Sunday, June 8, 2014

Kisah Nabi Nuh 'alayhissalaam (Bag.2)

Maka Nabi Nuh pun bersedih karena kaumnya tidak mau memenuhi ajakannya, bahkan sampai meminta agar disegerakan azab untuk mereka. Meskipun begitu, Nabi Nuh ‘alaihissalam tidak berputus asa, dia tetap berharap kiranya ada di antara mereka yang mau beriman. Hari demi hari berganti, bulan demi bulan berganti dan tahun pun berganti dengan tahun berikutnya, tetapi ajakan Beliau tidak membawa hasil, Beliau berdakwah kepada kaumnya dalam waktu yang cukup lama, yaitu 950 tahun sebagaimana yang difirmankan Allah,

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka ia tinggal di antara mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun..” (QS. Al ‘Ankabut: 14)

Namun sedikit sekali yang mau beriman kepadanya. Hingga akhirnya, Beliau mengadu kepada Allah seperti yang disebutkan dalam surah Nuh:

“Ya Tuhanku sesungguhnya aku telah menyeru kaumku malam dan siang,–Maka seruanku itu hanyalah menambah mereka lari .–Dan sesungguhnya setiap kali aku menyeru mereka agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jari mereka ke dalam telinganya dan menutupi bajunya dan mereka tetap (di atas sikapnya) dan menyombongkan diri dengan sangat.–Kemudian sesungguhnya aku telah menyeru mereka dengan cara terang-terangan ,–Kemudian sesungguhnya aku seru mereka dengan terang-terangan dan dengan diam-diam,–Maka aku katakan kepada mereka, ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun,–Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat,–Dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan untukmu sungai-sungai.” (QS. Nuh: 5-12)

–Nabi Nuh berkata, “Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorang pun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi.–Sesungguhnya jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hamba-Mu, dan mereka tidak akan melahirkan selain anak yang berbuat maksiat lagi sangat kafir. (QS. Nuh : 26-27)

Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada Nabi Nuh untuk membuat kapal, dan mengajarkan kepadanya bagaimana membuatnya dengan baik. Mulailah Nabi Nuh ‘alaihissalam membuat kapal dengan dibantu orang-orang yang beriman kepadanya. Setiap kali, orang-orang kafir melewati Nuh dan pengikutnya, mereka menghina dan mengejeknya karena melihat Beliau membuat kapal besar di gurun sahara yang tidak ada sungai dan laut. Penghinaan mereka bertambah, ketika mereka tahu bahwa maksud Nabi Nuh ‘alaihissalam membuatnya adalah untuk menyelamatkan dirinya dan pengikutnya dari azab yang akan Allah timpakan kepada mereka.

Akhirnya, pembuatan kapal pun selesai, Nabi Nuh mengetahui bahwa banjir besar akan tiba, maka ia meminta kepada setiap mukmin dan mukminah untuk menaiki kapal tersebut, ia juga mengangkut setiap hewan, burung, dan hewan lainnya sepasang.

Hingga ketika Nabi Nuh ‘alaihissalam bersama pengikutnya telah berada di atas kapal, datanglah banjir besar. Langit mengucurkan hujannya dengan deras, mata air di bumi pun mulai memancarkan airnya dengan kuat, Nuh pun berkata, “Dengan menyebut nama Allah di waktu berlayar dan berlabuhnya. Sesungguhnya Tuhanku benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Huud: 41)

Kapal pun mulai berlabuh dan mengapung di atas air. Ketika itu, Nabi Nuh melihat anaknya yang kafir, ia memanggilnya dan berkata, “Wahai anakku! Naiklah bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir.” (QS. Huud : 42)

Tetapi anaknya menolak ajakannya dan berkata, “Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari banjir besar!”

