Saturday, July 19, 2008

Iman, Bisa Naik Bisa Turun.

Ketahuilah, iman yang ada di dalam diri seorang hamba itu bisa bertambah dan bisa pula berkurang atau bahkan hilang tanpa bekas dari diri seseorang. Al-Imam Abdurrahman bin Amr Al-Auza’i rahimahullah pernah ditanya tentang keimanan, apakah bisa bertambah. Beliau menjawab: “Betul (bertambah), sampai seperti gunung.” Lalu beliau ditanya lagi: “Apakah bisa berkurang?” Beliau menjawab: “Ya, sampai tidak tersisa sedikitpun.”Demikian pula Imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Ahmad bin Hambal rahimahullah pernah ditanya tentang keimanan, apakah bisa bertambah dan berkurang? Beliau menjawab: “Iman bertambah sampai puncak langit yang tujuh dan berkurang sampai kerak bumi yang tujuh.” Beliau juga menyatakan: “Iman itu (terdiri atas) ucapan dan amalan, bisa bertambah dan berkurang. Apabila engkau mengamalkan kebajikan, maka iman akan bertambah, dan apabila engkau menyia-nyiakannya, maka iman pun akan berkurang.”

Nah, inilah aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah itu, yakni meyakini bahwa sesungguhnya iman seseorang itu bisa bertambah dan bisa pula berkurang. Setelah kita tahu bahwa ternyata iman itu bisa bertambah dan bisa berkurang, lalu apa yang harus dilakukan oleh seorang mukmin untuk menjaga kualitas imannya? Al Imam Allamah Abdurrahman bin Nashr As Sa’di rahimahullah mengatakan: “Seorang mukmin yang diberi taufiq oleh Allah Ta’ala, dia senantiasa berusaha melakukan dua hal: Pertama, memurnikan keimanan dan cabang-cabangnya, dengan cara mengilmui dan mengamalkannya. Kedua, berusaha untuk menolak atau membentengi diri dari bentuk-bentuk ujian (cobaan) yang tampak maupun tersembunyi yang dapat menafikannya (menghilangkannya), membatalkannya atau mengikis keimanannya itu.” (At Taudhih wal Bayan lisy Syajarotil Iman, hal 38).

Saudaraku muslimin, ketahuilah! Ada beberapa amalan yang insya Allah akan dapat menyebabkan bertambahnya iman seseorang, di antaranya adalah:

Pertama: Membaca dan tadabbur (merenungkan atau memikirkan isi kandungan) Al Quranul Karim. Orang yang membaca, mentadabburi dan memperhatikan isi kandungan Al Quran akan mendapatkan ilmu dan pengetahuan yang menjadikan imannya kuat dan bertambah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan tentang orang-orang mukmin yang berbuat demikian: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah, gemetarlah hati-hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya maka bertambahlah iman bereka, dan kepada Rabb mereka itulah mereka bertawakkal.” (QS. Al Anfal [8]: 2)
Al Imam Al Ajurri rahimahullah berkata: “Barangsiapa mentadabburi Al Quran, dia akan mengenal Rabb-nya Azza wa Jalla dan mengetahui keagungan, kekuasaan dan qudrah-Nya serta ibadah yang diwajibkan atasnya. Maka dia senantiasa melakukan setiap kewajiban dan menjauhi segala sesuatu yang tidak disukai maulanya (yakni Allah Ta’ala).”

Kedua: Mengenal Al Asmaul Husna dan sifat-sifat Allah yang terdapat dalam Al Quran dan As Sunnah yang menunjukkan kesempurnaan Allah secara mutlak dari berbagai segi. Bila seorang hamba mengenal Rabbnya dengan pengetahuan yang hakiki, kemudian selamat dari jalan orang-orang yang menyimpang, sungguh ia telah diberi taufiq dalam mendapatkan tambahan iman. Karena seorang hamba bila mengenal Allah dengan jalan yang benar, dia termasuk orang yang paling kuat imannya dan ketaatannya, kuat takutnya dan muroqobahnya kepada Allah Ta’ala.
Allah Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-Nya adalah ulama.” (QS. Fathir [35]: 28). Al Imam Ibnu Katsir menjelaskan: “Sesungguhnya hamba yang benar-benar takut kepada Allah adalah ulama yang mengenal Allah.” (Tafsir Ibnu Katsir 3/533).
Ketiga: Memperhatikan siroh atau perjalanan hidup Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yakni dengan mengamati, memperhatikan dan mempelajari siroh beliau dan sifat-sifatnya yang baik serta perangainya yang mulia.

