Friday, May 28, 2010

Rukun Mudharabah

Mudharabah, sebagaimana juga jenis pengelolaan usaha lainnya, memiliki tiga rukun.

Pertama : Adanya dua pelaku atau lebih, yaitu investor (pemilik modal) dan pengelola (mudharib)

Kedua : Objek transaksi kerjasama, yaitu modal, usaha dan keuntungan.

Ketiga : Pelafalan perjanjian

Sedangkan Imam Asy-Syarbini di dalam Syarh Al-Minhaj menjelaskan, bahwa rukun mudharabah ada lima, yaitu : Modal, jenis usaha, keuntungan, pelafalan transaksi dan dua pelaku transaksi [1]. Ini semua ditinjau dari perinciannya, dan semuanya tetap kembali kepada tiga rukun diatas.

RUKUN PERTAMA : ADANYA DUA PELAKU ATAU LEBIH

Kedua pelaku kerja sama ini adalah pemilik modal dan pengelola modal. Pada rukun pertama ini, keduanya disyaratkan memiliki kompetensi (jaiz al-tasharruf), dalam pengertian, mereka berdua baligh, berakal, rasyid (normal) dan tidak dilarang beraktivitas pada hartanya. [2]

Sebagian ulama mensyaratkan, keduanya harus muslim atau pengelola harus muslim. Sebab, seorang muslim tidak dikhawatirkan melakukan perbuatan riba atau perkara haram. [3] Namun sebagian lainnya tidak mensyaratkan hal tersebut, sehingga diperbolehkan bekerja sama dengan orang kafir yang dapat dipercaya, dengan syarat harus terbukti adanya pematauan terhadap pengelolaan modal dari pihak muslim, sehingga terbebas dari praktek riba dan haram. [4]

[A]. Modal

Ada empat syarat modal yang harus dipenuhi.

  1. Modal harus berupa alat tukar atau satuan mata uang (al-naqd). Dasarnya adalah Ijma’. [5] atau barang yang ditetapkan nilainya ketika akad menurut pendapat yang rajih. [6]
  2. Modal yang diserahkan harus jelas diketahui. [7]
  3. Modal diserahkan harus tertentu
  4. Modal diserahkan kepada pihak pengelola, dan pengelola menerimanya langsung, dan dapat beraktivitas dengannya. [8]

Jadi dalam mudharabah, modal yang diserahkan, disyaratkan harus diketahui. Dan penyerahan jumlah modal kepada mudharib (pengelola modal) harus berupa alat tukar, seperti emas, perak dan satuan mata uang secara umum. Tidak diperbolehkan berupa barang, kecuali bila nilai tersebut dihitung berdasarkan nilai mata uang ketika terjadi akan (transaksi), sehingga nilai barang tersebut menjadi modal mudharabah.
Contohnya, seorang memiliki sebuah mobil yang akan diserhak kepada mudharib (pengelola modal). Ketika akad kerja sama tersebut disepakati, maka mobil tersebut wajib ditentukan nilai mata uang saat itu, misalnya disepakati Rp.80.000.000, maka modal mudharabah tersebut adalah Rp.80.000.000.

Kejelasan jumlah modal ini menjadi syarat, karena untuk menentukan pembagian keuntungan. Apabila modal tersebut berupa barang dan tidak diketahui nilainya ketika akad, bisa jadi barang tersebut berubah harga dan nilainya, seiring berjalannya waktu, sehingga dapat menimbulkan ketidak jelasan dalam pembagian keuntungan.

[B]. Jenis Usaha

Jenis usaha disini ada beberapa syarat yang harus dipenuhi.

  1. Jenis usaha tersebut di bidang perniagaan
  2. Tidak menyusahkan pengelola modal dengan pembatasan yang menyulitkannya. Misalnya, harus berdagang permata merah delima atau mutiara yang sangat jarang sekali adanya. [9]
  3. Asal dari usaha dalam mudharabah adalah di bidang perniagaan dan yang terkait dengannya, serta tidak dilarang syariat. Pengelola modal dilarang mengadakan transaksi perdagangan barang-barang haram, seperti daging babi, minuman keras dan sebagainya. [10]
  4. Pembatasan waktu penanaman modal. Menurut pendapat madzhab Hambaliyah, dalam kerja sama penanaman modal ini, dipebolehkan membatasi waktu usaha, [11] dengan dasar diqiyaskan (dianalogikan) dengan sistem sponsorship pada satu sisi, dan dengan berbagai kriteria lain yang dibolehkan, pada sisi lainnya. [12]

[C]. Keuntungan

Setiap usaha yang dilakukan adalah untuk mendapatkan keuntungan. Demikian juga dengan mudharabah. Namun dalam mudharabah pendapatan keuntungan itu disyaratkan dengan empat syarat.

  1. Keuntungan, khusus untuk kedua pihak yang bekerja sama, yaitu pemilik modal (investor) dan pengelola modal. Seandainya sebagian keuntungan disyaratkan untuk pihak ketiga, misalnya dengan menyatakan “Mudharabah dengan pembagian 1/3 keuntungan untukmu, 1/3 keuntungan untukku dan 1/3 lagi untuk isteriku atau orang lain”, maka tidak sah, kecuali disyaratkan pihak ketiga ikut mengelola modal tersebut, sehingga menjadi qiradh bersama dua orang. [13] Seandainya dikatakan “Separuh keuntungan untukku dan sepruhnya untukmu, namun separuh dari bagianku untuk isteriku”, maka ini sah, karena ini akad janji hadiah kepada isteri. [14]
  2. Pembagian keuntungan untuk berdua, tidak boleh hanya untuk satu pihak saja. Seandainya dikatakan : “Saya bekerja sama mudharabah denganmu, dengan keuntungan sepenuhnya untukmu”, maka yang demikian ini menurut madzhab Syafi’i tidak sah. [15]
  3. Keuntungan harus diketahui secara jelas
  4. Dalam transaksi tersebut ditegaskan prosentase tertentu bagi pemilik modal (investor) dan pengelola. Sehingga keuntungannya dibagi sebagaimana telah ditentukan prosentasenya, seperti : setengah, sepertiga atau seperempat. [16] Apabila ditentukan nilainya, contohnya jika dikatakan, “Kita bekerja sama mudharabah dengan pembagian keuntungan untukmu satu juta, dan sisanya untukku”, maka akad mudharabah demikian ini tidak sah. Demikian juga bila tidak jelas prosentasenya, seperti “Sebagian untukmu dan sebagian lainnya untukku”.

