darah seorang muslim yang bersyahadatain Kecuali dengan salah satu dari diantara tiga hal berikut……)

Kalau kita pakai Annal ististna dalilu at-tanawul,fala yustastna ghoiruha , maka tidak boleh menambahkan syarat keempat atau kelima.Harus mencukupkan 3 syarat ini saja yang menunjukkan halalnya darah seorang muslim yang telah bersyahadat.Jika demikian,maka ini pemahaman salah besar!

Karena ada dalil-dalil lain yang harus kita jama’ dengan hadist ini ,seperti pelaku kerusakan besar(fa’il fahisyah bahimah),atau pelaku homoseksual dan lainnya.

Contoh ketiga: Larangan menghalalkan darah seorang muslim

Allah ta’ala berfirman :ولا تقربوهن حتى يطهرن
Jangan dekati mereka hingga mereka suci

Mafhum ayat ini menunjukkan bahwa dilarang (haram) mendekati istri hingga mereka suci dari haidhnya.Akan tetapi ulama tafsir membatasi larangan ini dengan ucapan dan perbuatan Nabi shalallahu’alaihi wasalam mengatakan Ishna’uu kulla syaiin illa an-nikah (lalukan apapun kecuali nikah/jima’).Juga perbuatan beliau menggauli istrinya yang haidh dengan alas sarung.(Muttafaq alaihi)
Keberadaan makna Ististna (pengecualian) dalam ayat alquran ini,bisa di khususkan oleh kedua hadist yang ada.Jima’ itu tentunya lebih khusus dari pada “mendekati”.Yang umum ini maka dikhususkan oleh kedua hadist ini.Karea kaidah mengatkan “Al-Jam;u miuqoddam ‘alat tarjih”Inilah memang kaidah asalnya

Maka qiyaskan pengambilan dalil ini dengan larangan puasa hari sabtu!

Kesembilan

Ada yang mengatakan berdasar kaidah yang disiratkan dalam Irsyadul Fuhul nya Imam As-Syaukani bahwa kita tidak bisa menjama’ hadist Abdullah bin Bushr ini karena apabila kita takshish dengan puasa-puasa sunnah, otomatis akan menggugurkan istitsna (pengecualian) puasa wajib yang ada dalam hadist.Maka ini tidak bisa di jama’,karena yang namanya jama’ harus dalam satu koridor yang berterima semua makna dari yang digabungkan.Kata mereka, “Ya” kita akan menjama’ jika konteks kalimat nya seperti “Laa tashumu yaum as-sabt ” (Jangan kamu puasa hari sabtu!) atau “Laa tashuumu yaum as-sabt illa an tashuumuu yauman qobalahu aw ba’dahu”(Jangan kalian puasa sabtu kecuali berpuasa juga sehari sebelum atau sesudahnya)

Atau bentuk kalimat semisal larangan puasa hari jumat.Bagaimana?

Al-jawab:

Bahwa pengkhususan larangan umum ini memang mengugurkan “ististna” (pengecualian) , tetapi tidaklah mengugurkan keumuman larangan (an-nahyu).Atau mengkhususkan larangan, serta menambah pengecualian.Dengan melakukan jama’ maka tentu lebih tercapai kaidah “Inna I’malul adillah awlaa bi ihmaaliha” (Mengkompromikan seluruh dalil lebih utama daripada menelantarkan salahsatunya) daripada melakukan tarjih.Juga bahwa mengkhusukan yang umum tidak lahmembatalkan keumumannya.Sehingga yang berpuasa pada hari sabtu saja, maka termasuk dalam larangan “Laa tashumu yaum as-sabt”

Kesepuluh

Ada yang menqiyaskan dengan larangan berpuasa di hari raya.Misalnya dalam buku Irsyadul Baari ila Ibadatil Baari Syaikh Ibrahim Syaqrah mengatakan demikian :”Ada hadist mengenai larangan (haramnya) berpuasa pada hari tasyrik (11,12,13 Dzulhijah). Dikatakan bahwa pada hari tasyrik tersebut adalah hari makan dan minum.Jika seseorang biasa puasa senin kamis, lalu hari tersebut jatuh pada hari tasyrik.Apakah boleh berpuasa senin-kamis pada hari itu??Tentu tidak. Lalu mengapa kita masih belum dapat menerima larangan puasa hari sabtu!!!

Al-Jawab :
  1. Telah tsabit dari Nabi bahwa beliau berpuasa dihari sabtu dan ahad.Sebab yang diungkapkan Nabi adalah untuk menyelisihi hari raya nya ahlul kitab.Illat (sebab) semacam ini tidaklah dijumapi pada kasus larangan puasa dihari araya.
  2. Tidak lah ada keterangan bahwa Rasulullah ataupun salahsatu sahabatnya berpuasa dihari raya.Berbeda dengan puasa dihari sabtu, dimana Rasulullah berpuasa di hari sabtu disambung dengan ahad.Atau adanya perintah untuk menyambung sehari sebelum atau sesudah bagi yang berpuasa jumat.
  3. Hadist larangan berpuasa di hari raya atau tasyrik itu telah mutawatir diketahui kaum muslimin.
  4. Hari raya itu tidak berulang kecuali setahun sekali, berbeda dengan hari sabtu yang datang tiap pekan.Maka tentu tidak bisa disamakan mengenai larangan ini.Untuk point nomor 4 ini, hampir mirip dengan penjelasan Syaikh Utsaimin ketika membahas larangan puasa jumat diqiyaskan kepada larangan puasa dihari raya.( Fatawa No.414 jilid 20 di http://www.al-eman.com/Islamlib/viewchp.asp?BID=353&CID=376 )

Khulashoh,

1.Larangan puasa dihari sabtu itu dimaksudkan apabila dengan maksud mengkhususkan atau mengagungkan.

2.Yang terpilih dari pendapat yang ada, wallahu a’lam adalah pendapat yang membolehkannya walaupun hari sabtu saja tanpa diiringi jika ada sebab,misalnya ketika bertepatan dengan shaum-shaum yang disyariatkan atau puasa rutinnya.Jika tidak ada sebab (baca :mengkhususkan) maka harus diiringi sehari sebelum atau sesudahnya.

Saya sependapat dengan Imam Ibnu Utsaimin bahwa tatkala berpuasa sunnah yang disyariatkan atau karena kebiasaan rutinnya jatuh di hari sabtu, maka bukan karena hari sabtunya kita berpuasa akan tetapi karena disyareatkannya.Dan hal tersebut diluar makna mengkhususkan.

Hadist Ummu Salamah tidak menujukkan keharusan dibarengi sabtu itu dengan sehari sebelum dan sesudahnya.Ini berbeda dengan kasus puasa di hari jumat.Coba kita perhatiakan perbedaan masalahnya dengan larangan mengkhususkan puasa dihari jumat:

“Janganlah seseorang darimu berpuasa dihari jumat kecuali ia berpuasa sehari sebelum atau setelahnya” (Bukhori & Muslim)
”Aku bertanya kebada Jabir bin Abdillah,apakah Rasulullah melarang puasa dihari jumat?”kata Jabir :”Ya, demi Rabb ka’bah”(Bukhori & Muslim)
- Perhatikan juga hadist Juwairiyah
Puasa jumat yang dalilnya sangat terang saja masih diartikan para ulama tidak mengapa jika bertepatan dengan puasa rutinnya seperti shaum Daud,atau karena sebab lain seperti Asyura, Arafah dll. Apalagi untuk puasa hari sabtu. Allahu a’lam.

Silahkan lihat pertanyaan berkaitan dengan hari jumat ini oleh Syaikh Al-Imam Ibnu Utsaimin di http://www.al-eman.com/Islamlib/viewchp.asp?BID=353&CID=376

Walhamdulillah

Thursday, November 27, 2008

Tips Membedakan Madu Asli dan Campuran

Madu palsu atau tiruanadalah larutan yang menyerupai madu. Dibuat tanpa pertolongan lebahatau menggunakan gula sebagai nektar. Umumnya mempunyai warna samadengan madu asli. Karena itu bagi orang awam sulit untuk membedakanantara madu asli dan madu tiruan. Pada perusahaan-perusahaan yang telahmendapat izin produksi akan mencantumkan keterangan produknya sehinggadapat diketahui apakah itu madu asli atau sintetis. Madu sintetis yangberedar di antaranya adalah madu melon, labu semangka, dan kurma.

Sejak lama madu palsu telah banyak diproduksi orang. Dengan caramencampur glukosa dengan gula pasir, buah, flavour serta zat warna. Dilaboratorium madu palsu akan mudah dikenali dengan analisis kimia.Kandungan HMF (5 hydroxyl-methyl furfural) dengan jumlah maksimum3mg/100gram, aktivitas enzim diastase minimal 5 serta rasio kandungankalium (K) dan natrium (Na) dalam madu asli sekitar 4,0 sedangkan madupalsu 0,005-0,1.

Pengujiankadar keaslian madu memang tidak gampang, di samping biayanya jugamahal. Dibutuhkan alat-alat canggih untuk mendeteksi ada tidaknyacampuran dengan gula lainnya di dalam madu. Sementara, khasiat maduyang sudah jelas manfaat bagi kesehatan, membuat para pedagang nakalmelakukan campuran dengan gula tebu atau gula aren. Bagi orangkebanyakan, rasa manis yang dikeluarkan oleh madu asli dan campuransulit dibedakan. Dengan melihat dan merasakannya, ahli madu akan dapatmembedakan antara madu asli dan yang palsu. Salah satu pengujian yangpaling praktis adalah dengan menggunakan pH meter. Madu palsu biasanyamemiliki pH 2,4-3,3 atau di atas 5, sedangkan madu asli mempunyai pH3,4-4,5. Untuk mengetahui lebih lanjut dapat dilakukan uji kandunganmadu di laboratorium. Salah satu laboratorium tempat pengujian maduterdapat di Bogor.

Madu di Indonesia sendiri terbagi menjadi dua, yaitu madu hasillebah ternak dan madu hutan. Yang dimaksud madu ternak adalah madutersebut diambil dari nektar bunga pohon-pohon tertentu sepertirambutan, kelengkeng, durian dan sebagainya. Ketika pohon-pohontersebut sedang berbunga, maka digiringlah lebah-lebah yang sudahberada dalam kotak-kotak menuju perkebunan pohon tersebut. Ciri khasdari madu ternak adalah aroma madunya sesuai dengan nektar bunga daripohon yang dihinggapi.

Sedangkan madu hutan, lebih variatif nektar bunganya karena dihisapdari berbagai pohon. Madu hutan ini dikenal lebih baik karena lebihbanyak mengandung nutrisi yang terdiri dari mineral dan vitamin. Jenistawon madu hutan pun lebih baik daripada tawon madu ternak. Maduterbaik jenis ini tidak akan beku walaupun diletakkan di freezer selamaberbulan-bulan karena kadar airnya di bawah 20%.