Al Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah menjelaskan: “Dari sini kalian mengetahui sangat pentingnya hamba untuk mengenal Rasul dan apa yang dibawanya, dan membenarkan pada apa yang beliau kabarkan serta mentaati apa yang beliau perintahkan. Karena tidak ada jalan kebahagiaan dan keberuntungan di dunia dan di akhirat kecuali dengan tuntunannya. Tidak ada jalan untuk mengetahui baik dan buruk secara mendetail kecuali darinya. Maka kalau seseorang memperhatikan sifat dan akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Al Quran dan Al Hadits, niscaya dia akan mendapatkan manfaat dengannya, yakni ketaatannya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi kuat, dan bertambah cintanya kepada beliau. Itu adalah tanda bertambahnya keimanan yang mewariskan mutaba’ah dan amalan sholih.”

Keempat: Mempraktekkan (mengamalkan) kebaikan-kebaikan agama Islam. Ketahuilah, sesungguhnya ajaran Islam itu semuanya baik, paling benar aqidahnya, paling terpuji akhlaknya, paling adil hukum-hukumnya. Dari pandangan inilah Allah menghiasi keimanan di hati seorang hamba dan membuatnya cinta kepada keimanan, sebagaimana Allah memenuhi cinta-Nya kepada pilihan-Nya, yakni Nabiyullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam (lihat QS. Al Hujurat [49]: 7)

Maka iman di hati seorang hamba adalah sesuatu yang sangat dicintai dan yang paling indah. Oleh karena itu seorang hamba akan merasakan manisnya iman yang ada di hatinya, sehingga dia akan menghiasi hatinya dengan pokok-pokok dan hakikat-hakikat keimanan, dan menghiasi anggota badannya dengan amal-amal nyata (amal sholih). (At Taudhih wal Bayan, hal 32-33)

Kelima: Membaca siroh atau perjalanan hidup Salafush Shalih. Yang dimaksud Salafush Shalih di sini adalah para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orangyang mengikuti mereka dengan baik (lihat QS. At Taubah [9]: 100). Barangsiapa membaca dan memperhatikan perjalanan hidup mereka, akan mengetahui kebaikan-kebaikan mereka, akhlak-akhlak yang agung, ittiba’ mereka kepada Allah, perhatian mereka kepada iman, rasa takut mereka dari dosa, kemaksiatan, riya’ dan nifaq, juga ketaatan mereka dan bersegera dalam kebaikan, kekuatan iman mereka dan kuatnya ibadah mereka kepada Allah dan sebagainya.

Dengan memperhatikan keadaan mereka, maka iman menjadi kuat dan timbul keinginan untuk menyerupai mereka dalam segala hal. Sebagaimana ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah : “Barangsiapa lebih serupa dengan mereka (para shahabat Rasulullah), maka dia lebih sempurna imannya.” (lihat Kitab Al Ubudiyah, hal 94). Dan tentunya, barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka.

Itulah beberapa amalan yang insya Allah akan dapat menyebabkan bertambahnya keimanan. Adapun hal-hal yang dapat melemahkan iman seseorang adalah sebaliknya, di antaranya: Kebodohan terhadap syari’at Islam, lalai, lupa dan berpaling dari ketaatan, melakukan kemaksiatan dan dosa-dosa besar, mengikuti hawa nafsu dan sebagainya.

Mudah-mudahan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang senantiasa diberi tambahan iman, dan dijauhkan dari kelemahan dan kehinaan. Wallahul musta’an.

(Dinukil dan disarikan dari Majalah Salafy, edisi XVIII/Shafar/1418/1997 oleh Abu Abdillah Ibnu Zuhri). Salafy.or.id.

Wednesday, July 16, 2008

Rasa Syukur Burung, Cacing dan Manusia

Bila kita sedang mengalami kesulitan hidup karena himpitan kebutuhan materi, maka cobalah kita ingat pada burung dan cacing.