Adapun Dalam Pembagian Keuntungan Perlu Sekali Melihat Hal-Hal Berikut:

[1]. Keuntungan berdasarkan kesepakatan dua belah pihak, namun kerugian hanya ditanggung pemilik modal. [17]

Ibnu Qudamah di dalam Syarhul Kabir menyatakan: “Keuntungan sesuai dengan kesepakatan berdua. Lalu dijelaskan dengan pernyataan, maksudnya, dalam seluruh jenis sayrikah. Hal itu tidak terdapat perselisihan dalam mudharabah murni”.

Ibnu Mundzir menyatakan: “Para ulama bersepakat, bahwa pengelola berhak memberikan syarat atas pemilik modal 1/3 keuntungan atau ½, atau sesuai kesepakatan berdua setelah hal itu diketahui dengan jelas dalam bentuk prosentase”. [18]

[2]. Pengelola modal hendaknya menentukan bagiannya dari keuntungannya. Apabila keduanya tidak menentukan hal tersebut, maka pengelola mendapatkan gaji yang umum, dan seluruh keuntungan merupakan milik pemilik modal (investor). [19]

Ibnu Qudamah menyatakan: “Di antara syarat sah mudharabah adalah, penentuan bagian (bagian) pengelola modal, karena ia berhak mendapatkan keuntungan dengan syarat sehingga tidak ditetapkan kecuali dengannya. Seandainya dikatakan “ambil harta ini secara mudharabah” dan ketika akan tidak disebutkan bagian untuk pengelola sedikitpun dari keuntungan, maka keuntungan seluruhnya untuk pemilik modal. Demikian pula kerugian ditanggung oleh pemilik modal. Adapun pengelola modal, ia mendapatkan gaji sebagaimana umumnya. Inilah pendapat Ats-Tsauri, Asy-Syafi’i, Ishaaq, Abu Tsaur dan Ashab Ar-Ra’yi (Hanafiyah)”. [20]. Ibnu Qudamah merajihkan pendapat ini.

[3]. Pengelola modal tidak berhak menerima keuntungan sebelum menyerahkan kembali modal secara sempurna.

Berarti, tidak seorangpun berhak mengambil bagian keuntungan sampai modal diserahkan kepada pemilik modal. Apabila ada kerugian dan keuntungan, maka kerugian ditutupi dari keuntungan tersebut, baik kerugian dan keuntungan dalam satu kali, atau kerugian dalam satu perniagaan dan keuntungan dari perniagaan yang lainnya. Atau yang satu dalam satu perjalnan niaga, dan yang lainnya dari perjalanan lain. Karena makna keuntungan adalah, kelebihan dari modal. Dan yang tidak ada kelebihannya, maka bukan keuntungan. Kami tidak tahu ada perselisihan dalam hal ini. [21]

[4]. Keuntungan tidak dibagikan selama akad masih berjalan, kecuali apabila kedua pihak saling ridha dan sepakat. [22]

Ibnu Qudamah menyatakan: “Jika dalam mudharabah tampak adanya keuntungan, maka pengelola tidak boleh mengambil sedikitpun darinya tanpa izin pemilik modal. Dalam masalah ini, kami tidak menemukan adanya perbedaan di antara para ulama”.

Tidak Dapat Melakukannya Karena Tiga Hal:

  • Keuntungan adalah cadangan modal, karena tidak bisa dipastikan tidak adanya kerugian yang dapat ditutupi dengan keuntungan tersebut, sehingga berakhir hal itu tidak menjadi keuntungan.
  • Pemilik modal adalah mitra usaha pengelola sehingga ia tidak memiliki hak membagi keuntungan tersebut untuk dirinya.
  • Kepemilikannya atas hal itu tidak tetap karena mungkin sekali keluar dari tangannya untuk menutupi kerugian.

Namun apabila pemilik modal mengizinkan untuk mengambil sebagiannya, maka diperbolehkan karena hak tersebut milik mereka berdua. [23]

[5]. Hak mendapatkan keuntungan tidak akan diperoleh salah satu pihak sebelum dilakukan perhitungan akhir atas usaha tersebut.

Sesungguhnya hak kepemilikan masing-masing pihak terhadap keuntungan yang dibagikan bersifat tidak tetap, sebelum berakhirnya pernjanjian dan sebelum seluruh usaha bersama tersebut dihitung. Adapun sebelum itu, keuntungan yang dibagikan itupun masih bersifat cadangan modal yang digunakan menutupi kerugian yang bisa saja terjadi di kemudian, sebelum dilakukan perhitungan akhir.

Perhitungan Akhir Untuk Menetapkan Hak Kepemilikan Keuntungan, Aplikasinya Bisa Dua Macam.

  • Perhitungannya di akhir usaha. Dengan cara ini, pemilik modal bisa menarik kembali modalnya dan menyelesaikan ikatan kerjasama antara kedua belah pihak.
  • Finish Cleansing terhadap kalkulasi keuntungan. Yakni dengan cara asset yang dimilikinya dituangkan terlebih dahulu, lalu menetapkan nilainya secara kalkulatif. Apabila pemilik modal mau, maka dia bisa mengambilnya. Tetapi kalau ia ingin diputar kembali, berarti harus dilakukan perjanjian usha baru, bukan meneruskan usaha yang lalu. [24]

RUKUN KETIGA : PELAFALAN PERJANJIAN (SHIGHAH TRANSAKSI)

Shighah adalah, ungkapan yang berasal dari kedua belah pihak pelaku transaksi yang menunjukkan keinginan melakukannya. Shighah ini terdiri dari ijab qabul. Transaksi mudharabah atau syarikah dianggap sah dengan perkataan dan perbuatan yang menunjukkan maksudnya. [25]

Demikian rukun-rukun yang harus dipenuhi dalam kerja sama mudharabah, yang semestinya dipahami secara bersama oleh masing-masing pihak. Sehingga terbangunlah mua’amalah yang shahih dan terhindar dari sifat merugikan pihak lain. Wallahu a’lam

