Saturday, September 29, 2007

Petunjuk dari Salaf tentang Pengucapan Selamat Hari Raya

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ditanya tentang ucapan selamat pada hari raya maka beliau menjawab [Majmu Al-Fatawa 24/253] : “Ucapan pada hari raya, di mana sebagian orang mengatakan kepada yang lain jika bertemu setelah shalat Id : Taqabbalallahu minnaa wa minkum. (yang artinya) : Semoga Allah menerima dari kami dan dari kalian” Wa ahaalallahu ‘alaika.

Dan ucapan selainnya, ini telah diriwayatkan dari sekelompok sahabat bahwa mereka mengerjakannya. Dan para imam memberi rukhshah untuk melakukannya seperti Imam Ahmad dan selainnya, akan tetapi Imam Ahmad berkata : Aku tidak pernah memulainya mengucapkan selamat kepada seorangpun, namun bila ada orang yang mendahuluiku mengucapkannya maka aku menjawabnya, karena menjawab tahiyyah (ucapan selamat) hukumnya wajib. Adapun mendahuluinya, dengan mengucapkan tahniah (ucapan selamat) bukanlah sunnah yang diperintahkan dan tidak pula dilarang. Barangsiapa mengerjakannya maka baginya ada contoh dan siapa yang meninggalkannya baginya juga ada contoh, wallahu a’lam.[Dicantumkan Al Jalal As Suyuthi menyebutkan dalam risalahnya " Wushul Al Amani bi Ushul At Tahani" beberapa atsar yang berasal lebih darisatu ulama Salaf, di dalamnya ada penyebutan ucapan selamat. Kitab itu dicetak bersama ; Al Haari lil Fatawa 1/81-82, merujuklah padanya. Lihat pula al Maudhu’ fi Ma’rifatul Hadits al Maudhu’ oleh Al ‘Allamah ‘Ali al Qaari (87) dengan ta’liq muhaqiq atasnya]

Berkata Al Hafidh Ibnu Hajar[Fathul Bari 2/446] : “Dalam “Al Mahamiliyat” dengan isnad yang hasan dari Jubair bin Nufair, ia berkata (yang artinya) : Para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bila bertemu pada hari raya, maka berkata sebagian mereka kepada yang lainnya : Taqabbalallahu minnaa wa minkum (Semoga Allah menerima dari kami dan darimu)”.

Ibnu Qudamah dalam “Al-Mughni” (2/259) menyebutkan bahwa Muhammad bin Ziyad berkata : “Aku pernah bersama Abu Umamah Al Bahili dan selainnya dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka bila kembali dari shalat Id berkata sebagiannya kepada sebagian yang lain : Taqabbalallahu minnaa wa minka.

Imam Ahmad menyatakan : “Isnad hadits Abu Umamah jayyid (bagus)” [Lihat Al Jauharun Naqi 3/320. Berkata Suyuthi dalam 'Al-Hawi: (1/81) : Isnadnya hasan]

Adapun ucapan selamat : (Kullu ‘aamin wa antum bikhair) atau yang semisalnya seperti yang banyak dilakukan manusia, maka ini tertolak tidak diterima, bahkan termasuk perkara yang disinggung dalam firman Allah (yang artinya) : “Apakah kalian ingin mengambil sesuatu yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik.?”

(Dinukil dari Ahkaamu Al’ Iidaini Fii Al-Sunnah Al-Muthahharah, Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari dan Syaikh Salim Al Hilali, edisi Tuntunan Ibadah Ramadhan dan Hari Raya, terbitan Maktabah Salafy Press, penerjemah ustadz Hannan Husein Bahannan)

Sumber: Salafy.or.id

Wednesday, September 12, 2007

Menyikapi Orang Awam

Al-Ustadz Muhammad Umar as-Sewed

Memang, marah karena Allah termasuk hikmah. Bahkan, tanda keimanan seseorang pun ditandai dengan marah dan benci karena Allah. Yaitu, marah dan benci terhadap kekufuran, kebid’ahan dan kemaksiatan.

Tetapi bersabarlah! Kendalikan emosi. Siapa tahu mereka itu orang-orang bodoh yang membutuhkan pelajaran. Kalau itu yang terjadi, ajarilah mereka dengan lemah lembut!

Anas bin Malik radhiyallahu `anhu pernah mengatakan : “Aku pernah berjalan bersama Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam saat beliau mengenakan jubah dari Najran yang kasar tepinya. Tiba-tiba datanglah seorang Arab gunung dan menarik jubah beliau secara keras. Akibat perbuatannya itu, aku melihat bekas tarikan tersebut pada sisi pundak beliau. Kemudian dia (orang Arab gunung itu) berucap : ‘Wahai Muhammad, perintahkanlah, bahwa harta Allah yang ada padamu untukku.’ Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam melihat kepadanya dan tersenyum seraya memerintahkan untuk memberikan harta kepadanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Contoh lain adalah kisah Muawiyah bin Al-Hakam As-Sulami, yang mengatakan : “Ketika aku shalat bersama Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, tiba-tiba ada seseorang dari satu kaum yang bersin. Maka aku mengucapkan yarhamukallah. Ketika semua orang melemparkan pandangannya kepadaku, sehingga aku berkata : ‘Duhai ibuku yang kehilangan aku, ada apa kalian melihatku?’ Mereka lalu menepuk tangan mereka ke pahanya. Ketika aku lihat, mereka menyuruh aku diam, lantas aku pun diam. Setelah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam selesai shalat –dengan bapak dan ibuku– sungguh aku belum pernah melihat seorang pengajar pun yang lebih baik pengajarannya dari beliau shallallahu `alaihi wa sallam. Demi Allah, beliau tidak membentakku, tidak memukulku, dan tidak pula mencelaku. Beliau bersabda:

‘Sesungguhnya di dalam shalat ini tidak layak sedikit pun ada ucapan manusia. Sesungguhnya shalat adalah tasbih, takbir dan bacaan Al Qur’an.’ ” (HR. Muslim dalam kitab Masajid bab Tahrimul Kalam fish Shalah)

Demikian pula sikap Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam terhadap seorang pemuda yang meminta ijin untuk berzina. Seperti diungkapkan Abu Umamah : “Sesungguhnya pernah ada seorang pemuda yang datang kepada Nabi shallallahu`alaihi wa sallam mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, ijinkanlah aku berzina.’ Saat itu, orang-orang yang ada di situ membentaknya seraya mengatakan, ‘Mah, mah!’ Sementara Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam menyuruh pemuda itu untuk mendekat. ‘Mendekatlah,’ ajak beliau. Pemuda itu pun mendekat. Kemudian Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bertanya, ‘Sukakah engkau kalau hal ini terjadi pada ibumu?’ ‘Tidak, demi Allah, aku sebagai jaminanmu,’ jawabnya. ‘Demikian pula halnya setiap manusia pasti tidak menyukai hal itu terjadi pada ibu-ibu mereka,’ jelas Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam kepada pemuda itu. Kemudian beliau ajukan pertanyaan lagi, ‘Sukakah engkau jika hal itu terjadi pada anak perempuanmu?’ Ia Jawab, ‘Tidak, demi Allah, Allah menjadikan diriku sebagai jaminanmu’ Beliau jelaskan lagi, ‘Demikian pula manusia tidak menyukai hal itu terjadi pada anak perempuan mereka.’ Kemudian beliau tanya, ‘Sukakah engkau jika hal itu terjadi pada saudara perempuanmu?’ Pemuda itu menjawab, ‘Tidak, demi Allah, Allah menjadikan aku sebagai jaminanmu’ Lalu beliau bersabda, ‘Tidak pula manusia menyukai hal itu terjadi pada saudara-saudara perempuan mereka.’ ‘Sukakah engkau jika hal itu terjadi pada bibimu (ammah / saudara perempuan bapak)?’ Tanya beliau kembali. Dijawabnya, ‘Tidak, demi Allah, Allah menjadikan aku sebagai jaminanmu’ Kemudian Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam nyatakan, ‘Tidak pula manusia menyukai hal itu terjadi pada bibi mereka.’ Beliau berikan lagi pertanyaan, ‘Sukakah engkau jika hal itu terjadi pada bibimu (khalah / saudara perempuan ibu)?’ Jawab pemuda itu, ‘Tidak, demi Allah, Allah menjadikan aku sebagai jaminanmu.’ Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam menuturkan, ‘Tidak pula manusia menyukai hal itu terjadi pada bibi (khalah) mereka.’ ” Selanjutnya Abu Umamah menyatakan : “Maka Rasulullah meletakkan tangannya kepada pemuda itu seraya mengucapkan :

‘Ya Allah, ampunilah dosanya, bersihkanlah hatinya dan peliharalah kemaluannya.’ ” (Kisah ini dinukil dari HR. Ahmad dan Thabrani, disahihkan oleh Al-Albani dalam Silsilah no. 370)

Kelembutan Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam pun ditunjukkan pula terhadap seorang Arab gunung lainnya yang kencing di masjid.

Anas bin Malik mengisahkan : “Ketika kami berada di masjid bersama Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, tiba-tiba datang seorang Arab kampung. Orang itu lantas berdiri dan kencing di masjid. Maka (bangkitlah) para shahabat Rasulullah membentaknya seraya membentak, ‘Mah, mah!’ Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam lantas mencegah para para sahabat sambil bersabda, ‘Jangan kalian putuskan kencingnya. Biarkan dia.’

Maka para shahabat pun membiarkannya sampai ia selesai. Kemudian Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam memanggilnya dan menasehatinya, ‘Sesungguhnya masjid ini tidak patut sedikit pun untuk tempat buang air, (begitu pula) buang untuk kotoran. Masjid ini merupakan tempat untuk berdzikir kepada Allah, shalat dan membaca Al Qur’an.’

Kemudian beliau memerintahkan untuk mengambil seember air dan menyiramkannya.” (HR. Muslim)

Tidak hanya sampai di sini, kesabaran Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam terhadap orang-orang bodoh. Bahkan, dalam riwayat Bukhari masih berlanjut kisah orang Arab gunung tersebut. Yaitu, ketika Rasulullah dan para shahabat shalat bersamanya, maka orang tadi berdoa dalam shalatnya, “Ya Allah, rahmatilah aku dan Muhammad dan janganlah engkau rahmati seorang pun selain kami.”

Maka ketika selesai shalat beliau bersabda, “Sungguh engkau telah mempersempit yang luas.”

Yang dimaksud adalah rahmat Allah yang luas.

Demikianlah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam menyikapi seorang yang memang bodoh, membutuhkan pengajaran dan pendidikan. Ketika orang Arab gunung itu setelah faqih (memahami agama) dia katakan, “Ayah dan ibuku sebagai jaminan. Sungguh Nabi shallallahu `alaihi wa sallam bangkit kepadaku tanpa mencela, menghardik atau pun memukulku.”

Selain itu kita juga dapati sifat ta`anni beliau shallallahu `alaihi wa sallam ketika para shahabat membentak si orang gunung tersebut. Beliau malah mengatakan, “Biarkan dia”. Hal itu karena beliau berfikir dan melihat sisi hikmah, yaitu jika dibentak dan diganggu ketika dia sedang buang air, akan membawa dampak negatif yang lebih banyak. Bisa jadi najis dari kencingnya akan berceceran di tempat yang lebih luas, atau najis itu bisa saja mengenai pakaiannya. Bahkan, justru akan menjadikan penyakit bagi orang tersebut karena menahan kencing dan lainnya.

Demikianlah semestinya sikap seorang mukmin, apalagi dia seorang da’i. Janganlah segera bersikap emosional, bersifatlah ta`anni. Perlakukanlah orang-orang awam dan jahil dengan sabar serta ajarilah mereka dengan lemah lembut.

Adapun orang-orang bodoh yang tidak mau mengerti perkataan orang, tinggalkanlah dan hindarilah dia dengan baik dan ucapkanlah ucapan yang baik. Allah berfirman dalam mengungkapkan sifat hamba-hamba-Nya :

“Hamba-hamba Allah yang Maha Rahman adalah orang-orang yang berjalan di muka bumi dengan rendah hati. Jika orang-orang bodoh mengajak bicara mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang mengandung keselamatan.” (Al-Furqan: 63)

Saat menafsirkan ayat ini Ibnu Katsir rahimahullah menyatakan, “Yaitu jika orang-orang bodoh mengganggu mereka dengan ucapan yang jelek, mereka tidak membalasnya dengan yang semisal. Bahkan mereka memaafkan dan memaklumi serta tidak mengucapkan selain kebaikan semata. Sebagaimana Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tidak membalas kerasnya kejahilan seseorang melainkan dengan kelembutan yang amat sangat.”