Kendati demikian, baik madu hutan maupun madu ternak mempunyaikelemahan. Ketika dipanen pada musim hujan madu akan banyak mengandungair hujan, sedangkan sifat air hujan sendiri bersifat asam. Selainmenyebabkan lebih cair, madu juga teroksidasi udara menjadi lebih asamdan akan terfermentasi. Akibatnya, timbul gas yang bisa menjebol tutupbotolnya. Semut pun tidak mau menghampiri karena rasanya yangmasam-masam manis. Bila madu jenis ini dimasukkan ke dalam freezer akanmudah beku, meski termasuk asli.

Sebenarnya, ada beberapa cara untuk mengetahui keaslian madu secarailmiah. Misalnya dengan analisis karbon, analisis mikroskopis, analysishydroxymethylfurfural, analisis polaritas cahaya dan terakhir teskeasaman. Dari lima cara tersebut, empat yang pertama harus menggunakanalat bantu yang cukup mahal harganya dan keahlian tertentu. Jadi, tidaksemua orang bisa melakukannya. Sedangkan tes keasaman, merupakan tesyang terbilang relatif mudah dan tidak mahal. Tapi, masih tetapmemerlukan pengetahuan tentang madu yang mendalam. Jika tidak, tetapakan sulit membedakan mana madu asli, madu campuran, dan madu buatan (artificial honey).

Di masyarakat berkembang kebiasaan uji keaslian madu yangditunjukkan menyala ketika dibakar dengan korek api, telur bisa matang,tidak rembes ketika diteteskan pada kertas koran, dan sebagainya.Pengujian tersebut sebenarnya tidak seratus persen benar, masih butuhpembuktian melalui laboratorium.

Sebenarnya masih ada cara lain yang bisa menjadi tolok ukur dandilakukan oleh semua orang, yakni dengan meneteskan madu di air di ataspiring beling putih. Ketika piring digoyang ke kiri dan ke kanan, makasebelum madu itu bercampur akan membentuk segi enam atau sarang lebah.Semakin lama bentuk segi enam itu bertahan, berarti semakin baiknutrisi yang terkandung dalam madu tersebut alias madu asli. Semakincepat bentuk segi enam itu memudar, maka jelaslah itu madu campuran,karena nutrisinya sudah jauh berkurang.

Cara lain yang mungkin mudah dilakukan adalah sama seperti di atas,namun piringnya tidak digoyang-goyang. Cukup didiamkan saja. Madu asliyang memiliki kadar air rendah tidak akan membuat air di piring menjadikeruh. Sedangkan madu yang telah dicampur atau madu buatanperlahan-lahan akan membuat air menjadi keruh. Apakah semut bisamenjadi patokan untuk menentukan madu itu asli atau tidak? Padadasarnya, sifat semut suka pada yang manis-manis, termasuk rasa manisyang ada pada madu. Namun, semakin kental madunya (kadar airnyasedikit) semakin sulit bagi semut untuk mendeteksi lokasi rasa manismadu tersebut karena molekul yang ada di dalam madu tetap utuh, tidakpecah. Sebaliknya, bila kadar airnya tinggi (di atas 20%), maka semutmudah menghampiri.

Sumber: Fatawa Vol.III/No.01 | Desember 2006 / Dzulqa’dah 1427

Friday, November 14, 2008

Cinta, Kata Mereka

Menurut banyak pakar cinta, cinta adalah sebuah rasa yang dimiliki seseorang ketika melihat seseorang lainnya (biasanya dari lawan jenis) yang menarik perhatiannya. Apabila kedua orang ini cocok dan menjadi pasangan, maka rasa ini juga masih ada pada permulaan relasi.

Perasaan ini muncul karena di dalam tubuh diproduksi beberapa zat-zat tertentu yang sedikit membius otak dan efekya bisa disamakan dengan efek narkoba. Zat-zat tertentu ini dinamakan feromon.

Feromon membuat seseorang kecanduan, sehingga ingin melihat pasangannya atau orang idamannya seseringmungkin.

Akan tetapi perasaan jatuh cinta ini setelah selang beberapa waktu akan menhilang sedikit demi sedikit. Yang muncul biasanya rasa-rasa lain, seperti perasaan cinta sejati, kasih sayang, serta rasa aman dan nyaman.

Apalagi jika sudah menikah, perasaan-perasaan terakhir ini yang lebih menonjol.

Psikologis sebagai ilmu yang mempelajari kejiwaan manusia, sudah lama tertarik dengan konsep cinta (misalnya Eric Fromm, Maslow), karena manusia adalah satu-satunya makhluk, konon, yang daat merasakan cinta. Hanya saja masalahnya, sebagai sebuah konsep, cinta sedemikian abstraknya sehingga sulit untuk didekati secara ilmiah. Dalam tulisan ini dipilih teori seorang psikolog, Robert Stenberg, ang telah berusaha untuk menjabarkan cinta dalamkonteks hubungan antara dua orang.

Menurut Sternberg, cinta adalah sebuah kisah, kisah yang ditulis oleh setiap orang. Kisah tersebut merefleksikan kepribadian, minat dan perasaan seseorang terhadap suatu hubungan. Ada kisah tentang perang memperebutkan kekuasaan, misteri, permainan dan sebagainya. Kisah pada setiap orang berasal dari “skenario” yang sudah dikenalnya, apakah dari orangtua, pengalaman, cerita dan sebagainya. Kisah ini biasanya mempengaruhi orang bagaimana ia besikap dan bertindak dalam sebuah hubungan.

Sternberg terkenal dengan teorinya tentang segitiga cinta (bukan cinta segitiga, lho). Segitiga cinta itu mengandung komponen, yakni (1) keintiman (intimacy), (2) gairah (passion), dan (3) komitmen.
Keintiman adalah elemen emosi, yang di dalamnya terdapat kehangatan, kepercayaan (trust) dan keinginan untuk membina hubungan. Ciri-cirinya antara lain seseorang akan merasa dekat dengan seseorang, senang bercakap-cakap dengannya sampai waktu yang lama, merasa rindu bila lama tidak bertemu dan ada keinginan untuk bergandengan tangan atau saling merangkul bahu. *hohoho* ;D
Gairah adalah elemen motivasional yang didasari oleh dorongan dari dalam diri yang bersifat SEKSUAL! ;]

Komitmen adalah elemen kognitif, berupa keputusan untuk secara berkesinambungan dan tetap menjalankan suatu kehidupan bersama B-)

Menurut Sternberg, setiap komponen itu pada setiap orang berbeda derajatnya. Ada yang hanya tinggi di gairah, tapi rendah pada komitmen. Sedangkan cinta yang ideal adalah apabila ketiga komponen itu berada dalam proporsi yang sesuai pada suatu waktu tertentu. Misalnya pada tahap awal hubungan, yang paling besar adalah komponen keintiman. Setelah keintiman berlanjut pada gairah yang lebih besar, (yang dalam beberapa budaya, termasuk Islam) disertai dengan komitmen yang lebih besar. Misalnya melalui pernikahan.

Cinta dalam sebuah hubungan ini tidak selalu berada dalam konteks pacaran atau perkawinan. Pola-pola proporsi ketiga komponen ini dapat membentuk berbagai macam tipe hubungan seperti terlihat sbb:
  • Nonlove : Ketiga komponen tidak ada - Ada pada kebanyakan hubungan interpersonal, seperti pertemanan biasa (hanya kenalan saja)
  • Linking : Hanya keintiman - Ada kedekatan, saling pengertian, dukungan emosional dan kehangatan. Biasanya ada pada hubungan persahabatan *bisa teman sejenis juga maksutnya ^^
  • Infatuation : Hanya gairah - Seperti cinta pada pandangan pertama, ketertarikan secara fisik, biasanya mudah hilang.
  • Empty Love : Hanya komitmen - Biasanya ditemukan pada pasangan yang telah menikah dalam waktu yang panjang (misalnya pada pasangan usia lanjut)
  • Romantic Love : Keintiman dan gairah - Hubungan yang melibatkan gairah fisik maupun emosi yang kuat, tanpa ada komitmen (pacaran atau perkawinan)
  • Companionate Love : Keintiman dan komitmen - Hubungan jangka panjang yang tidak melibatkan unsur seksual, termasuk persahabatan *juga persahabatan antar suami istri ^^
  • Fatous Love : Gairah dan komitmen - Hubungan dengan komitmen tertentu (misalnya perkawinan) atas dasar gairah seksual. Biasanya pada suami istri yang sudah kehilangan keintimannya.
  • Consummate Love : Semua komponen - Menjadi tujuan dari hubungan cinta yang ideal B-)
Pada remaja, diharapkan (demikian menurut mereka) mulai mengenali cinta melalui hubungan yang mengandung komponen keintiman. Mulai dari tahap perkenalan, lalu menjadi teman akrab, lalu sahabat. Pada tahap persahabatan, baik dengan lawan jenis maupun sesama jenis, diharapkan berkembang perasaan hangat, kedekatan dan emosi lain yang lebih kaya. Dalam hubungan antar jenis, persahabatan dapat berkembang dengan komitmen pacaran. Pada tahap pacaran ini keintiman dapat muncul komponen gairah dengan proporsi yang relatif rendah.
Pada pasangan yang telah dewasa, bila faktor-faktor emosiaonal dan sosial telah dinilai siap, maka hubungan itu dapat dilanjutkan dengan membuat komitmen perkawinan. Dalam perkawinan, diharapkan ketiga komponen ini tetap hadir dan sama kuatnya.

Pada budaya tertentu (yang mereka maksud dogma agama, seperti petunjuk dalam agama kita), komitmen dianggap sebagai kekuatan utama dalam perkawinan. Karena itu banyak perkawinan (dalam budaya tersebut) yang hanya dilandasi oleh komitmen masing-masing pihak pada lembaga perkawinan itu sendiri. Perkawinan dipandang sebagai keharusan budaya dan agama untuk melanjutkan keturunan atau karena usia, atau untuk meningkatkan status, atau sebab-sebab lain. Perkawinan seperti ini akan terasa kering, karena baik suami maupun istri hanya menjalankan kewajibannya saja.

Variasi lain, perkawinan hanya dianggap sebagai lembaga yang mengesahkan hubungan seksual. Perkawinan semacam ini kehilangan sifat persahabatannya, yang ditandai dengan tidak adanya kemesraan suami isteri, seperti makan bersama, berbincang-bincang, saling berpelu*an dan sebagainya ^^
Seperti diuraikan sebelumnya, pola hubungan cinta seseorang sangat ditentukan oleh pengalamannya sendiri mulai dari masa kanak-kanak. Bagaimana orangtuanya saling mengekspresikan perasaan cinta *atau malau betengkar melulu :( … hubungan awal dengan teman-teman dekat, kisah-kisah romantis sampai yang horor dan seterusnya, akan membekas dan mempengaruhi seseorang dalam berhubungan. Karenanya, setiap orang disarankan untuk menyadari kisah cinta yang ditulis untuk dirinya sendiri.

