Thursday, November 26, 2009

Mulianya Hari Ini, Hari Arofah.

Saudaraku semoga engkau tahu bahwa hari ini, tanggal 9 Dzulhijah, yaitu hari Arofah. Hari ini bukanlah hari biasa. Bukanlah hari seperti hari-hari lainnya. Hari ini adalah hari yang sangat utama, yang memiliki keutamaan secara mutlak. Amalan apa saja yang dilakukan ketika itu akan dilipatgandakan dan masih banyak keutamaan-keutamaan lainnya. Silakan lihat pembahasan berikut ini.

Keutamaan yang sangat mulia bagi orang yang wukuf di Arofah

Dari ‘Aisyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Di antara hari yang Allah banyak membebaskan seseorang dari neraka adalah di hari Arofah (yaitu untuk orang yang berada di Arofah). Allah akan mendekati mereka (dengan rahmat-Nya) lalu akan menampakkan keutamaan mereka pada para malaikat. Kemudian Allah berfirman: Apa yang diinginkan mereka ini?” (HR. MUSLIM).

Itulah keutamaan orang yang berhaji. Saudara-saudara kita yang sedang wukuf di Arofah saat ini telah rela meninggalkan sanak keluarga, negeri, telah pula menghabiskan hartanya, dan badan-badan mereka dalam keadaan letih. Yang mereka inginkan hanyalah ampunan, ridho, kedekatan dan perjumpaan dengan Rabbnya. Cita-cita mereka yang berada di Arofah inilah yang akan mereka peroleh. Derajat mereka pun akan tergantung dari niat mereka masing-masing. (Lihat Mirqotul Mafatih Syarh Misykatul Mashobih, 9/65)

Ketahuilah pula bahwa sebaik-baik doa adalah pada hari ‘Arofah

Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Sebaik-baik do’a adalah do’a pada hari Arofah.” (HR. TIRMIDZI, hasan). Maksudnya, inilah doa yang paling cepat dipenuhi atau terkabulkan. (Tuhfatul Ahwadziy, 8/482)

Jadi hendaklah kaum muslimin memanfaatkan waktu ini untuk banyak berdoa pada Rabbnya. Do’a ketika ini adalah do’a yang mustajab karena dilakukan pada waktu yang utama. Semoga do’a kita terkabulkan dan diperkenankan oleh Allah.

Itulah dua hadits yang menunjukkan keutamaan hari Arofah. Sebaik-baik amalan pada hari itu adalah do’a sebagaimana ditunjukkan hadits di atas. Begitu pula amalan yang utama adalah berpuasa sebagaimana terdapat dalam hadits Abu Qotadah berikut.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanyakan mengenai puasa hari Arofah, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Puasa Arofah dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu dan setahun akan datang.” (HR. MUSLIM).

Para ulama berselisih pendapat mengenai puasa Arofah ini bagi orang yang berhaji. Namun mereka bersepakat tentang disyariatkannya puasa ini bagi orang yang tidak berhaji. (Tajridul Ittiba’, hal. 123-124)

Semoga kita diberi taufik oleh Allah untuk melakukan amalan sholeh di hari Arofah dengan memperbanyak do’a dan melakukan puasa di hari itu.

Disusun di Panggang, Gunung Kidul
8 Dzulqo’dah 1429 H
Sumber : rumaysho.wordpress.com

Birrul Waalidayn

Video Kajian ‘Birrul Walidayn’
oleh Ust Yazin bin Abdul Qadir Jawas

Birrul Walidayn (1)-(12) » Show/Hide

Wednesday, November 25, 2009

Hari Raya: Ibadah atau Adat?

Oleh : asy-Syaikh Salim bin Sa’ad ath-Thowil hafidzohulloh

Tidak Ada Hari Raya Kecuali Hanya Iedul Fithri dan Iedul Adha
الحمد لله وحده والصلاة والسلام على من لا نبي بعده، أما بعد

Sesungguhnya hari raya dinamakan Ied karena ia berulang dan kembali. Dan kata Ied dimutlakkan pada tempat dan waktu yang manusia kembali kepadanya, sebagaimana dalam hadits yang shohih adh-Dhohhak rodhiyallohu anhu berkata : Seseorang bernadzar di masa Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam untuk menyembelih unta di Bawwanah –yaitu nama suatu tempat-, ia lalu mendatangi Nabi shollallohu alaihi wa sallam dan berkata : “aku bernadzar untuk menyembelih unta di Bawwanah”, Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam bersabda : “apakah di sana ada berhala jahiliyyah yang disembah?”, mereka berkata : “tidak”, beliau bersabda : “apakah di sana dilakukan perayaan hari raya mereka?”, mereka berkata : “tidak”, beliau bersabda : “Tunaikanlah nadzarmu, sesungguhnya tidak boleh menunaikan nadzar yang berupa maksiat kepada Alloh dan yang tidak mampu dilakukan oleh anak Adam.” [HR. Abu Dawud dan sanadnya sesuai syarat as-Shohihain]

Dan hadits Anas rodhiyallohu anhu, bahwa Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam bersabda :

قدمت المدينة ولأهل ا لمدينة يومان يلعبون فيهما في الجاهلية وإن الله تعالى قد أبدلكم بهما خيرا منهما يوم الفطر ويوم النحر
Aku datang ke Madinah ketika penduduknya memiliki dua hari yang mereka bermain-main pada dua hari itu pada masa jahiliyyah, dan sesungguhnya Alloh ta’ala telah mengganti keduanya untuk kalian dengan yang lebih baik daripada keduanya : Iedul Fithri dan Iedul Adha.” [HR Ahmad, Abu Dawud & an-Nasa’i]

Saudaraku para pembaca yang mulia, inilah dua hadits shohih dan keduanya merupakan tonggak dalam memahami hukum-hukum seputar hari raya-hari raya yang baru, yaitu hari raya selain Iedul Fithri dan Iedul Adha. Nabi shollallohu alaihi wa sallam ketika bertanya kepada seseorang dalam hadits pertama tersebut tentang Bawwanah: “apakah di sana dilakukan perayaan hari raya orang-orang musyrik?”, untuk mencari kejelasan sebelum mengizinkannya melaksanakan nadzarnya atau tidak. Ketika beliau diberitahu bahwa hal tersebut tidak ada, beliau membolehkan ia menunaikan nadzarnya. Dan sabda beliau shollallohu alaihi wa sallam : “tidak boleh menunaikan nadzar yang berupa maksiat kepada Alloh” menunjukkan bahwa menyepakati orang-orang musyrik dalam hari raya mereka merupakan maksiat kepada Alloh tabaroka wa ta’ala.

Dan hadits yang kedua –hadits Anas rodhiyallohu anhu- menunjukkan bahwa Nabi shollallohu alaihi wa sallam memerintahkan mereka untuk melupakan hari-hari jahiliyyah yaitu hari dimana mereka menang atas musuh-musuh mereka sehingga mereka bermain-main di hari tersebut. Perhatikan kata “bermain-main”, mereka tidaklah merayakannya dengan sholat atau ibadah, bahkan mereka bermain-main pada hari yang disebut dengan “Yaumu Bu’ats” tersebut. Maka Nabi shollallohu alaihi wa sallam melarang mereka merayakan dua hari ini dan memberitahu mereka bahwa Alloh ta’ala telah menggantikannya dengan dua hari yang lebih baik dari keduanya; Iedul Fithri dan Iedul Adha.

Saudaraku para pembaca yang budiman, jika anda telah mengetahui ini, anda akan mendapati betapa jauhnya orang-orang pada masa sekarang dari Sunnah Nabi shollallohu alaihi wa sallam. Betapa banyaknya mereka membuat-buat hari raya-hari raya bid’ah yang Alloh tidak menurunkan penjelasannya. Dan kebanyakannya baik berupa ikut-ikutan kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani, atau mengikuti ahlul bida’ wal ahwa’, ataupun yang tidak diketahui asal usulnya. Kemudian jika kita perhatikan dan kita pelajari, kita akan mendapatkan bahwa makna hari raya dalam Islam tidak ada bandingannya dengan hari raya-hari raya lainnya yang diada-adakan, yakni hari raya yang syar’i merupakan waktu yang agung dan mulia yang memiliki makna yang besar; setelah dilaksanakannya puasa, sholat, i’tikaf, membaca al-Qur’an, menghidupkan lailatul qodr yang lebih baik dari seribu bulan, menyambung silaturahmi, berbuka puasa, zakat fithri dan waktu-waktu lainnya yang mendekatkan diri kita kepada Alloh, kaum muslimin berbahagia dengan ketaatan mereka kepada Robb mereka, maka datanglah Iedul Fithri setelah ibadah-ibadah yang agung ini.

Adapun Iedul Adha, ia adalah hari ke-sepuluh pada bulan Dzulhijjah, dan sepuluh hari pertama Dzulhijjah yang Alloh telah bersumpah dengannya dalam firman-Nya :

وليال عشر

“Dan malam yang sepuluh” [QS al-Fajr : 2]
Ia adalah hari-hari yang paling agung dalam setahun, dan diantaranya ada hari ke-sembilan : hari Arofah, yaitu hari terbaik yang matahari terbit padanya dimana para jama’ah haji wuquf di Arofah dan Alloh dan para malaikatnya bangga terhadap mereka dan Alloh mengampuni siapa yang Dia kehendaki diantara mereka, dan orang-orang selain jama’ah haji ketika itu melaksanakan puasa Arofah satu hari yang menghapus dosa-dosa dua tahun, maka ketika mereka berada pada ketaatan kepada Alloh azza wa jalla, Alloh mensyari’atkan kepada mereka Iedul Adha agar mereka mengingat Alloh pada hari itu dan menyembelih binatang kurban mereka untuk mendekatkan diri kepada Alloh dan mengagungkan syi’ar-syi’ar Alloh. Maka mereka berhak untuk bergembira di hari raya mereka. Adapun hari raya-hari raya yang lain tidak memiliki makna yang mulia ini.

Kita misalkan, seandainya si fulan dilahirkan pada yang seperti hari ini, apakah perlu menjadikan setiap hari dari hari-hari yang ada bersepakat dengannya dalam bergembira dan bersenang-senang?
Jawabnya: tidak, hal ini terjadi pada ummat ini ketika (agama) mereka lemah sehingga mereka mengikuti ummat lainnya dan bodoh terhadap agamanya, la haula wa la quwwata illa billah. Bahkan beberapa peristiwa menyedihkan dan menyakitkan pun diperingati, mereka memperingati susah dan sedihnya mereka. Mengapa? Apakah Alloh yang memerintahkan ini ?! ataukah Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam yang mensyariatkannya kepada kita?

Saudaraku para pembaca yang mulia, semoga Alloh memberikan taufiq kepadaku dan juga kalian kepada kebenaran dan berpegang teguh pada as-Sunnah, setelah kita ketahui prinsip yang agung ini, maka pegang teguhlah dan janganlah dilanggar. Tidak ada hari raya melainkan hanya Iedul Fithri dan Iedul Adha. Dan janganlah engkau tertipu dengan perkataan bahwa itu hanyalah peristiwa dan adat saja dan bukan ibadah, sampai kalian katakan bahwa itu adalah bid’ah. Ceritakanlah kepada mereka tentang “Yaumu Bu’ats” yang orang-orang dahulu bersenang-senang pada hari itu, mengapa Nabi shollallohu alaihi wa sallam melarang mereka dan memberitahu bahwa Alloh telah mengganti dengan yang lebih baik darinya, padahal mereka dahulu bermain, bersenang-senang dan bergembira?!

Saudaraku para pembaca, ingat-ingatlah hadits Anas rodhiyallohu anhu dengan baik untuk membela sunnah dan memberantas bid’ah. Dan aku memohon kepada Alloh agar memberikan taufik kepada kaum muslimin baik pemerintah maupun rakyatnya kepada kebenaran dan memberi mereka petunjuk ke jalan yang lurus.

والحمد لله أولا وآخرا وصلى الله على نبيه محمد وعلى آله وصحبه أجمعين

[http://tholib.wordpress.com/2009/09/16/hari-raya-ibadah-atau-adat/, diterjemahkan dari : http://www.saltaweel.com/makalat/index/2006/16-10-2006.htm ]

Melaknat

~*Jauhi Lisanmu dari Melaknat, ya Ukhtiy..*~

Laknat memiliki dua makna. Makna pertama adalah mencela, dan makna kedua adalah mengusir dan menjauhkan dari rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Melaknat orang beriman termasuk dosa besar. Di dalam Shahih Al-Bukhari (10/464) disebutkan bahwa Tsabit Adh-Dhahhak berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam bersabda:

“Barangsiapa yang melaknat orang beriman, maka dia seperti membunuhnya.”