Dikisahkan dalam sebuah riwayat, seorang mencela orang lain kemudian orang yang dicela tersebut mengatakan alaikas salam (semoga keselamatan atasmu). Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam yang mendengar ucapan itu langsung menegur, “Ketahuilah, sesungguhnya malaikat (yang menyaksikan) di antara kalian berdua membelamu. Setiap dia mencelamu malaikat itu berkata, ‘Bahkan engkau! Engkau lebih berhak dengannya!’ Sedang ketika engkau mengucapkan kepadanya, ‘alaikas salam,’ malaikat itu berkata, ‘bahkan atasmu! Engkau lebih berhak dengannya.’ ” (HR. Ahmad 5 / 445, Kata Ibnu Katsir sanadnya hasan. Lihat Al-Hikmah hal. 61)

Dalam ayat lain, Allah juga memerintahkan berpaling dari orang-orang bodoh.

“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang yang mengerjakan yang ma’ruf serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” (Al-A`raf: 199)

Berkenaan dengan ayat ini, kita tengok riwayat Umar bin Khattab. Dikatakan Ibnu Abbas : “Uyainah bin Hishn bin Huzaijah datang dan singgah di rumah saudaranya, Al-Har bin Qais. Beliau adalah salah seorang yang dekat dengan Umar bin Khattab. Pada waktu itu para pembaca Al Qur’an merupakan teman-teman duduk Umar dan tempat bermusyawarah, baik orang tua atau pun pemuda. Berkatalah Uyainah kepada anak saudaranya itu, ‘Wahai anak saudaraku, engkau memiliki kedudukan di sisi khalifah. Maka mintalah ijin agar aku diperkenankan menemuinya.’ Berkatalah Al-Har, ‘Aku akan mintakan ijin untukmu.’ ” Ibnu Abbas mengungkapkan kisah selanjutnya : “Kemudian Al-Har bin Qais memintakan ijin kepada Umar. Seketika itu Umar mengijinkannya. Ketika menghadap Umar, Uyainah ucapkan, ‘Wahai Ibnul Khattab, demi Allah, engkau tidak memberi kami banyak. Tidak pula menghukumi kami dengan adil.’ Lantaran itu, marahlah Umar. Nyaris dilakukan sesuatu oleh Umar terhadapnya. Tetapi Al-Har malah mengucapkan, ‘Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya Allah berfirman kepada Nabi-Nya :

“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” (Al A’raf :199)

Sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang bodoh.”

Demi Allah, Umar radliyallahu `anhu tidak melampaui apa yang dikatakan dalam ayat tersebut. Beliau memang seorang yang selalu ‘berhenti’ pada apa yang dikatakan pada kitab Allah.” (HR. Al-Bukhari, lihat Al-Hikmah hal. 62)

Demikianlah sikap Amirul Mukminin Umar bin Khattab ketika diberitahu bahwa ia (yang menghadap beliau) adalah orang bodoh. Sikap beliau tidak keluar dari apa yang dikatakan oleh Allah :

“Jadilah pemaaf, perintahkanlah yang ma’ruf dan berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.”

Wallahu ‘a’lam

sumber : http://assunnah.cjb.net

Sahur dalam Puasa Ramadhan

1. Hikmah Sahur
Allah mewajibkan puasa kepada kita sebagaimana telah mewajibkan kepada orang-orang sebelum kita dari kalangan Ahlul Kitab. Allah berfirman (yang artinya) : “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa” [Al-Baqarah : 183].

Waktu dan hukumnya pun sesuai dengan apa yang diwajibkan pada Ahlul Kitab, yakni tidak boleh makan dan minum dan menikah (jima’) setelah tidur. Yaitu jika salah seorang dari mereka tidur, tidak boleh makan hingga malam selanjutnya, demikian pula diwajibkan atas kaum muslimin sebagaimana telah kami terangkan di muka karena dihapus hukum tersebut [Lihat sebagai tambahan tafsir-tafsir berikut : Zadul Masir 1/184 oleh Ibnul Jauzi, Tafsir Quranil 'Adhim 1/213-214 oleh Ibnu Katsir, Ad-Durul Mantsur 1/120-121 karya Imam Suyuthi].

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh makan sahur sebagai pembeda antara puasa kita dengan puasanya Ahlul Kitab.

Dari Amr bin ‘Ash Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “Pembeda antara puasa kita dengan puasanya ahli kitab adalah makan sahur” [Hadits Riwayat Muslim 1096]

2. Keutamaannya

a. Makan Sahur Adalah Barokah.
Dari Salman Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “Barokah itu ada pada tiga perkara : Al-Jama’ah, Ats-Tsarid dan makan Sahur” [Hadits riwayat Thabrani dalam Al-Kabir 5127, Abu Nu'aim dalam Dzikru Akhbar AShbahan 1/57 dari Salman Al-Farisi Al-Haitsami berkata Al-Majma 3/151 dalam sanadnya ada Abu Abdullah Al-bashiri, Adz-Dzahabi berkata : "Tidak dikenal, perawi lainnya tsiqat (dipercaya, red). Hadits ini mempunyai syahid (saksi penguat, red)dalam riwayat Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Al-Khatib dalam Munadih Auhumul Sam'i watafriq 1/203, sanadnya hasan]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “Sesungguhnya Allah menjadikan barokah pada makan sahur dan takaran” [Hadits Riwayat As-Syirazy (Al-Alqzb) sebagaimana dalam Jami'us Shagir 1715 dan Al-Khatib dalam Al-Muwaddih 1/263 dari Abu Hurairah dengan sanad yang lalu. Hadits ini HASAN sebagai syawahid dan didukung oleh riwayat sebelumnya. Al-Manawi memutihkannya dalam Fawaidul Qadir 2/223, sepertinya ia belum menemukan sanadnya.!!]

Dari Abdullah bin Al-Harits dari seorang sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : Aku masuk menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika itu beliau sedang makan sahur, beliau bersabda (yang artinya) : “Sesungguhnya makan sahur adalah barakah yang Allah berikan kepada kalian, maka janganlah kalian tinggalkan” [Hadits Riwayat Nasa'i 4/145 dan Ahmad 5/270 sanadnya shahih].

Keberadaan sahur sebagai barakah sangatlah jelas, karena dengan makan sahur berarti mengikuti sunnah, menguatkan dalam puasa, menambah semangat untuk menambah puasa karena merasa ringan orang yang puasa.

Dalam makan sahur juga (berarti) menyelisihi Ahlul Kitab, karena mereka tidak melakukan makan sahur. Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menamakannya dengan makan pagi yang diberkahi sebagaimana dalam dua hadits Al-Irbath bin Syariyah dan Abu Darda ‘Radhiyallahu ‘anhuma (yang artinya) : “Marilah menuju makan pagi yang diberkahi, yakni sahur”. [Adapun hadits Al-Irbath diriwayatkan oleh Ahmad 4/126 dan Abu Daud 2/303, Nasa'i 4/145 dari jalan Yunus bin Saif dari Al-Harits bin ZIyad dari Abi Rahm dari Irbath. Al-Harits majhul. Sedangkan hadits Abu Darda diriwayatkan oleh Ibnu Hibban 223-Mawarid dari jalan Amr bin Al-Harits dari Abdullah bin Salam dari Risydin bin Sa'ad. Risydin dhaif. Hadits ini ada syahidnya dari hadits Al-Migdam bin Ma'dikarib. Diriwayatkan oleh Ahmad 4/133. Nasaai 4/146 sanadnya shahih, kalau selamat dari Baqiyah karena dia menegaskan hadits dari Syaikhya! Akan tetapi apakah itu cukup atau harus tegas-tegas dalam seluruh thabaqat hadits, beliau termasuk mudallis taswiyah ?! Maka hadits ini shahih].

b. Allah dan Malaikat-Nya Bershalawat Kepada Orang-Orang yang Sahur.
Mungkin barakah sahur yang tersebar adalah (karena) Allah Subhanahu wa Ta’ala akan meliputi orang-orang yang sahur dengan ampunan-Nya, memenuhi mereka dengan rahmat-Nya, malaikat Allah memintakan ampunan bagi mereka, berdo’a kepada Allah agar mema’afkan mereka agar mereka termasuk orang-orang yang dibebaskan oleh Allah di bulan Ramadhan.

Dari Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “Sahur itu makanan yang barakah, janganlah kalian meninggalkannya walaupun hanya meneguk setengah air, karena Allah dan malaikat-Nya bershalawat kepada orang-orang yang sahur” [Telah lewat takhrijnya].

Oleh sebab itu seorang muslim hendaknya tidak menyia-nyiakan pahala yang besar ini dari Rabb Yang Maha Pengasih. Dan sahurnya seorang muslim yang paling afdhal adalah korma.

Bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya) : “Sebaik-baik sahurnya seorang mukmin adalah korma” [Hadits Riwayat Abu Daud 2/303, Ibnu Hibban 223, Baihaqi 4/237 dari jalan Muhammad bin Musa dari Said Al-Maqbari dari Abu Hurairah. Dan sanadnya SHAHIH].

Barangsiapa yang tidak menemukan korma, hendaknya bersungguh-sungguh untuk bersahur walau hanya dengan meneguk satu teguk air, karena keutamaan yang disebutkan tadi, dan karena sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (yang artinya) : “Makan sahurlah kalian walau dengan seteguk air” [Telah lewat Takhrijnya]

3. Mengakhirkan Sahur
Disunnahkan mengakhirkan sahur sesaat sebelum fajar, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Zaid bin Tsabit Radhiyallahu ‘anhu melakukan sahur, ketika selesai makan sahur Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit untuk shalat subuh, dan jarak (selang waktu) antara sahur dan masuknya shalat kira-kira lamanya seseorang membaca lima puluh ayat di Kitabullah.

Anas Radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan dari Zaid bin Tsabit Radhiyallahu ‘anhu.
“Kami makan sahur bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian beliau shalat” Aku tanyakan (kata Anas), “Berapa lama jarak antara adzan dan sahur?” Zaid menjawab, “Kira-kira 50 ayat membaca Al-Qur’an” [Hadits Riwayat Bukhari 4/118, Muslim 1097, Al-Hafidz berkata dalam Al-Fath 4/238 : "Di antara kebiasaan Arab mengukur waktu dengan amalan mereka, (misal) : kira-kira selama memeras kambing. Fawaqa naqah (waktu antara dua perasan), selama menyembelih onta. Sehingga Zaid pun memakai ukuran lamanya baca mushaf sebagai isyarat dari beliau Radhiyallahu 'anhu bahwa waktu itu adalah waktu ibadah dan amalan mereka membaca dan mentadhabur Al-Qur'an". Sekian dengan sedikit perubahan]

Ketahuilah wahai hamba Allah -mudah-mudahan Allah membimbingmu- kalian diperbolehkan makan, minum, jima’ selama (dalam keadaan) ragu fajar telah terbit atau belum, dan Allah serta Rasul-Nya telah menerangkan batasan-batasannya sehingga menjadi jelas, karena Allah Jalla Sya’nuhu mema’afkan kesalahan, kelupaan serta membolehkan makan, minum dan jima, selama belum ada kejelasan, sedangkan orang yang masih ragu (dan) belum mendapat penjelasan. Sesunguhnya kejelasan adalah satu keyakinan yang tidak ada keraguan lagi. Jelaslah.

4. Hukumnya
Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya - dengan perintah yang sangat ditekankan-. Beliau bersabda (yang artinya) : “Barangsiapa yang mau berpuasa hendaklah sahur dengan sesuatu” [Ibnu Abi Syaibah 3/8, Ahmad 3/367, Abu Ya'la 3/438, Al-Bazzar 1/465 dari jalan Syuraik dari Abdullah bin Muhammad bin Uqail dari Jabir.]

Dan beliau bersabda (yang artinya) : “Makan sahurlah kalian karena dalam sahur ada barakah” [Hadits Riwayat Bukhari 4/120, Muslim 1095 dari Anas].