Memang teori Sternberg tentang cinta ini belumlah lengkap dan memuaskan semua orang. Misalnya, bagaimana teori ini dapat menjelaskan cinta ibu terhadap anaknya? Atau bagaimana cinta dapat dipertentangkan dengan perang dan kebencian? Hanya saja, sebagai sebuah deskripsi ilmiah terhadap fenomena cinta, teori ini dapat dikatakan cuku membantu dalam memetakan pola-pola hubungan cinta antar individu.

Catatan:


Apa yang diungkapkan oleh ‘pakar cinta’ di atas adalah proses mengendapnya rasa suka dalam jiwa seseorang yang mengubahnya menjadi nuansa rasa yang unik. Dalam konteks ini, tak banyak perbedaan yang berarti pada pandangan banyak pakar, pemerhati dan pengulas soal cinta. Selain itu, tak ada yang perlu dipersoalkan, karena yang diulas adalah substansi cinta, bukan justifikasinya atau keabsahannya. Di situ juga dibeberkan data-data ilmiyah yang berkaitan dengan unsur-unsur pembentuk cinta dalam tubuh manusia. Hal ini pun, tidak terlalu mendesak untuk dikomentari. Soal analogi ccinta dengan feromon atau sejenis zat candu, juga bukan soal yang harus dikontroversikan. Selain kenyataan bahwa cinta asmara memang tidak jauh dari itu, ini pun bukan soal legalitas atau sebaliknya. Namun ada sisi-sisi yang harus dicermati dengan kaidah-kaidah yang benar, agar pemaknaan cinta asmara dan penempatannnya secara proporsional, tidak ternodai oleh pandangan-pandangan liberal yang anti kode etik, adab dan nilai-nilai agama yang absolut.

Pertama, cinta yang muncul melalui cara yang halal, seperti antara suami isteri, atau ibu dengan anaknya dan seterusnya, hanya akan hilang bila secara aturan agama hubungan cinta itu sudah tidak bisa dilanjutkan. Suami, bila sudah bercerai dengan istri, atau salah satunya menjadi kafir. Begitu pula, bila salah satu dari ibu atau anak, murtad.

Kedua, benar, bahwa kesejatian cinta diperoleh seseorang dengan pasangannya, bila sudah bersuami istri. Di sini seharusnya disadari bahwa ketidak sejatian cinta antar pasangan yang belum menikah lebih karena belum terikat sesuatu yang membuatnya halal.
Ketiga, cinta akan dijabarkan oleh sesuai dengan latar belakang pemikiran, keyakinan, pengalaman dan lain sebagainya. Namun semuanya hanya berada di awang-awang, dan tidak bisa ‘diikat’ dengan batasan tertentu, kecuali nilai-nilai agama.
 
Keempat, tiga elemen cinta yang disebutkan oleh Sternberg cukup logis. Namun dalam penjabarannya ia sedikit tersandung. Itu mudah dimaklumi, karena ia tidak membekali dirinya dengan ilmu-ilmu rabbani. Ia tidak mengerti seribu satu bahaya yang muncul akibat hubungan cinta kasih pra nikah. Betapapun menurut etikanya, cinta itu harus dibatasi pada dominasi elemen cinta pertama, yaitu keintiman, namun sama sekali tak menyelesaikan masalah. Karena nafsu, ibarat anak bayi yang disusui. Tanpa disapih dengan paksa, akan sulit -bahkan sering sekali mustahil- membujuknya berhenti menyusu. Batasan-batasan yang ada dalam agama bertujuan mengikat dan membatasi manusia pada hal-hal yang tidak mungkin dicapai oleh akal. Atau, kalaupun dapat dicapai, hanya sebagian sisinya saja. Karena terbukti, hikmah-hikmah yang ada dalam ajaran Islam, soal halal dan haram misalnya, hanya sedikit yang dapat diungkap oleh manusia. Dan itu pun sudah dianggap sebagai pencapaian luar biasa. Sehingga, artinya, terlalu banyak hal yang tak dapat dicapai oleh ilmu manusia. Untuk alasan itulah, Allah menetapkan hukum-hukum bagi mereka,

“…dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit…” (Al-Isra’ : 85)

Kelima, sebenarnya bukan hanya remaja, anak-anak sekalipun harus diperkenalkan tentang cinta. Namun pengenalan di sini berarti pengenalan tentang hakikatnya, adab-adab dan hukum-hukumnya yang terkait dengannya. Artinya, pengenalan di sini bukan berarti anak-anak dan remaja dibimbing untuk saling bercinta dengan pasangannya, meski dengan batasan apapun. Sama halnya dengan soal SEKS. Pengenalan seks bagi anak dan remaja adalah pengenalan tentang substansinya, adab dan hukum-hukumnya secara bertahap, disesuaikan dengan kadar pemahaman mereka. Pengenalan soal seks, bukan berarti menggiring mereka melakukan seks bebas atau seks pra nikah.

Sternberg tampaknya juga percaya, bahwa ikatan resmi cinta kasih berupa akad pernikahan diperlukan untu mengikat cinta kasih. Namun ia tidak sampai pada kesimpulan hukum berupa keharusan. Sekali lagi, itu wajar-wajar saja, karena ia memang tidak memiliki sudut pandang keagamaan, apalagi untuk mengenal petunjuk Islam. Artinya, menurut Sternberg, cinta yang tumbuh berkembang secara bebas pada sepasang insan yang saling mencintai, sebelum diikat perkawinan, sah-sah saja. Kalau ia sedikit berpikir tentang kesejatian cinta pasca nikah, seperti yang dia ungkapkan sebelumnya, nilai-nilai Islam itu pasti akan tertangkap dengan jelas. Dan dia pun akan sadar betapa Islam memang datang sebagai kemashlahatan umat manusia.

Dalam Islam, segala jalan untuk menuju hunganga cinta kasih sebelum menikah, harus sangat diwaspadai, karena merupakan satu tangga menuju perzinaan yang jelas-jelas haram.

Allah berfirman, “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (Al-Isra’ : 32)

Sementara zina itu sendiri, selain haram juga dapat mengikis nilai-nilai iman, sehingga berakibat pada berkurangnya komitmen pada kebenaran.

Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda :

“Setiap pezinaa ketika melakukan perzinaannya, bukanlah seorang mukmin. Setiap peminum khmar ketika meminum khamrnya, bukanlah seorang mukmin. Setiap pencuri ketika melakukan pencurian, bukanlah seorang mukmin.” (Dikeluarkan oleh Al-Bukhari (V:119, AlFath); dan Muslim (57) harist Abu Hurairah).

Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam juga bersabda, “Apabila ada hamba yang berzina, imannya akan keluar dari dalam dirinya. Bentuknya seperti bayang-bayang. Apabila si hamba sudah meninggalkan perbuatan maksiatnya, iman itu pun kembali kepadanya.” (Dikeluarkan oleh Abu Dawud (4690) dan yang lainnya dari hadist Abu Hurairah dengan sanad yang shahih).

Bahkan, demi menjaga kaum muslimin dari perzinaan, Islam juga menganjurkan masing-masing pihak pria dan wanita untuk menjaga sikap dan perilaku mereka terhadap awan jenis. Bahkan isteri-isteri Nabu pun pernah mendapatkan peringatan terhadap hal itu, seperti yang disebutkan dalam Al-Qur’an:

“…Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya…” (Al-Ahzab : 32)

Menurut Ibnul Qayyim, semua ayat ini berkaitan dengan penyakit syahwat, yaitu keinginan untuk bermaksiat, terutama berzina. (Ath Thibb An Nabawi hal 1-2).
Diketik ulang dari buku Sutra Asmara *hoho* karya Ust Abu Umar Basyier.

Tuesday, November 11, 2008

Faedah Shalat Tashbih

Tata Cara Sholat
Secara umum sholat tasbih sama dengan tata cara yag lain, hanya ada tambahan bacaan tasbih yaitu :
“Subhanallah wal hamdulillahi wa laa ilaa ha illallahu waAllahu akbar”
Lafadz ini diucapkan sebanyak 75 kali tiap raka’at dengan perincian sbb:
  • Sesudah membaca Al-Fatihah dan surah sebelum ruku sebanyak 15 kali
  • Ketika ruku’ sesudah membaca do’a ruku’ dibaca lagi sebanyak 10 kali
  • Ketika bangun dari ruku’ sesudah bacaan I’tidal dibaca 10 kali
  • Ketika sujud pertama sesudah membaca do’a sujud dibaca 10 kali
  • Ketika duduk diantara dua sujud sesudah membaca bacaan antara dua sujud dibaca 10 kali
  • Ketika sujud yang kedua sesudah membaca do’a sujud dibaca lagi sebanyak 10 kali
  • Ketika bangun dari sujud yang kedua sebelum bangkit (duduk istirahat) dibaca lagi sebanyak 10 kali.
Demikianlah dilakukan sebanyak 4 raka’at dengan sekali tasyahud yaitu pada raka’at yang ke empat lalu salam. Dan boleh juga dilakukan dua raka’at dua raka’at dan setiap dua raka’at membaca tasyahud kemudian salam. Wallahu a’lam…

Jumlah Raka’at
Semua riwayat menunjukkan 4 raka’at dengan tasbih sebanyak 75 kali tiap raka’at , jadi keseluruhannya 300 kali tasbih.

Waktu Sholat
Yang paling utama waktu sholat tasbih adalah sesudah tenggelamnya matahari sebagaimana dalam riwayat ‘Abdullah bin Amr. Tapi dalam riwayat Ikrimah yang Mursal diterangkan boleh malam dan boleh siang. Wallahu A’lam…

Catatan
Sholat ini ada pilihan : boleh tiap hari, kalau tidak bisa boleh tiap pekan kalau tidak bisa boleh tiap bulan, kalau tidak bisa boleh tiap tahun dan kalau tidak bisa boleh sekali seumur hidup, karena itu hendaklah kita memilih mana yang paling sesuai dengan kondisi kita masing-masing.

Kesimpulan
Hadits tentang sholat tasbih adalah hadits yang tsabit/sah dari Rasulullah r , maka boleh diamalkan sesuai dengan tata cara yang telah disebutkan diatas.