Tentang sabda beliau: “Maka dia seperti membunuhnya”. Al-Hafizh berkata: “Karena jika dia melaknatnya, maka seakan-akan dia mendoakan kebinasaan atasnya.”

Melaknat bukanlah perangai orang yang beriman.

Al-Bukhari meriwayatkan di dalam Al-Adabul Mufrad (hal. 116) dari hadist Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anha, beliau bersabda:

“Seorang mukmin bukanlah pencela, pelaknat, dan bukan pula orang yang mulutnya keji dan kotor.”

Ayahanda (Asy-Syaikh Muqbil rahimahullaah) menyebutkan hadist ini dalam Ash-Shahihul Musnad (2/24).

Orang yang suka melaknat tidaklah termasuk golongan para saksi yang akan mempersaksikan bahwa rasul mereka telah menyampaikan risalah. Dia tidak pula termasuk golongan orang-orang yang bisa memberi syafa’at di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk meminta ampunan bagi seorang hamba.

Telah tsabit di dalam Shahih Muslim, dari Abu Darda’, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam bersabda:

“Para pelaknat tidak akan menjadi pemberi syafa’at dan saksi di hari kiamat.”

Melaknat bukanlah sifat orang-orang yang jujur. Dalam Shahih Muslim disebutkan dari Abu Hurairah radhiAllahu’anha bahwasannya Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam bersabda:

“Tidak sepantasnya orang yang jujur itu menjadi pelaknat.”

Laknat yang ditujukan kepada orang yang tidak berhak dilaknat akan kembali kepada yang mengatakannya. Abu Dawud meriwayatkan di dalam Sunan-nya dari hadist Abu Darda’, bahwa Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam besabda:

“Sesungguhnya jika seorang hamba melaknat sesuatu, maka laknat itu naik ke langit. Lalu pintu-pintu langit pun tertutup. Kemudian ia turun ke bumi, lalu menuju ke kanan dan ke kiri. Jika ia tidak mendapati sesuatu yang bisa dituju, ia pun kembali kepada orang yang dilaknat jika memang dia berhak mendapat laknat. Jika tidak, maka laknat itu kembali kepada orang yang mengatakannya.”

Al-Hafizh berkata tentang hadist ini di dalam Al-Fath: “Sanadnya jayyid (bagus). Dan hadist ini memiliki syahid (penguat dari hadist Ibnu Mas’ud radhiallahu’anha dengan sanad yang hasan, dan hadist yang lain diriwayatkan oleh Abu Dawud dan At-Tirmidzi dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu’anhuma dengan para perawi yang terpercaya, tetapi hadist itu memiliki ‘illah, yaitu mursal (seorang tabi’in meriwayatkan langsung dari Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam).

Di antara sebab wanita menjadi mayoritas penduduk Neraka adalah banyak melaknat. Karena itu bertaqwalah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Janganlah engkau menjadikan laknat berada di lisanmu. Sebagian wanita melaknat setiap orang yang dia marahi, baik anaknya, atau suaminya, atau hewan, atau yang selain itu.

Dan tidak diperkenankan melaknat orang kafir yang masih hidup, dan sungguh penyebab turunnya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala”

“Tidak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat mereka, atau mengadzab mereka, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zhalim.” (Ali ‘Imran : 128)

Adalah disebabkan ketika beliau Shallallahu ‘alayhi wa Sallam mengangkat kepala dari ruku’ pada raka’at yang terakhir, beliau Shallallahu ‘alayhi wa Sallam mengucapkan:

Ya Allah, laknatlah fulan, fulan dan fulan - setelah beliau Shallallahu ‘alayhi wa Sallam mengucapkan: Sami’Allahu liman hamidah, rabbana walakalhamd (Allah mendengar orang yang memuji-Nya, Wahai Rabb kami, hanya bagi-Mu lah segala puji). [HR. Al-Bukhari di dalam At-Tafsir dari hadist Ibnu 'Umar radhiallahu'anhuma).

Tidak mengapa melaknat kaum muslimin yang berbuat maksiat tanpa menyebut orangnya. Sungguh Nabi Shallallahu 'alayhi wa Sallam telah melaknat wanita yang menyambung rambut seseorang dengan rambut orang lain, wanita yang meminta rambutnya disambung, wanita yang mentato dan yang minta ditato, dan wanita-wanita yang merenggangkan gigi dengan alat supaya tampak indah, yang mengubah ciptaan-ciptaan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Beliau juga melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki. Dan masih banyak lagi yang lain.

Diperbolehkan pula melaknat orang kafir tertentu yang sudah mati, untuk menjelaskan keadaannya kepada manusia dan karena ada kemaslahatan (kebaikan) yang syar'i. Adapun jika tidak ada kemaslahatan yang syar'i, maka tidak boleh. Karena Nabi Shallallahu 'alayhi wa Sallam besabda:

"Janganlah kalian mencela orang-orang yang sudah mati, karena mereka telah merasakan apa-apa yang dahulu mereka lakukan." (HR. Al-Bukahri dari hadist 'Aisyah rahidhiallahu'anhu)

[Diketik ulang dari buku Nashihati Lin Nisaa' (Nasehatku Untuk Kaum Wanita) karya Ummu 'Abdillah Al-Wadi'iyyah~http://nadiyyah.net/2009/11/melaknat/]

Thursday, November 19, 2009

Adil Terhadap Semua Anak

Oleh Ummu Salamah As-Salafiyyah

Dari Nu’man bin Basyir, dia berkata, “Ayahku pernah menyedekahkan sebagian hartanya kepadaku. Lalu ibuku, ‘Amrah binti Rawahah berkata, ‘Aku tidak rela sehingga engkau meminta disaksikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.’ Maka ayahku pun berangkat menghadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menjadi saksi baginya atas sedekah yang diberikan kepadaku. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya, ‘Apakah engkau melakukan hal ini kepada anakmu semua?’ Dia menjawab, ‘Tidak.’ Beliau bersabda:

Bertakwalah kepada Allah dan berbuat adi-lah di antara anak-anakmu.’ Kemudian ayahku kembali lagi dan mengambil sedekah tersebut” [Al-Bukhari dan Muslim]

Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Di dalam hadits ini terkandung pengertian keharusan untuk menyamaratakan anak-anak dalam hal pemberian. Di mana masing-masing diberi sama, tidak boleh membedakan satu dengan yang lainnya, serta menyamakan antara anak laki-laki dan perempuan

MENGAJARI DAN MENDIDIK ANAK PEREMPUAN

Allah Ta’ala berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari siksa api Neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Penjaganya Malaikat-Malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan” [At-Tahrim: 6]

Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim di dalam kitab Shahiih keduanya, dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anha, dia berkata bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

Setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fithrah. Kedua orang tuanya yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi, seperti binatang yang melahirkan binatang juga, apakah engkau melihat kekurangan padanya?”

Anak yang lahir dan tumbuh berdasarkan fithrah yang baik ini bisa menerima yang baik dan bisa juga yang buruk, sehingga ia perlu diajarkan, dibimbing, dan diarahkan dengan pengarahan yang baik dan benar di atas jalan Islam.
Berhati-hatilah, jangan sampai kalian menyepelekan anak perempuan seperti binatang yang tidak mengetahui urusan agamanya dan urusan dunianya. Dan pada diri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terdapat teladan yang baik bagi kalian.

Al-Bukhari telah membuat bab tersendiri di dalam kitab Shahiihnya di dalam kitab al-‘Ilmu, bab Ta’liim ar-Rajul Amatahu wa Ahlahu (bab Seseorang yang Mengajari Budak dan Keluarganya). Kemudian dia menyebutkan di bawah judul bab tersebut hadits Abu Musa Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Ada tiga orang yang akan mendapatkan dua pahala: (1) seseorang dari ahlul kitab yang beriman kepada Nabinya dan beriman kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, (2) seorang hamba sahaya jika melaksanakan hak Allah dan hak majikannya, (3) dan seseorang yang memiliki hamba sahaya, lalu dia membimbingnya dengan sebaik-baik bimbingan serta mengajarinya dengan sebaik-baik pengajaran kepadanya, kemudian memerdekakan, lalu menikahinya, maka baginya dua pahala.”

Diriwayatkan oleh Abu Dawud di dalam kitab Sunannya dengan sanad yang hasan. Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk mengerjakan shalat ketika mereka berumur tujuh tahun dan pukullah mereka karena meninggalkan shalat ketika mereka berumur sepuluh tahun serta pisahkanlah mereka dari tempat tidur mereka.”

Di dalam hadits ini terkandung bimbingan yang sangat berarti dalam mendidik anak, yaitu bahwa cara mendidik itu berbeda-beda dari zaman ke zaman. Dan setiap anak diperintah sesuai dengan kemampuannya.

Demikian juga dengan cara memberikan pelajaran, berbeda antara satu anak dengan anak yang lainnya. Ada di antara mereka yang akan baru sadar dengan pukulan dan ada pula yang sadar hanya dengan kata-kata yang baik. Dan setiap tempat memiliki kalimat (cara) tersendiri.

Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim di dalam kitab Shahiih keduanya. Dari hadits ‘Umar bin Abi Salamah, dia berkata, “Dulu ketika masih kecil aku pernah berada di kamar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sementara tanganku menjulur ke piring, maka Rasulullah berkata kepadaku.

“Wahai anak kecil, sebutlah Nama Allah dan makanlah dengan tangan kananmu serta makanlah makanan yang dekat denganmu.’ Cara makanku setelah itu berlangsung demikian.”

Diriwayatkan oleh Muslim di dalam kitab Shahiihnya, Dari hadits Hudzaifah, dia berkata, “Jika kami dihidangkan makanan bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka kami tidak akan meletakkan tangan kami di hidangan tersebut sehingga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai, lalu beliau meletakkan tangan beliau di tempat hidangan tersebut. Dan sesungguhnya suatu ketika kami pernah menghadiri suatu jamuan makan. Kami tidak meletakkan tangan kami sehingga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai. Lalu beliau meletakkan tangan beliau. Dan sesungguhnya kami pernah menghadiri jamuan makan bersama beliau, lalu datang seorang anak wanita, seakan-akan ia tergiur, maka ia pun menuju hidangan tersebut dan meletakkan tangannya pada makanan, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menarik tangan anak wanita itu. Setelah itu datang seorang badui, seakan-akan dia didorong sehingga beliau pun menarik tangan orang itu, lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

Sesungguhnya syaitan itu menghalalkan makanan yang tidak disebutkan Nama Allah padanya. Dan sesungguhnya syaitan itu telah datang menyeret anak wanita ini untuk menghalalkan makanan itu baginya, lalu aku menarik tangannya. Lalu dia juga menyeret orang badui ini untuk mengambil makanan itu, lalu aku menarik tangannya. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya tangan badui itu di tanganku bersama dengan tangan anak wanita tersebut.”

Oleh karena itu, janganlah meremehkan dalam pengurusan anak kecil dengan menunda-nunda untuk memberikan pengajaran. Dan janganlah berlebihan serta keras dalam bertindak terhadapnya. Allah Ta’ala berfirman:

“Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar…” [An-Nisaa': 171]
Sementara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah bersabda:

“Permudahlah dan janganlah kalian mempersulit. Berikanlah berita gembira, dan janganlah kalian menakut-nakuti”

Jika pengarahan itu ditujukan bagi orang dewasa, lalu bagai-mana menurut Anda bagi anak kecil?