Kemudian beliau menjelaskan tingginya nilai sahur bagi umatnya, beliau bersabda (yang artinya) : “Pembeda antara puasa kami dan Ahlul Kitab adalah makan sahur” [Telah lewat Takhrijnya]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang meninggalkannya, beliau bersabda (yang artinya) : “Sahur adalah makanan yang barakah, janganlah kalian tinggalkan walaupun hanya meminum seteguk air karena Allah dan Malaikat-Nya memberi sahalawat kepada orang-orang yang sahur” [Hadits Riwayat Ibnu Abi Syaibah 2/8, Ahmad 3/12, 3/44 dari tiga jalan dari Abu Said Al-Khudri. Sebagaimana menguatkan yang lain]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Sahurlah kalian walaupun dengan seteguk air” [Hadits Riwayat Abu Ya'la 3340 dari Anas, ada kelemahan, didukung oleh hadits Abdullah bin Amr di Ibnu Hibban no.884 padanya ada 'an-anah Qatadah. Hadits Hasan].

Saya katakan : Kami berpendapat perintah Nabi ini sangat ditekankan anjurannya, hal ini terlihat dari tiga sisi.
1. Perintahnya.
2. Sahur adalah syiarnya puasa seorang muslim, dan pemisah antara puasa kita dan puasa Ahlul Kitab
3. Larangan meninggalkan sahur.
Inilah qarinah yang kuat dan dalil yang jelas.

Walaupun demikian, Al-Hafidz Ibnu Hajar menukilkan dalam kitabnya Fathul Bari 4/139 : Ijma atas sunnahnya. Wallahu ‘alam.

Judul Asli : Shifat shaum an Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia Sifat Puasa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H.

Ramadhan yang Ku Rindukan

Romadhon sudah diambang pintu. Semua lapisan masyarakat muslim menyambut datangnya bulan penuh berkah ini dengan segala kegembiraan, dan suka cita. Wajah-wajah mereka ceria karena kerinduan yang mendalam ingin bertemu dengan “Bulan Romadhon” ; ingin mengisi hari-hari berkah ini dengan amal sholeh, baik itu berupa sholat tarawih, membaca Al-Qur’an, bershodaqoh, berdzikir, membantu kaum muslimin, memberi makan para fakir-miskin, menyiapkan buka puasa, dan sebagainya.

Para pembaca yang budiman, agar Romadhon semakin indah dan bernilai di sanubari kita, alangkah baiknya jika kita mengetahui dan mengkaji bersama diantara fadhilah dan keutamaan bulan suci nan berkah ‘Romadhon’. Keutamaan dan fadhilah Romadhon telah dibeberkan oleh Allah dan Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- dalam Al-Qur’an dan Sunnah sebagai berikut:

Bulan Al-Qur’an
Satu perkara yang sulit dilupakan oleh kaum muslimin bahwa Al-Qur’an turun di bulan Romadhon, tepatnya malam Lailatul Qodar. Allah menurunkan Al-Qur’an di bulan suci ini karena keutamaan yang tinggi baginya, dan hikmah. Allah -Ta’ala- berfirman,

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Romadhon, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia, dan penjelasan mengenai petunjuk itu, serta pembeda (antara yang haq dengan yang batil)”. (QS. : Al-Baqoroh: 185 )

Al-Hafizh Ibnu Katsir Ad-Dimasyqiy-rahimahullah- berkata, “Allah -Ta’ala- memuji Bulan Puasa (Romadhon) diantara bulan-bulan lainnya dengan memilih Romadhon diantara bulan-bulan itu untuk diturunkan Al-Qur’an yang agung (di dalamnya); sebagaimana halnya Dia mengkhususkan Romadhon dengan hal itu, maka sungguh ada sebuah hadits datang (menyebutkan) bahwa Romadhon adalah bulan yang diturunkan di dalamnya Kitab-Kitab Allah kepada para nabi “. [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (1/292)]

Sebagai penguat bagi ucapan Ibnu Katsir -rahimahullah- , Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda ,

“Shuhuf Ibrahim diturunkan di malam pertama Romadhon; Taurat diturunkan pada 7 Ramadhan; Injil diturunkan pada 14 Ramadhan; Zabur diturunkan pada tanggal 19 Ramadhan; Al-Qur’an diturunkan pada 25 Ramadhan”. [HR. Ahmad dalam Al-Musnad (4/107), Abdul Ghoniy Al-Maqdisiy dalam Fadho’il Romadhon (53/1), dan Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq (2/167/1). Di-hasan-kan oleh Al-Albaniy dalam Shohih As-Siroh (hal.90)]

Faedah : Hadits ini merupakan bantahan -dari segi sejarah- atas orang yang meyakini bahwa Nuzulul Qur’an pada tanggal 17 Romadhon !!! Adapun bid’ahnya Nuzulul Qur’an, maka akan datang pembahasannya, Insya Allah!

Bulan Pengampunan Dosa
Setiap mukmin amat mengharapkan ampunan dosa dari Allah, karena ia tahu bahwa hisab di hari akhir amat dahsyat. Dengan kehadiran Romadhon, kesempatan besar untuk bertaubat, dan mendapatkan ampunan sangat lebar. Amat celakalah seorang yang memasuki Romadhon, tapi ia enggan bertaubat dan beramal sholeh yang akan menjadi sebab dosanya diampuni.

Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu- berkata,

“Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- naik ke atas mimbar seraya bersabda, “Amiin…amiin…amiin”. Beliau ditanya, “Wahai Rasulullah, engkau tidak pernah melakukan seperti ini”. Belaiu menjawab, “Jibril -alaihis salam- berkata kepadaku, “Semoga kecelakaan bagi seorang hamba yang didatangi oleh bulan Romadhon, namun tidak diberi ampunan”, maka saya pun berkata, “Amiin”. [HR. Ibnu Khuzaimah dalam Shohih-nya (3/192), Ahmad dalam Al-Musnad (2/246 & 254), dan Al-Baihaqiy dalam As-Sunan (4/204). Di-shohih-kan oleh Al-Albaniy dalam Shohih Al-Adab Al-Mufrod (646)]

Jadi, seorang yang mau diampuni dosanya, harus menutupi dosanya dengan amal sholeh di bulan suci ini, seperti membaca Al-Qur’an, mendengarkan ceramah, puasa, dan sholat tarawih; bukan berhura-hura, dan menghabiskan waktu dalam perkara sia-sia, apalagi haram, seperti bermain kartu di bulan Romadhon, ludo, ular tangga, berdusta, berbicara tabu, berzina, dan lainnya.

Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

“Barangsiapa yang berpuasa di bulan Romadhon karena beriman dan mengharapkan pahala, niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang lalu” . [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (1802), dan Muslim dalam Shohih-nya (175)

Al-Hafizh Ibnu Rajab Al-Hanbaliy-rahimahullah- berkata, "Jika bulan Romadhon telah sempurna, maka sungguh puasa, dan sholat malam telah lengkap bagi orang beriman. Maka terjadilah baginya pengampunan dosanya yang lampau dengan sempurnanya dua sebab tersebut, yaitu puasa, dan sholat malamnya". [Lihat Latho’if Al-Ma’arif (hal.232)]

Bulan Pengabulan Do’a & Pembebasan dari Siksa Neraka
Seseorang terkadang susah menemukan kondisi yang mustajab sehingga doanya dikabulkan oleh Allah. Namun Allah sebagai Pemberi Nikmat bagi para hamba-Nya yang beriman telah menyiapkan waktu mustajab untuk berdo’a.

Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

“Sesungguhnya Allah pada setiap hari dan malam di bulan Romadhon memiliki hamba-hamba yang dibebaskan dari neraka; sesungguhnya setiap muslim memiliki do’a yang ia berdo’a dengannya,lantaran itu do’anya dikabulkan”. [HR. Al-Bazzar dalam Al-Musnad (3142), dan Ahmad dalam Al-Musnad (2/254). Syaikh Ali bin Hasan Al-Atsariy men-shohih-kan hadits ini dalam Shifah Ash-Shoum (hal.24)]

Wahai Pembaca Budiman, manfaatkanlah kesempatan ini dalam memperbanyak do’a, mengadu, dan bermunajat kepada Allah Robbul Alamin di sepanjang bulan Romadhon. Semoga setitik air mata penyesalan, dan takut akan menyelamatkan dirimu dari siksa neraka sebagaimana yang dijanjikan oleh Nabimu -Shollallahu ‘alaihi wasallam- dalam hadits ini.

Setan-setan dan Jin Durhaka Dikerangkeng; Pintu Surga Dibuka, dan Pintu Neraka Ditutup
Saking mulia dan sucinya bulan Romadhon, Allah mengikat para setan, dan jin yang durhaka; pintu-pintu surga dibuka, dan neraka ditutup.

Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

“Jika malam pertama Romadhon datang, maka setan-setan, dan jin-jin durhaka dibelenggu; pintu-pintu neraka ditutup. Maka tak ada satu pintu(nya) pun yang terbuka; pintu-pintu surga dibuka. Maka tak ada suatu pintu pun yang ditutup; Seorang pemanggil memanggil,”Wahai pencari kebaikan, menghadaplah; wahai pencari kejelekan, berhentilah”. Allah memiliki hamba-hamba yang dimerdekakan dari neraka. Demikian itu pada setiap malam”. [HR. At-Tirmidziy dalam Sunan-nya (682), dan Ibnu Majah dalam Sunan-nya (1642). Hadits ini di-shohih-kan oleh Al-Albaniy dalam Takhrij Al-Misykah (1960)

Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr Al-Andalusiy-rahimahullah- berkata dalam At-Tamhid (7/310), “Makna hadits ini menurut saya –Cuma Allah yang lebih tahu-: Allah melindungi di dalamnya kaum muslimin, atau dominannya dari maksiat-maksiat. Jadi, setan tidak akan bebas datang kepada mereka sebagaimana mereka bebas datang di sepanjang tahun”.

Ingat !! Namun kalian jangan menyangka bahwa setan ketika itu tak akan menggoda dirimu. Ketahuilah, ia akan tetap menggodamu, walaupun tidak segencar di bulan lain. Isilah hari-harimu dengan ketaatan, jangan mendekati jalan-jalan kemaksiatan sehingga engkau akan selamat darinya. Didiklah dirimu di bulan ini menjadi hamba yang taat, bukan hamba yang durhaka. Jika tidak, maka engkau akan menjadi bahan bakar Jahannam. Na’udzu billah minannar.

Di dalam Romadhon Terdapat Lailatul Qodar
Diantara keistimewaan umat Islam dibandingkan umat-umat terdahulu, “sedikit amal, banyak pahala”. Dahulu mereka melaksanakan sholat dan puasa dengan aturan yang berat, tapi pahala sedikit. Adapun umat Islam, diberikan fasilitas waktu, dan tempat untuk melipatgandakan amalan ringan, seperti dalam surat ini:

Allah -Ta’ala- berfirman,

“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam kemuliaan (Lailatul Qodar). Dan tahukan kamu apa malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dibandingkan seribu bulan. Pada malam itu, para malaikat, dan Jibril turun dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu penuh kesejahteraan sampai terbit fajar”. (QS. Al-Qodr: 1-5)

Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

“Allah memiliki di bulan Romadhon suatu malam yang lebih baik dibandingkan 1000 bulan. Barang siapa yang dihalangi (dari kebaikannya), maka ia akan dihalangi (dari kebaikan)”. [HR. An-Nasa’iy dalam Al-Mujtaba (2106), dan Ahmad dalam Al-Musnad (7148). Hadits ini di-shohih-kan oleh Al-Albaniy dalam Shohih At-Targhib (999)]

Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

“Barang siapa yang b angun (sholat malam) karena beriman dan mengharapkan pahala, niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang lalu” . [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (1802), dan Muslim dalam Shohih-nya (175)]

Umrah Romadhon Menyamai Haji bersama Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-
Keutamaan umrah seperti ini banyak dilalaikan dan tidak diketahui oleh mayoritas kaum muslimin. Padahal Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

“Sesungguhnya umroh di bulan Romadhon menyamai haji bersamaku”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (1764), Muslim dalam Shohih-nya (1256) Abu Dawud dalam As-Sunan (1988) At-Tirmidziy dalam As-Sunan (939), Ibnu Majah dalam As-Sunan (2991). Lihat Shohih Al-Jami’ (7547) karya Al-Albaniy]

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolaniy-rahimahullah- berkata,”Ibnul Arabiy berkata, “Hadits tentang umrah ini adalah hadits shohih. Itu merupakan keutamaan dan nikmat dari Allah. Umrah dapat mencapai derajat haji karena bersatunya Romadhon dengan umrah”. Ibnul Jauziy berkata, “Dalam hadits ini terdapat keterangan bahwa pahala amal bertambah karena kelebihan mulianya waktu sebagaimana ia bertambah dengan kehadiran hati (khusyu’), dan kesucian niat”. [Lihat Fathul Bari (3/604)]

Sumber : Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 32 Tahun I. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Muhammad Mulyadi. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp)

http://almakassari.com/?p=173

Memakai Cincin Tunangan

Memakai emas, baik cincin atau jenis lainnya, tidak diperbolehkan bagi lelaki dalam bagaimanapun juga, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang penggunaan emas bagi kaum lelaki dari umat ini. Beliau pernah melihat seorang lelaki memakai cincin emas di jarinya, beliau langsung mencopotnya dan bersabda.