__________
Foote Note
[1]. Lihat Takmilah al-Majmu Syarhu al-Muhadzab Imam an-Nawawi, oleh Muhammad Najib Al-Muthi’i yang digabung dengan kitab Majmu Syarhu al-Muhadzab (15/148).
[2]. Al-Fiqh Al-Muyassar, Bagian Fiqih Mu’amalah karya Prof Dr Abdullah bin Muhammad ath-Thayar. Prof Dr Abdullah bin Muhammad al-Muthliq dan Dr Muhammad bin Ibrahim Alimusaa, Cetakan Pertama, Th 1425H, hal. 169
[3]. Lihat al-Bunuk al-Islamiyah Baina an-Nadzariyat wa Tathbiq, karya Prof Dr Abdullah bin Muhammad ath-Thayar., Cetakan Kedua, Th 1414H, Muassasah al-Jurais, Riyadh, KSA, hal. 123
[4]. Lihat kitab Ma’la Yasa’u at_tajir Jahluhu, karya Prof.Dr Abdullah al-Mushlih dan Prof.Dr Shalah ash-Shawi. Telah diterjemahkan dalam edisi bahasa Indonesia, oleh Abu Umar Basyir, dengan judul Fiqih Ekonomi Islam, Penerbit Darul Haq, Jakarta, Hal. 173
[5]. Lihat Maratib al-Ijma, karya Ibnu Hazm, tanpa tahun dan cetakan, Penerbit Dar al-Kutub al-Ilmiyah. Beirut, hal.92 dan Takmilah al-Majmu, op, cit (15/143)
[6]. Pendapat inilah yang dirajihkan Syaikh Ibnu Utsaimin dalam asy-Syarhu al-Mumti, op.cit (4/258)
[7]. Al-Bunuk al-Islamiyah, op.cit hal.123 dan Takmilah al-Majmu op.cit (15/144)
[8]. Takmilah al-Majmu, op.cit. (15/145)
[9]. Ibid (15/146-147)
[10]. Lihat Fiqih Ekonomi Keuangan Islam, op.cit. hal.176
[11]. Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah, tahqiq Abdullah bin Abdul Muhsin at-turki, Cetakan Kedua, Tahun 1412H, Penerbit Hajr, (7/177)
[12]. Fikih Ekonomi Keuangan Islam, op. cit.177
[13]. Lihat Juga al-mughni, op.cit (7/144)
[14]. Takmilah al-Majmu, op.cit. (15/160)
[15]. Inid (15/159)
[16]. Lihat Maratib al-Ijma, op.cit.hal.92, asy-Syarhu al-Mumti, op.cit. (4/259) dan Takmilah al-Majmu.op.cit. (15/159-160).
[17]. Masalah kerugian lihat artikel “Membagi Kerugian Dalam Mudharabah”.
[18]. Al-Mughni, op.cit. (7/138)
[19]. Al-Bunuk al-Islamiyah, op.cit.hal.123
[20]. Al-Mughni, op.cit. (7/140)
[21]. Ibid (7/165)
[22]. Al-Bunuk al-Islamiyah, op.cit. 123
[23]. Al-Mughni, op.cit. (7/172)
[24]. Fiqih Ekonomi Keuangan Islam, op.cit, hal. 181-182
[25]. Al-Fiqh Al-Muyassar, op.cit, hal. 169

Thursday, May 27, 2010

Kapankah Anak Diajari Agama?

Tanya:

Pada usia berapa anak sudah harus saya ajarkan tentang perkara agama?

Jawab:

Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah menjawab, “Pengajaran terhadap anak sudah harus dimulai ketika mereka telah mencapai usia tamyiz1. Tentunya dimulai dengan tarbiyah diniyah (pendidikan agama), berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِيْنَ، وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ، وَفَرِّقُوْا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ

“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk mengerjakan shalat ketika mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka bila pada usia sepuluh tahun tidak mengerjakan shalat, serta pisahkanlah mereka di tempat tidurnya.”2

Bila anak telah mencapai usia tamyiz, orangtuanya diperintah untuk mengajarinya dan mentarbiyahnya di atas kebaikan, dengan mengajarinya Al-Qur`an dan hadits-hadits yang mudah. Mengajarinya hukum-hukum syariat yang cocok dengan usia si anak, misalnya bagaimana cara berwudhu dan bagaimana cara shalat. Si anak juga diajari dzikir-dzikir ketika mau tidur, bangun tidur, ketika hendak makan, minum, dan sebagainya. Selain itu, anak dilarang melakukan perkara-perkara yang tidak pantas serta diterangkan kepadanya bahwa perkara tersebut tidak boleh ia lakukan, seperti berdusta, namimah, dan selainnya. Hingga si anak terdidik di atas kebaikan dan terdidik untuk meninggalkan kejelekan sejak kecilnya.

Kenapa pengajaran ini dilakukan pada usia tamyiz? Karena pada usia ini, si anak bisa menalar apa yang diperintahkan kepadanya dan apa yang dilarang. Urusan pengajaran anak ini sangatlah penting. Namun sayangnya sebagian manusia lalai melakukannya terhadap anak-anak mereka.

Mayoritas orang tidak mementingkan perkara anak-anak mereka. Tidak mengarahkannya dengan arahan yang baik, bahkan membiarkan mereka tersia-siakan dari sisi tarbiyah diniyyah. Sehingga si anak tidak diperintah mengerjakan shalat dan tidak dibimbing kepada kebaikan, bahkan dibiarkan tumbuh di atas kebodohan dalam perkara agamanya serta terbiasa melakukan perbuatan yang tidak baik. Anak-anak dibiarkan bercampur-baur dan bergaul dengan orang-orang yang jelek, berkeliaran di jalan-jalan, menyia-nyiakan pelajaran mereka (enggan untuk belajar) serta kemudaratan lainnya, yang mana kebanyakan para pemuda muslimin tumbuh di atasnya disebabkan sikap masa bodoh orangtua mereka. Padahal para orangtua ini akan ditanya di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala kelak, karena merekalah yang bertanggung jawab terhadap anak-anak mereka.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:

مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِيْنَ، وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ، وَفَرِّقُوْا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ

Apa yang diperintahkan dalam hadits di atas adalah pembebanan kepada para orangtua yang harus mereka tunaikan. Dengan begitu, orangtua yang tidak menyuruh anak-anak mereka mengerjakan shalat pada umur yang telah disebutkan berarti ia telah bermaksiat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.3 Ia telah melakukan keharaman dan meninggalkan kewajibannya yang ditetapkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadapnya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيًّتِهِ

“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang apa yang dipimpinnya.”4

Sangat disesalkan, sebagian orangtua sibuk dengan perkara dunianya hingga mengabaikan anak-anaknya. Tidak pula mereka menyempatkan waktunya untuk anak-anaknya. Seluruh waktunya tersita untuk perkara-perkara dunia. Kejelekan yang besar ini banyak dijumpai di negeri muslimin, yang menjadi sebab buruknya tarbiyah anak-anak mereka. Jadilah anak-anak tersebut tidak baik agama dan dunianya. La haula wala quwwata illa billahil ‘azhim. (Tiada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah yang Maha Agung.” (Fatawa Nurun ‘Alad Darb, Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan, hal. 115-116)

1 Belum baligh, namun sudah bisa menalar dan memahami ucapan serta dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. (–pent)
2 HR. Ahmad dan Abu Dawud, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Irwa`ul Ghalil, no. 247.

3 Tidak patuh dan taat kepada perintah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sementara Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan dalam firman-Nya:

وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا

“Apa yang didatangkan oleh Rasul kepada kalian maka ambillah dan apa yang beliau larang maka berhenti (tinggalkan)lah.” (Al-Hasyr: 7)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri bersabda:

ماَ نَهَيْتُُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوهُ وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ

“Apa yang aku larang kalian darinya, tinggalkanlah. Dan apa yang aku perintahkan kepada kalian maka kerjakanlah semampu kalian.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) –pent.

4 HR.Al-Bukhari dan Muslim

Mencegah Kehamilan

Tanya:

Apakah dibolehkan menggunakan obat pencegah kehamilan untuk mengatur/menjarangkan kehamilan dengan tujuan agar dapat mendidik anak yang masih kecil?

Jawab :

Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah menjawab, “Tidak boleh menggunakan obat pencegah kehamilan kecuali dalam keadaan darurat, apabila memang pihak medis/dokter menyatakan kehamilan berisiko pada kematian ibu. Namun mengunakan obat pencegah kehamilan dengan tujuan menunda sementara kehamilan yang berikutnya, tidaklah terlarang bila memang si ibu membutuhkannya . Misalnya karena kondisi kesehatannya tidak memungkinkan untuk hamil dalam interval waktu yang berdekatan, atau bila si ibu hamil lagi akan memudaratkan anak/bayinya yang masih menyusu. Dengan ketentuan, obat tersebut tidak memutus/menghentikan kehamilan sama sekali, tapi hanya sekedar menundanya. Bila memang demikian tidaklah terlarang sesuai dengan kebutuhan yang ada, dan tentunya setelah mendapat saran dari dokter spesialis kandungan.”

(Al-Muntaqa min Fatawa Fadhilatisy Syaikh Shalih bin Fauzan, 3/175)

***

Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i & Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahumallah

Tanya:

Apa hukumnya bila seorang suami menyetujui istrinya dipakaikan alat kontrasepsi oleh pihak rumah sakit guna mencegah kehamilan?

Jawab:

Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullahu berfatwa: “Sang suami tidak boleh menyetujuinya, sementara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyatakan: Menikahlah kalian sehingga jumlah kalian menjadi banyak karena sesungguhnya aku membanggakan (banyaknya) kalian di hadapan umat-umat lain pada hari kiamat.1
Dan juga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendoakan Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu agar dilipatkan jumlah harta dan anaknya2. Selain itu, bisa jadi kita akan dihadapkan dengan takdir Allah (berupa musibah kematian anaknya sehingga ia kehilangan si buah hati).

(Bila ada alasan untuk menunda kehamilan) maka ketika mendatangi istrinya (jima‘), sang suami diperbolehkan melakukan ‘azal3. Adapun (menunda kehamilan) dengan menggunakan obat-obatan/pil, memotong rahim (pengangkatan rahim) atau yang lain, tidak diperbolehkan.

Perlu diketahui, musuh-musuh Islam menghias-hiasi perbuatan yang menyelisihi agama di hadapan kita. (Mereka menyerukan agar kaum muslimin membatasi kelahiran) sementara mereka sendiri, justru terus berupaya memperbanyak jumlah mereka. Dan benar-benar mereka telah melakukannya.

Aku bertanya kepada kalian, wahai saudara-saudaraku. Bila sekarang ini, di zaman ini, ada orang yang memiliki sepuluh anak, apakah kalian saksikan Allah Subhanahu wa Ta’ala menyia-nyiakannya? Atau justru kalian melihat, Allah Subhanahu wa Ta’ala membukakan rizki baginya dari arah yang tidak disangka-sangka?

Bila seseorang membatasi kelahiran karena alasan duniawi (takut rizki misalnya, -pent.), ia benar-benar telah keliru. Karena Rabbul ‘Izzah berfirman dalam kitab-Nya yang mulia:

وَ مَا مِنْ دَابَّةٍ فِي اْلأَرْضِ إِلاَّ عَلَى اللهِ رِزْقُهَا

“Dan tidak ada satu makhluk melata pun di bumi ini kecuali Allah-lah yang menanggung rizkinya.” (Hud: 6)

Dan juga firman-Nya:

وَكَأَيِّنْ مِنْ دَابَّةٍ لاَ تَحْمِلُ رِزْقَهَا، اللهُ يَرْزُقُهَا وَإِيَّاكُمْ

“Berapa banyak hewan yang tidak dapat membawa (mengurus) sendiri rizkinya tapi Allah lah yang memberikan rizkinya dan juga memberikan rizki kepada kalian.” (Al-Ankabut: 60)

Namun bila ia melakukannya karena khawatir adanya mudharat/ bahaya yang bakal menimpa sang istri, maka diperbolehkan menunda kehamilan dengan melakukan ‘azal. Adapun kalau harus menggunakan alat/obat yang berasal dari musuh-musuh Islam, baik berupa obat/pil pencegah kehamilan atau lainnya, maka ini tidaklah kami anjurkan. ‘Azal sendiri sebenarnya makruh, namun diizinkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau bersabda ketika mengizinkan para shahabatnya untuk melakukan ‘azal:

مَا مِنْ نَسَمَةٍ كَائِنَةٍ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ إِلاَّ وَ هِيَ كَائِنَةٌ (4

“Tidak ada satu jiwa pun yang telah ditakdirkan untuk diciptakan sampai hari kiamat kecuali mesti akan ada/tercipta.”

Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhuma berkata:

كُنَّا نَعْزِلُ وَالْقُرْآنُ يَنْزِلُ

“Kami melakukan ‘azal sementara Al-Qur`an (wahyu) masih turun (belum berhenti terus tersampaikan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ).”5

Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan rukhshah (keringanan) untuk melakukan ‘azal. Walhamdulillah Rabbil ‘alamin. (Ijabatus Sa`il, hal. 467-468)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu mengatakan: “Adapun menggunakan sesuatu yang bisa mencegah kehamilan, ada dua:

Pertama: Mencegah kehamilan secara permanen. Hal ini tidak diperbolehkan karena akan memutus kehamilan sehingga mempersedikit keturunan. Ini bertentangan dengan tujuan syariat memperbanyak jumlah umat Islam. Juga, ada kemungkinan bahwa anak-anaknya yang ada akan meninggal, sehingga si wanita menjadi tidak punya anak sama sekali.

Kedua: Mencegah kehamilan dalam jangka waktu tertentu. Seperti bila si wanita banyak hamil sedangkan hamil akan melemahkannya, dan dia ingin mengatur kehamilan setiap dua tahun sekali atau semacamnya. Hal yang seperti ini diperbolehkan, dengan syarat seijin suaminya dan tidak memadharatkan si wanita. Dalilnya, para shahabat dahulu melakukan ‘azal terhadap istri-istri mereka pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tujuan agar istri-istri mereka tidak hamil. Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melarang hal itu.” (Risalah fid Dima’ Ath-Thibi’iyyah lin Nisa`, hal. 44) (ed)

Footnote:
1 Ma’qil bin Yasar radhiallahu ‘anhu berkata: Seseorang datang menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu ia berkata: “Sesungguhnya aku mendapatkan seorang wanita cantik dan memiliki kedudukan, namun ia tidak dapat melahirkan anak, apakah boleh aku menikahinya?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Tidak boleh.” Orang itu datang lagi kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutarakan keinginan yang sama, namun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap melarangnya. Kemudian ketika ia datang untuk ketiga kalinya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
تَزَوَّجُوْا الوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ فَإِنَِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ اْلأُمَم
“Nikahilah oleh kalian wanita yang penyayang lagi subur (dapat melahirkan anak yang banyak) karena sesungguhnya aku berbangga-bangga dengan banyaknya kalian di hadapan umat-umat yang lain.” (HR. Abu Dawud no. 2050, dishahihkan Asy-Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahihul Musnad 2/211) -pent.
2 Ummu Sulaim, ibu Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wahai Rasulullah, ini Anas pelayanmu, mohonkanlah kepada Allah kebaikan untuknya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa:
اللّهُمَّ أَكْثِرْ مَالَهُ وَوَلَدَهُ, وَبَارِكْ لَهُ فِيْمَا أَعْطَيْتَهُ
“Ya Allah, banyakkanlah harta dan anaknya. Dan berkahilah dia atas apa yang Engkau berikan kepadanya.” (HR. Al-Bukhari no. 6378 dan Muslim no. 1499) -pent.
3 Mengeluarkan air mani di luar kemaluan istri, di mana ketika akan inzal, sang suami menarik kemaluannya dari kemaluan istrinya sehingga air maninya terbuang di luar farji (kemaluan). (Fathul Bari)
4 Hadits di atas diriwayatkan dalam Ash-Shahihain. Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menerangkan makna hadits di atas: “Setiap jiwa yang telah Allah takdirkan untuk diciptakan, maka pasti akan Ia ciptakan. Sama saja baik kalian melakukan ‘azal atau tidak. Sedangkan apa yang Allah tidak takdirkan untuk diciptakan maka pasti tidak terjadi, sama saja baik kalian melakukan ‘azal atau tidak. Dengan demikian ‘azal kalian tidak ada faedahnya, bila Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mentakdirkan penciptaan satu jiwa, maka air mani kalian mendahului kalian (ada yang tertumpah ke dalam farji tanpa kalian sadari) sehingga tidaklah bermanfaat semangat kalian untuk mencegah penciptaan Allah.” (Al-Minhaj, 10/252) -pent.
5 HR. Al-Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya. Tambahan faedah: Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu mengatakan: “Adapun di masa ini, didapatkan sarana-sarana yang memungkinkan seorang lelaki mencegah air maninya agar tidak tertumpah sama sekali (di kemaluan) istri, seperti apa yang disebut dengan rabthul mawasir (mengikat saluran telur) dan kondom yang dipasangkan di kemaluan ketika jima’, dan yang semacamnya… Bagaimanapun juga, yang dimakruhkan menurutku adalah bila dalam dua perkara ini atau salah satunya (yaitu dua hal yang timbul akibat terhalangnya tertumpahnya mani: pertama, memberi madharat dengan mengurangi kenikmatan istri, kedua: menghilangkan sebagian tujuan pernikahan), tidak ada tujuan seperti tujuan orang kafir melakukan ‘azal. Seperti takut miskin karena banyak anak dan terbebani untuk menafkahi serta mendidik mereka. Bila disertai hal ini maka hukumnya naik dari makruh ke tingkat haram, karena kesamaan niat orang yang melakukan ‘azal dengan tujuan orang kafir melakukannya. Di mana orang-orang kafir membunuh anak-anak mereka karena takut menafkahi dan takut miskin, sebagaimana telah diketahui. Berbeda halnya bila si wanita sakit, yang dokter mengkhawatirkan sakitnya akan bertambah parah bila hamil. Dalam keadaan ini, si wanita boleh memakai alat pencegah kehamilan untuk jangka waktu tertentu. Adapun bila sakitnya berbahaya dan dikhawatirkan menyebabkan kematian, si wanita boleh -dalam keadaan ini saja- bahkan wajib melakukan rabthul mawasir untuk menjaga agar dia tetap hidup. Wallahu a’lam. (Adabuz Zifaf, hal. 136-137)