Kita lihat burung tiap pagi keluar dari sarangnya untuk mencari makan. Tidak terbayang sebelumnya kemana dan dimana ia harus mencari makanan yang diperlukan. Karena itu kadangkala sore hari ia pulang dengan perut kenyang dan bisa membawa makanan buat keluarganya, tapi kadang makanan itu cuma cukup buat keluarganya, sementara ia harus “puasa”. Bahkan seringkali ia pulang tanpa membawa apa-apa buat keluarganya sehingga ia dan keluarganya harus “berpuasa”. Meskipun burung lebih sering mengalami kekurangan makanan karena tidak punya “kantor” yang tetap, apalagi setelah lahannya banyak yang diserobot manusia, namun yang jelas kita tidak pernah melihat ada burung yang berusaha untuk bunuh diri.

Kita tidak pernah melihat ada burung yang tiba-tiba menukik membenturkan kepalanya ke batu cadas. Kita tidak pernah melihat ada burung yang tiba-tiba menenggelamkan diri ke sungai. Kita tidak pernah melihat ada burung yang memilih meminum racun untuk mengakhiri penderitaannya. Kita lihat burung tetap optimis akan rizki yang dijanjikan Allah.

Kita lihat, walaupun kelaparan, tiap pagi ia tetap berkicau dengan merdunya. Tampaknya burung menyadari benar bahwa demikianlah hidup, suatu waktu berada diatas dan dilain waktu terhempas ke bawah. Suatu waktu kelebihan dan di lain waktu kekurangan. Suatu waktu kekenyangan dan dilain waktu kelaparan.

Sekarang marilah kita lihat hewan yang lebih lemah dari burung, yaitu cacing. Kalau kita perhatikan, binatang ini seolah-olah tidak mempunyai sarana yang layak untuk survive atau bertahan hidup. Ia tidak mempunyai kaki, tangan, tanduk atau bahkan mungkin ia juga tidak mempunyai mata dan telinga. Tetapi ia adalah makhluk hidup juga dan, sama dengan makhluk hidup lainnya, ia mempunyai perut yang apabila tidak diisi maka ia akan mati. Tapi kita lihat, dengan segala keterbatasannya, cacing tidak pernah putus asa dan frustasi untuk mencari rizki. Tidak pernah kita menyaksikan cacing yang membentur-benturkan kepalanya ke batu.

Sekarang kita lihat manusia. Kalau kita bandingkan dengan burung atau cacing, maka sarana yang dimiliki manusia untuk mencari nafkah jauh lebih canggih.

Tetapi kenapa manusia yang dibekali banyak kelebihan ini seringkali kalah dari burung atau cacing? Mengapa manusia banyak yang putus asa lalu bunuh diri menghadapi kesulitan yang dihadapi? Padahal rasa-rasanya belum pernah kita lihat cacing yang berusaha bunuh diri karena putus asa.
Rupa-rupanya kita perlu banyak belajar dari burung dan cacing.

Sumber: salafi-jogja@googlegroups.com
Link Sumber: Akh Dwi Heriyanto.

Sunday, July 13, 2008

Singgah di Taman Syurga

Dari Anas bin Malik radhiyallohu ‘anhu bahwa Rasululloh shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “jika kalian melewati taman-taman surga maka singgahlah dengan senang.” Para sahabat bertanya, “Apakah taman-taman surga itu?” Beliau menjawab, “Halaqoh-halaqoh dzikir.” (HR. at-Tirmidzi dan lain-lain)


Apakah yang dimaksud dengan halaqoh dzikir? Para Ulama menyebutkan makna halaqoh dzikir ada beberapa macam yaitu :

Pertama, sekelompok orang yang duduk bersama disuatu tempat kemudian masing-masing berdzikir sendiri-sendiri dengan suara pelan.
Makna ini didasarkan pada hadits Mu’awiyah rodhiyallohu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di kitab shahihnya bahwa Rasululloh shallallahu’alaihi wa sallam pernah keluar pada suatu halaqoh para sahabat. Kemudian beliau bertanya, “Apa yang menyebabkan kalian duduk (disini)?”
Para sahabat menjawab, “Kami duduk berdzikir kepada Alloh.” Beliau bertanya lagi,
“Demi Alloh, apakah kalian duduk (disini) hanya karena hal itu (dzikir)?” Para sahabat menjawab, “Demi Alloh, tidak ada yang menyebabkan kami duduk (disini) kecuali karena hal itu.”
Beliau bersabda , “Sesunggunya aku tidaklah meminta kalian bersumpah karena aku menyangka kalian berbohong. Akan tetapi Jibril telah mendatangiku, lalu memberitahukan kepadaku bahwa Alloh membanggakan kalian kepada malaikat.”
Di dalam hadits tersebut ada isyarat bahwa mereka berdzikir dengan suara pelan yaitu dari pertanyaan Rasululloh shallallahu’alaihi wa sallam kepada orang-orang yang berdzikir tersebut. Seandainya mereka berdzikir dengan suara keras, tentunya Rasululloh shallallahu’alaihi wa sallam akan mengetahui dan tidak bertanya lagi.