“Artinya : Salah seorang di antara kalian telah mengambil sebongkah bara dari Neraka dan menaruhnya di tanganya“.

Maka diharamkan bagi lelaki untuk memakai emas. Sedangkan cincin yang terbuat dari selain emas, seperti dari perak dan logam lainnya, maka diperbolehkan memakainya, meski terbuat dari logam yang sangat mahal.

Sedangkan cincin tunangan, bukanlah merupakan kebiasaan kaum muslimin. Bila meyakini bahwa cincin tunangan bisa memperkuat rasa sayang antara kedua suami istri, dan mencopotnya akan berpengaruh terhadap hubungan keluarga, ini merupakan syirik, dan termasuk keyakinan jahiliyah. Oleh karenanya tidak diperbolehkan memakai cincin perkawinan dengan sebab-sebab.

Pertama.
Mengikuti sesuatu yang tidak ada kebaikannya sama sekali. Cincin pertunangan bukan merupakan adat kaum muslimin.

Kedua.
Jika dibarengi dengan keyakinan bahwasanya cincin pertunangan bisa berpengaruh terhadap hubungan suami istri, maka sudah termasuk syirik. Tiada daya dan kekuatan hanya dari Allah.

[Kitab Al-Muntaqa Min Fatawa Syaikh Al-Fauzan]

Sumber: http://abfaza.wordpress.com/2007/08/06/memakai-cincin-tunangan/

Tuesday, September 11, 2007

Ikhtilat (Wabah yang Mengerikan)

IKHTILATH

1 Pengertian Ikhtilath

Ikhtilath menurut bahasa adalah bercampurnya sesuatu dengan sesuatu. (Lihat Lisanul ‘Arab 9/161-162).
Adapun menurut istilah adalah bercampur baur antara laki-laki dan perempuan yang tidak ada hubungan mahram pada suatu tempat. (Lihat Al-Mufashal fii Ahkaamil Mar’ah: 3/421).

2 Hukum Ikhtilath

Ikhtilath hukumnya adalah haram secara mutlak, adapun dalil-dalilnya adalah:
- Firman Allah Azza wa Jalla- dalam Surat Al-Ahzab: 53 :

Allah Azza wa Jalla- berfirman: “Dan apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari balik tabir. Cara demikian itu lebih baik bagi hatimu dan hati mereka.” (Al-Ahzab: 53).

Ayat ini walaupun diturunkan kepada isteri-isteri Nabi shallallahu alaihi wa sallam- namun mencakup pula untuk semua umat Islam, karena telah tetap dalam qaidah
Syar’iyyah: “Letak pelajaran adalah pada keumuman lafazh bukan pada kekhususan sebab.”

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah- berkata: “Jika turun ayat dengan sebab yang khusus dan lafazhnya umum, maka hukum yang mencakup sebab turunnya ayat tersebut dan mencakup pula semua perkara yang tercakup dalam makna lafazhnya. Karena Al-Quràn turun dengan syari’at yang umum mencakup semua umat, sehingga letak pelajaran adalah pada keumuman lafazh bukan pada kekhusuan sebab.”(Ushul fit Tafsir, hal. 13).

Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah- juga menyatakan: “Ayat yang mulia ini merupakan nash yang jelas tentang wajibnya wanita berhijab dan menutup diri lelaki. Allah -Subhanahu wa Ta`ala- menjelaskan dalam ayat ini bahwa berhijab itu lebih suci bagi hati kaum lelaki dan wanita dan lebih menjauhkan dari perbuatan keji dan sebab-sebabnya. Allah mengisyaratkan bahwa tidak berhijab merupakan kekotoran dan kenajisan sedang berhijab merupakan kesucian dan keselamatan.” (At-Tabarruj wa Khatharuhu, hal. 8).

Asy-Syaikh DR. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan -hafizhahullah- berkata: “Sekalipun lafadz ayat ini ditujukan kepada para isteri-isteri Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- namun hukumnya umum untuk seluruh wanita yang beriman, karena perintah berhijab itu ditetapkan dengan alasan yang dinyatakan Allah ta`ala dengan firman-Nya: “Yang demikian itu lebih suci bagi hati-hati kalian dan hati-hati mereka.” Alasan seperti ini jelas
berlaku umum, maka keumuman alasannya menunjukkan keumuman hukumnya.” (Al-Mukminat, hal. 64)

Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baz –rahimahullah- berkata: “Hukum yang disebutkan dalam ayat ini berlaku umum untuk istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan selain mereka dari kalangan wanita-wanita kaum mukminin” (Hukmus Sufur wal Hijab, hal. 58).

Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baz –rahimahullah- berkata: “Maka tidak dibenarkan seseorang mengatakan bahwa lebih bersih dan lebih suci bagi para shahabat dan istri-istri Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, sedangkan bagi generasi-generasi setelahnya tidaklah demikian. Tidak diragukan lagi bahwa generasi-generasi setelah shahabat justru lebih butuh terhadap hijab dibandingkan para shahabat, karena perbedaan yang sangat jauh antara mereka dalam hal kekuatan iman dan ilmu. Juga karena persaksian Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- terhadap para shahabat, baik lelaki maupun wanita, termasuk istri-istri Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- sendiri bahwa mereka adalah generasi terbaik setelah para nabi dan rasul, sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim. Demikian pula, dalil-dalil Al-Qur`an dan As-Sunnah menunjukkan berlakunya suatu hukum secara umum meliputi seluruh umat dan tidak boleh mengkhususkannya untuk pihak tertentu saja tanpa dalil.” (Lihat Fatawa An-Nazhar, hal. 11-10)

Anas bin Malik -radliallahu ‘anhu- bercerita tentang awal mula turunnya perintah hijab ini: “Aku berusia sepuluh tahun tatkala Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- hijrah ke Madinah. Maka mulailah aku melayani beliau sampai waktu sepuluh tahun dari akhir kehidupan beliau. Aku adalah orang yang paling tahu saat diturunkannya perintah hijab, bertepatan dengan pernikahan Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- dengan Zainab bintu Jahsyin. Pagi hari setelah malam pengantin, Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- mengadakan walimah dengan menyajikan roti dan gandum. Aku pun diutus untuk mengundang para shahabatnya. Datanglah undangan sekelompok demi sekelompok, mereka menyantap hidangan kemudian keluar, demikian seterusnya. Aku memanggil semua shahabat beliau hingga tidak tersisa seorang pun kecuali telah menyantap hidangan. Aku katakan kepada beliau, “Wahai Nabi Allah, aku tidak mendapatkan lagi orang yang bisa aku panggil untuk menyantap hidangan walimah ini.” Beliau -shallallahu ‘alaihi wasallam- berkata, “Bila demikian, angkatlah makanan kalian.” Di antara para undangan ada tiga orang yang belum beranjak dari tempat tinggal Nabi
-shallallahu ‘alaihi wasallam-, mereka asyik berbincang-bincang, hingga tinggal lama di tempat beliau.
Beliau pun bangkit dan keluar. Aku ikut keluar bersama beliau agar orang-orang yang masih tinggal tersebut merasa dan berpikir untuk keluar. Rasulullah -shallallahu ‘alaihi
wasallam- berjalan, aku pun turut berjalan, hingga beliau sampai di ambang pintu rumah ‘Aisyah -radhiallhu ‘anha-.
Lalu berkata: “Assalamu`alaikum wa rahmatullahi wahai
ahlul bait.” ‘Aisyah menjawab: “Wa`alaikassalam wa rahmatullah, bagaimana engkau dapatkan istrimu yang sekarang, semoga Allah memberkahimu.” Setelah itu beliau mendatangi rumah istri-istri beliau seluruhnya dan mengatakan sebagaimana perkataan beliau kepada ‘Aisyah dan mereka pun mengucapkan kepada beliau semisal dengan ucapan ‘Aisyah . Beliau menyangka tiga orang yang berada di rumah beliau telah pergi, beliau pun kembali dan aku ikut menyertai sampai beliau masuk menemui Zainab. Ternyata mereka masih tetap duduk berkumpul di tempat tersebut belum beranjak pergi. Sementara Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- adalah orang yang sangat pemalu . Beliau -shallallahu ‘alaihi wasallam- keluar lagi dan aku tetap menyertai, hingga sampai di ambang pintu rumah ‘Aisyah.
Lalu ketika beliau memastikan mereka telah pergi, beliaupun kembali dan aku ikut bersama beliau. Ketika kaki beliau menjejak ambang pintu, beliau pun menutupkan tirai antara aku dan beliau.” (HR. Al-Bukhari no. 4793, 5166 dan Muslim no. 1428).

- Firman Allah Azza wa Jalla- dalam Surat An-Nuur: 30-31

Allah Azza wa Jalla- berfirman: “Katakanlah kepada wanita-wanita mukminah: Hendaklah mereka menundukkan pandangan mata mereka dan menjaga kemaluan mereka serta jangan menampakkan perhiasan mereka kecuali apa yang biasa tampak darinya. Hendaklah pula mereka menutupkan kerudung mereka di atas leher-leher mereka dan jangan mereka tampakkan perhiasan mereka kecuali di hadapan suami-suami
mereka, atau ayah-ayah mereka, atau ayah-ayah suami mereka (ayah mertua), atau di hadapan putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau di hadapan saudara
laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka (keponakan laki-laki), atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau di hadapan wanita-wanita mereka, atau budak yang mereka miliki, atau laki-laki yang tidak punya syahwat terhadap wanita, atau anak laki-laki yang masih kecil yang belum mengerti aurat wanita. Dan jangan pula mereka menghentakkan kaki-kaki mereka ketika berjalan di hadapan laki-laki yang bukan mahram agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan dan hendaklah kalian semua bertaubat kepada Allah, wahai kaum mukminin, semoga kalian beruntung.” (An-Nuur: 30-31).

Al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Allah menyatakan: ‘Jangan menampakkan perhiasan mereka kecuali apa yang biasa tampak darinya (tidak mungkin ditutupi)’,
yakni para wanita tidak boleh menampakkan sesuatu dari perhiasannya kepada lelaki yang bukan mahram kecuali perhiasan yang tidak mungkin disembunyikan, seperti rida dan tsiyab yang dikatakan Ibnu Mas’ud.” (Tafsir Al-Qur’anil ‘Azhim: 3/294).

Allah Subhanahu wa Ta’ala- dalam ayat di atas memerintahkan kaum wanita agar tidak memperlihatkan perhiasan mereka kecuali di hadapan beberapa orang yang disebutkan dalam ayat. Semua ini dalam rangka berhati-hati dari fitnah. Kemudian Allah mengecualikan perhiasan yang boleh ditampakkan yaitu perhiasan luar yang biasa nampak dan tidak mungkin ditutupi. Karena memang perhiasan wanita itu ada yang dzahir (perhiasan luar) dan ada yang batin (perhiasan dalam). Perhiasan dzahir boleh dilihat oleh semua orang baik dari kalangan mahram maupun yang bukan mahram, adapun yang batin maka tidak halal ditampakkan kecuali di hadapan orang-orang yang Allah sebutkan dalam ayat di atas. (Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an: 12/152).