Demikian juga orang dewasa, yang sudah pasti membutuhkan pengajaran:
Dari ‘Ali Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Fathimah pernah mengeluh karena (sakit) akibat batu yang dipergunakan untuk menumbuk. Lalu terdengar olehnya bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapatkan tawanan. Kemudian Fathimah datang meminta pelayan kepada beliau, tetapi Nabi tidak menyetujuinya. Lalu dia menyebutkan kepada ‘Aisyah. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang, maka ‘Aisyah pun menceritakan hal tersebut kepada beliau. Lantas beliau mendatangi kami sedang kami tengah berbaring, maka kami pun beranjak bangun, lalu beliau bersabda, “Tetaplah di tempat kalian.” Sehingga aku merasakan dingin kaki beliau di dadaku. Lalu beliau bersabda:

“Maukah kalian aku tunjukkan kepada apa yang lebih baik daripada apa yang kalian minta kepadaku? Jika kalian beranjak ke tempat tidur kalian, maka bertakbirlah tiga puluh empat kali, bertahmidlah tiga puluh tiga kali, serta bertasbihlah tiga puluh tiga kali, karena sesungguhnya yang demikian itu lebih baik bagi kalian daripada apa yang kalian minta.” [Al-Bu-khari dan Muslim]

Dari Usamah bin Zaid Radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata, “Salah seorang puteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengirim seorang utusan kepada beliau untuk mengundang dan mengabari beliau bahwa anaknya -atau puteranya- akan meninggal dunia, maka beliau berkata kepada utusan itu:

“Kembali lagi kepadanya dan beritahukan kepadanya bahwa Allah Ta’ala berhak untuk mengambil dan berhak memberi. Dan segala sesuatu di sisi-Nya telah ditentukan batasnya. Maka perintahkanlah dia, suruh dia bersabar serta mengharapkan pahala dari Allah.’” Kemudian Usamah menyebutkan hadits ini secara lengkap” [Al-Bukhari dan Muslim]

Catatan.
Syaikh Mushthafa di dalam kitabnya, Fiqh Tarbiyatul Abnaa’, hal. 135, mengatakan, “Terkadang seorang anak berbuat salah, karenanya ia memerlukan bimbingan. Lalu sang ibu datang untuk membimbingnya. Tetapi, sang suami yang berakal justeru menghardik sang ibu di hadapan anaknya sehingga berdampak negatif bagi anaknya, yang mengakibatkan kewibawaan sang ibu jatuh. Oleh karena itu, berhati-hatilah Anda agar tidak menghardik isteri di hadapan anaknya, tetapi hendaklah Anda berlemah lembut dalam bertutur kata dan berikan penghormatan terhadap kewibawaan dan harga dirinya. Katakan kepadanya, misalnya, ‘Menurutku anak ini belum pantas untuk dipukul, semoga Allah memberikan ampunan pada kali ini, maka maafkanlah untuk kali ini. Dan jika dia mengulanginya lagi, maka berikanlah hukuman. Dan aku akan memberinya hukuman yang sama denganmu.’

Jika seorang ibu dipukul dan dihardik olehmu di hadapan anak-anaknya, maka hal itu akan tampak jelas di mata anak-anaknya dan berpengaruh terhadap psikologinya. Di antara mereka bahkan akan ada yang marah dan membencimu serta sangat sedih atas apa yang dialami ibunya. Dan di antara mereka juga ada yang memendam hal tersebut di dalam dirinya, sehingga apabila ia melakukan kesalahan atau ditegur oleh ibunya, ia akan mengatakan kepadanya, ‘Aku akan adukan kepada ayah, nanti ayah akan memukulmu seperti yang pernah dilakukannya dulu.’ Beranjak dari hal tersebut, maka rumah sangat berpengaruh sekali terhadap anak.”

[Disalin dari buku Al-Intishaar li Huquuqil Mu’minaat, Edisi Indonesia Dapatkan Hak-Hakmu Wahai Muslimah, Penulis Ummu Salamah As-Salafiyyah, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Penerjemah Abdul Ghoffar EM]

Monday, November 16, 2009

Memelihara Lidah

Dari Maimun bin Mihran diriwayatkan bahwa ia berkata: “ada seorang lelaki yang datang menemui Salman (Al-Farisi), lalu berkata kepadanya: “Berikan aku nasihat.” Beliau berkata: “Jangan banyak bicara.” Lelaki itu berkata: “Orang yang hidup di tengah manusia, mana bisa tidak berbicara?” Beliau menanggapi: “Kalaupun Anda hendak berbicara, berbicaralah yang benar, atau diam.” Lelaki itu berkata lagi: “Tolong tambahkan yang lain.” Beliau berkata: “Jangan suka marah.” Lelaki itu berkomentar: “Terkadang terjadi pada diriku, apa yang aku tidak bisa menahan diri.” Beliau berkata menanggapi: “Kalau begitu, bila engkau marah, jaga lidah dan tanganmu.” “Tambahkan lagi.’ Lelaki itu meminta. Beliau berkata: “Jangan campuri urusan orang lain. ” Lelaki itu menjawab: “Orang yang hidup bersama orang banyak, tidak mungkin tidak mencampuri urusan orang lain. “Beliau berkata: “Kalau engkau harus mencampuri urusan orang lain, katakan perkataan yang benar, dan tunaikanlah amanah kepada yang berhak. (Shifatush Shafwah I:549)

Dari Mu’adz bin Said diriwayatkan bahwa ia berkata: “kami pernah bersama Atha’ bin Rabbah. Tiba-tiba seorang lelaki berbicara dan pembicaraannya dipotong oleh temannya. Maka Atha berkata: “Subhanallah, akhlak macam apa ini?” Sesungguhnya aku dengar orang lain berbicara, sedangkan aku lebih mengerti daripada dirinya, tetapi aku seolah-olah menunjukkan bahwa aku belum mengerti apa yang disampaikannya. (Shifatush Shafwah II:214)

Dari Utsman bin Al-Aswad diriwayatkan bahwa ia berkata: “Aku pernah bertanya kepada Atha’: “Ada seorang lelaki yang lewat di hadapan sekelompok orang, tiba-tiba ada di antara mereka yang mengejeknya (dan dia tidak mendengarnya), apakah sebaiknya ia diberitahu?” Beliau menjawab: “Tidak. Karena orang-orang yang duduk di satu majelis, harus mampu menjaga amanah.” (Shifatush Shafwah II:214)

Dari khalaf bin Tamim diriwayatkan bahwa ia berkata: “Abdullah bin Muhammad telah menceritakan kepada kami, dari Al-Auza’i, bahwa ia berkata: “Umar bin Abdul Aziz pernah menulis surat kepada kami yang hanya dihafal isinya oleh aku dan Makhul. Yakni sebagai berikut: “Amma Ba’du: Sesungguhnya orang yang banyak mengingat-ingat kematian, ia akan senang dengan bagian di dunia yang sedikit; orang yang menganggap bicaranya itu termasuk amal perbuatannya, ia akan sedikit berbicara, kecuali dalam hal yang membawa manfaat buat dirinya. Wassalam (Siyaru A’laamin Nubalaa’)

Sumber : Aina Nahnu Min Akhlaaqis Salaf, Abdul Azis bin Nashir Al-Jalil Baha’uddien ‘Aqiel, Edisi Indonesia “Panduan Akhlak Salaf” alih bahasa : Abu Umar Basyir Al-Medani

Poligami di KCB

Dalam sebuah iklan film yang banyak disiarkan dalam berbagai media, sebuah film berjudul “Ketika Cinta Bertasbih” yang digarap oleh Habiburrahman el-Siraji yang juga telah sukses dengan filmnya “Ayat-ayat Cinta”. Konon katanya film ini menjelaskan dalil-dalil yang sangat jelas yang menentang poligami. Pantas saja jika film ini digandrungi oleh banyak kaum hawa bahkan banyak para tokoh yang katanya “ulama” juga menyambut baik film tersebut.

Memang penulis belum menonton langsung film tersebut, akan tetapi dari iklan yang ditayangkan di telivisi, ada satu kalimat dalam film tersebut yang penulis anggap penting dan menarik untuk diungkap kebenarannya, kalimat tersebut diucapkan oleh salah seorang gadis yang berkata,

“aku ingin seperti Fatimah, yang tak mau dimadu sayyidina Ali“

Hal ini menjadi menarik karena ungkapan ini digunakan untuk menolak poligami. Berangkat dari kekhawatiran tersebut, tulisan ini penulis suguhkan guna menyingkap kebohongan akan klaim bahwa Fatimah menolak poligami yang telah jelas hukum kebolehannya dalam Islam.

Hukum Poligami dalam al-Quran dan al-Hadits

Sebenarnya berpoligami telah jelas bagi kita hukumnya adalah boleh. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلا تَعُولُوا

Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. [QS. Al-Nisa’: 3]

Dan telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, bahwa Ghailan bin Salamah ats-Tsaqafi memiliki istri 10 orang, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Pilihlah 4 orang dan ceraikan yang lainnya.” [HR. Ahmad, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, ad-Daruquthni, dan al-Baihaqi, Lihat Tafsir ad-Durul Mantsur, Jalaluddin as-Suyuti, Juz IV, hal. 221]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga telah menegaskan,

عن أبي الدرداء رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ما أحل الله في كتابه فهو حلال، وما حرم فهو حرام، وما سكت عنه فهو عفو، فاقبلوا من الله عافيته، فإن الله لم يكن لينسى شيئاً، ثم تلا “وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا”

Dari Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Apa saja yang telah dihalalkan Allah dalam kitab-Nya, maka hukumnya halal, dan apa saja yang diharamkan-Nya maka hukumnya Haram, dan Apa saja yang didiamkan-Nya maka hal itu dimaafkan, maka terimalah apa saja dari Allah yang dimaafkan-Nya, karena Sesungguhnya Allah tidak melupakan sesuatu pun.” Kemudian beliau SAW. Membaca “dan tidaklah Tuhanmu lupa” (QS. Maryam: 64).” [HR. ath-Thabraniy, al-Bazar dan al-Hakim, sanadnya Mutsiqun (orang-orang tsiqoh). Lihat Majma’ az-Zawaid, al-Hatsamiy]

لا يضل ربي ولا ينسى

“Tuhan kami tidak akan salah dan tidak (pula) lupa.” [QS. Thaha: 52]
Demikianlah beberapa dalil yang qathi’ (tegas) yang menetapkan hukum seorang laki-laki boleh menikahi lebih dari 1 (satu) istri hingga 4 (empat) orang. Namun anehnya, masih saja ada orang-orang yang ragu bahkan membuat keragu-raguan tentang hukum masalah ini yang telah jelas. Berbagai macam cara dilakukan guna mengaburkan hukum poligami ini, dengan menyimpangkan makna ayat, menafsirkannya dengan ro’yu (akal semata), hingga seperti apa yang dilakukan oleh Habiburrahman el-Siraji dengan film-nya “Ketika Cinta Bertasbih”.

لِمَ تُحَرِّمُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكَ

Mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah halalkan bagimu” [QS. At-Tahrim: 1]
Benarkah Fatimah Menolak Poligami?

Fatimah az-Zahra’ adalah putri bungsu Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dari Khadijah. Pada tahun kedua sesudah hijrah (Juni 624), Fatimah dinikahkan dengan Ali bin Abi Thalib. Ketika melamar, disebutkan dari berbagai sumber, bahwa Ali radhiyallahu ‘anhu tidak memiliki apa-apa. Sehingga akhirnya Rasulullan Shallallahu ‘Alaihi Wasallam meminta ‘Ali menjual baju perang yang pernah ia berikan.

عن ابن عباس قال: لما تزوج عليٌّ فاطمة قال له رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم: “أعطها شيئاً” قال: ما عندي شىء، قال: “أين درعك الحطمية؟

Dari Ibnu Abbas, ia berkata, Ketika ‘Ali hendak menghendaki Fatimah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada ‘Ali, “berikan sesuatu (sebagai maharnya)”, Ali menjawab, “Aku tidak memiliki apa-apa, Rasulullah berkata, “Kemana Baju besi/perang (yang aku berikan kepadamu)? [HR. Abu Daud, Kitab Nikah, no hadits 2125]

Hingga suatu saat Ali bin Abi Thalib memiliki niat untuk menikah lagi. Mendengar niat Ali radhiyallahu ‘anhu tersebut, Fatimah pun menolak, Rasulullah juga menentang keras keinginan Ali bin Abi Thalib untuk menikah lagi. Ketika mendengar kabar itu, Nabi pun langsung masuk ke masjid dan naik mimbar, lalu berseru sebagaimana dalam hadits berikut,

حدثنا عبدالله بن عبيدالله بن أبي مليكة القرشي التيمي؛ أن المسور بن مخرمة حدثه؛
أنه سمع رسول الله صلى الله عليه وسلم على المنبر، وهو يقول “إن بني هشام بن المغيرة استأذنوني أن ينكحوا ابنتهم، علي بن أبي طالب. فلا آذن لهم. ثم لا آذن لهم. ثم لا آذن لهم. إلا أن يحب ابن أبي طالب أن يطلق ابنتي وينكح ابنتهم. فإنما ابنتي بضعة مني. يريبني ما رابها. ويؤذيني ما آذاها”.