Dalil lain adalah dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallohu ‘anhu bahwa beliau mengingkari orang-orang yang berdzikir bersama-sama dengan pengingkaran yang sangat keras.

Kedua, duduk bersama-sama untuk membaca dan mempelajari al-Quran.
Yaitu salah seorang membaca dan lainnya mendengarkan. Rasululloh shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Dan tidaklah sekelompok orang berkumpul didalam salah satu rumah diantara rumah-rumah Alloh, mereka membaca kitab Alloh dan saling belajar diantara mereka, kecuali ketenangan turun kepada mereka, rahmat meliputi mereka, dan Alloh menyebut mereka di kalangan (para malaikat) di hadapan-Nya.”
Ketiga, majelis ilmi yaitu yang membahas ilmu-ilmu agama, membahas tentang halal dan haram dan lainnya.
Berdasar hadits dari Abu Waqid al-Laitsi radhiyallohu’anhu bahwa ketika Rasululloh shallallahu’alaihi wa sallam sedang duduk dalam masjid bersama para sahabat, tiba-tiba datanglah tiga orang. Dua orang menghampiri Rasululloh shallallahu’alaihi wa sallam dan yang seorang pergi. Orang yang pertama melihat ada celah pada halaqoh lalu duduk disana. Orang yang kedua duduk di belakang mereka (di belakang halaqoh). Sedangkan orang yang ketiga berpaling dan pergi. Setelah Rasululloh shallallahu’alaihi wa sallam selesai, beliau bersabda, “Maukah akuberitahu kliantentang tiga orang tadi? Adapun salah satu dari mereka, dia mendekat kepada Alloh maka Alloh-pun mendekatkannya. Adapun yang lain, dia malu, maka Alloh-pun malu kepadanya. Dan yang lain lagi dia berpaling, maka Alloh-pun berpaling darinya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Syaikh Salim bin Ied al-Hilaly berkata, “Majelis-majelis dzikir adalah majelis-majelis ilmu yang diadakan di rumah-rumah Alloh untuk belajar, mengajar dan mencari pemahaman tentang agama.” Beliau juga berkata, “Majelis dzikir yang dicintai oleh Alloh adalah majelis-majelis ilmu, bersama-sama mempelajari al-Quran dan as-Sunnah dan mencari pemahaman tentang hal itu.”
Itulah yang dimaksud dengan halaqoh dzikir yang merupakan tama-taman surga, yaitu sekelompok orang yang berdzikr di suatu tempat dengan dzikir dan tatacara yang diajarkan Rasululloh shallallahu’alaihi wa sallam atau berkumpul untuk mebaca dan mempelajari al-Quran atau berkumpul untuk mempelajari ilmu agama.

Bagaimana dengan kita ? Sukakah kita singgah di taman-taman surga ? jika iya, mudah-mudahan kelak kita akan menjadi salah seorang penduduk surga-Nya. Jika belum, semoga Alloh memberikan hidayah sehingga kita diberi kekuatan untuk menghampiri taman-taman surga dan menyusul mereka yang telah singgah didalamnya.

Ditulis dari : Majalah Tashfia 03/I/2006
Link Sumber : Akh Sadat.

Saturday, July 12, 2008

Mari Menjaga Wudlu'

Para pembaca yang mulia, wudhu’ merupakan suatu amalan yang kerap kali kita lakukan. Tata caranya cukup ringkas dan praktis. Namun mengandung keutamaan yang besar. Sehingga tidak boleh kita memandangnya dengan sebelah mata. Karena seluruh syari’at yang dibawa oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam terkandung padanya hikmah dan manfa’at. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Sesungguhnya Allah tidak akan menganiaya (siapa pun) walau menzhalimi sekecil dzarrah (sekecil apapun), dan jika ada kebajikan walau sebesar dzarrah, niscaya Allah akan melipat gandakannya dan memberikan pahala yang besar.” (An Nisaa’: 40)
Seperti halnya dengan wudhu’, meski amalan ini terkesan ringan dan ringkas, tetapi memiliki keutamaan yang besar tiada tara. Sebagaimana yang Allah subhanahu wata’ala janjikan pada ayat diatas. Berikut ini kami sebutkan beberapa keutamaan wudhu’, diantaranya:

1. Pembersih dari Noda-Noda Dosa dan Penambah Amal Kebajikan

Perlu kita sadari, bahwa manusia itu bukanlah makhluk yang sempurna, bahkan Allah subhanahu wata’ala sebagai Sang Khaliq (Pencipta) mensifati manusia dengan sifat yang sering lalai dan bodoh, sehingga sering terjatuh dalam perbuatan dosa dan kezhaliman. Sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala (artinya):
“Sesungguhnya manusia itu amat aniaya (zhalim) dan amat bodoh.” (Al Ahzab: 72) Ditegaskan pula dalam hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, dari sahabat Anas bin Malik: “Setiap anak cucu Adam pasti selalu melakukan kesalahan. Dan sebaik-baik mereka yang melakukan kesalahan adalah yang selalu bertaubat kepada-Nya.” (HR Ahmad, Ibnu Majah, dan Ad Darimi)
Akan tetapi, dengan rahmat Allah subhanahu wata’ala yang amat luas, Allah subhanahu wata’ala memberikan solusi yang mudah untuk membersihkan diri dari noda-noda dosa diantaranya dengan wudhu’. Hingga ketika seseorang selesai dari wudhu’ maka ia akan bersih dari noda-noda dosa tersebut.

Dari shahabat Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Apabila seorang muslim atau mukmin berwudhu’ kemudian mencuci wajahnya, maka akan keluar dari wajahnya tersebut setiap dosa pandangan yang dilakukan kedua matanya bersama air wudhu’ atau bersama akhir tetesan air wudhu’. Apabila ia mencuci kedua tangannya, maka akan keluar setiap dosa yang dilakukan kedua tangannya tersebut bersama air wudhu’ atau bersama akhir tetesan air wudhu’. Apabila ia mencuci kedua kaki, maka akan keluar setiap dosa yang disebabkan langkah kedua kakinya bersama air wudhu’ atau bersama tetesan akhir air wudhu’, hingga ia selesai dari wudhu’nya dalam keadaan suci dan bersih dari dosa-dosa.” (HR Muslim no. 244).
Subhanallah… sebuah rahmat dan kasih sayang yang sangat besar tiada tara yang diberikan Sang Rabbul ‘Alamin kepada para hamba-Nya.

2. Anggota Wudhu’ Akan Bercahaya Pada Hari Kiamat

Pada hari kiamat nanti, umat Nabi Muhammad Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam akan terbedakan dengan umat yang lainnya dengan cahaya yang nampak pada anggota wudhu’. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya umatku akan dipanggil pada hari kiamat nanti dalam keadaan dahi, kedua tangan dan kaki mereka bercahaya, karena bekas wudhu’.” (HR. Al Bukhari no. 136 dan Muslim no. 246)
dalam riwayat yang lain:
Bagaimana engkau mengenali umatmu setelah sepeninggalmu, wahai Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam Seraya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Tahukah kalian bila seseorang memilki kuda yang berwarna putih pada dahi dan kakinya diantara kuda-kuda yang yang berwarna hitam yang tidak ada warna selainnya, bukankah dia akan mengenali kudanya? Para shahabat menjawab: “Tentu wahai Rasulullah.” Rasulullah berkata: “Mereka (umatku) nanti akan datang dalam keadaan bercahaya pada dahi dan kedua tangan dan kaki, karena bekas wudhu’ mereka.” (HR. Mslim no. 249)
Dalam hadits diatas menjelaskan bahwa umat Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam yang akan bercahaya nanti pada hari kiamat itu disebabkan karena amalan wudhu’. Tentunya, siapa yang tidak pernah berwudhu’, maka bagaimana mungkin dia akan bercahaya yang dengan tanda itu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam akan mengenali sebagai umatnya?