Allah Azza wa Jalla- berfirman: “Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menundukkan pandangannya.” (An-Nuur: 30)
Al-Imam Al-Qurthuby rahimahullah- berkata: “Allah Azza wa Jalla- memulai dengan perintah menundukkan pandangan sebelum perintah menjaga kemaluan karena pandangan adalah pancaran hati. Dan Allah memerintahkan wanita-wanita mukminah untuk menundukkan pandangannya dari hal-hal yang tidak halal. Oleh karena itu tidak halal bagi wanita-wanita mukminah untuk memandang laki-laki yang bukan mahramnya.” (Tafsir Al-Qurtuby: 2/227).

Al-Hafidz Ibnu Kats?r rahimahullah- berkata:
“Mayoritas úlama menjadikan ayat ini sebagai dalil tentang haramnya wanita memandang laki-laki selain mahramnya apakah dengan syahwat atau tanpa syahwat.”
(Tafsir Al-Qur’an Al ‘Adzim: 3/35).

Al-Imam Asy-Syaukany rahimahullah- berkata: “Ayat ini menunjukkan haramnya bagi wanita memandang kepada selain mahramnya.” (Tafsir Fathul Qadir: 4/32).

Al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah- berkata:
“Mayoritas ulama menyatakan haram bagi wanita memandang kepada selain mahramnya baik dengan syahwat atau pun tanpa syahwat dan sebagian lagi dari mereka mengatakan bahwa haram bagi wanita memandang dengan syahwat, adapun jika tanpa syahwat maka boleh.” (Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adzim: 3/354).

Al-Imam An-Nawawi –rahimahullah- telah menukil kesepakan ulama tentang haramnya memandang kepada selain mahram dengan syahwat.” (Syarh Shahih Muslim: 6/262).
Al-Imam An-Nawawi –rahimahullah- berkata: “Ada dua pendapat dalam masalah hukum wanita memandang tanpa dengan syahwat dan pendapat yang kuat dalam masalah ini adalah haram, dengan dasar dalil pada surat An-Nuur ayat 31 dan dalil yang paling kuat dalam masalah ini adalah hadits Ummu Salamah. Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha- berkata:
“Aku pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan Maimunah ada di sisinya, maka datanglah Ibnu Ummi Maktum dan pada saat itu kami telah diperintah untuk berhijab, maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam- bersabda: “Berhijablah kalian darinya!” maka kami berkata: “Bukankah Ibnu Ummi Maktum adalah orang yang
buta? Maka Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Apakah kalian berdua buta?” Bukankah kalian dapat melihatnya?” (HR. Abu Dawud no. 4112, At-Tirmidzi no. 2778, An-Nasaì dalam Al-Kubra no. 9241, Ahmad 6/296 dan Al-Baihaqi: 7/91.
Al-Imam An-Nawawi menghasankan hadits ini. Dan Asy-Syaikh Muhammad Nashirudd?n Al-Albani mendho’ifkan hadits ini di dalam kitabnya Al-Irwa’ no. 1806, karena di dalam sanadnya ada seorang rawi yang majhul yang bernama Nabhan maula Ummu Salamah).

Adapun dalil orang-orang yang membolehkan wanita memandang kepada selain mahram dengan tanpa syahwat adalah hadits Àisyah –radhiyallahu ‘anha- ia berkata: “Aku melihat Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- di pintu kamarku dan orang-orang Habasya bermain dalam masjid Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, beliau menghijabiku dengan rida’nya supaya aku dapat melihat permainan mereka.” Al-Imam An-Nawawi –rahimahullah- berkata: “Adapun hadits yang menceritakan tentang Àisyah
–radhiyallahu ‘anha- melihat orang-orang Habasyah bermain dalam masjid ada beberapa kemungkinan, diantaranya pada saat itu Àisyah –radhiyallahu ‘anha- masih belum baliqh.” (Syarh Shahih Muslim: 6/262).

Al-Hafidz Ibnu Hajar ¬–rahimahullah- berkata: “Dalam hadits Àisyah –radhiyallahu ‘anha- tersebut kemungkinannya pada saat itu Àisyah –radhiyallahu ‘anha- hanya melihat
permainan mereka bukan melihat wajah dan badannya mereka dan apabila Àisyah –radhiyallahu ‘anha- sampai melihat mereka maka hal itu terjadi secara tiba-tiba dan tentunya Àisyah –radhiyallahu ‘anha- akan memalingkan pandangannya
setelah itu.” (Al-Fath: 2/5).

Adapun jika pandangan itu tiba-tiba kemudian memalingkan pandangan dan tanpa maksud tertentu maka tidak apa-apa, sebagaimana hadits Jarir bin Abdillah, beliau berkata: “Aku bertanya kepada Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- tentang memandang secara tiba-tiba, maka memberi perintah: “Palingkan pandanganmu!” (HR. Muslim)
Al-Imam An-Nawawi –rahimahullah- berkata: “Pandangan kepada selain mahram secara tiba-tiba tanpa maksud tertentu pada pandangan pertama maka tidak ada dosa.
Adapun selain itu, apabila meneruskan pandangannya maka hal itu sudah terhitung sebagai dosa.” (Syarh Shahih Muslim: 4/197).

Al-Imam Muhammad Amin Asy-Syinqithy berkata: “Surat An-Nuur ayat 31 ini menjelaskan kepada kita bahwa yang menjadikan mata itu berdosa karena memandang hal-hal yang dilarang, hal ini berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla-: “Dia mengetahui khianatnya pandangan dan apa yang disembunyikan oleh hati.”(Ghafir: 19).

Asy-Syaikh Salim Ied Al-Hilaly berkata: “Hadits ini menjelaskan bahwa tidak ada dosa pandangan kepada selain mahram secara tiba-tiba (tidak sengaja) akan tetapi wajib untuk memalingkan pandangan berikutnya, karena hal itu sudah termasuk dosa.” (Lihat Bahjatun Nadzirin: 3/145-146).

- Firman Allah Azza wa Jalla- dalam Surat Al-Ahzab: 33

Allah Azza wa Jalla- berfirman: “Dan hendaklah kamu tetap dirumahmu.” (Al-Ahzab: 33).

Al-Imam Al-Qurtuby rahimahullah- berkata: “Makna ayat ini adalah perintah untuk tetap diam dan tinggal dirumah, walaupun yang diperintah dalam ayat ini adalah isteri-isteri Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- namun maknanya masuk juga isteri-isteri selain Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-.” (Tafsir Al-Qurtuby: 4/179).

- Firman Allah Azza wa Jalla- dalam Surat Al-Isra’: 32

Allah Azza wa Jalla- berfirman: “Dan janganlah kamu mendekati zina!” (Al-Isra’: 32).

Al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah- berkata: “Bahwa Allah Azza wa Jalla- mengharamkan zina, begitu pula pendahuluan-pendahuluan yang mengantar kepada perbuatan zina serta sebab-sebabnya secara keseluruhan seperti melihat, ikhtilath, berkhalawat, tabarruj dan selainnya.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adzim: 3/39).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
“Sesungguhnya Allah –‘azza wa jalla- telah menetapkan bagi setiap bani Adam bagiannya dari zina, ia mengalami hal tersebut secara pasti. Kedua mata zinanya adalah memandang, kedua telinga zinanya adalah mendengar, lisan zinanya adalah berbicara, tangan zinanya adalah memegang dan kaki zinanya adalah berjalan dan hati berhasrat dan
berangan-angan dan kemaluan yang membenarkan semua itu atau mendustakannya.” (HR. Bukhari no. 6243 dalam Fathul Bariy hal. 30).

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah- berkata: “Makna hadits di atas adalah anak Adam itu ditetapkan bagiannya dari zina, maka di antara mereka ada yang melakukan zina secara hakiki yaitu dengan memasukkan kemaluannya ke dalam kemaluan yang haram (baginya). Dan di antara mereka ada yang zinanya majazi yaitu dengan memandang yang haram, mendengar perbuatan zina dan hal-hal yang mengantarkan kepada zina, atau dengan sentuhan tangan dimana tangannya meraba perempuan yang bukan mahramnya atau menciumnya, atau kakinya melangkah untuk menuju ketempat berzina, atau untuk melihat zina atau untuk menyentuh wanita yang bukan mahram atau untuk melakukan pembicaraan yang haram dengan wanita yang bukan mahram dan yang semisalnya, atau ia memikirkan dalam hatinya. Maka semuanya ini termasuk zina yang majazi. Sementara kemaluannya membenarkan semua itu atau mendustakannya, terkadang ia merealisasikan zina tersebut dengan kemaluannya dan terkadang ia tidak merealisasikannya dengan tidak memasukkan dalam kemaluan yang haram sekalipun dekat dengannya.” (Syarh Shahih Muslim: 16/206).

Al-Hafidz Ibnu Hajar –rahimahullah- berkata: “Sesungguhnya zina tidak khusus pengitlakkan hanya pada kemaluan, bahkan dia termasuk pengitlakkan atas apa-apa yang selain dari kemaluan baik mata atau yang selainnya.” (Fathul Bariy, hal. 30)
Ibnu Baththal rahimahullah- berkata: “Mata, mulut dan hati dinyatakan berzina karena semuanya itu mengajak kepada zina yang hakiki (dan kemaluan yang membenarkan atau mendustakannya).” (Fathul Bariy, hal. 31).

Al-Imam Ibnu Qayyim rahimahullah- berkata: “Pandangan mata adalah asal dari seluruh bencana yang menimpa manusia. Dari pandangan akan melahirkan lintasan di hati. Lintasan di hati akan melahirkan pikiran, sehingga timbul syahwat. Dan dari syahwat lahir keinginan yang kuat yang akan menjadi kemantapan yang kokoh, dari sini pasti akan terjadi perbuatan di mana tidak ada seorang pun yang dapat mencegah dan menahannya. Karena itulah bersabar menahan pandangan itu lebih mudah dari pada bersabar menanggung kepedihan setelahnya.”

Seorang penyair berkata:
Setiap kejadian berawal dari pandangan
dan api yang besar itu berasal dari
percikan bunga api yang dianggap kecil
Berapa banyak pandangan mata itu
mencapai kehati pemiliknya
seperti busur dan tali busurnya
Selama seseorang hamba membolak-balikkan
pandangannya menatap manusia,
dia berdiri di atas bahaya
pandangan adalah kesenangan yang membinasakan,
hunjaman yang memudharatkan.”
(Ad-Da’u wad Dawa’, hal. 234).

3 Adakah Ibadah Dilaksankan dengan Berikhtilath?

-Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Jangan kalian melarang hamba-hamba Allah yang perempuan (untuk menghadiri) masjid-masjid Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah- berkata: “Hadits ini menunjukkan bolehnya perempuan untuk ke masjid menghadairi shalat berjama’ah, jika apabila memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh syari’at. Diantaranya tidak keluar dengan menggunakan wangi-wangian, tidak berpakaian menyolok dan tidak berikhtilat.” (Syarh Shahih Muslim: 2/83).

- Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam- bersabda: “Sebaik-baik shaf laki-laki adalah yang paling depan dan yang sejelek-jelek shaf laki-laki adalah yang paling belakang dan sebaik-baik shaf perempuan adalah yang paling belakang dan sejelek-jelek shaf perempuan adalah yang paling depan.” (HR. Muslim: 1/326 no. 440, dari Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu-).

Al-Imam An-Nawawi berkata: “Adapun shaf laki-laki umumnya yang paling baik selama-lamanya adalah shaf yang pertama, yang paling jelek selama-lamanya adalah shaf yang terakhir. Adapun shaf perempuan yang paling baik adalah yang paling belakang. Hal ini dikarenakan agar keadaan shaf perempuan dan laki-laki saling menjauh sehingga tidak terjadi ikhtilath dan saling memandang satu sama lainnya.”
(Lihat Syarh Shahih Muslim dan As-Sirajul Munir fi Ahkamis Shalati wal Imami wal
Ma’mumin, hal. 231-232).

Al-Imam Ash-Shan’any rahimahullah- berkata: “Dalam hadits ini menjelaskan sebab disunnahkannya shaf perempuan berada di belakang shaf laki-laki supaya keadaan tempat perempuan dan laki-laki dalam shalat berjauhan, sehingga tidak terjadi ikhtilath diantara mereka.” (Lihat Subulus-Salam).

Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah- berkata: “Penyebab kebaikan shaf perempuan berada di belakang shaf laki-laki adalah karena supaya tidak terjadi ikhtilath diantara mereka.” (Nailul Authar: 3/189).