Dari Abdullah bin ‘Ubaidillah bin Abu Mulikah al-Qurasyi at-Taimi, Sesungguhnya Miswar bin Makramah mengabarkan bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri diatas mimbar dan beliau bersabda “Keluarga Bani Hisyam bin al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk mengawinkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib. Ketahuilah, aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak akan mengizinkan. Sungguh tidak aku izinkan, kecuali Ali bin Abi Thalib menceraikan putriku, kupersilakan ia mengawini putri mereka. Ketahuilah, putriku itu bagian dariku; apa yang mengganggu perasaannya adalah menggangguku juga, apa yang menyakiti hatinya adalah menyakiti hatiku juga.” [HR. Muslim no hadits 2449 bab Fadhailul shahabah]

Akan tetapi, hadits ini yang menceritakan kejadian ini tidak hanya satu, sehingga mengambil kesimpulan menentang poligami hanya bermodalkan hadits tersebut sangatlah picik dan jauh dari sikap ilmiah –jika tidak ingin dikatakan jahil/bodoh-. Karena masih ada hadits lain yang menjadi penjelas atas hadits tersebut, kenapa Rasulullah bisa sangat emosi hanya karena anaknya hendak dimadu.

أن علي بن أبي طالب خطب بنت أبي جهل وعنده فاطمة بنت رسول الله صلى الله عليه و سلم فلما سمعت بذلك فاطمة أتت النبي صلى الله عليه و سلم فقالت له إن قومك يتحدثون أنك لا تغضب لبناتك وهذا علي ناكحا ابنة أبي جهل قال المسور فقام النبي صلى الله عليه و سلم فسمعته حين تشهد ثم قال أما بعد فإني أنكحت أبا العاص ابن الربيع فحدثني فصدقني وإن فاطمة بنت محمد مضغة مني وأنما أكره أن يفتنوها وإنها والله لا تجتمع بنت رسول الله وبنت عدو الله عند رجل واحد أبدا قال فترك علي الخطبة

“Sesungguhnya Ali meminang anak perempuan Abu Jahal. Kemudian Fatimah mendengar tentang hal itu lalu kemudian dia datang kepada Rasulullah shallallhu ‘alaihi wasallam dan berkata, “Kaummu mengira bahwa kamu tidak marah karena putri-putrimu. Dan ini Ali (ingin) menikahi anak perempuan Abu Jahal.” Kemudian Miswar bin Makhramah berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri, maka dia (Miswar) pun berdiri, ketika mengucapkan tasyahhud (seperti pada khutbah) dan berkata, “Amma Ba’d, Aku telah menikahkan Abu Âsh ibn Rabî’ kemudian dia berbicara kepadaku dan jujur kepadaku. Dan sesungguhnya Fatimah adalah darah dagingku dan aku tidak senang ada sesuatu yang menyakitinya. “Demi Allah, tidak berkumpul anak perempuan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan anak perempuan musuh Allah pada satu laki-laki.” Kemudian Ali meninggalkan pinangannya. [HR. Muslim (lihat Fath al-Mun’im Syarh Shahih Muslim, Juz 9, hal 412 no. 5489), Abu Daud (nomor 2069), Ibnu Majah (hadits (1999) dan al-Muzzi menisbatkannya juga kepada riwayat Nasa`i]

Dari hadits ini nampak jelas sebuah kebenaran bahwa alasan Fatimah menolak dipoligami adalah karena ia tidak ingin dikumpulkan dengan putri Abu Jahal musuh Allah. Jelaslah keputusan Fatimah dan Rasulullah ini bukanlah sebuah penolakan akan poligami, melainkan penolakan terhadap Abu Jahal yang notabene memusuhi Rasulullah dan Dakwah Islamiyah kala itu.

Dan jika kita perhatikan hadits lain yang juga menceritakan kejadian ini, disana jelas disebutkan bahwa tindakan penolakan dari Rasulullah ini bukanlah sebuah penentangan akan sesuatu yang telah dihalalkan oleh Allah, sebagaimana hadits yang diriwayatkan juga oleh Imam Muslim dalam shahihnya, Rasulullah shallallhu ‘alaihi wasallam bersabda,

وإني لست أحرم حلالا ولا أحل حراما. ولكن، والله! لا تجتمع بنت رسول الله صلى الله عليه وسلم وبنت عدو الله مكانا واحدا أبدا

Dan sesungguhnya aku tidaklah mengharamkan apa yang telah dihalalkan, dan juga tidak mengharamkan apa yang telah dihalalkan, akan tetapi, Demi Allah, tidak akan berkumpul putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan putri musuh Allah dalam satu tempat selama-lamanya. [HR. Muslim no. 5488]

Dalam hadits ini, semakin tegas pernyataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan mengatakan “Aku tidaklah mengharamkan apa yang telah dihalalkan….” Tentunya hal ini  untuk menolakmenjadi senjata pamungkas untuk membungkam mulut orang-orang yang menggunakan hadits penolakan Fatimah tersebut hukum poligami yang telah ditetapkan dengan jelas hukum kebolehannya oleh Allah Dzat yang Maha Kuasa.

فَلَمَّا جَاءَهُمْ مَا عَرَفُوا كَفَرُوا بِهِ فَلَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الْكَافِرِينَ

“Maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka la’nat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu.” [QS. Al-Baqarah: 89]

Kesimpulan yang dapat kita petik dari pembahasan singkat ini adalah, jika suatu hukum telah jelas disebutkan dalam al-Quran dan al-Hadits, sekuat apapun orang berusaha untuk mengaburkannya, menentangnya dan menolaknya maka hasilnya adalah sia-sia belaka dan hanya murka Allah sajalah yang akan didapatnya kelak.
Film “Ketika Cinta Bertasbih” yang sedang populer dan diminati banyak orang, tanpa disadari memuat sebuah kebohongan atas nama putri Rasulullah dan menggunakannya untuk menolak hukum Allah. Dan seharusnya kita lebih berhati-hati akan upaya-upaya musuh-musuh Allah yang senantiasa ingin menjauhkan kaum muslimin dari ajaran Allah yang sebenarnya. Sikap selektif seharusnya dimiliki oleh kaum muslimin untuk memilih mana yang baik dan mana yang buruk, sehingga kita tetap berada diatas jalan yang lurus yang senantiasa kita harap-harapkan dalam setiap shalat kita.

Mudah-mudahan tulisan ini membuka mata kita semua bahwa serangan terhadap kaum muslimin itu tidak hanya dari segi serangan fisik akan tetapi serangan pemikiran lebih gencar dilakukan bahkan oleh orang-orang Islam sendiri. Wallahul Musta’an

قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ * لا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ

Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok? Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman.” [QS. At-taubah: 65-66]

Oleh: Abu Aqil al-Atsary

Untukmu Yang Berjiwa Hanif

Video Kajian ‘Untukmu yang Berjiwa Hanif’
oleh Ust Armen Halim Naro rahimahullaah ta’ala

Untukmu yang Berjiwa Hanif (1)-(11) Show/Hide

Wednesday, November 11, 2009

Nikah Kesandung Suku

Kali ini mau ngebahas yang lagi ngetren di kalangan muda mudi yang sedang memadu kasih. Kenapa dikatakan lagi ngetren? Saya pribadi sudah beberapa kali ngeliat kasus serupa terjadi di masyarakat tempat saya tinggal. Ini bukan soal pacaran,..itu mah lewat,…kali ini soal pernikahan, sesuatu yang menjadikan hubungan yang haram menjadi halal antara kedua anak manusia.

Beberapa waktu lalu rumahku kedatangan tamu lagi, tapi bukan tamu saya, seperti biasa tamu ayah saya yang datang karena berkasus. Sedikit cerita soal profesi beliau, beliau adalah seorang Hakim Pengadilan Tinggi Agama, jadi wajar saja kalau tamu-tamu beliau kebanyakan orang-orang berkasus yang datang untuk berkonsultasi seputaran pernikahan, perceraian, warisan dan segala yang berhubungan dengan hukum perdata.

Kembali ke soal tamu ayah saya itu, mereka datang bersama kakekku, kenapa bersama kakek? Ternyata oh ternyata tamu ayah saya itu masih ada hubungan keluarga dengan diriku, kakek yang bilang. Jadi mereka datang berempat yaitu kakek, paman (kusebut paman karena masih ada hubungan keluarga), seorang pria berumur kira-kira 25-an (masih ada hubungan keluarga juga dengan diriku) dan satu lagi seorang gadis berjilbab sebaya denganku (berasal dari Gorontalo). Mereka kutemui saat baru saja turun dari sebuah mobil yang mereka kendarai saat diriku baru saja pulang dari mengajar dan shalat Isya bersama ayah di mushalah dekat rumah.

Di ruang tamu mulailah mereka bercerita permasalahan yang membuat mereka sampai datang menemui ayah untuk berkonsultasi. Sejak dulu tanpa sengaja maupun sengaja sering saya ikut larut dalam permasalahan-permasalahan seputaran rumah tangga khususnya, jadi sudah cukup banyak tau polemik yang terjadi dari berbagai kasus yang ada. Menyimak, alias “nguping” tuingggggg hehee, nguping yang bener loh bukan buat gossip atau nyebar aib orang, tapi buat dijadiin bahan analisa, pengumpulan data, diolah dah akhirnya menjadi sebuah hasil yaitu pengalaman ting ting.

Huhuuuu kali ini dirimu kebanyakan cakap,..lanjuuuut. oooow ternyata permasalahan yang terjadi tidak jauh berbeda dengan kasus yang menimpa teman kakak saya dua tahun yang lalu “ingin menikah tak dapat restu orang tua karena alasan beda suku” fiuuuuh. Sebut saja namanya Dewi seorang sarjana kedokteran, kedua orang tuanya bersuku asli Bugis dan berdomisili di Sulawesi. Suatu ketika bertemu dengan seorang lelaki sebut saja Rudi, seorang yang sudah cukup mapan dalam pekerjaan (bukan seorang dokter), suku Jawa dan berdomisili di Jawa. Mereka sudah berkomitmen untuk menikah, namun saat Rudi bersama ibunya berniat datang untuk bersilaturahmi dengan orang tua Dewi, justru mereka ditolak bahkan diusir dari rumah oleh ayah Dewi. Alasan ayahnya menolak dan tidak merestui mereka menikah yang paling mendasar adalah karena perbedaan suku, ayahnya tidak ingin Dewi menikah dengan suku Jawa dan bukan seorang dokter, maka mulailah Dewi dijodohkan dengan pilihan orang tuanya. Tapi Dewi tetap bertahan dan tidak ingin dijodohkan, hingga akhirnya kabur dari rumah. Dan ceritanya berlabuh pada pelaporan Dewi ke kantor Pengadilan Agama yang saat itu ayahku lah yang langsung menangani masalahnya, dia meminta solusi wali hakim untuk menikahkannya dengan Rudi, pilihan hatinya. Tentunya saat itu cara damai ditempuh, sampai ayahku bersama keluarga Rudi datang bersilaturahmi ke orang tua Dewi, namun hasilnya tetap saja nihil, ayahnya tetap saja tak merestui, berbagai cara sudah dilakukan dan karena keteguhan dan kesungguhan usaha mereka yang tentunya diiringi dengan do’a akhirnya ayahnya luluh, awal 2009 lalu akhirnya mereka menikah dengan restu ayahnya sebagai wali nikahnya, Alhamdulillah gini kan enak, jadi gak perlu nikah tanpa restu orang tua dan dinikahkan dengan wali hakim pula, senanganyah Alhamdulillah…

Nah… seperti yang sudah saya katakan di awal, kali ini kasusnya gak jauh beda. Sebut saja Rina gadis berjilbab asal gorontalo, berdomisili di Gorontalo dan Rafi asal Makassar suku bugis. Mereka pun berniat untuk segera menikah, namun keinginan mereka ditentang oleh orang tua Rina, alasan tentu saja karena Rafi berasal dari Makassar, orang tua Rina tak ingin anaknya menikah dengan lelaki Makassar. Tak jauh beda dengan Dewi, Rina pun akan dijodohkan dengan lelaki pilihan orang tuanya, tentu saja Rina tak akan mau yang berujung pada pengusiran Rina oleh orang tuanya. Dari Gorontalo Rina akhirnya sampai ke Makassar datang meminta haknya untuk memilih dengan siapa ia ingin menikah. “Kalau saja Rina setuju untuk dijodohkan dengan laki-laki lain tentu saja saya akan menerima itu, masalahnya kan dia juga tidak setuju om” kata Rafi kepada ayah di sela-sela curhatan mereka.