Penutup
Untuk melengkapi pembahasan yang singkat ini, maka kami juga sertakan penyimpangan-penyimpangan (bid’ah–bid’ah) yang banyak terjadi sekitar pelaksanaan sholat tasbih, diantaranya :
  1. Mengkhususkan pada malam Jum’at saja.
  2. Dilakukan secara berjama’ah terus menerus.
  3. Diiringi dengan bacaan-bacaan tertentu sebelum sholat ataupun sesudah sholat.
  4. Tidak mau sholat kecuali bersama Imamnya atau Jama’ahnya atau tariqatnya.
  5. Tidak mau sholat kecuali dimesjid tertentu.
  6. Keyakinan sebagian yang melakukannya bahwa rezekinya akan bertambah dengan sholat tasbih.
Membawa binatang-binatang tertentu untuk disembelih sebelum atau sesudah sholat tasbih disertai dengan keyakinan-keyakinan tertentu.

http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=Fiqh&article=24

Saturday, November 8, 2008

Memohon Ilmu yang Bermanfaat

Untuk semua temen2 di timur dan barat; yg mo exam ^^
“Ilmu itu terbagi dua, yaitu ilmu hati (yang sampai ke hati) dan ilmu lisan (hanya di lisan). Ilmu hati itulah ilmu yang bermanfaat, sedangkan ilmu lisan adalah tercela.”
Demikian ucapan Al Hasan Al Bashri dinukil oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam buku Al Iman halaman 21.
Orang-orang munafik terkadang membaca Al Qur’an, memahami, dan membenarkan bahwa ia adalah Kalamullah. Mereka mengakui bahwa yang dibawa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam adalah Al Haq, tetapi mereka tidak mengimaninya. Orang-orang yahudi dan nashrani mengenal Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam seperti mengenal anak-anak mereka sendiri tetapi mereka bukan orang-orang Mukmin. Contoh lain adalah iblis dan fir’aun la’natullah ‘alaihima, keduanya mengakui wujud (keberadaan) Allah dan para Nabi tetapi belum disebut Mukmin. Mereka semua tidak mencapai ilmu dan ma’rifat secara sempurna karena belum mengamalkan pengetahuan atau ilmu yang diperoleh. Orang yang tidak mengamalkan ilmu yang dimilikinya disebut jahil. (Al Iman halaman 22)
Ibnu Qudamah rahimahullah menyebut ilmu yang tidak bermanfaat sebagai sumber akhlak tercela. Beliau mencontohkan ilmu yang tidak bermanfaat adalah berdebat. Pada umumnya tujuan berdebat adalah untuk menampilkan kepandaian berbicara, menjatuhkan kehormatan lawan debat atau pihak yang terlibat dalam perdebatan itu, atau semata untuk mendapat pujian. (Minhajul Qasidin halaman 18, cetakan Muassasah Al Kutub, Ats Tsaqafah, 1987)
Oleh sebab itu, kita diperintahkan untuk memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala ilmu yang bermanfaat. Di antara doanya adalah :
“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rizki yang baik, dan amal yang diterima (di sisi-Mu).” (HR. Ibnu Sunni dalam Amalul Yaumi wal Lailah nomor 54 dan Ibnu Majah nomor 935. Hadits ini dihasankan oleh Abdul Qadir dan Syu’aib Al Arnauth dalam Tahqiq Zadul Ma’ad juz 3/385)
Doa ini dianjurkan dibaca pada pagi hari setelah shalat shubuh. (Lihat Hishnul Muslim halaman 67)
Pada hadits lain, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mengucapkan doa :

“Ya Allah, berilah manfaat dengan apa yang telah Engkau ajarkan kepadaku dan ajarkanlah apa yang bermanfaat untukku. Tambahkanlah aku ilmu. Segala puji bagi Allah pada semua keadaan. Aku berlindung kepada Allah dari adzab neraka.” (HR. Ibnu Majah dalam Sunan-nya. Lihat Sunan Tirmidzi nomor 49 dalam Kitab Da’wat dan Nasai dalam Sunan-nya nomor 3833 dari Abu Hurairah. Hadits ini dishahihkan oleh Al Albani dalam Misykah nomor 2493, tanpa lafadh “alhamdulillah ‘alaa kulli haal … .”)
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mengancam keras dengan neraka kepada orang yang mempelajari ilmu agama untuk berbangga-bangga.

“Barangsiapa menuntut ilmu agama untuk berbangga-bangga di hadapan para Ahli Ilmu atau mengelabuhi orang-orang bodoh atau agar mendapatkan perhatian khalayak, maka Allah akan memasukkannya ke dalam neraka.” (HR. Tirmidzi dari Ka’ab bin Malik dari bapaknya. Hadits ini dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Misykah nomor 233-235 dan At Ta’liq At Targhib nomor 68 juz 1)
Jadi, ilmu agama hanyalah digunakan untuk kebaikan dunia dan akhirat. Ilmu ini akan menuntun kehidupan ke jalan yang lurus. Jalan lurus (shirathal mustaqim) akan mengantarkan seseorang ke Jannah (Surga) dan menjauhkannya dari neraka.

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menganugerahkan kita ilmu yang bermanfaat dan terus menambahkan ilmu tersebut kepada kita sebagaimana Dia telah menganugerahkannya kepada Nabi dan Qudwah kita Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.

Wallahu Ta’ala A’lam.

Maraji’ :
  1. Al Iman, Ibnu Taimiyyah.
  2. Al Adzkar, Imam Nawawi, tahqiq Abdul Qadir Al Arnauth.
  3. Minhajul Qasidin, Ibnu Qudamah Al Maqdisi.
  4. Sunan Tirmidzi, Al Imam At Tirmidzi.
  5. Sunan Ibnu Majah, Al Imam Ibnu Majah.
  6. Ta’liq Misykatul Mashabih, Asy Syaikh Al Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al Albani.

Permisalan Wanita Baik bagi Insan Beriman

Al-Qur`an telah bertutur tentang dua wanita shalihah yang keimanannya telah menancap kokoh di relung kalbunya. Dialah Asiyah bintu Muzahim, istri Fir’aun, dan Maryam bintu ‘Imran. Dua wanita yang kisahnya terukir indah di dalam Al-Qur`an itu merupakan sosok yang perlu diteladani wanita muslimah saat ini.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Kitab-Nya yang mulia:

وَضَرَبَ اللهُ مَثَلاً لِلَّذِيْنَ آمَنُوا اِمْرَأَةَ فِرْعَوْنَ إِذْ قَالَتْ رَبِّ ابْنِ لِي عِنْدَكَ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ وَنَجِّنِي مِنْ فِرْعَوْنَ وَعَمَلِهِ وَنَجِّنِي مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِيْنَ. وَمَرْيَمَ ابْنَتَ عِمْرَانَ الَّتِي أَحْصَنَتْ فَرْجَهَا فَنَفَخْنَا فِيْهِ مِنْ رُوْحِنَا وَصَدَّقَتْ بِكَلِمَاتِ رَبِّهَا وَكُتُبِهِ وَكَانَتْ مِنَ الْقَانِتِيْنَ

Dan Allah membuat istri Fir’aun sebagai perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika istri Fir’aun berkata: “Wahai Rabbku, bangunkanlah untukku di sisi-Mu sebuah rumah dalam surga. Dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang dzalim.” (Perumpamaan yang lain bagi orang-orang beriman adalah) Maryam putri Imran yang memelihara kehormatannya, maka Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari ruh (ciptaan) Kami, dan dia membenarkan kalimat-kalimat Rabbnya dan kitab-kitab-Nya, dan adalah dia termasuk orang-orang yang taat. (At-Tahrim: 11-12)

Asiyah bintu Muzahim, istri Fir’aun, dan Maryam bintu ‘Imran adalah dua wanita kisahnya terukir indah dalam Al-Qur`an. Ayat-ayat Rabb Yang Maha Tinggi menuturkan keshalihan keduanya dan mempersaksikan keimanan yang berakar kokoh dalam relung kalbu keduanya. Sehingga pantas sekali kita katakan bahwa keduanya adalah wanita yang manis dalam sebutan dan indah dalam ingatan. Asiyah dan Maryam adalah dua dari sekian qudwah (teladan) bagi wanita-wanita yang beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan uswah hasanah bagi para istri kaum mukminin.

Al-Imam Ath-Thabari rahimahullahu berkata dalam kitab tafsirnya: “Allah yang Maha Tinggi berfirman bahwasanya Dia membuat permisalan bagi orang-orang yang membenarkan Allah dan mentauhidkan-Nya, dengan istri Fir’aun yang beriman kepada Allah, mentauhidkan-Nya, dan membenarkan Rasulullah Musa ‘alaihissalam. Sementara wanita ini di bawah penguasaan suami yang kafir, satu dari sekian musuh Allah. Namun kekafiran suaminya itu tidak memudharatkannya, karena ia tetap beriman kepada Allah. Sementara, termasuk ketetapan Allah kepada makhluk-Nya adalah seseorang tidaklah dibebani dosa orang lain (tapi masing-masing membawa dosanya sendiri, -pent.1), dan setiap jiwa mendapatkan apa yang ia usahakan.” (Jami’ul Bayan fi Ta`wilil Qur`an/ Tafsir Ath-Thabari, 12/162)

Pada diri Asiyah dan Maryam, ada permisalan yang indah bagi para istri yang mengharapkan perjumpaan dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan hari akhir. Keduanya dijadikan contoh untuk mendorong kaum mukminin dan mukminat agar berpegang teguh dengan ketaatan dan kokoh di atas agama. (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an/ Tafsir Al-Qurthubi, 9/132)

Seorang istri yang shalihah, ia akan bersabar dengan kekurangan yang ada pada suaminya dan sabar dengan kesulitan hidup bersama suaminya. Tidaklah ia mudah berkeluh kesah di hadapan suaminya atau mengeluhkan suaminya kepada orang lain, apalagi mengghibah suami, menceritakan aib/ cacat dan kekurangan sang suami. Bagaimana pun kekurangan suaminya dan kesempitan hidup bersamanya, ia tetap bersyukur di sela-sela kekurangan dan kesempitan tersebut, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala memilihkan lelaki muslim yang beriman kepada Allah dan hari akhir sebagai pendamping hidupnya. Dan tidak memberinya suami seperti suami Asiyah bintu Muzahim yang sangat kafir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan berbuat aniaya terhadap istri karena ia beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.

Tersebutlah, ketika sang durjana yang bergelar Fir’aun itu mengetahui keimanan Asiyah istrinya, ia keluar menemui kaumnya lalu bertanya: “Apa yang kalian ketahui tentang Asiyah bintu Muzahim?” Merekapun memujinya. Fir’aun berkata: “Ia menyembah Tuhan selain aku.” Mereka berkata: “Kalau begitu, bunuhlah dia.” Maka Fir’aun membuat pasak-pasak untuk istrinya, kemudian mengikat kedua tangan dan kedua kaki istrinya, kemudian menyiksanya di bawah terik matahari. Jika Fir’aun berlalu darinya, para malaikat menaungi Asiyah dengan sayap-sayap mereka. Asiyah berdoa: “Wahai Rabbku, bangunkanlah untukku di sisi-Mu sebuah rumah di dalam surga.”