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin –rahimahullah- berkata: “Hal ini dikarenakan dekatnya shaf terdepan wanita dari shaf terakhir lelaki sehingga merupakan shaf terjelek, dan jauhnya shaf terakhir wanita dari shaf terdepan lelaki merupakan shaf yang terbaik. Apabila pada ibadah shalat yang disyariatkan secara berjamaah, maka bagaimana kiranya jika di luar ibadah? Kita mengetahui bersama, dalam keadaan dan suasana ibadah tentunya seseorang lebih jauh dari perkara-perkara yang berhubungan dengan syahwat. Maka bagaimana sekiranya ikhtilath itu terjadi di luar ibadah? Sedangkan setan bergerak dalam tubuh Bani Adam begitu cepatnya mengikuti peredaran darah. Bukankah sangat ditakutkan terjadinya fitnah dan kerusakan besar karenanya?” (Lihat Fatawa An-Nazhar wal Khalwah wal Ikhtilath, hal. 45).

-Ummul Mukminin Àisyah radhiyallahu ‘anha- berkata: “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam- shalat subuh pada saat masih gelap maka para perempuan kaum mukminin kembali dan mereka tidak dikenali karena masih gelap atau sebagian mereka tidak mengetahui sebagian yang lain.” (HR. Bukhari).

Hadits ini serupa dengan hadits Ummu Salamah, ia berkata: “Sesungguhnya para perempuan di zaman Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bila mereka salam dari
shalat wajib, maka mereka berdiri dan Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- serta orang-orang yang shalat bersama beliau dari kalangan laki-laki tetap di tempat mereka selama waktu yang diinginkan oleh Allah, bila Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- berdiri maka para lelaki berdiri pula.” (HR. Bukhari).

Al-Imam Asy-Syaukani –rahimahullah- berkata: “Dalam hadits ini terdapat penjelasan tentang dibencinya ikhtilath antara laki-laki dan perempuan dalam perjalanan dan hal ini lebih terlarang lagi ketika ikhtilath terjadi pada suatu tempat.” (Lihat Nailul Authar: 2/315).

Al-Imam Ibnu Qudamah –rahimahullah- berkata: “Jika dalam shalat berjama’ah terdapat laki-laki dan perempuan maka disunnahkan bagi laki-laki untuk tidak meninggalkan tempat sampai perempuan keluar meninggalkan jama’ah sebab kalau tidak, maka hal ini akan membawa pada ikhtilath.” (Al-Mughny: 2/560).

- Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu- berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam- berdiri pada Iedul Fitri untuk shalat, maka beliau memulai dengan shalat kemudian berkhutbah. Tatkala beliau selesai, beliau turun dan mendatangi para perempuan kemudian memberikan peringatan kepada mereka.” (HR. bukhari).

Al-Hafidz Ibnu Hajar –rahimahullah- berkata: “Perkataan: Kemudian beliau mendatangi para perempuan” Ini menunjukkan bahwa tempat perempuan terpisah dengan tempat laki-laki, tidak dalam keadaan ikhtilath.” (Lihat Fathul Bary: 2/66).

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah- berkata: “Hadits ini menjelaskan bahwa perempuan-perempuan apabila menghadiri shalat jama’ah yang mana jama’ah tersebut dihadiri pula oleh para laki-laki maka perempuanj terpisah dengan dari tempat laki-laki, hal ini untuk menghindari fitnah, saling memandang dan berbicara.” (Syarh Shahih Muslim: 2/535).

- Ummul Mukminin Àisyah radhiyallahu ‘anha- berkata: “Saya meminta izin kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam-untuk berjihad, maka Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabad: “Jihad kalian (para perempuan) adalah berhaji.” (HR. Bukhari dari Àisyah –radhiyallahu ‘anha-).

Ibnu Baththal –rahimahullah- berkata: “Hadits ini menunjukkan bahwa jihad tidak diwajibkan bagi perempuan, hal ini disebabkan karena perempuan apabila berjihad maka
tidak akan mampu menjaga dirinya dan juga akan terjadi percampur bauran antara laki-laki dan perempuan.” (Fathul Bary: 6/75-76).

4 Fenomena Aktual di Sekolah, Universitas, Rumah Sakit dan Instansi-Instansi.

Ikhtilath di Sekolah, Universitas, Rumah Sakit dan Instansi-Instansi sudah merupakan perkara yang biasa dan sudah membudaya, dan hasil dari semua itu dianggap luar biasa. Karena luar biasanya, maka banyak dari umat Islam terpengaruh dan bahkan sampai tergiur yang pada akhirnya timbullah angan-angan untuk meraih yang mereka angan-angankan, merekapun mulai mencoba yang pada akhirnya terasa semakin asyik sehingga melahirkan keberanian dalam menerjang larangan-larangan Rabbnya, Na’uzu billah min zalik.Sungguh telah cukup bagi kami untuk mencantumkan beberapa point dari fatwa para ulama kita, tentang betapa bahaya dan ngerinya tentang perkara ikhtilath ini:

- Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Baz _rahimahullah- berkata: “Barangsiapa yang mengatakan boleh ikhtilath disekolah-sekolah dan yang lainnya dengan alasan bahwa perintah berhijab hanya khusus untuk isteri-isteri Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- maka perbuatan ini jauh dari petunjuk serta menyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah yang telah menunjukkan hukum hijab berlaku umum, sebagaimana firman-Nya: “Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.” (Fatawa An-Nazhar wal Khalwah wal Ikhtilath, hal. 10).

- Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah- berkata: “Sesungguhnya tidak boleh bagi setiap orang laki-laki dan perempuan untuk belajar di sekolah-sekolah yang terjadi iktilath didalamnya, disebabkan karena bahaya yang besar yang akan mengancam kesucian dan akhlak mereka. Tidak ada keraguan bahwa orang yang bagaimana pun sucinya dan mempunyai akhlak yang tinggi, bagaimana jika disamping tempat duduknya ada perempuan, terlebih lagi bila perempuan itu cantik lalu menampakkan kecantikannya maka sangatlah sedikit yang bisa selamat dari fitnah dan kerusakan. Oleh karena itu segala yang membawa kepada kerusakan dan fitnah adalah haram.” (Fatawa An-Nazhar wal Khalwah wal Ikhtilath, hal. 23).

- Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Baz _rahimahullah- berkata: “Adapun ikhtilath antara laki-laki dan perempuan di tempat kerja atau instansi-instansi sedang mereka adalah kaum muslimin, maka hukumnya haram dan wajib bagi yang memiliki wewenang di tempat tersebut untuk memisahkan tempat (ruangan) antara laki-laki dan perempuan. Sebab ikhtilath terdapat kerusakan yang tidak samar lagi bagi seorang pun.” (Fatawa
Hai’ah Kibaru Ulama: 2/613 dan Fatawa Ulama Baladi Haram, hal. 532).

- Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah- berkata: “Perempuan yang keluar dari rumahnya merupakan perkara yang menyelisihi hukum asal. Dan masuknya mereka di rumah sakit yang di dalamnya ada campur baur antara laki-laki dan perempuan merupakan ikhtilath yang tidak diperbolehkan didalam Islam.
Seandainya ada rumah sakit khusus untuk wanita, para pekerjanya juga wanita, begitu pula pasien dan para perawatnya. Seharusnya memang negeri-negeri Islam ada rumah sakit yang seperti itu, yang mana para wanita secara khusus yang mengurusinya, baik dokter, direktur, para pekerjanya dan yang semisalnya. Adapun apabila rumah sakitnya ada ikhtilath, maka kami nasehatkan agar wanita muslimah yang beriman kepada Rabbnya agar bertaqwa kepada Allah dan hendaknya ia tetap tinggal dirumahnya.” (Al-Hawi min Fatawa Asy-Syaikh Al-Albani, hal. 75).

- Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Baz _rahimahullah- berkata: “Bekerjanya perempuan ditempat yang terdapat laki-laki di dalamnya adalah perkara yang sangat berbahaya. Dan diantara penyebab terbesar adalah munculnya kerusakan yang disebabkan karena ikhtilath yang mana hal itu merupakan jalan-jalan yang paling banyak
menyebabkan terjadinya perzinahan.” (Fatawa An-Nazhar wal Khalwah wal Ikhtilath, hal. 44).

Wallahu A’lam.

Ditulis oleh Hamba yang faqir atas ampunan Rabb-nya:
Abul Abbas Khidhr Al-Limbury

http://www.darussalaf.org/index.php?name=News&file=article&sid=830

Koreksi Shalat Kita: Sholatnya Wanita di Masjid

Hadirnya Wanita Dalam Shalat Berjamaah di Masjid

Sejak zaman Nubuwwah, kehadiran wanita dalam shalat berjamaah di masjid bukanlah sesuatu yang asing. Dalam artian, diantara shahabiyah ada yang ikut menghadiri shalat berjamaah di belakang para shahabat walaupun itu tidak wajib bagi mereka. (Lihat kembali Salafy edisi IX/Rabiul Akhir 1417/1996 rubrik Ahkam yang membahas tentang hukum shalat berjamaah bagi wanita dan lihat pula edisi XVI/Dzulhijjah 1417/1997 rubrik Kajian Kali Ini).

Ada beberapa dalil dari sunnah yang shahihah yang menunjukkan keikutsertaan wanita dalam shalat berjamaah di masjid. Tiga diantaranya kami sebutkan berikut ini :

Hadits dari Aisyah radliyallahu ‘anha, ia berkata : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan shalat Isya hingga Umar memanggil beliau (dengan berkata) : “Telah tertidur para wanita dan anak-anak.” Maka keluarlah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata : “Tidak ada seorang pun selain kalian dari penduduk bumi yang menanti shalat ini.” (HR. Bukhari dalam kitab Mawaqit Ash Shalah 564 dan Muslim kitab Al Masajid 2/282)

Imam Nawawi dalam syarahnya terhadap hadits di atas berkata : “Ucapan Umar (Telah tertidur para wanita dan anak-anak) yakni diantara mereka yang menanti didirikannya shalat berjamaah di masjid.”

Dalam hadits lain, Aisyah radliyallahu ‘anha mengabarkan : “Mereka wanita-wanita Mukminah menghadiri shalat shubuh bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan berselimut dengan kain-kain mereka. Kemudian para wanita itu kembali ke rumah-rumah mereka hingga mereka (selesai) menunaikan shalat tanpa ada seorangpun yang mengenali mereka karena masih gelap.” (HR. Bukhari 578)

Hadits dari Abi Qatadah Al Anshari radliyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya aku berdiri untuk menunaikan shalat dan berkeinginan untuk memanjangkan shalat itu. Lalu aku mendengar tangisan bayi maka akupun memendekkan shalatku karena khawatir (tidak suka) memberatkan ibunya.” (HR. Bukhari 868, Abu Daud 789, Nasa’i 2/94-95 dan Ibnu Majah 991)

Izin Bagi Wanita Untuk Keluar ke Masjid

Shalatnya seorang wanita di rumahnya lebih utama daripada shalatnya di masjid (lihat rubrik Ahkam, Salafy edisi IX). Namun tidak berarti wanita dilarang dan harus dicegah bila ingin hadir berjamaah di masjid, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Apabila wanita (istri) salah seorang dari kalian meminta izin untuk ke masjid maka janganlah ia mencegahnya.” (HR. Bukhari 2/347 dalam Fathul Bari, Muslim 442, dan Nasa’i 2/42)

Salim bin Abdullah bin Umar menceritakan bahwasanya Abdullah bin Umar radliyallahu ‘anhuma berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Janganlah kalian melarang istri-istri kalian dari masjid bila mereka meminta izin untuk mendatanginya.” (HR. Bukhari dan Muslim 442 dan hadits yang disebutkan disini menurut lafadh Muslim)
Salim berkata : Bilal bin Abdullah bin Umar lalu berkomentar: “Demi Allah, kami benar-benar akan melarang mereka.”

(Mendengar ucapan seperti itu, -pent.) Abdullah bin Umar memandang Bilal kemudian mencelanya dengan celaan yang buruk yang aku sama sekali belum pernah mendengar celaannya seperti itu terhadap Bilal. Dan Abdullah berkata : “Aku kabarkan kepadamu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu engkau menimpali dengan ucapanmu, ‘demi Allah, kami benar-benar akan melarang mereka!’”