“Dan tolong menolonglah kamu dalam (megerjakan) kebajikan dan takwa dan janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. Al Maidah : 2)

Ada sebuah catatan yang perlu diingat bahwasanya pertolongan yang dilakukan hendaknya terbatas bila kedua belah pihak adalah shalih. Jika tidak atau salah satunya fasiq, maka bantuan itu hendaknya tidak usah ada, bahkan wajib pihak yang shalih itu diingatkan agar tidak mencintai orang yang sesat, dengan memberikan peringatan akan kewajiban memilih teman hidup berdasarkan pemikiran yang stabil dan penelitian yang mendalam. Bukan berdasarkan hawa nafsu dan cinta lalu sebagai hasil impan, sehingga hal itu menyebabkan adanya perceraian atau akibat yang tidak terpuji. Karena cinta itu bukan segalanya wahai saudara dan saudariku, banyak faktor yang masing-masing akan bepengaruh kepada keberhasilan kehidupan rumah tangga.

“Membantulah kamu niscaya kamu akan mendapatkan pahala. Dan Allah akan memutuskan apa yang disukai-Nya lewat lisan Rasul-Nya” (HR. Bukhari, Abu Daud, Tirmidzi, dan Nasai)

Lalu simaklah kisah-kisah berikut:

“Di zaman Rasulullah ada seorang yang menikahkan putrinya yang sebelumnya telah dipinang oleh orang lain. Sampailah berita itu kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Bahwa putri itu tidak menyukai orang yang dinikahkannya oleh sang ayah itu, dan bahwa dia lebih menyukai bila dunikahkan dengan orang lain itu tadi. Maka beliau pun membatalkan pernikahan sang ayah dan menikahkan putri itu dengan orang yang dia sukai.” (HR. Bukhari, An Nasai dan Ibnu Majah dengan lafadz yang lain)

Ada seorang pemuda Arab dihadapkan kepada Ali bin Abu Thalib radhiyallahu anhu. Pemuda itu didapatkan berada di rumah orang pada malam hari. Beliau bertanya : “Bagaimana ceritamu wahai anak muda?” dia menjawab : “Saya bukanlah pencuri, tetapi percayalah padaku begini : saya melihat di rumah Ar Rabah ada seorang gadis yang matahari dan bulan menunjukkan kecantikannya. Dia mempunyai kecantikan dan derajad yang menumbuhkan jiwa. Jika saya kagum kepada kecantikannya maka itu tak salah lagi. Ketika aku mengetuk pintu rumah itu dengan membawa cinta yang paling suci, dan di rumah itu ada bara api yang dinyalakan sang gadis, maka seisi rumah segera menangkapku dan berteriak “Dia maling yang harus dibunuh atau ditangkap

Ketika Ali mendengar syi’ir pemuda itu maka beliaupun menjadi lembut dan berkata kepada Mahlab bin Rabah (pemilik rumah tu) : “izinkanlah dia dengan gadis itu, dan saya ganti harganya”. Mahlab berkata : “wahai Amirul Mu’minin, tanyakan siapakah dia itu supaya kita mengetahui nasabnya”. Maka pemuda itu menjawab : “ saya adalah An Nahas bin Uyainah Al ‘Ajali”. Kata Mahlab : “Ambillah gadis itu. Dia punyamu”.
Mu’awiyah bin Abu Sufyan pernah membeli budak perempuan dari Bahrain, dan dia pun sangat mengaguminya. Suatu hari dia mendengar budak itu mendendangkan beberapa bait yang antara lain: “Aku berpisah dengannya bagaikan dahan yang gugur di bumi dan terbuang setelah tumbuh dengan bagusnya”. Setelah Mu’awiyah menanyainya, wanita itu menjawab: “Dia adalah anak pamanku”. Maka Mu’awiyah pun mengembalikannya kepada lelaki itu padahal hatinya masih mencintainya.”

Ketika dalam perjalanan haji, ada seorang Badui memanggil Al Mahdi : “wahai Amirul Mu’minin, saya lagi jatuh cinta”. Orang itu mengeraskan suaranya. Maka beliau bertanya kepada pelayan : “Celaka, ada apa ini?” dijawab : Ada orang yang berteriak “aku lagi jatuh cinta”. Beliau berkata : “Bawa kemari dia”. Lalu beliau menanyainya : “Siapa yang kau rindukan?”. Orang itu menjawab : “Dia adalah putri pamanku”. Beliau bertanya : “ Apakah dia punya ayah?”. Dijawab : “ya”. Ditanya lagi : “Kenapa ayahnya tidak menikahkannya denganmu?”. Dia menjawab : “Ada suatu perkara, wahai Amirul Mu’minin”. Tanya beliau : “Apa itu?”. Dijawabnya : “Saya adalah Hajin (orang yang ibunya adalah budak wanita bukan bangsa Arab). Beliau bertanya lagi : “ Memangnya kenapa?” lelaki itu menjawab : “Itu bagi kami adalah aib”. Maka Al Mahdi mengutus untuk mencari ayah wanita yang dimaksud, sehingga sang ayah menghadap beliau. Beliau bertanya :” ini anak saudaramu?” dijawab : “Ya”. “Kenapa tidak kau kawinkan saja dengan putrimu? “, Tanya beliau lagi. Lalu orang tua itu mengatakan sama seperti apa yang dikatakan keponakannya. Beliau sendiri termasuk keturunan Abbas, dan di situ ada beberapa orang. Lalu beliau berkata : “Mereka semua adalah Bani Abbas. Mereka adalah orang-orang Hajin. Apakah perkawinan mereka berbahaya?” orang itu berkata : “Tetapi hal itu aib bagi kami”. Beliau berkata : “Kawinkanlah dia dengan putrimu itu. Saya bayar 20.000 dirham. Sepuluh ribu untuk membayar aib dan sepuluh ribu lagi adalah maharnya”. Orang itu menjawab : “ya”. Maka beliaupun memuji kepada Allah dan mengamankan pemuda dan gadis itu, serta memberikan dua puluh ribu dirham kepada sang ayah. Pemuda itu pun lalu mendengarkan syi’ir : aku beli seekor kijang dengan mahal, tetapi yang mahal itu memeberiku beberapa kali lipatnya. Aku tinggalkan pasaran ketampanan kepada keluarganya, karena ketampanan itu meskipun murah tetapi mahal. (Raudlatul Muhibbin, halaman 375-382).

Demikianlah, ternyata kisah-kisah pernikahan semacam itu sudah ada sejak zaman Rasulullah, sahabat, tabi’in, tabi’ tabi’in dan sampai akhir zaman, hmmm berarti udah ngetren dari dulu dunk…

Apa yang saya tulis ini semoga bermanfaat dan menjadi sebuah pencerahan khususnya buat para orang tua dan muda mudi, jangan ada lagi “pernikahan kesandung beda suku” atau alasan yang tidak syar’i yang tidak menghalangi kedua belah pihak untuk menikah. Buat Rina dan Rafi dan mungkin bagi sobat muda yang punya masalah serupa, semoga urusan kalian dimudahkan dan akhirnya berujung kepada pernikahan yang barokah, menyusul Dewi dan Rudi. Amiin AllahummaAmiin.

Sumber rujukan : Tuhfatul ‘Arus aw Az Zawaj Al Islami As Sa’id oleh Mahmud Mahdi Al Istambuli (Pendidikan Keluarga dalam Islam, alih bahasa oleh Adib Al ‘Arif dan Sani Abu Zahra). Sumber: Sobat Muda dotcom.

Monday, November 9, 2009

Memilih Pasangan Idaman

Terikatnya jalinan cinta dua orang insan dalam sebuah pernikahan adalah perkara yang sangat diperhatikan dalam syariat Islam yang mulia ini. Bahkan kita dianjurkan untuk serius dalam permasalahan ini dan dilarang menjadikan hal ini sebagai bahan candaan atau main-main.

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

ثلاث جدهن جد وهزلهن جد: النكاح والطلاق والرجعة

“Tiga hal yang seriusnya dianggap benar-benar serius dan bercandanya dianggap serius: nikah, cerai dan ruju.’” (Diriwayatkan oleh Al Arba’ah kecuali An Nasa’i. Dihasankan oleh Al Albani dalam Ash Shahihah)

Salah satunya dikarenakan menikah berarti mengikat seseorang untuk menjadi teman hidup tidak hanya untuk satu-dua hari saja bahkan seumur hidup, insya Allah. Jika demikian, merupakan salah satu kemuliaan syariat Islam bahwa orang yang hendak menikah diperintahkan untuk berhati-hati, teliti dan penuh pertimbangan dalam memilih pasangan hidup.

Sungguh sayang, anjuran ini sudah semakin diabaikan oleh kebanyakan kaum muslimin. Sebagian mereka terjerumus dalam perbuatan maksiat seperti pacaran dan semacamnya, sehingga mereka pun akhirnya menikah dengan kekasih mereka tanpa memperhatikan bagaimana keadaan agamanya. Sebagian lagi memilih pasangannya hanya dengan pertimbangan fisik. Mereka berlomba mencari wanita cantik untuk dipinang tanpa peduli bagaimana kondisi agamanya. Sebagian lagi menikah untuk menumpuk kekayaan. Mereka pun meminang lelaki atau wanita yang kaya raya untuk mendapatkan hartanya. Yang terbaik tentu adalah apa yang dianjurkan oleh syariat, yaitu berhati-hati, teliti dan penuh pertimbangan dalam memilih pasangan hidup serta menimbang anjuran-anjuran agama dalam memilih pasangan.

Setiap muslim yang ingin beruntung dunia akhirat hendaknya mengidam-idamkan sosok suami dan istri dengan kriteria sebagai berikut:

1. Taat kepada Allah dan Rasul-Nya

Ini adalah kriteria yang paling utama dari kriteria yang lain. Maka dalam memilih calon pasangan hidup, minimal harus terdapat satu syarat ini. Karena Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ

“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian adalah yang paling bertaqwa.” (QS. Al Hujurat: 13)

Sedangkan taqwa adalah menjaga diri dari adzab Allah Ta’ala dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Maka hendaknya seorang muslim berjuang untuk mendapatkan calon pasangan yang paling mulia di sisi Allah, yaitu seorang yang taat kepada aturan agama. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam pun menganjurkan memilih istri yang baik agamanya,

تنكح المرأة لأربع: لمالها ولحسبها وجمالها ولدينها، فاظفر بذات الدين تربت يداك

“Wanita biasanya dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena kedudukannya, karena parasnya dan karena agamanya. Maka hendaklah kamu pilih wanita yang bagus agamanya (keislamannya). Kalau tidak demikian, niscaya kamu akan merugi.” (HR. Bukhari-Muslim)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

إذا جاءكم من ترضون دينه وخلقه فزوجوه إلا تفعلوه تكن فتنة في الأرض وفساد كبير

“Jika datang kepada kalian seorang lelaki yang kalian ridhai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia. Jika tidak, maka akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (HR. Tirmidzi. Al Albani berkata dalam Adh Dho’ifah bahwa hadits ini hasan lighoirihi)

Jika demikian, maka ilmu agama adalah poin penting yang menjadi perhatian dalam memilih pasangan. Karena bagaimana mungkin seseorang dapat menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, padahal dia tidak tahu apa saja yang diperintahkan oleh Allah dan apa saja yang dilarang oleh-Nya? Dan disinilah diperlukan ilmu agama untuk mengetahuinya.