Nuh berkata, “Tidak ada yang melindungi pada hari ini dari azab Allah selain Allah Yang Maha Penyayang.” 
Gelombang pun menjadi penghalang antara keduanya; maka anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan.” (QS. Huud : 43)

Kaum Nabi Nuh yang kafir saat melihat air membanjiri rumah mereka dan mengalir dengan derasnya, maka mereka merasa akan binasa, mereka pun segera mencari tempat-tempat tinggi untuk menyelamatkan diri, tetapi sayang sekali, ternyata banjir itu telah mencapai puncak gunung. Allah Subhanahu wa Ta’ala membinasakan orang-orang kafir dan menyelamatkan Nabi Nuh dan para pengikutnya. Nuh dan pengikutnya pun bersyukur kepada Allah atas keselamatan yang diberikan-Nya.

Setelah kaum yang kafir itu tenggelam, maka diwahyukan kepada langit dan bumi,

“Wahai bumi telanlah airmu, dan wahai langit berhentilah,” maka air pun surut, kapal itu pun berlabuh di atas bukit Judi.” (QS. Huud : 44)

Selanjutnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan Nuh dan para pengikutnya turun dari kapal, Dia berfirman,

“Wahai Nuh! Turunlah dengan selamat sejahtera dan penuh keberkahan dari Kami atasmu dan atas umat-umat (yang mukmin) dari orang-orang yang bersamamu.” (QS. Huud: 48)

Ketika diketahui oleh Nuh ‘alaihissalam anaknya termasuk orang-orang yang ditenggelamkan, Nuh ‘alaihissalam berkata:

“Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar. Dan Engkau adalah Hakim yang seadil-adilnya.” (QS. Huud : 45)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Wahai Nuh! Sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu, sesungguhnya perbuatannya tidak baik. Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui nya. Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu agar kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan.” (QS. Huud : 46)

Nuh pun berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari memohon kepada Engkau sesuatu yang aku tidak mengetahuinya. Dan sekiranya Engkau tidak memberikan ampun kepadaku, serta menaruh belas kasihan kepadaku, niscaya aku akan termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Huud : 47)

Setelah Nabi Nuh dan para pengikutnya turun dan melepaskan hewan-hewan yang diangkutnya, maka mulailah Beliau dan para pengikutnya menjalani hidup yang baru, Beliau berdakwah kepada kaum mukmin dan mengajarkan kepada mereka hukum-hukum agama, Beliau banyak melakukan dzikrullah, shalat dan berpuasa hingga Beliau wafat dan menghadap Allah ‘Azza wa Jalla.

Wallahu a’lam, wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa man waalaah.

Selesai.

Oleh: Marwan bin Musa

Maraaji’:

Mausu’ah Al Usrah Al Muslimah (dari situs www.islam.aljayyash.net)
Qashashul Anbiya’

Kisah Nabi Nuh 'alayhissalaam (Bag.1)

Dahulu ada beberapa orang saleh bernama Wad, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr yang dicintai oleh masyarakat[1]. Ketika mereka wafat, maka masyarakat merasa sedih karena kehilangan mereka, saat itulah setan memanfaatkan kesedihan itu dengan membisikkan mereka agar membuatkan patung-patung dengan nama-nama mereka untuk mengenang mereka. Akhirnya, masyarakat pun melakukannya.

Waktu pun berlalu, namun patung-patung itu belum disembah sampai mereka yang membuat patung-patung itu meninggal dan datanglah anak cucu mereka yang kemudian disesatkan oleh setan. Setan menjadikan mereka menganggap bahwa patung-patung itu adalah sesembahan mereka.

Mereka pun menyembah patung-patung itu dan mulai saat itu tersebarlah kesyirikkan di tengah-tengah mereka, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala mengangkat seorang laki-laki di kalangan mereka sebagai nabi dan Rasul-Nya, yaitu Nuh ‘alaihissalam. Allah Subhanahu wa Ta’ala memilihnya di antara sekian makhluk-Nya, Dia mewahyukan kepadanya agar mengajak kaumnya menyembah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala saja dan meninggalkan sesembahan-sesembahan selain-Nya. Mulailah Nabi Nuh ‘alaihissalam berdakwah, ia berkata kepada mereka:

“Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan yang berhak disembah bagimu selain Dia. Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah), aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar (kiamat).” (QS. Al A’raaf: 59)

Maka di antara kaumnya ada yang mengikuti ajakannya, mereka terdiri dari kaum fakir dan dhu’afa (lemah). Adapun orang-orang kaya dan kuat, maka mereka menolak dakwahnya, sebagaimana istrinya dan salah satu anaknya juga menolak dakwahnya. Mereka yang menolak dakwahnya menenatangnya dan berkata kepadanya,

“Kami tidak melihat kamu, melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti kami, dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu, melainkan orang-orang yang hina dina di antara Kami yang lekas percaya saja, dan kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apa pun atas kami, bahkan kami yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta.” (QS. Huud: 27)

Nabi Nuh ‘alaihissalam tidak berputusa asa terhadap sikap kaumnya yang menolak dakwahnya, ia terus mengajak mereka di malam dan siang hari, menasihati mereka secara rahasia dan terang-terangan, menjelaskan kepada mereka dengan lembut hakikat dakwah yang dibawanya, tetapi mereka tetap saja kafir kepadanya, tetap saja sombong dan melampaui batas, dan terus membantah Nabi Nuh ‘alaihissalam dan keadaan itu berlangsung dalam waktu yang cukup lama. Mereka juga menyakitinya, menghinanya, dan memerangi dakwahnya.

Pernah suatu ketika, sebagian orang-orang kaya mendatangi Nabi Nuh ‘alaihissalam dan meminta kepadanya untuk mengusir orang-orang fakir yang beriman kepadanya agar orang-orang kaya ridha dan mau duduk bersamanya sehingga bisa beriman kepadanya, namun Nabi Nuh ‘alaihissalam menjawab,

“Wahai kaumku! Aku tidak meminta harta benda kepada kamu (sebagai upah) bagi seruanku. Upahku hanyalah dari Allah dan aku sekali-kali tidak akan mengusir orang-orang yang telah beriman. Sesungguhnya mereka akan bertemu dengan Tuhannya, akan tetapi aku memandangmu sebagai suatu kaum yang tidak mengetahui–Dan (Nuh berkata), “Wahai kaumku! Siapakah yang akan menolongku dari (azab) Allah jika aku mengusir mereka. Maka tidakkah kamu mengambil pelajaran?” (QS. Huud: 29-30)

Maka kaumnya pun marah dan menuduhnya telah sesat, dan mereka berkata, “Sesungguhnya kami melihatmu berada dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Al A’raaf: 60)

Nuh balik menjawab, “Wahai kaumku! Tidak ada padaku kesesatan sedikit pun tetapi aku adalah utusan dari Tuhan semesta alam”– “Aku sampaikan kepadamu amanat-amanat Tuhanku, aku memberi nasehat kepadamu, dan aku mengetahui dari Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al A’raaf: 61-62)

Nabi Nuh ‘alaihissalam tetap bersabar mendakwahi kaumnya, hari demi hari dilaluinya, bulan demi bulan dilaluinya dan tahun demi tahun dilaluinya, tetapi yang mau mengikuti seruannya hanya beberapa orang saja. Bahkan ketika Nuh mendatangi sebagian mereka, mengajak mereka agar menyembah Allah dan beriman kepada-Nya, mereka taruh anak jarinya ke telinga mereka agar tidak mendengar kata-kata Beliau, dan ketika Beliau pergi kepada yang lain sambil menyebutkan kepada mereka nikmat-nikmat Allah yang diberikan kepada mereka serta menceritakan tentang penghisaban pada hari Kiamat, mereka taruh baju mereka di wajah mereka agar tidak melihat Beliau, dan hal ini berlangsung terus hingga akhirnya orang-orang kafir berkata kepada Nabi Nuh ‘alaihissalam,

“Wahai Nuh! Sesungguhnya kamu telah berbantah dengan kami, dan kamu telah memperpanjang bantahanmu terhadap Kami, maka datangkanlah kepada kami azab yang kamu ancamkan kepada Kami, jika kamu termasuk orang-orang yang benar.” (QS. Hud: 32)