Beberapa Perkataan Ulama Dalam Permasalahan Ini

Berkata Imam Nawawi rahimahullah : [ Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam :
"Janganlah kalian melarang hamba-hamba perempuan Allah dari masjid-masjid Allah"
Dan yang semisalnya dari hadits-hadits dalam bab ini menunjukkan bahwa wanita tidak dilarang mendatangi masjid akan tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang telah disebutkan oleh ulama yang diambil dari hadits-hadits yang ada. Seperti wanita itu tidak memakai wangi-wangian, tidak berhias, tidak mengenakan gelang kaki yang bisa terdengar suaranya, tidak mengenakan pakaian mewah, tidak bercampur-baur dengan laki-laki, dan wanita itu bukan remaja putri (pemudi) yang dengannya dapat menimbulkan fitnah serta tidak ada perkara yang dikhawatirkan kerusakannya di jalan yang akan dilewati dan semisalnya. ] (Syarhu Muslim 2/83)

Musthafa Al Adawi hafidhahullah memberi komentar terhadap ucapan Imam Nawawi di atas : [Terhadap ucapan Imam Nawawi rahimahullah tentang pelarangan remaja putri (pemudi untuk hadir di masjid) perlu dilihat kembali. Kami belum mendapatkan dalil yang jelas yang melarang pemudi atau membedakan antara pemudi dan yang selainnya untuk pergi ke masjid. ] (Jami’ Ahkamin Nisa’ juz 1 halaman 278)

Imam Nawawi juga berkata dalam Al Majmu’ Syarhul Muhadzdzab 4/199 : [ Larangan dalam hadits : "Janganlah kalian melarang hamba-hamba perempuan Allah dari masjid-masjid Allah."

Hal ini merupakan larangan tanzih/makruh (bukan larangan yang menunjukkan tahrim/haram, pent.) karena hak suami agar istri tetap tinggal di rumah wajib dipenuhi. Maka janganlah si istri meninggalkannya untuk mengerjakan amalan yang tidak wajib. ]

Abu Muhammad bin Hazm rahimahullah dalam Al Muhalla-nya menyatakan : “Tidak halal bagi wall wanita dan tidak juga bagi majikan budak wanita untuk melarang keduanya menghadiri shalat berjamaah di masjid jika diketahui bahwa mereka memang hendak shalat. Dan tidak halal bagi mereka (kaum wanita) untuk keluar dalam keadaan memakai wangi-wangian dan mengenakan pakaian yang indah (mewah). Bila si wanita melakukan hal demikian maka hendaklah dicegah.” (Al Muhalla 2/170)

Al Baihaqi rahimahullah menyebutkan dalam Sunan-nya (3/133) bahwa perintah untuk tidak melarang wanita merupakan perintah yang sunnah dan bersifat bimbingan, bukan perintah yang menunjukkan fardlu dan wajib.

Musthafa Al Adawi berkata : “Bila tidak dijumpai adanya sebab yang dapat menghalangi keluarnya wanita menuju ke masjid maka wajib bagi suami untuk mengizinkannya karena adanya larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari mencegahnya. Wallahu a’lam.” (Jami’ Ahkamin Nisa’ 1/279)

Syaikh Abu Ishaq Al Huwaini Al Atsari hafidhahullah dalam kitabnya, Al Insyirah fi Adabin Nikah halaman 72-74) setelah membawakan hadits yang artinya : “Bila istri salah seorang dari kalian meminta izin untuk ke masjid maka janganlah ia mencegahnya.”

Syaikh menyatakan : [ Dalam hadits ini menunjukkan bahwa keluarnya istri harus dengan izin suami. Seandainya si suami menahan istrinya (untuk keluar) maka si suami tidak berdosa menurut pendapat yang terpilih dari pendapat-pendapat para Ahli Tahqiq dan telah berkata Al Baihaqi : "Dengan inilah mayoritas ulama berpendapat."

Adapun hadits yang berbunyi : "Janganlah kalian melarang hamba-hamba perempuan Allah dari masjid-masjid Allah"

Perintah disini (yakni perintah untuk tidak melarang wanita ke masjid, pent.) tidaklah menunjukkan wajib. Karena seandainya wajib, maka tidak ada maknanya meminta izin. Wallahu a'lam. ]

Pendapat Aisyah radliyallahu ‘anha dan Bimbingannya
Imam Bukhari rahimahullah meriwayatkan ucapan Aisyah radliyallahu ‘anha :
“Seandainya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sempat menemui apa yang diada-adakan oleh para wanita (saat ini) niscaya beliau akan melarang mereka sebagaimana dilarangnya wanita-wanita Bani Israil.” (HR. Bukhari hadits 869 dan dikeluarkan juga oleh Muslim 445)

Dalam riwayat Muslim disebutkan : Salah seorang rawi bertanya kepada Amrah binti Abdirrahman (murid Aisyah yang meriwayatkan hadits ini darinya) : “Apakah para wanita Bani Israil dilarang ke masjid?” Amrah menjawab : “Ya, adapun hal-hal baru yang diperbuat para wanita Bani Israil diantaranya memakai wangi-wangian, berhias, tabarruj, ikhtilath, dan kerusakan-kerusakan lainnya.”

Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam Fathul Bari (2/350) : “Shalatnya wanita di rumahnya lebih utama baginya karena terjamin aman dari fitnah. Dan yang menguatkan hal ini setelah munculnya perbuatan tabarruj dan pamer perhiasan yang dilakukan oleh para wanita. Terlebih lagi Aisyah radliyallahu ‘anha telah berkata dengan apa yang dia katakan. Sebagian orang berpegang dengan ucapan Aisyah ini untuk melarang wanita (ke masjid) secara mutlak dan pendapat ini perlu ditinjau kembali.”

Beliau berkata lagi : “Aisyah mengaitkan larangan dengan syarat, yang ia menganggap bila Nabi sempat melihat (perbuatan para wanita itu) niscaya beliau akan melarangnya. Dengan demikian, dikatakan kepada orang yang berpendapat wanita dilarang secara mutlak (ke masjid) bahwa Nabi tidak sempat melihat (perbuatan para wanita itu) dan beliau tidak melarang, hingga hukum (kebolehan wanita ke masjid dan larangan untuk mencegah mereka, pent.) terus berlaku … .”

Berkata Musthafa Al Adawi setelah membawakan riwayat Aisyah di atas : [ Ini merupakan pendapat Aisyah radliyallahu 'anha berkenaan dengan keluarnya wanita ke masjid ... . Beliau berpendapat (perlunya) larangan karena sebab yang disebutkan. Pendapat ini memiliki arti bila ada fitnah dan adanya kekhawatiran terhadap kaum pria dan wanita dari fitnah itu. Akan tetapi kita kembali dan kita katakan : Pendapat ini tempatnya bila fitnah terwujud nyata. Adapun melarang mereka karena (menganggap) semata-mata ke masjid itu adalah fitnah maka ini pendapat yang lemah. Allah Ta'ala telah berfirman :
"Dan tidaklah Tuhanmu lupa." (QS. Maryam : 64)
"Tidaklah Kami luputkan sesuatu pun di dalam Kitab ini." (QS. Al An'am : 38)

Dan layak untuk kami (Musthafa Al Adawi) nukilkan disini ucapan Al Hafidh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari 2/350. Beliau menyatakan : " … dan juga Allah subhanahu wa ta'ala telah mengetahui apa yang akan mereka (para wanita) perbuat. Namun Allah tidak mewahyukan kepada Nabi-Nya untuk melarang mereka (mendatangi masjid). Seandainya apa yang mereka perbuat mengharuskan untuk melarang mereka dari masjid, niscaya melarang mereka dari selain masjid seperti mendatangi pasar-pasar adalah lebih utama. Dan juga perbuatan yang diada-adakan itu hanya dilakukan oleh sebagian wanita, tidak seluruhnya. Maka pengkhususan larangan (penunjukkan larangan) ditujukan kepada wanita yang berbuat. Yang lebih utama adalah menilik perkara yang dikhawatirkan akan menimbulkan kerusakan, lalu menghindarinya berdasarkan isyarat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dengan melarang memakai wangi-wangian dan berhias." (Lihat Jami' Ahkamin Nisa' 1/280) ]

Ibnu Hazm rahimahullah dalam Al Muhalla (3/ 134) menyebutkan enam sisi bantahan terhadap orang yang berhujjah dengan ucapan Aisyah radliyallahu ‘anha ini untuk melarang wanita ke masjid secara mutlak. Dua sisi diantaranya kami sebutkan secara ringkas di bawah ini :

Sisi pertama : Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak sempat melihat apa yang diperbuat para wanita, maka beliau tidak melarang mereka ke masjid. Apabila beliau sendiri tidak melarang mereka (ke masjid) maka berarti melarang mereka adalah bid’ah dan kesalahan. Ini sama dengan firman Allah Ta’ala :

“Wahai istri-istri Nabi, siapa diantara kalian yang mengerjakan perbuatan keji yang nyata niscaya akan dilipatgandakan siksaan padanya dua kali lipat … .” (QS. Al Ahzab : 30)

Maka mereka sama sekali tidak mengerjakan perbuatan keji yang nyata sehingga tidak dilipatgandakan adzab bagi mereka, walhamdulillah. Dan juga seperti firman Allah Ta’ala :

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka barakah dari langit dan bumi.” (QS. Al A’raf : 96)

Maka mereka tidak beriman sehingga tidak dibukakan barakah bagi mereka.

Sisi Kedua : Aisyah radliyallahu ‘anha tidak berpendapat melarang para wanita karena sebab itu dan ia tidak berkata : “Laranglah mereka karena apa yang mereka perbuat.” Akan tetapi Aisyah mengabarkan : “Andai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup niscaya beliau melarang mereka … .”

Kami katakan : Seandainya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mereka, kami pun melarang mereka. Dan bila beliau tidak melarang maka kami pun tidak melarang mereka.

Syarat-Syarat Yang Harus Dipenuhi

Wanita dibolehkan menghadiri shalat berjamaah di masjid namun harus memenuhi ketentuan-ketentuan yang ditetapkan syariat seperti tidak memakai wangi-wangian sebagaimana dikabarkan oleh Zainab Ats Tsaqafiyah, istri Abdullah bin Mas’ud radliallahu anhuma. la berkata : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada kami : “Bila salah seorang dari kalian (para wanita) ingin menghadiri shalat di masjid maka janganlah ia menyentuh wewangian.” (HR. Muslim 4/163, Ibnu Khuzaimah 1680, dan Al Baihaqi 3/439)

Demikian juga hadits Abi Hurairah radliyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Wanita mana saja yang memakai wangi-wangian maka janganlah ia menghadiri shalat lsya yang akhir bersama kami.” (HR. Muslim 4/162, Abu Daud 4175, dan Nasa’i 8/154)

Musthafa Al Adawi berkata : [ Abu Muhammad Ibnu Hazm rahimahullah memiliki pendapat yang ganjil dimana ia berkata dalam Al Muhalla 4/78 : "Tidak halal bagi seorang wanita menghadiri shalat di masjid dalam keadaan memakai wangi-wangian. Jika ia melakukannya maka batallah shalatnya."

Ini merupakan pendapat yang ganjil dari beliau rahimahullah. Yang benar, --wallahu a'lam-- wanita yang melakukan perbuatan demikian (memakai wewangian ketika keluar menuju masjid) berarti telah berbuat dosa, akan tetapi dosanya tersendiri dari shalatnya dan tidak ada hubungan antara dosa itu dengan batalnya shalat. Allahu a'lam. ] (Jami’ Ahkamin Nisa’ 1/288)

Al Qadli ‘Iyadl rahimahullah menyebutkan syarat dari ulama berkenaan dengan keluarnya wanita, diantaranya tidak mengenakan perhiasan, tidak memakai wewangian, dan tidak berdesak-desakan dengan laki-laki. Kata Al Qadli : “Termasuk dalam makna wewangian adalah menampakkan perhiasan dan keindahannya. Jika ada sesuatu dari perbuatan demikian maka wajib melarang mereka karena takut fitnah.”