Maka pilihlah calon pasangan hidup yang memiliki pemahaman yang baik tentang agama. Karena salah satu tanda orang yang diberi kebaikan oleh Allah adalah memiliki pemahaman agama yang baik. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

من يرد الله به خيرا يفقهه في الدين

“Orang yang dikehendaki oleh Allah untuk mendapat kebaikan akan dipahamkan terhadap ilmu agama.” (HR. Bukhari-Muslim)

2. Al Kafa’ah (Sekufu)

Yang dimaksud dengan sekufu atau al kafa’ah -secara bahasa- adalah sebanding dalam hal kedudukan, agama, nasab, rumah dan selainnya (Lisaanul Arab, Ibnu Manzhur). Al Kafa’ah secara syariat menurut mayoritas ulama adalah sebanding dalam agama, nasab (keturunan), kemerdekaan dan pekerjaan. (Dinukil dari Panduan Lengkap Nikah, hal. 175). Atau dengan kata lain kesetaraan dalam agama dan status sosial. Banyak dalil yang menunjukkan anjuran ini. Di antaranya firman Allah Ta’ala,

الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ

"Wanita-wanita yang keji untuk laki-laki yang keji. Dan laki-laki yang keji untuk wanita-wanita yang keji pula. Wanita-wanita yang baik untuk laki-laki yang baik. Dan laki-laki yang baik untuk wanita-wanita yang baik pula.” (QS. An Nur: 26)

Al Bukhari pun dalam kitab shahihnya membuat Bab Al Akfaa fid Diin (Sekufu dalam agama) kemudian di dalamnya terdapat hadits,

تنكح المرأة لأربع: لمالها ولحسبها وجمالها ولدينها، فاظفر بذات الدين تربت يداك

“Wanita biasanya dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena kedudukannya, karena parasnya dan karena agamanya. Maka hendaklah kamu pilih karena agamanya (keislamannya), sebab kalau tidak demikian, niscaya kamu akan merugi.” (HR. Bukhari-Muslim)

Salah satu hikmah dari anjuran ini adalah kesetaraan dalam agama dan kedudukan sosial dapat menjadi faktor kelanggengan rumah tangga. Hal ini diisyaratkan oleh kisah Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhu, seorang sahabat yang paling dicintai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dinikahkan dengan Zainab binti Jahsy radhiyallahu ‘anha. Zainab adalah wanita terpandang dan cantik, sedangkan Zaid adalah lelaki biasa yang tidak tampan. Walhasil, pernikahan mereka pun tidak berlangsung lama. Jika kasus seperti ini terjadi pada sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, apalagi kita?

3. Menyenangkan jika dipandang

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang telah disebutkan, membolehkan kita untuk menjadikan faktor fisik sebagai salah satu kriteria memilih calon pasangan. Karena paras yang cantik atau tampan, juga keadaan fisik yang menarik lainnya dari calon pasangan hidup kita adalah salah satu faktor penunjang keharmonisan rumah tangga. Maka mempertimbangkan hal tersebut sejalan dengan tujuan dari pernikahan, yaitu untuk menciptakan ketentraman dalam hati.

Allah Ta’ala berfirman,

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجاً لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا

“Dan di antara tanda kekuasaan Allah ialah Ia menciptakan bagimu istri-istri dari jenismu sendiri agar kamu merasa tenteram denganya.” (QS. Ar Ruum: 21)

Dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menyebutkan 4 ciri wanita sholihah yang salah satunya,

وان نظر إليها سرته

“Jika memandangnya, membuat suami senang.” (HR. Abu Dawud. Al Hakim berkata bahwa sanad hadits ini shahih)

Oleh karena itu, Islam menetapkan adanya nazhor, yaitu melihat wanita yang yang hendak dilamar. Sehingga sang lelaki dapat mempertimbangkan wanita yang yang hendak dilamarnya dari segi fisik. Sebagaimana ketika ada seorang sahabat mengabarkan pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa ia akan melamar seorang wanita Anshar. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أنظرت إليها قال لا قال فاذهب فانظر إليها فإن في أعين الأنصار شيئا

“Sudahkah engkau melihatnya?” Sahabat tersebut berkata, “Belum.” Beliau lalu bersabda, “Pergilah kepadanya dan lihatlah ia, sebab pada mata orang-orang Anshar terdapat sesuatu.” (HR. Muslim)

4. Subur (mampu menghasilkan keturunan)

Di antara hikmah dari pernikahan adalah untuk meneruskan keturunan dan memperbanyak jumlah kaum muslimin dan memperkuat izzah (kemuliaan) kaum muslimin. Karena dari pernikahan diharapkan lahirlah anak-anak kaum muslimin yang nantinya menjadi orang-orang yang shalih yang mendakwahkan Islam. Oleh karena itulah, Rasullullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk memilih calon istri yang subur,

تزوجوا الودود الولود فاني مكاثر بكم الأمم

“Nikahilah wanita yang penyayang dan subur! Karena aku berbangga dengan banyaknya ummatku.” (HR. An Nasa’I, Abu Dawud. Dihasankan oleh Al Albani dalam Misykatul Mashabih)

Karena alasan ini juga sebagian fuqoha (para pakar fiqih) berpendapat bolehnya fas-khu an nikah (membatalkan pernikahan) karena diketahui suami memiliki impotensi yang parah. As Sa’di berkata: “Jika seorang istri setelah pernikahan mendapati suaminya ternyata impoten, maka diberi waktu selama 1 tahun, jika masih dalam keadaan demikian, maka pernikahan dibatalkan (oleh penguasa)” (Lihat Manhajus Salikin, Bab ‘Uyub fin Nikah hal. 202)
Kriteria Khusus untuk Memilih Calon Suami

Khusus bagi seorang muslimah yang hendak memilih calon pendamping, ada satu kriteria yang penting untuk diperhatikan. Yaitu calon suami memiliki kemampuan untuk memberi nafkah. Karena memberi nafkah merupakan kewajiban seorang suami. Islam telah menjadikan sikap menyia-nyiakan hak istri, anak-anak serta kedua orang tua dalam nafkah termasuk dalam kategori dosa besar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كفى بالمرء إثما أن يضيع من يقوت

“Cukuplah seseorang itu berdosa bila ia menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud. Al Hakim berkata bahwa sanad hadits ini shahih).

Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun membolehkan bahkan menganjurkan menimbang faktor kemampuan memberi nafkah dalam memilih suami. Seperti kisah pelamaran Fathimah binti Qais radhiyallahu ‘anha:

عن فاطمة بنت قيس رضي الله عنها قالت‏:‏ أتيت النبي صلى الله عليه وسلم، فقلت‏:‏ إن أبا الجهم ومعاوية خطباني‏؟‏ فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم‏:‏‏”‏أما معاوية، فصعلوك لا مال له ، وأما أبوالجهم، فلا يضع العصا عن عاتقه‏

“Dari Fathimah binti Qais radhiyallahu ‘anha, ia berkata: ‘Aku mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu aku berkata, “Sesungguhnya Abul Jahm dan Mu’awiyah telah melamarku”. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Adapun Mu’awiyah adalah orang fakir, ia tidak mempunyai harta. Adapun Abul Jahm, ia tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya”.” (HR. Bukhari-Muslim)

Dalam hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak merekomendasikan Muawiyah radhiyallahu ‘anhu karena miskin. Maka ini menunjukkan bahwa masalah kemampuan memberi nafkah perlu diperhatikan.

Namun kebutuhan akan nafkah ini jangan sampai dijadikan kriteria dan tujuan utama. Jika sang calon suami dapat memberi nafkah yang dapat menegakkan tulang punggungnya dan keluarganya kelak itu sudah mencukupi. Karena Allah dan Rasul-Nya mengajarkan akhlak zuhud (sederhana) dan qana’ah (menyukuri apa yang dikarunai Allah) serta mencela penghamba dan pengumpul harta. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

تعس عبد الدينار، والدرهم، والقطيفة، والخميصة، إن أعطي رضي، وإن لم يعط لم يرض

“Celakalah hamba dinar, celakalah hamba dirham, celakalah hamba khamishah dan celakalah hamba khamilah. Jika diberi ia senang, tetapi jika tidak diberi ia marah.” (HR. Bukhari).

Selain itu, bukan juga berarti calon suami harus kaya raya. Karena Allah pun menjanjikan kepada para lelaki yang miskin yang ingin menjaga kehormatannya dengan menikah untuk diberi rizki.

وَأَنكِحُوا الْأَيَامَى مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِن يَكُونُوا فُقَرَاء يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ

“Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kalian. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya.” (QS. An Nur: 32)

Kriteria Khusus untuk Memilih Istri

Salah satu bukti bahwa wanita memiliki kedudukan yang mulia dalam Islam adalah bahwa terdapat anjuran untuk memilih calon istri dengan lebih selektif. Yaitu dengan adanya beberapa kriteria khusus untuk memilih calon istri. Di antara kriteria tersebut adalah:

1. Bersedia taat kepada suami

Seorang suami adalah pemimpin dalam rumah tangga. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاء

“Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita.” (QS. An Nisa: 34)

Sudah sepatutnya seorang pemimpin untuk ditaati. Ketika ketaatan ditinggalkan maka hancurlah ‘organisasi’ rumah tangga yang dijalankan. Oleh karena itulah, Allah dan Rasul-Nya dalam banyak dalil memerintahkan seorang istri untuk taat kepada suaminya, kecuali dalam perkara yang diharamkan. Meninggalkan ketaatan kepada suami merupakan dosa besar, sebaliknya ketaatan kepadanya diganjar dengan pahala yang sangat besar.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا صَلَتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا، وَصَامَتْ شَهْرَهَا، وَحَصَنَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ بَعْلَهَا، دَخَلَتْ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شَاءَتْ
“Apabila seorang wanita mengerjakan shalat lima waktunya, mengerjakan puasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya dan menaati suaminya, maka ia akan masuk surga dari pintu mana saja yang ia inginkan.” (HR. Ibnu Hibban. Dishahihkan oleh Al Albani)

Maka seorang muslim hendaknya memilih wanita calon pasangan hidupnya yang telah menyadari akan kewajiban ini.

2. Menjaga auratnya dan tidak memamerkan kecantikannya kecuali kepada suaminya

Berbusana muslimah yang benar dan syar’i adalah kewajiban setiap muslimah. Seorang muslimah yang shalihah tentunya tidak akan melanggar ketentuan ini. Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لِّأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاء الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَن يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُوراً رَّحِيماً

“Wahai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’” (QS. Al Ahzab: 59)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengabarkan dua kaum yang kepedihan siksaannya belum pernah beliau lihat, salah satunya adalah wanita yang memamerkan auratnya dan tidak berbusana yang syar’i. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

نساء كاسيات عاريات مميلات مائلات رؤسهن كأسنة البخت المائلة لا يدخلن الجنة ولا يجدن ريحها وإن ريحها ليوجد من مسيرة كذا وكذا

“Wanita yang berpakaian namun (pada hakikatnya) telanjang yang berjalan melenggang, kepala mereka bergoyang bak punuk unta. Mereka tidak akan masuk surga dan bahkan mencium wanginya pun tidak. Padahal wanginya surga dapat tercium dari jarak sekian dan sekian.” (HR. Muslim)

Berdasarkan dalil-dalil yang ada, para ulama merumuskan syarat-syarat busana muslimah yang syar’i di antaranya: menutup aurat dengan sempurna, tidak ketat, tidak transparan, bukan untuk memamerkan kecantikan di depan lelaki non-mahram, tidak meniru ciri khas busana non-muslim, tidak meniru ciri khas busana laki-laki, dll.

Maka pilihlah calon istri yang menyadari dan memahami hal ini, yaitu para muslimah yang berbusana muslimah yang syar’i.

3. Gadis lebih diutamakan dari janda

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan agar menikahi wanita yang masih gadis. Karena secara umum wanita yang masih gadis memiliki kelebihan dalam hal kemesraan dan dalam hal pemenuhan kebutuhan biologis. Sehingga sejalan dengan salah satu tujuan menikah, yaitu menjaga dari penyaluran syahawat kepada yang haram. Wanita yang masih gadis juga biasanya lebih nrimo jika sang suami berpenghasilan sedikit. Hal ini semua dapat menambah kebahagiaan dalam pernikahan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

عليكم بالأبكار ، فإنهن أعذب أفواها و أنتق أرحاما و أرضى باليسير

“Menikahlah dengan gadis, sebab mulut mereka lebih jernih, rahimnya lebih cepat hamil, dan lebih rela pada pemberian yang sedikit.” (HR. Ibnu Majah. Dishahihkan oleh Al Albani)

Namun tidak mengapa menikah dengan seorang janda jika melihat maslahat yang besar. Seperti sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu yang menikah dengan janda karena ia memiliki 8 orang adik yang masih kecil sehingga membutuhkan istri yang pandai merawat anak kecil, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menyetujuinya (HR. Bukhari-Muslim)

4. Nasab-nya baik

Dianjurkan kepada seseorang yang hendak meminang seorang wanita untuk mencari tahu tentang nasab (silsilah keturunan)-nya.