Nuh menjawab, “Hanyalah Allah yang akan mendatangkan azab itu kepadamu jika Dia menghendaki, dan kamu sekali-kali tidak dapat melepaskan diri.–Dan tidaklah bermanfaat kepadamu nasihatku jika aku hendak memberi nasihat kepada kamu, sekiranya Allah hendak menyesatkan kamu, Dia adalah Tuhanmu, dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.” (QS. Hud : 33-34)

Bersambung…

Bagian 2

Artikel www.KisahMuslim.com

[1] Imam Bukhari meriwayatkan dari hadits Ibnu Juraij dari ‘Atha’ dari Ibnu Abbas tentang firman Allah Ta’ala, “Dan mereka berkata, “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwwa’, yaghuts, ya’uq dan nasr.” Ia (Ibnu Abbas) berkata, “Ini adalah nama-nama orang Saleh dari kaum Nabi Nuh. Ketika mereka wafat, setan membisikkan kepada kaum mereka untuk mendirikan berhala pada majelis mereka dan menamakannya dengan nama-nama mereka. Maka mereka pun melakukan hal itu, dan saat itu berhala-berhala itu belum disembah hingga mereka wafat, dan ilmu telah tiada, maka berhala-berhala itu pun disembah.”

Tuesday, February 28, 2012

Ketika Ayah Tidak Bersedia Menjadi Wali Nikahku..

Hubungan orang tua dan anak tidak selamanya berjalan sesuai yang diharapkan. Dalam kondisi ‘kurang’ normal, sikap mendzalimi dan didzalimi terkadang bisa terjadi. Termasuk diantaranya, dalam hal perwalian nikah. Tak jarang kita jumpai, ada sebagian wali yang enggan menikahkan putrinya, karena berbagai macam alasan.

Kasus semacam ini tidak hanya terjadi di lingkungan kita, bahkan telah menjadi fenomena yang mendunia. Syaikh Muhamad Ali Farkus – seorang ulama Al-Jazair – ditanya tentang keadaan wanita yang tertunda nikahnya karena sikap walinya.

Beliau menjelaskan:

Perlu kita pahami, ulama sepakat bahwa wali tidak memiliki hak untuk melarang orang yang berada di bawah perwaliannya untuk menikah, tanpa sebab yang diizinkan syariat. Si wali selalu menolak setiap lamaran orang yang sekufu, baik agama dan akhlaknya, dan siap memberikan mahar yang setara dengan umumnya wanita.

Wali yang melakukan tindakan demikian maka dia dianggap melakukan tindakan Al-’Adhl1 . Allah berfirman:

وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْا بَيْنَهُمْ بِالْمَعْرُوفِ ذَلِكَ يُوعَظُ بِهِ مَنْ كَانَ مِنْكُمْ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكُمْ أَزْكَى لَكُمْ وَأَطْهَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُون

“Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang baik. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. Itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 232)
Kemudian si wanita ini berhak untuk mengajukan permasalahannya kepada hakim (KUA) untuk menikahkannya secara resmi. Karena sikap Al-Adhl termasuk kedzaliman, dan yang berhak menolak kedzaliman adalah hakim (KUA).

Jika tidak memungkinkan untuk mengajukan masalahnya ke hakim, maka kerabat dekatnya yang lain bisa menikahkannya dengan lelaki tersebut. Jika mereka menolak untuk menikahkannya maka wanita tersebut bisa mengajukan masalahnya kepada imam masjid (Pak Kaum) atau tetangganya yang dia percaya untuk menikahkannya. Dan orang yang dipercaya ini, sekaligus menjadi walinya. Karena kasus semacam ini termasuk bentuk tahkim (meminta keputusan). Sementara orang yang ditunjuk untuk memutuskan perkara, menggantikan posisi hakim resmi (KUA).

Di samping itu, manusia sangat butuh untuk menikah. Karena itu, mereka harus memperlakukannya dengan cara sebaik mungkin.