3. Mengangkat Derajat Disisi Allah subhanahu wata’ala

Semulia-mulia derajat adalah derajat yang tinggi disisi Allah subhanahu wata’ala. Adapun seseorang yang meraih derajat tinggi dihadapan manusia itu belum tentu ia berada pada derajat tinggi disisi Allah subhanahu wata’ala. Maka dengan wudhu’ yang sempurna akan dapat mengangkat derajat yang tinggi disisi Allah subhanahu wata’ala. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Maukah kalian aku tunjukkan suatu amalan yang dengannya Allah akan menghapus dosa-dosa dan mengangkat derajatnya! Para shahabat berkata: “Tentu, wahai Rasulullah. Kemudian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Menyempurnakan wudhu’ walaupun dalam kondisi sulit, memperbanyak jalan ke masjid, dan menunggu shalat setelah shalat, maka itulah yang disebut dengan ar ribath.” (HR. Muslim no. 251)
Selain wudhu’ memiliki keutamaan yang besar, wudhu’ juga memilki peranan dan pengaruh penting pada amalan yang lainnya.

Coba perhatikan pada shalat lima waktu atau shalat sunnah lainnya yang kita kerjakan! Tidak akan sah shalat jika tanpa berwudhu’ terlebih dahulu. Karena wudhu’ merupakan salah satu syarat sahnya shalat. Sebagaiamana Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Tidaklah Allah menerima shalat seseorang apabila ia berhadats hingga dia berwudhu’.” (HR Al Bukhari no 135 dan Muslim no 225 dari sahabat Abu Hurairah)
Demikian pula ijma’ (kesepakatan) para ‘ulama bahwasanya shalat tidak boleh ditegakkan kecuali dengan berwudhu’ terlebih dahulu, selama tidak ada udzur untuk meninggalkan wudhu’ tersebut (Al Ausath 1/107).

Berikut ini akan kami paparkan beberapa waktu disunnahkan (dianjurkan) untuk berwudhu’. Dengan ini kita akan mengetahui betapa tinggi peranan dan pengaruh dari sebuah amalan wudhu’. Sehingga kita tidak menganggapnya enteng. Diantara waktu yang disunnahkan untuk berwudhu’, yaitu:

1. Berwudhu’ Ketika Hendak Pergi ke Masjid


Termasuk sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berwudhu’ sebelum berangkat shalat berjama’ah ke masjid. Yang memiliki pengaruh (nilai) yang lebih dibanding tidak berwudhu’ sebelumnya. Yaitu Allah subhanahu wata’ala menjadikan barakah pada setiap langkah kaki kanan maupun kiri berupa pengahusan dosa dan penambahan pahala. Sebagaimana Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Apabila seorang dari kalian berwudhu’, lalu ia menyempurnakan wudhu’nya, kemudian ia pergi ke masjid karena semata-mata hanya untuk melakukan shalat, maka tidaklah ia melangkahkan kaki kirinya melainkan terhapus kejelekan darinya dan dituliskan kebaikan bersama langkah kaki kanannya hingga masuk masjid.” (HR. Ath Thabrani dalam Al Mu’jam Al Kabir dari shahabat Ibnu Umar dan dishahihkan Asy Syaikh Al Albani dalam Shahih Al Jami’ no. 454)
2. Menyentuh Mushaf Al Qur’an

Al Qur’an adalah kalamullah (firman Allah) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam sebagai kitab suci umat Islam. Dalam rangka memulikan Al Qur’an sebagai kalamullah (firman Allah) maka disunnhakan berwudhu’ sebelum memegang kitab suci Al Qur’an ini. Al Imam Ath Thabrani dan Al Imam Ad Daraquthni meriwayatkan hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dari shahabat Hakim bin Hizam radhiallahu ‘anhu:
“Janganlah kamu menyentuh Al Qur’an kecuali dalam keadaan suci”.
Bagaimana jika hanya membacanya saja tanpa menyentuhnya, apakah hal ini juga disunnahkan (dianjurkan) oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam? Ya, hal itu disunnahkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Sebagaimana sabdanya:
“Sesungguhnya aku tidak menyukai berdzikir kepada Allah kecuali dalam keadaan suci.” (HR. Abu Daud dan An Nasa’i dari sahabat Ibnu Umar dan dishahihkan Asy Syaikh Al Albani).
Tentunya, membaca Al Qur’an adalah semulia-mulia dzikir kepada Allah subhanahu wata’ala.

3. Berwudhu’ Ketika Hendak Tidur

Termasuk sunnah Rasulullah adalah berwudhu’ sebelum tidur. Hal ini bertujuan agar setiap muslim dalam kondisi suci pada setiap kedaannya, walaupun ia dalam keadaan tidur. Hingga bila memang ajalnya datang menjemput, maka diapun kembali kehadapan Rabb-Nya dalam keadaan suci.