Alasan pertama, keluarga memiliki peran besar dalam mempengaruhi ilmu, akhlak dan keimanan seseorang. Seorang wanita yang tumbuh dalam keluarga yang baik lagi Islami biasanya menjadi seorang wanita yang shalihah.

Alasan kedua, di masyarakat kita yang masih awam terdapat permasalahan pelik berkaitan dengan status anak zina. Mereka menganggap bahwa jika dua orang berzina, cukup dengan menikahkan keduanya maka selesailah permasalahan. Padahal tidak demikian. Karena dalam ketentuan Islam, anak yang dilahirkan dari hasil zina tidak di-nasab-kan kepada si lelaki pezina, namun di-nasab-kan kepada ibunya. Berdasarkan hadits,

الوَلَدُ لِلْفِرَاشِ ، وَلِلْعَاهِرِ الْحَجْرُ

“Anak yang lahir adalah milik pemilik kasur (suami) dan pezinanya dihukum.” (HR. Bukhari)

Dalam hadits yang mulia ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya menetapkan anak tersebut di-nasab-kan kepada orang yang berstatus suami dari si wanita. Me-nasab-kan anak zina tersebut kepada lelaki pezina menyelisihi tuntutan hadits ini.

Konsekuensinya, anak yang lahir dari hasil zina, apabila ia perempuan maka suami dari ibunya tidak boleh menjadi wali dalam pernikahannya. Jika ia menjadi wali maka pernikahannya tidak sah, jika pernikahan tidak sah lalu berhubungan intim, maka sama dengan perzinaan. Iyyadzan billah, kita berlindung kepada Allah dari kejadian ini.

Oleh karena itulah, seorang lelaki yang hendak meminang wanita terkadang perlu untuk mengecek nasab dari calon pasangan.

Demikian beberapa kriteria yang perlu dipertimbangkan oleh seorang muslim yang hendak menapaki tangga pernikahan. Nasehat kami, selain melakukan usaha untuk memilih pasangan, jangan lupa bahwa hasil akhir dari segala usaha ada di tangan Allah ‘Azza Wa Jalla. Maka sepatutnya jangan meninggalkan doa kepada Allah Ta’ala agar dipilihkan calon pasangan yang baik. Salah satu doa yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan shalat Istikharah. Sebagaimana hadits dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,

إذا هم أحدكم بأمر فليصلِّ ركعتين ثم ليقل : ” اللهم إني أستخيرك بعلمك…”

“Jika kalian merasa gelisah terhadap suatu perkara, maka shalatlah dua raka’at kemudian berdoalah: ‘Ya Allah, aku beristikharah kepadamu dengan ilmu-Mu’… (dst)” (HR. Bukhari)

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush shaalihat. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in.

Maraji’:
Al Wajiz Fil Fiqhi As Sunnah Wal Kitab Al Aziz Bab An Nikah, Syaikh Abdul Azhim Badawi Al Khalafi, Cetakan ke-3 tahun 2001M, Dar Ibnu Rajab, Mesir
Panduan Lengkap Nikah dari A sampai Z, terjemahan dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif ilal Ya, Usamah Bin Kamal bin Abdir Razzaq, Cetakan ke-7 tahun 2007, Pustaka Ibnu Katsir, Bogor
Bekal-Bekal Menuju Pelaminan Mengikuti Sunnah, terjemahan dari kitab Al Insyirah Fi Adabin Nikah, Syaikh Abu Ishaq Al Huwaini, Cetakan ke-4 tahun 2002, Pustaka At Tibyan, Solo
Manhajus Salikin Wa Taudhihul Fiqhi fid Diin, Syaikh Abdurrahman Bin Nashir As Sa’di, Cetakan pertama tahun 1421H, Darul Wathan, Riyadh
Az Zawaj (e-book), Syaikh Muhammad Bin Shalih Al Utsaimin, http://attasmeem.com
Artikel “Status Anak Zina“, Ustadz Kholid Syamhudi, Lc. , http://ustadzkholid.com/fiqih/status-anak-zina/

***
Penulis: Yulian Purnama
Muroja’ah: Ustadz Kholid Syamhudi. Lc.
Artikel www.muslim.or.id

Sunday, November 8, 2009

Penghargaan dan Hukuman

Penulis : Al-Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman Bintu ‘Imran

Berhasil mendidik anak, tentu sangat diharapkan oleh orangtua, pengajar, ataupun setiap individu yang berkompeten dalam masalah pendidikan anak. Berbagai kiat ditempuh. Di antaranya dengan memberikan penghargaan dalam keberhasilan dan hukuman dalam kesalahan yang dilakukannya. Namun, sejauh mana langkah ini akan menunjang keberhasilan, kita perlu mendapat bimbingan dari orang-orang yang berilmu. Nukilan tulisan Asy-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu hafizhahullah tentang permasalahan ini dari kitab beliau, Nida` ilal Murabbiyyin wal Murabbiyyat, memberikan penjelasan dan faedah yang sangat berharga bagi kita.

Keberhasilan kita sebagai seorang pendidik tidaklah bersandar pada hukuman fisik. Bahkan hal itu dilakukan seminimal mungkin, sesuai dengan kebutuhan. Pemberian penghargaan justru lebih dikedepankan daripada pemberian hukuman, karena hal ini akan lebih memotivasi anak untuk belajar serta menyemaikan keinginan untuk mendapat tambahan pendidikan dan pengajaran.

Beda halnya dengan hukuman. Hukuman akan meninggalkan pengaruh buruk dalam jiwa si anak, yang akhirnya justru menjadi penghalang baginya untuk memahami serta mencerna ilmu yang diberikan. Selain itu juga akan mengubur optimisme dan keberaniannya. Betapa banyak terjadi, seorang anak keluar dari sekolah karena melihat beragam kekasaran dan kezhaliman yang dilakukan oleh sebagian gurunya. Lebih dari itu, mereka biasa menyebut gurunya yang keras dan kasar dengan sebutan ‘orang zhalim’.

Karena itu, hendaknya kita dahulukan segala bentuk pemberian penghargaan sebelum memberikan hukuman, karena sebenarnya inilah asalnya.

Berbagai Bentuk Penghargaan

1. Pujian

Sewajarnya kita memuji anak bila melihatnya berperilaku baik atau bersungguh-sungguh. Kita bisa sampaikan, misalnya, “Bagus, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan berkah kepadamu!” atau “Memang Fulan ini anak yang paling baik!” ataupun ucapan-ucapan baik yang sejenis. Ucapan ini akan memotivasi anak, menguatkan jiwanya, juga memberikan pengaruh yang sangat baik dalam dirinya. Hal ini akan mendorongnya untuk mencintai orang yang mendidiknya. Terbuka pula pikirannya untuk terus belajar.

Di samping itu, dalam waktu yang sama akan memotivasi anak lain untuk mencontoh si anak yang dipuji dalam adab, perilaku, atau kesungguhannya, agar memperoleh pujian pula. Ini lebih baik daripada memberikan hukuman fisik pada mereka.

2. Penghargaan secara materi

Anak memiliki tabiat menyukai hadiah. Biasanya mereka begitu ingin mendapatkannya. Karena itu, layak kiranya jika kita berikan apa yang mereka sukai ini pada kesempatan tertentu.

Anak yang rajin, berakhlak baik, melaksanakan kewajiban shalat atau perbuatan baik lainnya, kemudian mendapat hadiah, akan merasa gembira dan puas dengan apa yang didapatkannya.

3. Doa

Semestinya pula kita berikan motivasi kepada anak yang rajin, beradab atau rajin menegakkan shalat dengan mendoakannya, misalnya kita doakan:

وَفَّقَكَ اللهُ، أَرْجُو لَكَ مُسْتَقْبَلاً بَاهِرًا

“Semoga Allah memberikan taufik kepadamu, mudah-mudahan masa depanmu cerah.”

Kepada seorang anak yang biasa lalai atau berperilaku jelek, kita bisa mendoakan:

أَصْلَحَكَ اللهُ وَهَدَاكَ

“Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memperbaiki dirimu dan memberi petunjuk kepadamu.”

4. Menuliskan namanya di papan

Jika kita seorang pendidik di sebuah sekolah, kita bisa pula memasang semacam papan pengumuman di tempat yang mudah dilihat. Di situ ditulis nama-nama anak sesuai kelebihannya, baik dalam perilaku, kesungguhan, kebersihan, dan yang lainnya. Pengumuman semacam ini akan menjadi motivasi bagi yang lainnya untuk mencontoh mereka, sehingga nama mereka juga akan ditulis di papan tersebut.

5. Menunjukkan kebaikannya

Ketika anak mampu dengan baik menerangkan suatu pelajaran di depan kelas, menyampaikan hafalan, memecahkan suatu soal, atau membacakan salah satu surat Al-Qur`an, kita bisa menepuk bahunya untuk memotivasinya sambil mengatakan:

بَارَكَ اللهُ فِيْكَ

“Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi berkah kepadamu!”

6. Menganggap diri kita bagian dari mereka

Bila kita ingin memberikan penghargaan pada anak-anak yang memiliki kelebihan, bisa pula dengan menyatakan bahwa kita merupakan bagian dari mereka. Ini akan menjadi penghargaan besar bagi mereka.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

لَوْ لاَ الْهِجْرَةُ لَكُنْتُ امْرَأً مِنَ اْلأَنْصَارِ

“Seandainya bukan karena hijrah, tentu aku akan menjadi salah seorang dari kaum Anshar.” (HR. Al-Bukhari no. 7244)

7. Wejangan

Penghargaan pada seorang anak yang baik bisa pula berupa wejangan kepada anak-anak dan pendidik yang lain untuk berbuat baik pada si anak. Ini merupakan motivasi bagi anak itu sendiri maupun bagi anak-anak yang lain, sehingga mereka pun akan mencontoh kesungguhan dan akhlaknya.

8. Wejangan pada keluarga si anak

Kita bisa pula menulis surat untuk keluarga anak yang ingin kita berikan penghargaan, berisi kebaikan-kebaikan si anak dan pujian untuknya. Ini akan mendorong keluarganya untuk memperlakukan si anak dengan baik, serta mendorong si anak untuk terus berperilaku terpuji.

Semestinya pula kita menanyakan, bagaimana akhlak dan perilaku anak-anak di rumahnya, dan penjagaan mereka terhadap shalat lima waktu. Bagi anak laki-laki, tentunya bisa dengan membuat lembaran yang diisi oleh walinya maupun imam masjid, sehingga dapat diketahui penunaian shalat jamaah mereka.

Cara lain yang dapat kita tempuh adalah menyeleksi beberapa anak untuk mengumpulkan sedekah bagi anak lain yang membutuhkan pakaian, bahan makanan, buku-buku, atau alat sekolah. Kita sendiri turut ambil bagian dalam kegiatan ini, agar anak-anak mau mengikuti. Lalu kita sampaikan ucapan terima kasih kepada anak-anak yang telah memberikan bantuan di depan teman-teman mereka untuk memotivasi mereka semuanya, agar nantinya mereka tergerak untuk bersedekah dan memperoleh pahala di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengganti harta yang mereka infakkan. Kita ingatkan pada mereka firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يًخْلِفُهُ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِيْنَ

“Dan segala sesuatu yang kalian infakkan, maka Allah akan menggantinya, dan Dia sebaik-baik Pemberi rizki.” (Saba`: 39)

Bisa pula kita sisihkan sebagian infak untuk membeli hadiah bagi anak yang rajin, yang taat pada pengajar maupun orangtuanya, yang bersih pakaiannya, ataupun anak yang baik perilakunya.

Hukuman Fisik

Sebaliknya, kita hendaknya menjauhi bentuk-bentuk hukuman fisik, karena ini membahayakan, baik bagi diri si anak ataupun bagi diri kita sendiri. Selain itu juga membuang-buang waktu. Terkadang malah si anak mendapat mudarat karena pukulan yang mengenainya, yang membuahkan ketakutan si anak pada diri kita. Bahkan kadang permasalahannya berkembang lebih jauh, sehingga pendidik yang melakukan hukuman fisik itu harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan pengadilan serta wali si anak. Semua ini berawal dari hukuman fisik.