Imam Al-Qurtubhi membawakan keterangan dari Imam Malik tentang wanita yang kondisinya lemah:

Wanita ini boleh dinikahkan oleh orang yang menjadi rujukan permasalahannya. Karena wanita dalam kondisi semacam ini, tidak memungkinkan untuk menemui hakim, sehingga statusnya sama dengan orang yang tidak memiliki hakim. Karena itu, urusannnya dikembalikan kepada kaum muslimin, sebagai walinya. (Tafsir Al-Qurthubi, 3/76).

Pada kesempatan yang lain, Syaikh Muhamad Ali Farkus juga ditanya tentang sikap sebagian wali yang tidak mau menikahkan putrinya dengan lelaki sekufu. Beliau menjelaskan,

Ada dua latar belakang wali menolak untuk menikahkan putrinya;

Pertama, jika sang wali tidak mau menikahkan putrinya karena sebab yang diterima secara syariat, seperti, lelaki yang meminang tidak sekufu, atau karena ada lelaki lain yang lebih statusnya, agamanya, dan akhlaknya. Dalam keadaan ini, hak perwalian tetap menjadi miliknya dan tidak berpindah ke yang lain.

Kedua, jika pelarangan tersebut mengandung unsur kedzaliman, mempersempit hak putrinya untuk menikah, seperti; datang lelaki yang sekufu, baik agama dan akhlaknya, untuk meminangnya, namun wali melarangnya untuk menikah dengannya, maka dalam keadaan ini, walinya dianggap melakukan tindakan Al-Adhl dalam perwaliannya.

Wali ini tidak berhak untuk melakukan pembatasan semacam ini, dan perbuatan ini hukumnya haram dengan sepakat ulama. Berdasarkan hadis yang diriwayatkan Bukhari dan yang lainnya, bahwa Ma’qil bin Yasar radliallahu ‘anhu, memiliki saudara wanita yang menikah dengan seorang lelaki. Kemudian lelaki ini menceraikan istrinya, dan tidak rujuk kembali sampai selesai masa iddahnya. Beberapa hari kemudian, lelaki ini hendak melamar mantan istrinya. Maka Ma’qil merasa harga dirinya dilecehkan. Diapun berkata : “Lelaki ini membiarkan istrinya (sampai selesai iddah), padahal dia mampu untuk merujuknya. Kemudian dia ingin melamar lagi.” Akhirnya Ma’qil menghalangi pernikahan antara adiknya dengan lelaki tersebut. Kemudian Allah menurunkan firman-Nya:

وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْا
“Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang baik…” (sampai akhir ayat)

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil Ma’qil dan membacakan ayat ini kepadanya. Ma’qil-pun meninggalkan rasa egonya dan bersedia untuk tunduk kepada aturan Allah. (HR. Bukhari no. 5331)

Sementara pada kondisi orang tua atau wali yang berhak lainnya, tidak bersedia untuk menikahkan maka hak perwalian langsung berpindah ke hak perwalian umum yang diwakili dengan hak perwalian hakim (KUA), ketika permasalahan ini diajukan kepada mereka. Dan perwaliannya tidak berpindah ke wali berikutya (kerabat dekat lainnya). Karena tindakan Al-Adhl adalah kedzaliman. Sementara kuasa untuk menghilangkan kedzaliman kembali kepada hakim.

Kemudian, jika tidak memungkinkan untuk mengajukan permasalahannya kepada hakim, maka wanita ini dinikahkan oleh wali urutan berikutnya (kerabatnya). Pada keadaan ini, hak perwalian kerabat ini dinilai sebagai bentuk tahkim (meminta keputusan). Kaidahnya: Orang yang ditunjuk sebagai hakim, statusnya setara dengan hakim resmi (KUA), sebagaimana yang ditegaskan oleh Imam As-Syafi’i. Jika tidak memiliki kerabat yang lain maka dia dinikahkan oleh imam tetap di daerahnya (Pak Kaum). Jika tidak menemukan juga maka siapapun orang yang beriman bisa menikahkannya, berdasarkan firman Allah:

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ
“Orang mukmin laki-laki dan orang mukmin wanita, sebagian mereka menjadi wali bagi sebagian yang lain…” (QS. At-Taubah: 71)

Diterjemahkan dari buku: Al-Adat Al-Jariyah fi Al-A’ras Al-Jazairiyyah, hlm. 110 – 113.