Allah Subhanahu wa Ta’ala pun mengabulkan doa Asiyah dengan membangunkan sebuah rumah di surga untuknya. Dan rumah itu diperlihatkan kepada Asiyah, maka ia pun tertawa. Bertepatan dengan itu Fir’aun datang. Melihat Asiyah tertawa, Fir’aun berkata keheranan: “Tidakkah kalian heran dengan kegilaan Asiyah? Kita siksa dia, malah tertawa.”

Menghadapi beratnya siksaan Fir’aun, hati Asiyah tidak lari untuk berharap kepada makhluk. Ia hanya berharap belas kasih dan pertolongan dari Penguasa makhluk, Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ia berdoa agar diselamatkan dari siksaan yang ditimpakan Fir’aun dan kaumnya serta tidak lupa memohon agar diselamatkan dari melakukan kekufuran sebagaimana yang diperbuat Fir’aun dan kaumnya.2

Akhir dari semua derita dunia itu, berujung dengan dicabutnya ruh Asiyah untuk menemui janji Allah Subhanahu wa Ta’ala.3

Istri yang shalihah akan menjaga dirinya dari perbuatan keji dan segala hal yang mengarah ke sana. Sehingga ia tidak keluar rumah kecuali karena darurat, dengan izin suaminya. Kalaupun keluar rumah, ia memperhatikan adab-adab syar‘i. Dia menjaga diri dari bercampur baur apalagi khalwat (bersepi-sepi/ berdua-duaan) dengan laki-laki yang bukan mahramnya. Ia tidak berbicara dengan lelaki ajnabi (non mahram) kecuali karena terpaksa dengan tidak melembut-lembutkan suara. Dan ia tidak melepas pandangannya dengan melihat apa yang diharamkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ia ingat bagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala memuji Maryam yang sangat menjaga kesucian diri, sehingga ketika dikabarkan oleh Jibril  bahwa dia akan mengandung seorang anak yang kelak menjadi rasul pilihan Allah, Maryam berkata dengan heran:

أَنَّى يَكُوْنُ لِي غُلاَمٌ وَلَمْ يَمْسَسْنِي بَشَرٌ وَلَمْ أَكُ بَغِيًّا

“Bagaimana aku bisa memiliki seorang anak laki-laki sedangkan aku tidak pernah disentuh oleh seorang manusia (laki-laki) pun dan aku bukan pula seorang wanita pezina.” (Maryam: 20)

Wanita shalihah akan mengingat bagaimana keimanan Maryam kepada Allah  dan bagaimana ketekunannya dalam beribadah, sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala memilihnya dan mengutamakannya di atas seluruh wanita.

وَإِذْ قَالَتِ الْمَلاَئِكَةُ يَامَرْيَمُ إِنَّ اللهَ اصْطَفَاكِ وَطَهَّرَكِ وَاصْطَفَاكِ عَلَى نِسآءِ الْعَالَمِيْنَ

Ingatlah ketika malaikat Jibril berkata: “Wahai Maryam, sesungguhnya Allah telah memilihmu, mensucikan dan melebihkanmu di atas segenap wanita di alam ini (yang hidup di masa itu).” (Ali ‘Imran: 42)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

حَسْبُكَ مِنْ نِسَاءِ الْعَالَمِيْنَ: مَرْيَمُ ابْنَةُ عِمْرَانَ وَخَدِيْجَةُ بِنْتَ خُوَيْلِدٍ وَفَاطِمَةُ بِنْتُ مُحَمَّدٍ وَآسِيَةُ امْرَأَةُ فِرْعَوْنَ

“Cukup bagimu dari segenap wanita di alam ini (empat wanita, yaitu:) Maryam putri Imran, Khadijah bintu Khuwailid, Fathimah bintu Muhammad, dan Asiyah istri Fir’aun.”4

Yakni cukup bagimu untuk sampai kepada martabat orang-orang yang sempurna dengan mencontoh keempat wanita ini, menyebut kebaikan-kebaikan mereka, kezuhudan mereka terhadap kehidupan dunia, dan tertujunya hati mereka kepada kehidupan akhirat. Kata Ath-Thibi, cukup bagimu dengan mengetahui/ mengenal keutamaan mereka dari mengenal seluruh wanita. (Tuhfatul Ahwadzi, kitab Al-Manaqib)

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda memuji Asiyah dan Maryam5:

كَمُلَ مِنَ الرِّجَالِ كَثِيْرٌ، وَلَمْ يَكْمُلْ مِنَ النِّسَاءِ إِلاَّ آسِيَةُ امْرَأُةُ فِرْعَوْنَ وَمَرْيَمُ ابْتَةُ عِمْرَانَ، وَإِنَّ فَضْلَ عَائِشَةَ عَلى النِّسَاءِ كَفَضْلِ الثَّرِيْدِ عَلى سَائِرِ الطَّعَامِ

“Orang yang sempurna dari kalangan laki-laki itu banyak, namun tidak ada yang sempurna dari kalangan wanita kecuali Asiyah istri Fir’aun dan Maryam putri Imran. Sungguh keutamaan ‘Aisyah bila dibanding para wanita selainnya seperti kelebihan tsarid6 di atas seluruh makanan.”7

Di antara keutamaan Asiyah adalah ia memilih dibunuh daripada mendapatkan (kenikmatan berupa) kerajaan (karena suaminya seorang raja). Dan ia memilih azab/ siksaan di dunia daripada mendapatkan kenikmatan yang tadinya ia reguk di istana sang suami yang dzalim. Ternyata firasatnya tentang Musa  benar adanya ketika ia berkata kepada Fir’aun saat mengutarakan keinginannya untuk menjadikan Musa ‘alaihissalam sebagai anak angkatnya: قُرَةُ عَيْنٍ لِي (agar ia menjadi penyejuk mata bagiku).8 (Fathul Bari 6/544)

Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata: “Ayat-ayat ini (surat At-Tahrim ayat 10-12) mengandung tiga permisalan, satu untuk orang-orang kafir dan dua permisalan lagi untuk kaum mukminin.”

Setelah beliau menyebutkan permisalan bagi orang kafir, selanjutnya beliau berkata: “Adapun dua permisalan bagi orang-orang beriman, salah satunya adalah istri Fir’aun. Sisi permisalannya:

Hubungan seorang mukmin dengan seorang kafir tidaklah bermudharat bagi si mukmin sedikitpun, apabila si mukmin memisahkan diri dari orang kafir tersebut dalam kekafiran dan amalannya. Karena maksiat yang diperbuat orang lain sama sekali tidak akan berbahaya bagi seorang mukmin yang taat di akhiratnya kelak, walaupun mungkin ketika di dunia ia mendapatkan kemudharatan dengan sebab hukuman yang dihalalkan bagi penduduk bumi bila mereka menyia-nyiakan perintah Allah, lalu hukuman itu datang secara umum (sehingga orang yang baik pun terkena). Istri Fir’aun tidaklah mendapatkan mudharat karena hubungannya dengan Fir’aun, padahal Firaun itu adalah manusia paling kafir. Sebagaimana istri Nabi Nuh dan Nabi Luth ‘alaihimassalam tidak mendapatkan kemanfaatan karena hubungan keduanya dengan dua utusan Rabb semesta alam.

Permisalan yang kedua bagi kaum mukminin adalah Maryam, seorang wanita yang tidak memiliki suami, baik dari kalangan orang mukmin ataupun dari orang kafir. Dengan demikian, dalam ayat ini Allah menyebutkan tiga macam wanita:

Pertama: wanita kafir yang bersuamikan lelaki yang shalih.9
Kedua: wanita shalihah yang bersuamikan lelaki yang kafir.
Ketiga: gadis perawan yang tidak punya suami dan tidak pernah berhubungan dengan seorang lelakipun.

Jenis yang pertama, ia tidak mendapatkan manfaat karena hubungannya dengan suami tersebut.
Jenis kedua, ia tidak mendapatkan mudharat karena hubungannya dengan suami yang kafir.
Jenis ketiga, ketiadaan suami tidak bermudharat sedikitpun baginya.

Kemudian, dalam permisalan-permisalan ini ada rahasia-rahasia indah yang sesuai dengan konteks surat ini. Karena surat ini diawali dengan menyebutkan istri-istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan peringatan kepada mereka dari saling membantu menyusahkan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam10. Bila mereka (istri-istri Nabi) itu tidak mau taat kepada Allah dan Rasul-Nya serta tidak menginginkan hari akhirat, niscaya tidak bermanfaat bagi mereka hubungan mereka dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana istri Nuh dan istri Luth tidak mendapatkan manfaat dari hubungan keduanya dengan suami mereka. Karena itulah di dalam surah ini dibuat permisalan dengan hubungan nikah11 bukan hubungan kekerabatan.

Yahya bin Salam berkata: “Allah membuat permisalan yang pertama untuk memperingatkan ‘Aisyah dan Hafshah radhiallahu ‘anhuma. Kemudian memberikan permisalan kedua bagi keduanya untuk menganjurkan keduanya agar berpegang teguh dengan ketaatan.

Adapula pelajaran lain yang bisa diambil dari permisalan yang dibuat untuk kaum mukminin dengan Maryam. Yaitu, Maryam tidak mendapatkan mudharat sedikit pun di sisi Allah dengan tuduhan keji yang dilemparkan Yahudi dan musuh-musuh Allah terhadapnya. Begitu pula sebutan jelek untuk putranya, sedangkan Allah Subhanahu wa Ta’ala mensucikan keduanya dari tuduhan tersebut. Perlakuan jahat dan tuduhan keji itu ia dapatkan padahal ia adalah seorang ash-shiddiqah al-kubra (wanita yang sangat benar keimanannya, sempurna ilmu dan amalnya12), wanita pilihan di atas segenap wanita di alam ini. Lelaki yang shalih (yakni Isa putra Maryam ‘alaihissalam) pun tidak mendapatkan mudharat atas tuduhan orang-orang fajir dan fasik terhadapnya.

Dalam ayat ini juga ada hiburan bagi ‘Aisyah Ummul Mukminin radhiallahu ‘anha (atas tuduhan keji yang ia terima dari orang-orang munafik), jika surat ini turun setelah peristiwa Ifk13. Dan sebagai persiapan bagi jiwanya untuk menghadapi apa yang dikatakan para pendusta, bila surat ini turun sebelum peristiwa Ifk.