Oleh karena itu, penggunaan hukuman fisik hendaknya dijauhi, kecuali dalam keadaan yang benar-benar memaksa. Misalnya mendidik anak-anak bandel yang tidak mempan dengan cara selain hukuman fisik, atau untuk menjaga kewibawaan serta kelancaran jalannya kegiatan belajar mengajar. Tentu saja setelah didahului dengan nasihat dan pengarahan kepada anak-anak, namun mereka tak juga berhenti. Ini ibarat pepatah Arab, “Obat yang paling akhir diberikan adalah kay1.”

Bentuk-bentuk Hukuman yang Dilarang

Jika kita suatu waktu merasa perlu memberikan hukuman pada anak, kita harus menghindari bentuk-bentuk hukuman seperti di bawah ini:

1. Tamparan

Tamparan atau pukulan di wajah bisa mengenai mata atau telinga. Bahkan kadang menyebabkan rusaknya salah satu indera. Akibatnya terkadang si pengajar harus menanggung akibat perbuatannya di pengadilan serta membayar ganti rugi. Oleh karena itulah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang memukul wajah:

إِذَا ضَرَبَ أَحَدُكُمْ خَادِمَهُ فَلْيَتَّقِ الْوَجْهَ

“Bila salah seorang di antara kalian memukul pembantunya, hendaknya menghindari memukul wajah.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Adabil Mufrad no. 130)

2. Kekerasan yang melampaui batas

Pengajar yang biasa memberikan pukulan keras bisa jadi akan dijuluki ‘pengajar yang zhalim’ oleh murid-muridnya. Ini cukup menjadi kejelekan bagi dirinya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

مَنْ يُحْرَمِ الرِّفْقَ يُحْرَمِ الْخَيْرَ

“Barangsiapa terhalang dari kelembutan, dia akan terhalang dari seluruh kebaikan.” (HR. Muslim no. 2592)

إِنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُوْنُ فِي شَيْءٍ إِلاَّ زَانَهُ، وَلاَ يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إِلاَّ شَانَهُ

“Sesungguhnya tidaklah kelembutan itu ada pada sesuatu, kecuali pasti menghiasinya. Dan tidaklah kelembutan itu hilang dari sesuatu, kecuali akan menjelekkannya.” (HR. Muslim no. 2594)

3. Caci-makian

Caci-makian justru akan membuat anak semakin jauh dan menyimpang. Bahkan bisa jadi nantinya membuat si anak semakin senang berbuat dosa. Anak juga akan ‘belajar’ mencaci-maki, lalu dipraktikkan di hadapan teman sekolahnya atau saudaranya di rumah. Kitalah yang akan bertanggung jawab bila terjadi demikian. Dalam hadits yang shahih, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ

“Barangsiapa membuat suatu sunnah yang jelek, maka dia menanggung dosanya dan dosa orang-orang yang ikut melakukannya, tanpa terkurangi dosa mereka sedikit pun.” (HR. Muslim no. 1017)

4. Memukul saat emosi meluap

Abu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu pernah mengisahkan, “Aku pernah mencambuk budakku. Tiba-tiba kudengar suara di belakangku, “Ketahuilah, wahai Abu Mas’ud!” Namun aku tak bisa memahami ucapan itu karena emosi. Ketika mendekat, tahulah aku, ternyata itu suara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau mengatakan, “Ketahuilah, wahai Abu Mas’ud! Ketahuilah, wahai Abu Mas’ud!” Segera kulemparkan cambuk di tanganku. Beliau pun berkata:

اعْلَمْ أَبَا مَسْعُوْدٍ، أَنَّ اللهَ أَقْدَرُ عَلَيْكَ مِنْكَ عَلَى هَذَا الْغُلاَمِ

“Ketahuilah, wahai Abu Mas’ud! Sesungguhnya Allah lebih mampu memberikan hukuman kepadamu daripada dirimu terhadap budak ini!”

Aku pun mengatakan, “Aku tak akan lagi memukul budak setelah ini selama-lamanya.” (HR. Muslim no. 1659)

5. Menendang

Kadang tendangan mengenai organ tubuh yang penting sehingga membahayakan jiwa anak. Pertanggungjawaban pun dituntut. Akhirnya kesudahannya hanyalah penyesalan di saat tak ada gunanya lagi penyesalan, sementara kita pun tahu bahwa menendang itu bukan perangai manusia.

6. Kemurkaan

Kita harus bisa mengendalikan emosi dan memahami kekhasan masa kanak-kanak, sehingga kita bisa memaklumi segala tingkah mereka. Kita pun harus ingat, bagaimana tingkah kita semasa kanak-kanak dulu yang mungkin malah lebih jelek lagi. Dengan begitu, amarah pun akan reda dan kita akan bisa menahan diri.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

لَيْسَ الشَّدِيْدُ بِالصُّرَعَةِ، إِنَّمَا الشَّدِيْدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ
“Orang yang kuat itu bukanlah orang yang menang bergulat, namun orang yang kuat itu yang mampu menguasai dirinya ketika marah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim no. 2609)

Jangan pula kita menghukum anak ketika amarah memuncak agar tidak menyakiti si anak sehingga berbuntut akibat yang buruk.

Hukuman yang Mendidik

Di sana ada bentuk-bentuk hukuman yang mendidik, yang layak kita terapkan. Di antaranya:

1. Nasihat dan bimbingan

Ini merupakan metode dasar dalam mendidik dan mengajari anak yang tak dapat ditinggalkan. Metode ini telah ditempuh oleh sang pendidik yang agung (Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen.) terhadap anak-anak kecil maupun orang dewasa.
Penerapan metode ini pada anak-anak dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika melihat seorang anak yang tangannya menjelajahi makanan yang terhidang saat itu. Lalu beliau pun mengajarinya tata-cara makan yang benar:

يَا غُلاَمُ، سَمِّ اللهَ وَكُلْ بِيَمِيْنِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيْكَ

“Nak, sebutlah dulu nama Allah, makan dengan tangan kananmu, dan makan dari makanan yang dekat denganmu.” (HR. Al-Bukhari no. 5376 dan Muslim no. 2022)

Tak seorang pun mengatakan, metode ini hanya memberikan pengaruh yang minim pada anak-anak.

Adapun nasihat dan bimbingan beliau pada orang-orang yang telah dewasa lebih banyak lagi contoh yang menunjukkan pengaruhnya. Seperti kisah A’rabi yang diceritakan oleh Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu:  Suatu ketika, kami sedang berada di masjid bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tiba-tiba datang seorang A’rabi, lalu dia berdiri dan buang air kecil di dalam masjid. Para shahabat menyergah, “Hus! Hus!”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,

“Jangan kalian putuskan kencingnya! Biarkan dia dulu!” Para shahabat pun membiarkannya sampai selesai buang air. Setelah itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil dan menasihatinya:

إِنَّ هَذِهِ الْمَسَاجِدَ لاَ تَصْلُحُ لِشَيْءٍ مِنْ هَذَا الْبَوْلِ وَلاَ القَذَرِ، إِنَّمَا هِيَ لِذِكْرِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالصَّلاَةِ وَقِرَاءَةِ القُرْآنِ- أَوْ كَمَا قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

“Sesungguhnya masjid-masjid ini tidak pantas untuk buang air kecil ataupun buang kotoran. Masjid-masjid ini hanyalah untuk dzikir kepada Allah, untuk shalat, dan membaca Al-Qur`an.” Atau sebagaimana yang beliau katakan.

Kemudian beliau menyuruh seseorang untuk mengambil setimba air, lalu dituangkan pada bekas kencing tersebut. (HR. Al-Bukhari no. 219 dan Muslim no. 285)

2. Wajah masam

Kadangkala boleh pula kita menunjukkan wajah masam pada anak-anak bila melihat mereka gaduh. Ini lebih baik daripada membiarkan mereka berbuat gaduh, setelah keterlaluan baru memberi hukuman kepada mereka.

3. Teguran keras
Biasanya bila kita menegur dengan keras anak yang berbuat salah, dia akan berhenti berbuat kesalahan dan duduk kembali dengan penuh adab. Metode ini diterapkan pula oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam saat melihat seseorang yang menggiring unta hadyu (hewan kurban bagi jamaah haji) dalam perjalanannya berhaji dan tidak mau menungganginya. Beliau mengatakan, “Tunggangi hewan itu!” Orang itu menyangka bahwa hewan hadyu tidak boleh ditunggangi, hingga ia pun menjawab, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ini hewan hadyu!” Setelah dua atau tiga kali, akhirnya beliau menghardiknya, “Tunggangi hewan itu! Celaka kamu!” (HR. Al-Bukhari no. 6160 dan Muslim no. 1322)

4. Menghentikan perbuatan anak
Jika anak ribut berbicara dalam pelajaran, kita bisa menghentikannya dengan suara keras. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengatakan pada seseorang yang bersendawa di hadapan beliau:

كُفَّ عَنَّا جُشَاءَكَ

“Hentikan sendawamu di hadapan kami!” (HR. At-Tirmidzi no. 2478, dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)

5. Memalingkan wajah

Ketika anak berbohong, memaksa minta sesuatu yang tak layak, atau berbuat kesalahan yang lain, boleh kita palingkan wajah darinya, agar si anak tahu kemarahan kita dan menghentikan perbuatannya.

6. Mendiamkan

Boleh pula kita mendiamkan (tidak berbicara dengan) anak yang melakukan kesalahan seperti meninggalkan shalat, menonton film, atau perbuatan-perbuatan yang tidak beradab lain. Paling lama waktunya tiga hari, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ

“Tidak halal bagi seorang muslim jika ia mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari.” (HR. Al-Bukhari no. 6064 dan Muslim no. 2559)

7. Cercaan
Jika anak melakukan dosa besar, kita boleh mencercanya bila nasihat dan bimbingan tidak lagi berpengaruh.

8. Duduk qurfusha`2

Anak yang malas atau bandel bisa dihukum dengan menyuruhnya duduk qurfusha` sambil mengangkat kedua tangannya ke atas. Posisi seperti ini akan membuatnya capai dan menjadi hukuman baginya. Ini jauh lebih baik daripada kita memukulnya dengan tangan atau tongkat.

9. Hukuman orangtua
Bila murid terus-menerus mengulang kesalahannya setelah diberi nasihat, kita bisa menulis surat untuk walinya dan menyerahkan kepada wali untuk menghukumnya. Dengan cara ini, akan sempurna kerjasama antara sekolah dengan keluarga dalam mendidik anak.
10. Menggantungkan cambuk
Bisa pula kita gantungkan cambuk di dinding, sehingga anak mudah melihatnya dan merasa takut mendapatkan hukuman. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

عَلِّقُوا السَّوْطَ حَيْثُ يَرَاهُ أَهْلُ الْبَيْتِ، فَإِنَّهُ لَهُمْ أَدَبٌ

“Gantungkanlah cambuk di tempat yang mudah dilihat anggota keluarga, karena demikian ini merupakan pendidikan bagi mereka.” (HR. Ath-Thabarani, dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 1447)

Namun bukanlah yang diinginkan di sini untuk memukul, karena beliau tidak memerintahkan demikian.

11. Pukulan ringan

Bila metode lain tidak membuahkan hasil, kita boleh memukul dengan pukulan ringan, terutama ketika memerintahkan mereka menunaikan shalat jika telah berumur sepuluh tahun. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مُرُوا أُوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِيْنَ، وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ، وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ

“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk shalat ketika berumur tujuh tahun dan pukullah mereka bila enggan melakukannya pada usia sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat tidur di antara mereka.” (HR. Ahmad, dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Jami’ish Shaghir no. 5744: “Hadits ini hasan.”)

Inilah catatan penting bagi kita dalam memberikan hukuman dan penghargaan pada anak. Diiringi doa dan permohonan pada Rabb semesta alam, semoga terwujud keinginan kita agar anak-anak menjadi penyejuk mata.

Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.

1 Kay adalah cara pengobatan menggunakan besi panas yang ditempelkan pada tempat yang sakit.
2 Duduk qurfusha` adalah duduk dengan menekuk kedua kaki, telapak kaki menempel di tanah dan paha menempel ke perut.

(Dinukil dengan beberapa perubahan dari kitab Nida` ilal Murabbiyyin wal Murabbiyat li Taujihil Banin wal Banat, hal. 83-98)
Sumber: www.asysyariah.com