Catatan:

Pertama, dari penjelasan di atas dapat disimpulkan, seorang wanita berhak untuk mengajukan masalah perwaliannya kepada hakim dengan beberapa syarat:

a. Lelaki yang melamarnya adalah lelaki yang sekufu (setara) dari semua sisi. Baik agama maupun dunia.
b. Lelaki tersebut baik agama dan akhlaknya.
c. Lelaki tersebut memiliki kemampuan secara finansial, sehingga bisa memberikan mahar dan nafkah sebagaimana umumnya masyarakat.
d. Penolakan yang dilakukan oleh wali karena kedzaliman, dan bukan dalam rangka memberikan kemaslahatan bagi putrinya.

Kedua, keterangan di atas sama sekali bukanlah membolehkan seseorang untuk menikah tanpa wali atau menikah dengan wali ‘gadungan’. Karena permasalahannya nikah bukanlah masalah yang ringan. Keterangan di atas justru sangat membatasi bahwa pernikahan harus dilakukan dengan wali. Meskipun perwalian nikah tidak selamanya ada di tangan orang tua, namun bisa berpindah ke yang lain, dengan beberapa persyaratan di atas.


Ketiga, hakim yang dimaksud di atas adalah pejabat resmi KUA, dengan kuasa dari lembaga. Dia datang atas nama lembaga bukan atas nama pribadi.

Keempat, perwalian bisa berpindah ke pihak yang lain, selain kerabat dan pejabat, jika sudah tidak memungkinkan untuk mengajukan masalah ke KUA. Selama masih memungkinkan untuk mengajukan masalah ke KUA secara resmi maka tidak diperkenankan menyerahkan masalah ke orang lain.

Kelima, semua pihak hendaknya berusaha bertakwa kepada Allah dan tidak menggampangkan masalah. Semua ini tidak lain dalam rangka menjaga batasan halal-haram dalam pernikahan.

Allahu a’lam

***
muslimah.or.id
Penyusun: Ustadz Ammi Nur Baits
1 Al-’Adhl, secara bahasa dari kata ‘adhala – ya’dhulu, yang artinya ihtabasa (menahan). Sedangkan sikap Al-Adhl yang dimaksud dalam ayat adalah melarang orang yang berada di bawah perwaliannya untuk menikah, karena bermusuhan dengan calon suaminya, atau marah, atau sebab yang lainnya. (Lihat Mufradat Gharibil Qur’an, hlm. 338 dan Tafsir As-Sa’di, hlm. 103). – pent.

Thursday, February 23, 2012

Bertepuk Tangan Merupakan Perbuata Jahiliyah

BERTEPUK TANGAN MERUPAKAN PERBUATAN JAHILIYAH
Oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz



Pertanyaan

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apakah bertepuk tangan dalam suatu acara atau pesta diperbolehkan, ataukah itu termasuk pebuatan makruh?

Jawaban

Bertepuk tangan dalam suatu pesta merupakan perbuatan jahiliyah, dan setidaknya perbuatan itu adalah perbuatan yang makruh. Tetapi secara jelas dalil-dalil yang terdapat dalam al-Qur'an menunjukkan bahwa hal itu adalah perbuatan yang diharamkan dalam agama Islam; karena kaum muslimin dilarang mengikuti ataupun menyerupai perbuatan orang-orang kafir. Allah Subhanahu Wa Ta'ala telah berfirman tentang sifat orang-orang kafir penduduk Makkah,

"Sembahyang mereka di sekitar Baitullah itu, tidak lain hanyalah siulan dan tepukan tangan." [Al-Anfal: 35]

Para ulama berkata, "Al-Muka' mengandung pengertian bersiul, sedangkan At-Tashdiyah mengandung pengertian bertepuk tangan. Adapun perbuatan yang disunnahkan bagi kaum muslimin adalah jika mereka melihat atau mendengar sesuatu yang membuat mereka takjub, hendaklah mereka mengucapkan Subhanallah atau Allahu Akbar sebagaimana yang disebutkan dalam hadits-hadits shahih dari Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam .

Bertepuk tangan hanya disyariatkan khusus bagi kaum wanita ketika mendapatkan seorang imam melakukan suatu kesalahan di dalam shalat saat mereka melaksanakan shalat berjamaah bersama kaum pria, maka kaum wanita disyariatkan untuk mengingatkan kesalahan imam dengan cara bertepuk tangan, sedangkan kaum pria memperingatkannya dengan cara bertasbih (mengucap kata Subhanallah) sebagaimana yang disebutkan dalam hadits dari Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam . Maka jelaslah bahwa bertepuk tangan bagi kaum pria merupakan penyerupaan terhadap perbuatan orang-orang kafir dan perbuatan wanita, sehingga bertepuk tangan dalam suatu pesta -baik kaum pria maupun wanita- adalah dilarang menurut syariat. Semoga Allah memberi petunjuk.

[Fatawa Mu'ashirah, hal. 67, Syaikh Ibn Baz]



***

HUKUM BRTEPUK TANGAN DAN BERSIUL DALAM PESTA
Oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin



Pertanyaan

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa hukum bertepuk tangan dan bersiul dalam suatu acara pesta , perayaan atau pertemuan.

Jawaban


Bertepuk tangan dan bersiul adalah perbuatan yang biasa dilakukan oleh golongan selain muslim, maka dari itu, sudah menjadi keharusan bagi seorang muslim untuk tidak mengikuti perbuatan mereka, melainkan bila ia kagum akan sesuatu, maka hendaklah bertakbir atau bertasbih dengan menyebut nama Allah. Takbir itu tidak pula dilakukan secara bersama-sama sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang, melainkan cukup dengan bertakbir atau bertasbih di dalam diri. Adapun tasbih ataupun takbir yang diucapkan secara bersama-sama, saya belum pernah mendapatkan sumber yang menyebutkan tentang hal itu.

[As'ilah Muhimmah, hal. 28, Syaikh Muhammad bin Utsaimin]

[Disalin dari kitab Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masail Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Albalad Al-Haram, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penyusun Khalid Al-Juraisiy, Penerjemah Musthofa Aini, Penerbit Darul Haq]

Wednesday, December 7, 2011

Membaca Al-Qur'an dengan Aurat Terbuka

Pertanyaan:

Assalamu’alaikum wr.wb. Ustat, bolehkah membaca Ayat suci Alquran dengan keadaan aurat terbuka seperti mengaji baik laki-laki maupun perempuan?

Dari: Jumain

Jawaban:

Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin ditanya tentang hukum wanita yang membaca Alquran tanpa memakai jilbab. Apakah semacam ini dibolehkan?

Beliau menjawab, “Untuk membaca Alquran, tidak ada persyaratan bagi wanita untuk menutup kepalanya. Karena tidak disyaratkan untuk menutup aurat ketika membaca Alquran. Berbeda dengan shalat. Shalat seseorang bisa tidak sah kecuali dengan menutup aurat.”

Fatawa Nurun ala ad-Darb: http://www.ibnothaimeen.com/all/noor/article_4805.shtml

Pertanyaan semisal juga pernah diajukan di Syabakah Al-Fatwa Asy-Syar’iyah. Syaikh Prof. Dr. Ahmad Hajji Al-Kurdi memberi jawaban, “Jika tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa tindakan itu termasuk melecehkan atau tidak menghormati Alquran, maka perbuatan semacam ini tidak haram. Hanya saja tidak sesuai dengan adab yang diajarkan ketika membaca Alquran.”

Allahu a’lam

Sumber: http://www.islamic-fatwa.net/fatawa

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)
Artikel www.KonsultasiSyariah.com