Friday, October 30, 2009

Menguatkan Penantian

Hari-hari ini nyatanya bukan hanya sekedar usaha saja sebagai sebuah pemenuh kepuasan, hari-hari ini bukan saja sebuah doa menjadi perubah segala keadaan tertentu menjadi tentu, tetapi hari-hari ini adalah hari dimana seseorang membuat penahan atas dirinya tanpa tergesa dalam mencapai apa yang dimau. Tiap detak perjalanan menyibakkan sebuah penantian untuk sebuah pencapaian atas hasil pencitaan.

Ada kekuatan besar sejatinya dibalik nilai-nilai penantian. Penantian yang tentunya memiliki sebuah usaha untuk menggapainya. Bukan sekedar penantian tanpa batasan waktu jelas, ataukah penantian yang semakin membebankan, atau pun penantian dengan api emosi terpendam. Penantian adalah sebuah keindahan. Bukankah tidak semua hal yang diinginkan pun terkadang membuat seseorang menunggu hasilnya. Dan Allah sebagai Maha Pemberi pastinya mengetahui kapan waktu hasil tersebut mesti diberikan kepada hambanya. Dan Allah pun Maha Melihat dari tiap usaha hambanya. Penantian dari sebuah usaha agar mendapatkan hasil yang paripurna. Bukankah pula ada memang mereka-mereka yang mencintai dan serius menikmati indahnya.

Sebuah ucapan indah seorang Ibnu Jauzi soal penantian, ya penantian atas sebuah usaha pertobatan dengan harap doa terkabulkan, “Aku ingin beribadah dengan doa dan aku juga yakin suatu saat, doaku pasti dikabulkan. Hanya saja, mungkin tidak sekarang dikabulkan, demi kemaslahatanku yang akan datang pada waktunya nanti. Dan jika tidak dikabulkan pun, aku sudah beruntung bisa beribadah dan menyerahkan diri kepada Allah.” Begitulah penantian, selalu ada saja hikmah yang mengiringinya. Bisa jadi apabila tidak menanti, kita mendapatkan hasil yang ternyata lebih banyak madharatnya. Nikmatilah penantian jangan tergesa memaksakan tanpa perkiraan. Sebagaimana Jundub bin Junadah radhiyallahu ‘anhu diantara dakwahnya pada Bani Ghifar dan Bani Aslam.

Penantian Bani Ghifar dan Aslam

Termasuk juga generasi pertama yang masuk Islam adalah Abu Dzar Al-Ghifari. Dia adalah seorang dari Arab gunung (Badui) yang manis tutur katanya dan fasih (demikianlah keistimewaan orang-orang Badui dalam segi bahasa mereka sangat fasih, pen).

Ketika dia mendengar diutusnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, dia menyuruh saudaranya: “Naikilah kendaraanmu ke lembah ini dan beritahu aku tentang berita orang yang mengaku nabi dan datang kepadanya berita dari langit! Dengarlah ucapannya, dan bawalah kemari.” Maka berangkatlah ia sampai datang ke Makkah. Di sana ia mendengar ucapan Rasul shallallahu alaihi wa sallam, kemudian kembali kepada Abu Dzar dan berkata: “Aku melihat dia menyuruh agar kita berakhlak yang mulia dan dia mengucapkan ucapan yang bukan sya’ir.”

Abu Dzar berkata: “Engkau tidak mencukupi apa yang aku inginkan.” Kemudian dia mempersiapkan bekalnya, membawa tempat airnya dan berangkatlah beliau ke Makkah. Beliau mendatangi masjid dan mencari-cari Nabi shallallahu alaihi wa sallam (dalam keadaan tidak mengenalinya). Tapi dia tidak suka untuk bertanya tentangnya, karena dia mengetahui kebencian Quraisy kepada setiap orang yang berhubungan dengan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.

Ketika datang waktu malam, Ali radhiallahu anhu melihat dia. Maka tahulah Ali radhiallahu anhu bahwa dia orang asing. Diajaknya dia sebagai tamunya di rumahnya. Ali tidak bertanya tentang sesuatu (tujuan atau keperluan) satu sama lain sesuai dengan kaidah dalam menghormati tamu di kalangan Arab, yaitu tidak bertanya tentang tujuan dan maksud kedatangannya, kecuali setelah tiga hari.