(Sumber: Majalah Asy Syariah, Vol. II/No. 21/1427H/2006, kategori: Fatawa Al-Mar’ah Al-Muslimah, hal. 89-90. Dicopy dari http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=344)

‘Adabul Isti’dzan

Meminta izin berbeda dengan ucapan salam

Sebagian orang beranggapan, bila salam telah dijawab, berarti ia boleh masuk ke dalam rumah tanpa harus meminta izin. Ini adalah anggapan yang jelas keliru. Alloh subhanahu wa ta’ala berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّى تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا عَلَى أَهْلِهَا ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

“Hai, orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu selalu ingat.” (QS. An-Nur : 27)

Ayat di atas dengan jelas membedakan antara salam dan meminta izin. Dengan demikian, seseorang yang telah dijawab salamnya, harus meminta izin sebelum masuk ke dalam rumah. Inilah adab yang dicontohkan oleh Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Kaladah bin Al-Hambal, bahwasanya Shafwan bin Umayyah mengutusnya pada hari penaklukan kota Makkah dengan membawa liba’ (susu yang diperah saat unta baru saja melahirkan), jadayah (rusa yang baru berusia 6 bulan) dan dhaghobis (buah semacam mentimun). Ketika itu Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam berada di atas lembah. Aku menemui beliau tanpa mengucapkan salam dan tanpa meminta izin. Maka beliau bersabda :

ارجع ، فقل : السلام عليكم أأدخل ؟

“Keluarlah,ucapkanlah salam dan katakan: “Bolehkah aku masuk?”(Hadits riwayat Ahmad,Abu Daud,At-Tirmidzi dan an-Nasa’i)

Hendaklah berdiri di sisi kanan atau kiri pintu

Bagi orang yang meminta izin, hendaklah berdiri di sisi kanan atau kiri pintu, tidak berdiri tepat di depan pintu. Hal ini dimaksudkan agar pandangan mata tidak jatuh pada perkara-perkara yang tidak layak dipandang saat pintu terbuka. Terlebih lagi, jika pintu memang dalam keadaan terbuka sebelumnya. Sebagaimana yang diajarkan oleh Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam. Diriwayatkan dari Abdulloh bin Bisyr, ia berkata :

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَتَى بَابَ قَوْمٍ لَمْ يَسْتَقْبِلْ الْبَابَ مِنْ تِلْقَاءِ وَجْهِهِ وَلَكِنْ مِنْ رُكْنِهِ الْأَيْمَنِ أَوْ الْأَيْسَرِ وَيَقُولُ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ

“Apabila Rosululloh shollalohu alaihi wa sallam mendatangi rumah orang, Beliau tidak berdiri di depan pintu, akan tetapi di samping kanan atau samping kiri, kemudian Beliau mengucapkan salam “assalamualaikum,assalamu’alaikum”. karena saat itu rumah-rumah belum dilengkapi dengan tirai (Hadits riwayat Abu Daud).

Abu Daud juga meriwayatkan dari Huzail, ia berkata : ”Seseorang lelaki -Utsman bin Abi Syaibah menyebutkan, lelaki ini adalah Sa’ad bin Abi Waqqosh rodhiyallohu anhu– datang lalu berdiri tepat di depan pintu. Utsman bin Abi Syaibah mengatakan : Berdiri menghadap pintu. Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam berkata kepadanya :

هَكَذَا عَنْكَ أَوْ هَكَذَا فَإِنَّمَا الِاسْتِئْذَانُ مِنْ النَّظَرِ

“Menyingkirlah dari depan pintu, sesungguhnya meminta izin itu disyari’atkan untuk menjaga pandangan mata.”

Bila tidak diizinkan hendaklah ia kembali

Dalam al-Qur’an Alloh subhanahu wa ta’ala berfirman :

فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا فِيهَا أَحَدًا فَلَا تَدْخُلُوهَا حَتَّى يُؤْذَنَ لَكُمْ وَإِنْ قِيلَ لَكُمُ ارْجِعُوا فَارْجِعُوا هُوَ أَزْكَى لَكُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ

“Jika kamu tidak menemui seorangpun di dalamnya,maka janganlah kamu masuk sebelum kamu mendapat izin. Dan jika dikatakan kepadamu. “Kembali sajalah”, maka hendaklah kamu kembali. Itu lebih bersih bagimu dan Alloh maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. AN-Nur : 28).

Apabila seseorang telah mengucapkan salam dan meminta izin sebanyak tiga kali, namun tidak juga dipersilahkan, hendaklah ia kembali. Boleh jadi tuan rumah sedang enggan menerima tamu, atau ia sedang bepergian. Karena seorang tuan rumah mempunyai kebebasan untuk mengizinkan atau menolak tamu. Demikianlah adab yang diajarkan Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Musa Al-Asy’ari rodhiyallohu anhu, Beliau bersabda :

إِذَا اسْتَأْذَنَ أَحَدُكُمْ ثَلَاثًا فَلَمْ يُؤْذَنْ لَهُ فَلْيَنْصَرِفْ

“Jika salah seorang dari kamu sudah meminta izin sebanyak tiga kali, namun tidak diberi izin,maka kembalilah. (Hadits riwayat Al-Bukhori dan Muslim)

Larangan Mengintip ke Dalam Rumah Orang lain

Sering kita jumpai orang-orang yang jahil tentang tuntunan syari’at, karena terdorong rasa ingin tahu, ia mengintip ke dalam rumah orang lain. Baik karena salam yang tak terjawab, atau hanya sekedar iseng. Mereka tidak menyadari, bahwa perbuatan seperti ini diancam keras oleh Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Huroiroh rodhiyallohu anhu, Beliau bersabda :

لَوْ أَنَّ رَجُلًا اطَّلَعَ عَلَيْكَ بِغَيْرِ إِذْنٍ فَخَذَفْتَهُ بِحَصَاةٍ فَفَقَأْتَ عَيْنَهُ مَا كَانَ عَلَيْكَ مِنْ جُنَاحٍ

“Sekiranya ada seseorang yang mengintip rumahmu tanpa izin, lalu engkau melemparnya dengan batu hingga tercungkil matanya, maka tiada dosa atasmu. (Hadits riwayat al-Bukhori dan Muslim).