Berkata Syaikh Abdullah Al Bassam dalam kitabnya, Taudlihul Ahkam (2/283) : [Terhitung wangi-wangian adalah sesuatu yang semakna dengannya berupa gerakan-gerakan yang dapat mengundang syahwat seperti pakaian yang indah, perhiasan, dan dandanan. Karena aroma si wanita, perhiasan, bentuknya, dan penonjolan kecantikannya merupakan fitnah baginya dan fitnah bagi laki-laki.
Bila si wanita melakukan hal demikian atau melakukan sebagiannya, haram baginya untuk keluar berdasarkan hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dari Abu Hurairah radliyallahu 'anhu (telah disebutkan di atas, pent.) dan hadits dalam Shahihain dari Aisyah radliyallahu 'anhuma, ia berkata: "Seandainya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melihat apa yang dilakukan para wanita sebagaimana yang kita lihat niscaya beliau akan melarang mereka ke masjid." ]

Dituntunkan kepara para wanita yang hadir dalam shalat berjamaah di masjid untuk bersegera kembali ke rumah setelah menunaikan shalat. Imam Bukhari meriwayatkan dari Aisyah radliyallahu ‘anha : “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menunaikan shalat shubuh ketika hari masih gelap. Maka para wanita Mukminah berpaling (meninggalkan masjid) dalam keadaan mereka tidak dikenali karena gelap atau sebagian mereka tidak mengenali sebagian lainnya.” (HR. Bukhari 872)

Musthafa Al Adawi berkata setelah membawakan hadits di atas: [ Imam Bukhari membuat satu bab untuk hadits ini dalam kitab Shahih-nya dan diberi judul : Bab Bersegeranya Wanita Meninggalkan Masjid Setelah Shalat Shubuh dan Sebentarnya Mereka Berdiam di Masjid. Al Hafidh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari menjelaskan : "Dikhususkan waktu shubuh karena mengakhirkan keluar dari masjid (berdiam lama di masjid, pent.) berakibat suasana sekitar sudah terang. Maka sepantasnya wanita bersegera keluar. Berbeda dengan Isya, karena suasana akan semakin gelap hingga tidak bermudlarat untuk berdiam lebih lama di masjid (tentunya dengan catatan aman dari fitnah dan tidak ada gangguan yang membahayakan si wanita di jalanan seperti zaman sekarang ini, wallahu a'lam, pent.)." ]

Aku (Mustafa Al Adawi) katakan : “Ucapan Al Hafidh ini diikuti oleh hadits berikutnya (hadits Ummu Salamah yang akan disebutkan setelah ini, pent.). Maka tidak ada maknanya untuk mengkhususkan waktu shubuh daripada waktu lainnya dalam hal bersegeranya wanita keluar dari masjid. Yang benar, para wanita bergegas meninggalkan masjid setelah menunaikan semua shalat hingga memungkinkan mereka untuk pergi sebelum bercampur-baur dengan laki-laki.” (Jami’ Ahkamin Nisa’ 1/285)

Hindun bintu Al Harits berkata bahwa Ummu Salamah –istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam– menceritakan padanya tentang para wanita di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Apabila mereka telah mengucapkan salam dari shalat fardlu, mereka berdiri meninggalkan masjid sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta para pria yang ikut shalat tetap tinggal selama waktu yang dikehendaki Allah. Maka apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri, para pria pun ikut berdiri.” (HR. Bukhari 866)

Dalam riwayat lain dari Ummu Salamah juga, ia berkata : “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bila telah selesai salam (dari shalat) beliau tinggal sejenak di tempatnya (sebelum berdiri meninggalkan masjid, pent.).” (HR. Bukhari 849)

Berkata seorang perawi hadits di atas : “Kami berpendapat, wallahu a’lam, beliau berbuat demikian agar ada kesempatan bagi para wanita untuk meninggalkan masjid.”

Imam Syaukani rahimahullah dalam Nailul Authar 2/315 berkata : “Hadits ini menunjukkan disunnahkannya imam untuk memperhatikan keadaan makmum dan bersikap hati-hati dengan menjauhi apa yang dapat mengantarkan kepada perkara yang dilarang … .”

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata : “Jika pria dan wanita hadir bersama imam (dalam shalat berjamaah) maka disunnahkan bagi sang imam dan jamaah pria agar tetap tinggal di tempat (selesai menunaikan shalat) sekadar imam berpendapat bahwa jamaah wanita telah meninggalkan masjid … .” (Al Mughni 2/560)

Musthafa Al Adawi berpendapat : “Bila di masjid itu ada pintu khusus bagi wanita dan mereka terhijab dari kaum pria dan kaum pria tidak melihat mereka maka tidak ada larangan –wallahu a’lam– bagi mereka untuk tetap tinggal di tempat shalat agar mereka dapat bertasbih, bertahmid, bertakbir, dan bertahlil dengan dzikir-dzikir tertentu setelah shalat karena para Malaikat bershalawat untuk orang yang shalat selama ia tetap di tempat shalatnya dalam keadaan berdzikir pada Allah dan selama ia belum berhadats sebagaimana hal ini diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Jami’ Ahkamin Nisa’ 1/286-287)

Sebaik-Baik Shaf Wanita

Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya dari Abi Hurairah radliyallahu ‘anhu, ia berkata : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sebaik-baik shaf pria adalah shaf yang pertama dan sejelek-jelek shaf pria adalah yang paling akhir. Sebaik-baik shaf wanita adalah yang paling akhir dan sejelek-jeleknya yang paling depan.” (HR. Muslim nomor 440, Nasa’i 2/93, Abu Daud 678, Tirmidzi 224 dan ia berkata : “Hadits hasan shahih.” Ibnu Majah juga meriwayatkan hadits ini nomor 1000)

Ada beberapa pendapat ulama dalam permasalahan ini, diantaranya : Berkata Imam Nawawi rahimahullah dalam Syarhu Muslim (halaman 1194) : “Adapun shaf pria maka secara umum selamanya yang terbaik adalah shaf yang pertama dan yang paling jelek adalah shaf yang terakhir. Adapun shaf wanita maka yang dimaksudkan dalam hadits adalah shaf-shaf wanita yang shalat bersama kaum pria. Sedangkan bila mereka (kaum wanita) shalat terpisah dan tidak bersama kaum pria maka mereka sama dengan pria, yakni sebaik-baik shaf mereka adalah yang paling depan dan seburuk-buruknya adalah yang paling akhir. Yang dimaksud dengan jelek-nya shaf bagi pria dan wanita adalah yang paling sedikit pahalanya dan keutamaannya serta paling jauh dari tuntutan syar’i. Sedangkan shaf yang paling baik adalah sebaliknya. Shaf yang paling akhir bagi jamaah wanita yang hadir bersama jamaah pria dikatakan memiliki keutamaan karena jauhnya para wanita itu dari bercampur (ikhtilath) dengan pria, dari melihat pria, dan tergantungnya hati tatkala melihat gerakan kaum pria, serta mendengar ucapan (pembicaraan mereka), dan semisalnya. Dan celaan bagi shaf yang terdepan bagi jamaah wanita (yang hadir bersama pria) adalah sebaliknya dari alasan di atas, wallahu a’lam.”

Beliau rahimahullah berkata juga dalam Al Majmu’ 4/301 : “Telah kami sebutkan tentang disunnahkannya memilih shaf pertama kemudian sesudahnya (shaf kedua) kemudian sesudahnya sampai shaf yang akhir. Hukum ini berlaku terus-menerus bagi shaf pria dalam segala keadaan dan juga bagi shaf wanita yang jamaahnya khusus wanita, terpisah dari jamaah pria. Adapun jika kaum wanita shalat bersama pria dalam satu jamaah dan tidak ada pemisah/penghalang diantara keduanya, maka shaf wanita yang paling utama adalah yang paling akhir berdasarkan hadits Abi Hurairah radliyallahu ‘anhu (telah disebutkan di atas, pent.).”

Berkata Imam Syaukani rahimahullah : [ Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam : " ... dan sebaik-baik shaf wanita adalah yang paling akhir."

Dikatakan paling baik karena berdiri pada shaf tersebut menyebabkan jauhnya dari bercampur dengan pria, berbeda dengan berdiri di shaf pertama dari shaf-shaf jamaah wanita karena mengandung (kemungkinan) bercampur dengan pria dan tergantungnya hati dengan mereka (para pria) disebabkan melihat mereka dan mendengar ucapan mereka. Karena inilah, shaf pertama dinyatakan paling jelek (bagi wanita). (Nailul Authar 3/184) ]

Dalam Subulus Salam 2/30 (Maktabah Dahlan), Imam Shan’ani rahimahullah berkata : “Shaf yang paling akhir dikatakan shaf yang terbaik bagi wanita. Alasannya karena dalam keadaan demikian mereka berada jauh dari pria, dari melihat, dan mendengar omongan mereka. Hanya saja alasan ini tidak sempurna kecuali bila shalat mereka dilakukan bersama kaum pria. Adapun bila mereka shalat dan imam mereka juga wanita (jamaah khusus wanita, pent.) maka shaf-shaf mereka hukumnya seperti shaf-shaf pria yaitu yang paling utama adalah shaf pertama.”

Musthafa Al Adawi berkata setelah menyebutkan hadits Abi Hurairah di atas : [ Ketentuan ini berlaku bila kaum wanita bergabung bersama kaum pria dalam shalat berjamaah dimana mereka berada di belakang shaf-shaf. Adapun bila jamaahnya khusus wanita atau bersama kaum pria dalam melaksanakan shalat akan tetapi mereka tidak dapat terlihat oleh pria, maka shaf yang paling baik adalah yang paling depan berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam :

"Seandainya mereka tahu keutamaan shaf yang terdepan niscaya mereka akan berundi untuk mendapatkannya." (HR. Bukhari 721) ] (Jami’ Ahkamin Nisa’ 1/353-354)

Bolehnya Wanita Shalat Sunnah di Masjid

Sebagaimana wanita dibolehkan untuk shalat berjamaah di masjid, dibolehkan pula baginya untuk melakukan shalat sunnah di masjid selama aman dari fitnah dan terpenuhi syarat-syarat yang ditetapkan. Hal ini berdalil dengan riwayat Imam Bukhari dalam Shahih-nya dari Anas bin Malik radliyallahu ‘anhu. Anas berkata : Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke dalam masjid, tiba-tiba beliau mendapatkan seutas tali terbentang diantara dua tiang (masjid). Maka beliau bersabda : “Tali apa ini?” Para shahabat menjawab : “Tali ini milik Zainab. Bila ia merasa lemah (dari melaksanakan shalat sunnah, pent.) ia bergantung dengan tali ini.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Jangan, putuskan tali ini! Hendaklah salah seorang dari kalian shalat dalam keadaan ia bersemangat maka kalau ia lemah hendaklah ia duduk.” (HR. Bukhari hadits 1150, dikeluarkan juga oleh Muslim, Abu Daud 1312, Nasa’i, dan Ibnu Majah 1371)

Berkata Al Hafidh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 3/37 : “Hadits ini menunjukkan upaya menghilangkan kemungkaran dengan tangan dan lisan dan menunjukkan bolehnya para wanita menunaikan shalat nafilah (sunnah) di masjid.”

Penutup

Sebelum seorang wanita melangkah ke masjid, ia harus melihat syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam agama ini agar ia tidak jatuh dalam pelanggaran dan perbuatan dosa. Dan ia hendaknya tidak melupakan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ummu Humaid ketika Ummu Humaid berkata : “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku senang shalat bersamamu.” Nabi menjawab :

“Sungguh aku tahu bahwa engkau suka shalat bersamaku, namun shalatmu di rumahmu lebih baik daripada shalatmu di masjid kaummu dan shalatmu di masjid kaummu lebih-baik daripada shalatmu di masjidku ini.” (HR. Ibnu Khuzaimah 1689, Ahmad 6/371, Ibnu Abdil Barr dalam Al Isti’ab. Kata Syaikh Abu Ishaq Al Huwaini : “Isnadnya hasan dengan syawahid.” Lihat Al Insyirah halaman 74)

Syaikh Abu Ishaq Al Huwaini menyatakan : “Bersamaan dengan dibolehkannya wanita keluar ke masjid maka sesungguhnya shalatnya di rumahnya lebih utama daripada hadirnya ia dalam shalat berjamaah (di masjid).” (Al Insyirah halaman 73)

Wallahu A’lam Bish Shawwab.

(Dikutip dari tulisan Ummu Ishaq, judul asli Shalatnya Wanita di Masjid, dari majalah Salafy MUSLIMAH XXXII/1420/1999/Kajian Kita, url sumber http://www.geocities.com/dmgto/muslimah201/wanitamasjid.htm).
http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=1018