Sebagaimana dalam permisalan dengan istri Nuh dan Luth ada peringatan bagi ‘Aisyah dan juga Hafshah dengan apa yang diperbuat keduanya terhadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (At-Tafsirul Qayyim, hal. 396-498)

Demikian, semoga menjadi teladan dan pelajaran berharga bagi para istri shalihah…
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

1 Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Tanzil-Nya:
وَلاَ تَكْسِبُ كُلُّ نَفْسٍ إِلاَّ عَلَيْهَا وَلاَ تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى
“Dan tidaklah seseorang melakukan suatu dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri, dan seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.” (Al-An’am: 164)
2 Faedah: Al-’Allamah Al-Alusi rahimahullahu dalam tafsirnya mengatakan: “Dalam ayat ini terdapat dalil bahwa beristi`adzah (minta perlindungan) kepada Allah dan mohon keselamatan dari-Nya ketika terjadi ujian/ cobaan dan goncangan, merupakan kebiasaan yang dilakukan orang-orang shalih dan sunnah para nabi. Dan ini banyak disebutkan dalam Al-Qur`an.” (Ruhul Ma’ani fi Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim was Sab’il Matsani, 13/791)
3 Jami’ul Bayan fi Ta‘wilil Qur`an 12/162, Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an/ Tafsir Al-Qurthubi 9/132, Ruhul Ma’ani 13/790, An-Nukat wal ‘Uyun Tafsir Al-Mawardi 6/47.
4 HR. At-Tirmidzi no. 3878, kitab Manaqib ‘an Rasulillah, bab Fadhlu Khadijah radhiallahu ‘anha, dari hadits Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih At-Tirmidzi dan Al-Misykat no. 6181.
5 Ada sebagian atsar yang menyebutkan bahwa Maryam dan Asiyah diperistri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di surga, sebagaimana riwayat Ath-Thabrani dari Sa’ad bin Junadah, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ زَوَّجَنِي فِي الْجَنَّةِ مَرْيَمَ بِنْتَ عِمْرَانَ وَامْرَأَةَ فِرْعَوْنَ وَأُخْتَ مُوْسى عَلَيْهِ السَّلاَمِ
“Sesungguhnya Allah menikahkan aku di surga dengan Maryam bintu Imran, istri Fir’aun (Asiyah), dan dengan (Kultsum) saudara perempuannya Musa ‘alaihissalam.”
Namun hadits ini lemah, Asy-Syaikh Al-Albani dalam Adh-Dha’ifah (no. 812) mengatakan hadits ini mungkar.
Adapun pendapat yang mengatakan Maryam dan Asiyah adalah nabi dari kalangan wanita sebagaimana Hajar dan Sarah, tidaklah benar karena syarat nubuwwah (kenabian) adalah dari kalangan laki-laki, menurut pendapat yang shahih. (Ruhul Ma’ani, 13/793)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلاَّ رِجَالاً نُوْحِي إِلَيْهِمْ
“Tidaklah Kami mengutus rasul sebelummu kecuali dari kalangan laki-laki yang Kami berikan wahyu kepada mereka.” (An-Nahl: 43)
6 Tsarid adalah makanan istimewa berupa daging dicampur roti yang dilumatkan.
7 HR. Al-Bukhari no. 3411, kitab Ahaditsul Anbiya, bab Qaulillahi Ta’ala: Wa Dharaballahu Matsalan lilladzina Amanu… . Diriwayatkan pula oleh Al-Imam Muslim no. 6222, kitab Fadha`il Ash-Shahabah.
8 Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَلْتَقَطَهُ آلُ فِرْعَوْنَ لِيَكُوْنَ لَهُمْ عَدُوًّا وَحَزَنًا إِنَّ فِرْعَوْنَ وَهَامَانَ وَجُنُوْدَهُمَا كَانُوْا خَاطِئِيْنَ. وَقَالَتِ امْرَأَةُ فِرْعَوْنَ قُرَّتُ عَيْنٍ لِي وَلَكَ لاَ تَقْتُلُوْهُ عَسَى أَنْ يَنْفَعَنَا أَوْ نَتَّخِذَهُ وَلَدًا وَهُمْ لاَ يَشْعُرُوْنَ
“Maka Musa dipungut oleh keluarga Fir’aun yang kemudian ia menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka. Sesungguhnya
Fir’aun dan Haman beserta tentaranya adalah orang-orang yang bersalah. Dan berkatalah istri Fir’aun kepada suaminya: ‘Ia adalah penyejuk mata hati bagiku dan bagimu. Janganlah kalian membunuhnya, mudah-mudahan ia bermanfaat bagi kita atau kita ambil ia menjadi anak.’ Sedangkan mereka tiada menyadari.” (Al-Qashash: 8-9)
9 Yaitu istri Nabi Nuh ‘alaihissalam dan istri Nabi Luth ‘alaihissalam
10 Lihat surat At-Tahrim ayat 1 sampai 5.
11 Hubungan istri dengan suaminya; istri Nuh dengan suaminya, istri Luth dengan suaminya, dan Asiyah dengan suaminya Fir‘aun.
12 Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 875
13 Kisah Ifk ini (tuduhan zina terhadap ‘Aisyah) beserta pernyataan kesucian ‘Aisyah diabadikan dalam Al-Qur`an, surah An-Nur ayat 11-26.

Friday, November 7, 2008

Pasca Kelahiran Bayi

Buat ukhtina yg akan segera melangsungkan ‘hari bahagia’ nya.. buat yg masih belum mendapatkan kesempatan untuk menerima amanah yg membahagiakan itu,, selamat belajar.. dcopy dari Jilbab.or.id.

Persiapan pasca persalinan

Reaksi bayi sehat:

Bayi akan terkejut jika kita tepuk tangan dekat bayi saat bayi tertidur, 2 lengan akan bergerak merangkul kedua tungkai akan diangkat menekuk pada lutut.

Selanjutnya » Show/Hide

Monday, October 13, 2008

Ilmu itu Seperti Hujan

Disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim hadits dari Abu Musa Al-Asy’ari Radhiyallahu Anhu yang berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa SalIam bersabda,
“Sesungguhnya perumpamaan petunjuk dan ilmu yang diutus Allah kepadaku seperti hujan yang membasahi bumi. Ada bumi yang subur yang menerima air kemudian menumbuhkan rumput yang banyak. Ada bumi yang keras yang menahan air kemudian dengannya Allah memberi manfaat kepada manusia. Mereka meminum dari air ter-sebut, memberi minum hewan ternaknya, dan bercocok tanam. Hujan juga membasahi bumi yang lain, yaitu lembah yang tidak mampu menahan air dan menumbuhkan rumput. Demikianlah perumpamaan orang yang memahami agama Allah kemudian mendapat manfaat dari apa yang aku diutus dengannya. la belajar dan mengajar. Dan itulah perumpamaan orang yang tidak bisa diangkat kedudukannya oleh petunjuk Allah, dan tidak menerima petunjuk Allah yang aku diutus dengannya.” (Diriwayatkan Al-Bukhari, dan Muslim).
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengumpamakan ilmu dan petunjuk yang beliau bawa seperti hujan, karena masing-masing dari ketiganya (ilmu, petunjuk, dan hujan) mendatangkan kehidupan, makanan, obat-obatan, dan seluruh kebutuhan manusia yang lain. Semua itu bisa didapatkan dengan ilmu dan hujan.

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengumpamakan hati manusia seperti tanah yang mendapatkan siraman air hujan, karena tanah adalah tempat yang menahan air hujan kemudian menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang bermanfaat, sebagaimana hati yang memahami ilmu, maka ilmu tersebut berbuah di dalamnya, berkembang, terlihat ke-berkahannya dan buahnya.

Kemudian Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengelompokkan manusia ke dalam tiga kelompok sesuai dengan penerimaan mereka, dan kesiapan mereka menghapal ilmu, memahami makna-maknanya, mengeluarkan hukum-hukumnya, hikmah-hikmahnya dan manfaat-manfaatnya;

Pertama, orang yang mampu menghapal ilmu dan memahaminya. Mereka memahami makna-maknanya, mengeluarkan hukum-hukumnya, hikmah-hikmahnya, dan manfaat-manfaatnya. Mereka seperti tanah yang menerima air kemudian menumbuhkan rumput yang banyak. Pemahamannya terhadap agama, dan istimbath hukum adalah seperti tumbuhnya rumput dengan air.

Kedua, orang yang mampu menghapal ilmu, menjaganya, menyebar-kannya, dan mengendalikannya, namun tidak mampu memahami makna-maknanya, mengeluarkan hukum-hukum, hikmah-hikmah, dan manfaat-manfaat dari ilmu tersebut. Mereka seperti orang yang mampu membaca Al-Qur’an, menghapalnya, memperhatikan makharijul huruf (tempat ke-luarnya huruf), dan harakat-nya, namun tidak dianugerahi pemahaman khusus oleh Allah, seperti dikatakan Ali Radhiyallahu Anhu, “Kecuali pemahaman yang diberikan Allah kepada hamba-Nya di dalam Kitab-Nya.”

Tingkat pemahaman manusia tentang Allah Ta’ala, dan Rasul-Nya itu tidak sama. Terkadang ada orang cuma mampu memahami satu atau dua hukum dari satu dalil, sedang orang lain mampu memahami seratus atau dua ratus hukum dari dalil yang sama.

Mereka seperti tanah yang mampu menahan (menyimpan) air untuk manusia kemudian mereka mendapatkan manfaat darinya. Ada yang minum daripadanya, memberi minum hewan ternaknya, dan bercocok tanam dengannya.

Kedua kelompok di atas adalah kelompok orang-orang yang berbahagia. Kelompok pertama adalah kelompok yang paling tinggi derajatnya dan kebesarannya dari seluruh kelompok-kelompok manusia yang ada. Allah Ta ‘ala berfirman,
“Itulah karunia Allah yang diberikannya kepada siapa yang di-kehendaki-Nya, dan Allah mempunyai karunia yang sangat besar.” (Al-Jumu’ah: A).
Ketiga, orang-orang yang tidak mendapatkan sedikit pun ilmu; baik hapalan, atau pemahaman, atau periwayatan. Mereka seperti tanah lembah yang tidak bisa menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dan menahan (menyim¬pan) air. Mereka adalah kelompok orang-orang celaka.

Kelompok pertama dan kelompok kedua mempunyai ilmu dan mengajarkannya sesuai dengan ilmu yang diterimanya dan sampai padanya. Kelompok kedua mengajarkan kata-kata Al-Qur’an dan menghapalnya, sedang kelompok pertama mengajarkan makna-makna Al-Qur’an, hukum-hukumnya, dan ilmu-ilmunya.

Sedang kelompok ketiga, mereka tidak mempunyai ilmu apalagi mengajarkannya. Mereka tidak bisa “diangkat” dengan petunjuk Allah, dan tidak menerimanya.



Hadits mulia di atas memuat kemuliaan ilmu, pengajarannya, posisinya, dan kecelakaan orang yang tidak mempunyai ilmu.

Hadits di atas juga mengklasifikasi manusia menurut barometer ilmu ke dalam dua kelompok; kelompok orang-orang celaka dan kelompok orang-orang bahagia, dan mengklasifikasi kelompok orang-orang bahagia ke dalam dua kelompok; kelompok pemenang yang didekatkan kepada Allah dan kelompok kanan yang pertengahan.

lni menjadi bukti, bahwa kebutuhan manusia kepada ilmu itu seperti kebutuhan mereka kepada hujan, bahkan lebih besar lagi. Jika mereka tidak memiliki ilmu, mereka tak ubahnya seperti tanah yang tidak mendapatkan hujan.