Dalam hadits lain diriwayatkan dari Sahal bin Saad As-Sa’idi rodhiyallohu anhu, ia mengabarkan bahwasanya seorang laki-laki mengintip pada lubang pintu Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam. Ketika itu beliau tengah membawa sebuah sisir yang biasa Beliau gunakan untuk menggaruk kepalanya. Ketika beliau melihatnya beliau bersabda :

”Seandainya aku tahu engkau tengah mengintipku , niscaya telah aku lukai kedua matamu dengan sisir ini.” Beliau bersabda : “Sesungguhnya permintaan izin itu diperintahkan untuk menjaga pandangan mata. (Hadits riwayat al-Bukhori dan Muslim).

Demikianlah beberapa perkara yang harus diperhatikan ketika hendak memasuki rumah orang lain, kecuali rumah-rumah yang tidak didiami oleh seorangpun, dan ia ada keperluan di dalamnya. Seperti rumah yang memang disediakan untuk para tamu, jika di awal ia telah diberi izin, maka cukuplah baginya. Demikian juga tempat-tempat umum seperti tempat-tempat jualan, penginapan dan lain sebagainya.

Kini muncul pertanyaan, apakah kita juga harus meminta izin ketika hendak masuk menemui salah seorang anggota keluarga kita? Berikut ini perinciannya.

Seorang laki-laki harus meminta izin ketika hendak masuk menemui ibunya

Seorang anak laki-laki yang telah baligh, wajib meminta izin secara mutlak ketika hendak masuk menemui ibunya.

Di dalam kitab Adabul Mufrod, Imam Al-Bukhori menyebutkan sebuah riwayat dari Muslim bin Nadzir, bahwasanya ada seorang laki-laki bertanya kepada Hudzaifah Ibnul Yaman : Apakah saya harus meminta izin ketika hendak masuk menemui ibuku?” Maka ia menjawab : Jika engkau tidak meminta izin, niscaya engkau akan melihat sesuatu yang tidak engkau sukai.”(Hadits mauquf shohih)

Demikian juga riwayat dari Alqomah, ia berkata : Seorang laki-laki datang kepada Abdulloh bin Mas’ud rodhiyallohu anhu dan berkata :”Apakah aku harus meminta jika hendak masuk menemui ibuku?”Maka ia menjawab: ”Tidaklah dalam semua keadaannya ia suka engkau melihatnya.” (Hadits mauquf shohih)

Seorang laki-laki harus meminta izin ketika hendak menemui saudara perempuannya

Demikian juga seorang laki-laki baligh, harus meminta izin ketika hendak masuk menemui saudara perempuannya.

Di dalam kitab Al-Adabul Mufrod,Imam Al-Bukhori menyebutkan sebuah riwayat dari Atho’. Dia berkata : Aku bertanya kepada Ibnu Abbas: “Apakah aku harus meminta izin jika hendak masuk menemui saudara perempuanku?” Dia menjawab,”Ya”. Aku mengulangi pertanyaanku :”Dua orang saudara perempuanku berada di bawah tanggunganku. Aku yang mengurus dan yang membiayai mereka. Haruskah aku meminta izin jika hendak masuk menemui mereka?”Maka dia menjawab :”Ya”. Apakah engkau suka melihat mereka berdua dalam keadaan telanjang (Hadits mauquf shohih).

Perintah kepada orang tua agar mengajari anak-anak dan para pelayannya tentang keharusan meminta izin pada tiga waktu

DI dalam Al-Qur’an surat An-Nur ayat 58, Alloh subhanahu wa ta’ala berfirman, yang artinya : Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki dan orang-orang yang belum baligh di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari), yaitu sebelum sholat subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian(luarmu) di tengah hari, dan sesudah sholat isya’. Itulah tiga aurot bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak pula atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. Mereka melayani kamu, sebahagian kamu (ada keperluan) kepada sebahagian (yang lain). Demikianlah Alloh menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan Alloh Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

Dalam ayat di atas Alloh memerintahkan kaum mukminin, agar para pelayan yang mereka miliki dan anak-anak yang belum baligh meminta izin kepada mereka pada tiga waktu.

Pertama. Sebelum sholat subuh, karena biasanya orang-orang pada waktu itu sedang nyenyak tidur di pembaringan mereka. Kedua, ”Ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)mu di tengah hari”, yaitu pada waktu tidur siang, karena pada saat itu orang-orang melepas pakaian mereka untuk bersantai bersama keluarga.Ketiga, ”Sesudah sholat isya’”, karena saat itu adalah waktu tidur. Pelayan dan anak-anak diperintahkan untuk tidak masuk menemui ahli bait pada waktu-waktu itu. Karena dikhawatirkan sedang bersama istrinya. Atau sedang melakukan hal-hal yang sifatnya pribadi.

Oleh sebab itu Alloh mengatakan”Itulah tiga aurot bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu)itu.” Yakni jika mereka masuk di luar waktu tersebut, maka tidak ada dosa atas kamu bila membuka kesempatan pada mereka untuk masuk, dan tidak ada dosa atas mereka bila melihat sesuatu di luar tiga waktu tersebut. Karena mereka telah diizinkan untuk masuk menemui kalian, karena mereka keluar masuk untuk melayani kamu atau untuk urusan yang lainnya.

Para pelayan yang biasa masuk diberi dispensasi yang tidak diberikan kepada selain mereka. Oleh karena itu Imam Malik, Imam Ahmad dan penulis kitab Sunan meriwayatkan bahwa Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam bersabda tentang kucing :

إِنَّهَا لَيْسَتْ بِنَجَسٍ إِنَّهَا مِنْ الطَّوَّافِينَ عَلَيْكُمْ وَالطَّوَّافَاتِ

"Ia (kucing) tidaklah najis, karena ia selalu berkeliaran di sekitar kamu.”

Selanjutnya Alloh subhanahu wa ta’ala berfirman : “Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur baligh, maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin.”, yakni apabila anak-anak yang sebelumnya meminta izin pada tiga waktu yang telah disebutkan diatas. Apabila mereka telah mencapai usia baligh, mereka wajib meminta izin di setiap waktu, seperti halnya orang-orang dewasa dari putera seseorang, atau dari kalangan karib kerabatnya wajib meminta izin.