Dan sunnah ini pun akan mengarahkan pada mimpi yang baik dan terjauhkan diri dari permainan setan yang selalu mengincarnya. (Lihat Fathul Bari 11/125 dan Syarah Shahih Muslim 17/27)

Tentang sunnah ini, Rasulullah telah menjelaskan dalam sabda beliau yang diriwayatkan dari sahabat Al Barra’ bin ‘Azib, bahwasanya beliau berkata:
“Apabila kamu mendatangi tempat tidurmu, maka berwudhu’lah sebagaimana wudhu’mu untuk shalat.” (HR. Al Bukhari no. 6311 dan Muslim no. 2710)
Lebih jelas lagi, dari riwayat shahabat Mu’adz bin Jabal, bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Tidaklah seorang muslim tidur di malam hari dalam keadaan dengan berdzikir dan bersuci, kemudian ketika telah terbangun dari tidurnya lalu meminta kepada Allah kebaikan dunia dan akhirat, melainkan pasti Allah akan mengabulkannya.” (Fathul Bari juz 11/124)
Demikianlah sunnah yang selalu dijaga oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam ketika hendak tidur, yang semestinya kita sebagai muslim meneladaninya. Bahkan ketika beliau terbangun dari tidurnya untuk buang hajat, maka setelah itu beliau berwudhu’ lagi sebelum kembali ke tempat tidurnya. Sebagaimana yang diceritakan Abdullah Bin Abbas radhiallahu ‘anhuma:
“Bahwasanya pada suatu malam Rasulullah pernah terbangun dari tidurnya untuk menunaikan hajat. Kemudian beliau membasuh wajah dan tangannya (berwudhu’) lalu kembali tidur.” (HR. Al Bukhari no. 6316 dan Abu Dawud no. 5043 dan dishahihkan Asy Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 4217)
4. Berwudhu’ Ketika Hendak Berhubungan Dengan Istri

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam juga memberikan bimbingan bagi para pasutri (pasangan suami istri) ketika hendak bersetubuh. Hendaknya bagi pasutri berdo’a sebelum melakukannya, dengan doa’ yang telah diajarkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam:
“Dengan menyebut nama Allah, ya Allah jauhkanlah kami dari (gangguan) setan dan jauhkan (gangguan) setan terhadap apa yang Engkau rezikan kepada kami.” (HR. Al Bukhari no. 141)
Kemudian ketika sudah usai dan ingin mengulanginya lagi maka hendaknya keduanya berwudhu’ terlebih dahulu. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apabila seseorang telah berhubungan denga istrinya, kemudia ingin mengulanginya lagi maka hendaklah berwudhu’ terlebih dahulu.” (HR. Muslim no 308, At Tirmidzi, Ahmad dari Abu Sa’id Al Khudri dan dishahihkan Asy Syaikh Al Albani dalam Ats Tsamarul Mustathob hal.5)
Dengan tujuan agar setan tidak ikut campur dalam acara yang sakral ini dan bila dikarunia anak, maka setan tidak mampu memudharatkannya.

Para pembaca, bila kita baca biografi para ‘ulama, maka kita dapati mereka amat bersungguh-sungguh menjaga wudhu’nya dalam setiap keadaan. Sebagai contoh, Al Imam Asy Syathibi. Beliau adalah seorang yang buta, akan tetapi tidaklah beliau duduk disuatu majlis ilmu, kecuali beliau selalu dalam keadaan suci. Bahkan diantara ‘ulama ada yang tidak mau membaca hadits-hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam hingga mereka berwudhu’ terlebih dahulu. Bukan karena mereka berpendapat wajibnya berwudhu’ ketika hendak membaca hadits, akan tetapi yang mendasari hal itu adalah kesungguhan mereka untuk memuliakan ilmu dan untuk mendapatkan keutamaan yang besar dalam wudhu’.

Akhir kata, wudhu’ bukanlah amalan yang remeh bahkan amalan yang besar disisi Allah subhanahu wata’ala. Sehingga mendorong kita untuk selalu dalam kondisi suci (berwudhu’) dan berupaya bagaimana berwudhu’ dengan sempurna yang sesuai dengan tuntunan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Maka ikutilah pada edisi-edisi mendatang yang insya Allah akan menampilkan sebuah tema menarik tentang taca cara wudhu’ yang sesuai dengan sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.

link sumber: Ma’had Salafy Jember.