Imam Ahmad berkata, “Kebutuhan manusia kepada ilmu itu lebih besar daripada kebutuhan mereka kepada makanan dan minuman, karena makanan dan minuman hanya dibutuhkan sekali atau dua kali dalam satu hari, sedang ilmu itu dibutuhkan sebanyak jumlah nafas.”

Allah Ta’ala berfirman,
“Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih yang mengembang. Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang batil. ” (Ar-Ra’du: 17).
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengumpamakan ilmu yang Dia turunkan kepada Rasul-Nya seperti air yang Dia turunkan dari langit, karena masing-masing dari ilmu dan air hujan mendatangkan kehidupan dan kemaslahatan bagi manusia di dunia dan akhirat mereka.

Allah Ta’ala juga mengumpamakan hati manusia lembah. Hati yang besar yang mampu menampung ilmu yang banyak adalah seperti lembah besar yang mampu menampung air yang banyak, dan hati yang kecil yang hanya mampu menampung ilmu yang sedikit adalah seperti lembah kecil yang hanya mampu menampung air yang sedikit. Allah Ta’ala berfirman, “Maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih yang mengembang. ” Itulah perumpamaan yang dibuat Allah Ta’ala tentang ilmu, bahwa jika ilmu telah bercampur dengan hati, maka ilmu mengeluarkan buih syubhat yang batil dari dalam hati kemudian buih syubhat mengapung di permukaan hati, sebagaimana arus di lembah mengeluarkan buih yang mengapung di atas permukaan air.

Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan, bahwa buih itu mengapung, berada di atas permukaan air, dan tidak menempel kuat di tanah lembah. Demikian juga syubhat-syubhat yang batil, jika ia telah diusir oleh ilmu dari dalam hati, ia pun mengapung di permukaan hati, tidak menetap di dalamnya, bahkan kemudian pada tahap berikutnya terbuang, dan yang menetap di dalam hati ialah apa yang bermanfaat bagi pemiliknya dan manusia secara umum, yaitu petunjuk dan agama yang benar, sebagaimana yang menetap di dalam lembah ialah air murni, sedang buihnya musnah karena tidak ada harganya. Tidak ada yang memahami perumpamaan-perumpamaan Allah Ta’ala kecuali orang-orang berilmu.

Allah Ta ‘ala membuat perumpamaan yang lain dengan berfirman, “Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu.” Maksudnya, bahwa jika manusia membakar benda-benda padat seperti emas, perak, tembaga, dan besi, maka benda-benda tersebut mengeluarkan kotoran dalam bentuk buih yang sebelumnya menyatu dengannya. Buih kotoran tersebut dibuang dan dikeluarkan, sedang yang tersisa adalah perhiasan asli saja.

Allah Subhanahu wa Ta’ala membuat perumpamaan berupa air, karena air memberi kehidupan, mendinginkan (menyegarkan), dan mengandung manfaat-manfaat yang banyak sekali. Allah Ta’ala juga membuat per¬umpamaan berupa api, karena api mengandung cahaya, dan membakar apa saja yang tidak bermanfaat. Jadi ayat-ayat Al-Qur’an itu menghidupkan hati sebagaimana tanah dihidupkan dengan air. Ayat-ayat Al-Qur’an juga membakar kotoran-kotoran hati, syubhat-syubhatnya, syahwat-syahwatnya, dan dendam kesumatnya sebagaimana api membakar apa saja yang di-masukkan ke dalamnya. Selain itu, ayat-ayat Al-Qur’an juga membedakan mana yang baik dari yang buruk sebagaimana api membedakan mana yang buruk dan mana yang baik yang ada pada emas, perak, tembaga, dan lain sebagainya.

Inilah sebagian ibrah dan ilmu yang ada dalam perumpamaan yang agung di atas. Allah Ta’ala berfirman,
“Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.” (Al-Ankabut: 43).
___________
Dinukil dari “Buah Ilmu” (kumpulan keutamaan ilmu yang diringkas dari kitab Ibnu Qayyim “Miftah Daar As-Sa’adah” oleh Abu Al-Harits Al-Halbi Al-Atsari), Penerbit, Pustaka Azzam.

Monday, October 6, 2008

Cerita Kehidupan

Ketika seseorang sudah mulai beranjak dewasa, ketika akalnya mulai sempurna, mulailah ia berpikir tentang hakikat kehidupan, yaitu kehidupan yang sedang ia jalani sebagaimana yang dijalani juga oleh yang lainnya. Bumi ini telah penuh sesak dengan manusia, semuanya silih bergani, ada yang datang dan ada yang pergi, ada yang lahir dan ada yang mati.

Jika hari ini berkuasa seorang raja, besok akan berkuasa lagi raja lainnya. Sekiranya hari ini ada pengangkatan seorang mentri atau seorang jendreral, dahulunya kita juga mendengar bahwa di negeri anu telah diangkat pula seorang menteri atau panglima. Yang tetap itu hanya peran manusia dalam kehidupan ini, sedangkan yang silih berganti adalah para pelaku yang memeraninya.

Peran kehidupan itu ada yang baik dan ada yang buruk, hanya saja manusia disuruh untuk memilih peran bai, bukan peran buruk.
“Itu adalah umat yang telah lalu, baginya apa yang diusahakannya dan bagimu apa yang kamu usahakan, dan kamu tidak akan diminta pertanggung-jawaban tentang apa yang telah mereka jerjakan.” QS. Al-Baqarah : 141.
Nabi Musa ‘alayhisSalam, orang-orang disibukkan dengan kekuasaan Fir’aun, bahan cerita orang terfokus pada kekayaan Qarun dan decak kagum orang hanya pada arsitektur bangunan yang dirancang oleh Haman. Akan tetapi, mana cerita kehidupan itu sekarang ini? Semuanya sirna dan punah, yang kita temukan hanya ceritapada lembaran kitab-kitab suci. Dan apa yang tersisa dari sejarah kepongahan tersebut? Yang tersisa hanya bekas-bekasnya saja.

Dari sepanjang perjalanan hidup manusia yang beragam ini, baik pada masa kekuasaan orang-orang shalih, maupun cengkaraman orang-orang thalih, Allah Subhanahu waTa’ala tetap menjaga alam ini, memelihara bumi dan dunia sekitarnya, dalam keseimbangan yang berkesinambungan, dalam keindahan yang menakjubka dan ciptaan yang berjenis dan berpasang-pasangan. Adanya siang dan malam, laki-laki dan perempuan, langit dan bumi, semuanya itu pertanda adanya Pencipta.

Salah seorang Badui Jahiliyyah berkata, “Lautan yang berombak dan langit yang berbintang serta bumi yang berlembah, bukanlah semu itu menunjukkan adanya Sang Pencipta?”
Begitu besar penciptaan langit dan bumi beserta isinya, memberi pengertian kepada kita bahwa Allah Subhanahu waTa’ala menciptakannya bukan sekedar bermain-main.

Allah Subhanahu waTa’ala berfirman:
“Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kam secara main-main (saja) dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” QS. Al-Mu’minun : 115.
“Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan beitu saja (tanpa pertanggunjawaban)?” QS. Al-Qiyamah : 36.
“Dan tiadalah kehidupan dunia ini melankan senda gurau dan main-main. Sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui.” QS. Al-Ankabut : 64.
Sekiranya kehidupan yang penuh kesinambungan ini tidak diciptakan untuk bersenda-gurau, lalu untuk apa Allah Subhanahu waTa’ala ciptakan? Apa tugas manusia? Apakah mereka hanya sekedar makan, minum, menikah dan memiliki keluarga dan mempererat suku saja? Atau ia hidup dalam tidak bertujuan sebagaimana ia mati tidak bertujuan? Tanah terakhir yang diletakkan oleh orang pada kuburannya, itu pula akhir dari cerita kehidupannya?

Bagaimana yang kaya dengan kezhalimannya, bagaimana yang berkuasa dengan kediktatorannya? Apakah mereka dibiarkan begitu saja? Bagaimana pula si Miskin dengan kefakirannya atau rakyat jelata dengan penderitaan mereka? Kapan mereka dapat kebahagiaan pula? Bagaimana pula dengan para nabi dan rasul, para ulama dan ahli ibadah terusir dan belum memperoleh kebahagiaan?

Sekiranya dunia ini diciptakan dengan keadilan Sang Pencipta, tentu balasan baik atau buruk dengan keadilan-Nya juga? Sekiranya dunia ini mampu Dia ciptakan dari asal yang tidak ada, berarti Dia pula mampu untuk membalas kebaikan dengan kebaikan dan keburukan dengan keburukan.

Allah Subhanahu waTa’ala berfirman:
Dan setia mereka semuanya akan dikumpulkan lagi kepada Kami. Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah bumi yang mati. Kami hidupkan bumi itu dan Kami keluarkan dari padanya biji-bijian, maka daripadanya mereka makan. Dan kami jadikan padanya kebun0kebun kurma dan anggur dan kami pancarkan padanya beberapa mata air. Supaya mereka dapat makan dari buahnya dan dari apa yang diusahakan oleh tangan mereka. Maka mengapakah mereka tidak bersyukur? Maha Suci Rabb yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui. Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah malam; kami tanggalkan siang dan malam itu, maka dengan serta merta mereka berada dalam kegelapan. Dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetepan yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. Dan telah kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua. Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mengetahui siang, dan masing-masing beredar pada garis edarnya.” QS. Yasin : 32-40.
Dan Allah Subhanahu waTa’ala berfirman,
“Dan ia membuat perumpamaan bagi kami; dan dia lupa kepada kejadiannya, ia berkata: ‘Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang, yang telah hancur luluh?’ Katakanlah: ‘Ia akan dihidupkan oleh Rabb yang menciptakannnya kali yang pertama. dan Dia Maha Mengetahui tentang segala makhluq. Yaitu Rabb yang menjadikan untukmu api dari kayu yang hijau, maka tiba-tiba kamu nyalakan (api) dari kayu itu.’ Dan tidaklah Rabb yang menciotakan langit dan bumi itu berkuasa menciptakan yang serupa dengan itu? benar, Dia berkuasa. Dan Dialah Maha pencipta lagi Maha Mengetahui.” QS. Yaasin : 78-81.
Diketik ulang dari buku Untukmu Yang Berjiwa Hanif karya Ust.Armen Halim Naro rahimahullaahu ta’ala bab Hakikat Kehidupan pp.9-17, Pustaka Darul ‘Ilmiy - Bogor.