Al-Auza’i meriwayatkan dari Yahya bin Abi katsir, ia mengatakan : ”Apabila seorang anak masih balita, ia harus meminta izin kepada kedua orang tuanya (bila ingin masuk menemui keduanya dalam kamar) pada tiga waktu tersebut. Apabila ia telah mencapai usia baligh ia harus meminta izin di setiap waktu.”
Demikianlah paparan singkat tentang perkara-perkara yang berkaitan dengan adab-adab isti’dzan. Mudah-mudahan dapat menambah pemahaman kita tentang ajaran islam dalam membimbing umat manusia, guna memperoleh seluruh kemaslahatan dan mengapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.

Sumber: Majalah As Sunnah Edisi Khusus/VIII/1425H/2004M hal :61-64

Wednesday, May 26, 2010

Umar bin Abdul Aziz

Nama sebenarnya adalah Abu Hafzah bin Abdul Aziz bin Marwan bin Hakam bin Abil ash bin Umayyah al-Quraisy, seorang tabi’in besar dan salah seorang dari Khalifah yang Rasyidin, Ia sebagai kepala Negara yang adil dan seorang ulama yang kamil.

Ia dilahirkan di Mesir di negeri Halwan pada waktu ayahnya menjadi Amir disitu pada tahun 61 H.

Semasa kecil ia telah hapal al-Qura’an, kemudian ia dikirim ke Madinah oleh ayahnya untuk belajar. Ia belajar al-Qur’an dari Ubaidullah bin Abdullah bin Utbah bin Ibnu Mas’ud. Setelah ayahnya meninggal, paman Abdul Malik bin Marwan memintanya dating ke Damaskus, lalu dikawinkan dengan seorang putrinya yang bernama Fatimah. Kemudian beliau diangkat menjadi gubernur di Madinah dimasa pemerintahan Khalifah al-Walid. Pada tahun 93 H lalu beliau kembali ke Syam dan kemudian pada tahun 99 H beliau diangkat menjadi Khalifah.

Umar bin Abdul Aziz menerima hadist dari anas, as Sa’ib bin Yasid, Yusuf bin Abdullah bin Salam. Khalulah binti Hakim dan dari sahabat lainnya.

Ia juga menerima hadits dari tokoh tokoh Tabi’in seperti Ibnul Musayyab, ‘Urwah, Abu Bakar bin Abdurahman dan yang lainnya.

Hadits-hadits beliau di terima oleh para Tabi’in diantaranya adalah Abu Salamah bin Abdurahman, Abu Bakar Muhammad bin Amr bin HAzm, az-Zuhry, Muhammad bin al-Munkadir, Humaid ar-Thawil dan lain lain.

Seluruh Ulama berpendirian menetapkan bahwa Umar bin Abdul Aziz ini adalah seorang yang banyak Ilmu, Shalih, Zuhud dan Adil. Ia banyak memberikan perkembangan hadits, baik secara hapalan maupun secara pendewanan, maka takala ia menjadi Khalifah, ia memerintahkan kepada ulama ulama daerah supaya menulis hadits hadits yang ada didaerah mereka masing masing, lalu meriwayatkan hadist agar tidak hilang dengan meninggalnya para ulama tabi’in tersebut.

Umar bin Abdul Aziz ini merupakan permulaan Khalifah yang memberikan perhatian kepada hal hal yang demikian itu. Beliau disamakan dengan az-Zuhry tentang ke ‘Alimannya.

Mujahid berkata,”Kami mendatanginya, dan kami tidak meninggalkannya sebelum kami belajar dari padanya”.

Ia wafat pada tahun 101 H

Disalin dari Biografi Umar bin ‘Abdul “Aziz dalam Tarikh al-khulafa no.153, Tahdzibul Asma An Nawawi no.11/17 Tahdzib at Tahdzib Ibn Hajar no VII/475

Diambil dari : http://ahlulhadist.wordpress.com/2007/09/25/umar-bin-abdul-aziz/

Sunday, May 9, 2010

WalimatunNikaah: Dila & Patriot

Pemisah antara yang halal dan yang haram adalah duff dan shaut (suara) dalam pernikahan (HR. AnNasaa-i 3369, dihasankan oleh Al-Albani dalam Al-Irwa’ 1994). Makna shaut adalah pengumuman pernikahan, lantangnya suara, dan pembicaraan tentang pernikahan di tengah manusia (Syarhus Sunnah lil Baghawi 9/47).

BismiLlaahirRahmaanirRahiim, AsSalaamu’alaykum waRahmatuLlaahi waBarakaatuH.

Innalhamdalillah, segala puji kita panjatkan kepada Rabb semesta alam. Shalawat dan salam tercurah kepada Nabi Muhammad beserta keluarganya, para shahabatnya, dan segenap kaum Muslimin yang mengikuti jalan mereka yang berada di atas petunjuk hingga hari kiamat.

Dengan mengharap ridha Allah Ta’ala guna menyatukan langkah mereka yang mulia, izinkanlah putra-putri kami:

Patriot Adi Arfianto


(Putra ke-2 dari Bapak Raden Panji. Zainal Arief dan Ibu Raden Roro. Inggarwangi)

dan

Noor Fadilah


(Putri ke-2 dari Bapak Laode Ida dan Ibu Siti Fathimah Ibrahim)

Untuk membentuk sebuah rumahtangga dalam rangka taqwallah dan menjalankan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam.

Acara pernikahan Insya Allah akan diselenggarakan, pada:
Tanggal : Sabtu, 15 Mei 2010
Waktu : 9 a.m - 1 p.m (waktu Indonesia bagian barat)
Tempat : Masjid Astra
Jalan Gaya Motor Raya no.3
Sunter II - Jakarta Utara

Atas kehadiran Bapak/Ibu/Saudara(i) sangat kami harapkan. Terima kasih, Jazakumullah khayran.

Kel. Laode Ida & Siti Fathimah                        Kel. Zainal Arief & Inggarwangi

Kedua mempelai,
Patriot Fadilah

Adalah Nabi bila mendo’akan seseorang yang menikah, “Barakallahu laka wa baraka ‘alayka wa jama’a baynakuma fi khayrin” (Semoga Allah memberkahimu dan memberkahi pernikahanmu serta mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan)”. (HR. AtTirmidzi 1091, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih AtTirmidzi)