Wednesday, September 10, 2008

Arti Sebuah Cinta

Oleh : Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah An-Nawawi

Cinta bisa jadi merupakan kata yang paling banyak dibicarakan manusia. Setiap orang memiliki rasa cinta yang bisa diaplikasikan pada banyak hal. Wanita, harta, anak, kendaraan, rumah dan berbagai kenikmatan dunia lainnya merupakan sasaran utama cinta dari kebanyakan manusia. Cinta yang paling tinggi dan mulia adalah cinta seorang hamba kepada Rabb-nya.

Kita sering mendengar kata yang terdiri dari lima huruf: CINTA. Setiap orang bahkan telah merasakannya, namun sulit untuk mendefinisikannya. Terlebih untuk mengetahui hakikatnya. Berdasarkan hal itu, seseorang dengan gampang bisa keluar dari jeratan hukum syariat ketika bendera cinta diangkat. Seorang pezina dengan gampang tanpa diiringi rasa malu mengatakan, “Kami sama-sama cinta, suka sama suka.” Karena alasan cinta, seorang bapak membiarkan anak-anaknya bergelimang dalam dosa. Dengan alasan cinta pula, seorang suami melepas istrinya hidup bebas tanpa ada ikatan dan tanpa rasa cemburu sedikitpun.


Demikianlah bila kebodohan telah melanda kehidupan dan kebenaran tidak lagi menjadi tolok ukur. Dalam keadaan seperti ini, setan tampil mengibarkan benderanya dan menabuh genderang penyesatan dengan mengangkat cinta sebagai landasan bagi pembolehan terhadap segala yang dilarang Allah dan Rasul-Nya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.” (Ali ‘Imran: 14)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam haditsnya dari shahabat Tsauban radhiyallahu ‘anhu mengatakan: ‘Hampir-hampir orang-orang kafir mengerumuni kalian sebagaimana berkerumunnya di atas sebuah tempayan.’ Seseorang berkata: ‘Wahai Rasulullah, apakah jumlah kita saat itu sangat sedikit?’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: ‘Bahkan kalian saat itu banyak akan tetapi kalian bagaikan buih di atas air. Dan Allah benar-benar akan mencabut rasa ketakutan dari hati musuh kalian dan benar-benar Allah akan campakkan ke dalam hati kalian (penyakit) al-wahn.’ Seseorang bertanya: ‘Apakah yang dimaksud dengan al-wahn wahai Rasulullah?’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Cinta dunia dan takut mati.’ (HR. Abu Dawud no. 4297, dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 3610)
Asy-Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’di dalam tafsirnya mengatakan: “Allah memberitakan dalam dua ayat ini (Ali ‘Imran: 13-14) tentang keadaan manusia kaitannya dengan masalah lebih mencintai kehidupan dunia daripada akhirat, dan Allah menjelaskan perbedaan yang besar antara dua negeri tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitakan bahwa hal-hal tersebut (syahwat, wanita, anak-anak, dsb) dihiaskan kepada manusia sehingga membelalakkan pandangan mereka dan menancapkannya di dalam hati-hati mereka, semuanya berakhir kepada segala bentuk kelezatan jiwa. Sebagian besar condong kepada perhiasan dunia tersebut dan menjadikannya sebagai tujuan terbesar dari cita-cita, cinta dan ilmu mereka. Padahal semua itu adalah perhiasan yang sedikit dan akan hilang dalam waktu yang sangat cepat.”

Definisi Cinta

Untuk mendefinisikan cinta sangatlah sulit, karena tidak bisa dijangkau dengan kalimat dan sulit diraba dengan kata-kata. Ibnul Qayyim mengatakan: “Cinta tidak bisa didefinisikan dengan jelas, bahkan bila didefinisikan tidak menghasilkan (sesuatu) melainkan menambah kabur dan tidak jelas, (berarti) definisinya adalah adanya cinta itu sendiri.” (Madarijus Salikin, 3/9)

Hakikat Cinta

Cinta adalah sebuah amalan hati yang akan terwujud dalam (amalan) lahiriah. Apabila cinta tersebut sesuai dengan apa yang diridhai Allah, maka ia akan menjadi ibadah. Dan sebaliknya, jika tidak sesuai dengan ridha-Nya maka akan menjadi perbuatan maksiat. Berarti jelas bahwa cinta adalah ibadah hati yang bila keliru menempatkannya akan menjatuhkan kita ke dalam sesuatu yang dimurkai Allah yaitu kesyirikan.

Cinta kepada Allah

Cinta yang dibangun karena Allah akan menghasilkan kebaikan yang sangat banyak dan berharga. Ibnul Qayyim dalam Madarijus Salikin (3/22) berkata: “Sebagian salaf mengatakan bahwa suatu kaum telah mengaku cinta kepada Allah lalu Allah menurunkan ayat ujian kepada mereka:
“Katakanlah: jika kalian cinta kepada Allah maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian.” (Ali ‘Imran: 31)
Mereka (sebagian salaf) berkata: “(firman Allah) ‘Niscaya Allah akan mencintai kalian’, ini adalah isyarat tentang bukti kecintaan tersebut dan buah serta faidahnya. Bukti dan tanda (cinta kepada Allah) adalah mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, faidah dan buahnya adalah kecintaan Allah kepada kalian. Jika kalian tidak mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka kecintaan Allah kepada kalian tidak akan terwujud dan akan hilang.

Bila demikian keadaannya, maka mendasarkan cinta kepada orang lain karena-Nya tentu akan mendapatkan kemuliaan dan nilai di sisi Allah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik rahimahullah:
“Tiga hal yang barangsiapa ketiganya ada pada dirinya, niscaya dia akan mendapatkan manisnya iman. Hendaklah Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya, dan hendaklah dia mencintai seseorang dan tidaklah dia mencintainya melainkan karena Allah, dan hendaklah dia benci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allah selamatkan dia dari kekufuran itu sebagaimana dia benci untuk dilemparkan ke dalam neraka.” (HR. Al-Bukhari no. 16 dan Muslim no. 43)
Ibnul Qayyim mengatakan bahwa di antara sebab-sebab adanya cinta (kepada Allah) ada sepuluh perkara:

Pertama, membaca Al Qur’an, menggali, dan memahami makna-maknanya serta apa yang dimaukannya. Kedua, mendekatkan diri kepada Allah dengan amalan-amalan sunnah setelah amalan wajib. Ketiga, terus-menerus berdzikir dalam setiap keadaan. Keempat, mengutamakan kecintaan Allah di atas kecintaanmu ketika bergejolaknya nafsu. Kelima, hati yang selalu menggali nama-nama dan sifat-sifat Allah, menyaksikan dan mengetahuinya. Keenam, menyaksikan kebaikan-kebaikan Allah dan segala nikmat-Nya. Ketujuh, tunduknya hati di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kedelapan, berkhalwat (menyendiri dalam bermunajat) bersama-Nya ketika Allah turun (ke langit dunia). Kesembilan, duduk bersama orang-orang yang memiliki sifat cinta dan jujur. Kesepuluh, menjauhkan segala sebab-sebab yang akan menghalangi hati dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. (Madarijus Salikin, 3/18, dengan ringkas)

Cinta adalah Ibadah

Sebagaimana telah lewat, cinta merupakan salah satu dari ibadah hati yang memiliki kedudukan tinggi dalam agama sebagaimana ibadah-ibadah yang lain. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu.” (Al-Hujurat: 7)
“Dan orang-orang yang beriman lebih cinta kepada Allah.” (Al-Baqarah: 165)
Maka Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya.” (Al-Maidah: 54)
Adapun dalil dari hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hadits Anas yang telah disebut di atas yang dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim: “Hendaklah Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai daripada selain keduanya.”

Macam-macam Cinta
Di antara para ulama ada yang membagi cinta menjadi dua bagian dan ada yang membaginya menjadi empat. Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdulwahhab Al-Yamani dalam kitab Al-Qaulul Mufid fi Adillatit Tauhid (hal. 114) menyatakan bahwa cinta ada empat macam:

Pertama, cinta ibadah.
Yaitu mencintai Allah dan apa-apa yang dicintai-Nya, dengan dalil ayat dan hadits di atas.

Kedua, cinta syirik.
Yaitu mencintai Allah dan juga selain-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan di antara manusia ada yang menjadikan selain Allah sebagai tandingan-tandingan (bagi Allah), mereka mencintai tandingan-tandingan tersebut seperti cinta mereka kepada Allah.” (Al-Baqarah: 165)
Ketiga, cinta maksiat.
Yaitu cinta yang akan menyebabkan seseorang melaksanakan apa yang diharamkan Allah dan meninggalkan apa-apa yang diperintahkan-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan kalian mencintai harta benda dengan kecintaan yang sangat.” (Al-Fajr: 20)

Keempat, cinta tabiat.
Seperti cinta kepada anak, keluarga, diri, harta dan perkara lain yang dibolehkan. Namun tetap cinta ini sebatas cinta tabiat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Ketika mereka (saudara-saudara Yusuf ‘alaihis salam) berkata: ‘Yusuf dan adiknya lebih dicintai oleh bapak kita daripada kita.” (Yusuf: 8)
Jika cinta tabiat ini menyebabkan kita tersibukkan dan lalai dari ketaatan kepada Allah sehingga meninggalkan kewajiban-kewajiban, maka berubahlah menjadi cinta maksiat. Bila cinta tabiat ini menyebabkan kita lebih cinta kepada benda-benda tersebut sehingga sama seperti cinta kita kepada Allah atau bahkan lebih, maka cinta tabiat ini berubah menjadi cinta syirik.

Buah cinta
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan: “Ketahuilah bahwa yang menggerakkan hati menuju Allah ada tiga perkara: cinta, takut, dan harapan. Dan yang paling kuat adalah cinta, dan cinta itu sendiri merupakan tujuan karena akan didapatkan di dunia dan di akhirat.” (Majmu’ Fatawa, 1/95)
Asy-Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah menyatakan: “Dasar tauhid dan ruhnya adalah keikhlasan dalam mewujudkan cinta kepada Allah. Cinta merupakan landasan penyembahan dan peribadatan kepada-Nya, bahkan cinta itu merupakan hakikat ibadah. Tidak akan sempurna tauhid kecuali bila kecintaan seorang hamba kepada Rabbnya juga sempurna.” (Al-Qaulus Sadid, hal. 110)
Bila kita ditanya bagaimana hukumnya cinta kepada selain Allah? Maka kita tidak boleh mengatakan haram dengan spontan atau mengatakan boleh secara global, akan tetapi jawabannya perlu dirinci.

Pertama, bila dia mencintai selain Allah lebih besar atau sama dengan cintanya kepada Allah maka ini adalah cinta syirik, hukumnya jelas haram. Kedua, bila dengan cinta kepada selain Allah menyebabkan kita terjatuh dalam maksiat maka cinta ini adalah cinta maksiat, hukumnya haram. Ketiga, bila merupakan cinta tabiat maka yang seperti ini diperbolehkan.

Wallahu a’lam.

Sumber: Majalah AsySyariah
Copas dari: Ummu Nauroh.