Pada pagi harinya, kembali dia membawa tempat air dan bekalnya ke masjid sampai habis hari itu dan dia belum melihat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Maka ketika petang hari, dia kembali ke pembaringannya di masjid. Kemudian Ali melewatinya dan berkata: “Bukankah sudah waktunya seorang untuk mengetahui rumah yang kemarin dia diterima sebagai tamunya?” Maka dibangunkannya kemudian pergi bersamanya, juga tak saling bertanya satu sama lainnya. Pada hari yang ketiga, kembali dia seperti tadi, maka Ali berkata kepadanya: “Tidaklah engkau mau mengabarkan kepadaku apa yang menyebabkan engkau datang kemari?” Dia berkata: “Kalau engkau mau memberikan janji kepadaku mau menunjukkan aku, akan kerjakan (menjawab).” Maka Ali memberikan janjinya dan dia mengabarkan. Ali berkata: “Sesungguhnya itu adalah haq. Dia adalah utusan Allah. Jika pagi hari nanti, ikutilah aku. Kalau aku melihat sesuatu yang aku khawatirkan atasmu aku berhenti, seakan-akan aku menuangkan air. Dan jika aku berjalan, ikutilah aku sampai engkau masuk ke tempat aku masuk.” Abu Dzar pun mengerjakan yang demikian. Dia berangkat mengikuti jejak Ali sampai masuk ke tempat Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan mendengarkan ucapannya. Di situ beliau masuk Islam dan berkatalah Nabi shallallahu alaihi wa sallam: “Pulanglah engkau ke kaummu dan khabarkanlah kepada mereka (tentang aku) sampai datang perintahku.” Dia berkata (Abu Dzar): “Demi yang jiwaku ada di tangan-Nya, aku akan menyeru dengannya di tengah-tengah mereka (kaum Quraisy).” Dia segera keluar hingga mendatangi masjid berseru dengan sekeras suaranya: “Asyhadu anla ilaha Illallah, wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah!” Maka bangkitlah kaum Quraisy dan memukulinya hingga ia terbaring. Abbas pun datang memarahi mereka dan mengucapkan: “Celaka kalian! Tidakkah kalian tahu bahwa dia dari suku Ghifar? Jalan perdagangan kalian ke Syam melewati mereka.” Abbas segera menolongnya dan menyelamatkannya dari mereka. Tetapi kembali Abu Dzar mengulanginya pada keesokan harinya dan kembali mereka memukulinya sampai Abbas datang kembali. (HR. Bukhari dalam Manaqibul Anshar dan Muslim dalam Fadha`il Shahabah), dan dalam riwayat lain berisi sambungan hadits tersebut yakni Rasulullah menyuruh Abu Dzar kembali ke kaumnya. Dan menunggu berita selanjutnya dari Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam. Hingga akhirnya suatu ketika Rasulullah berpapasan dengan jumlah orang banyak ketika perjalanan safar. Menemukan sebagian besar Bani Ghifar dan Bani Aslam telah masuk Islam atas upaya Abu Dzar. Berkatalah Rasulullah, “Semoga Allah mengampuni Suku Ghifar, dan memberikan keselamatan atas Suku Aslam”

Mengindahkan Penantian

Indahnya sebuah penantian berakhir doa yang menjanjikan. Bukankah memang kita hidup hanya penuh dengan penantian sebagai sebuah jawaban pasti dari usaha yang tiap detak gerik dilakukan. Bukankah hari ini kita sama-sama menanti kematian? Dan kita mengetahui soal dahsyatnya hari-hari setelah kematian? Begitulah penantian. Tidak mesti selamanya menjenuhkan dan membosankan. Selagi upaya telah berjalan, maka biarkanlah penantian mengisi selang jawaban untuk mengakhiri hasilnya pada tabung keputusan. Ada kala tabung itu berisi sangat pelan, namun pasti akan penuh sekalipun waktunya berlama jalan. Bisa pula cepat terisi dengan sangat seiring tekanan yang kuat dari aliran hulunya menuju hilir tanpa sumbatan. Penantian, mengajarkan kita untuk lebih banyak sadar memupuk kesabaran.

Bukan penantian konyol yang disajikan para kaumnya Musa ‘alayhissalam,

Dan (Ingatlah) ketika Musa Berkata kepada kaumnya: “Hai kaumku, ingatlah nikmat Allah atasmu ketika dia mengangkat nabi nabi diantaramu, dan dijadikan-Nya kamu orang-orang merdeka, dan diberikan-Nya kepadamu apa yang belum pernah diberikan-Nya kepada seorangpun diantara umat-umat yang lain”. Musa berkata: “Hai kaumku, masuklah ke tanah Suci (Palestina) yang Telah ditentukan Allah bagimu, dan janganlah kamu lari kebelakang (karena takut kepada musuh), Maka kamu menjadi orang-orang yang merugi. Mereka berkata: “Hai Musa, Sesungguhnya dalam negeri itu ada orang-orang yang gagah Perkasa, Sesungguhnya kami sekali-kali tidak akan memasukinya sebelum mereka ke luar daripadanya. jika mereka ke luar daripadanya, pasti kami akan memasukinya”. Berkatalah dua orang diantara orang-orang yang takut (kepada Allah) yang Allah Telah memberi nikmat atas keduanya: “Serbulah mereka dengan melalui pintu gerbang (kota) itu, Maka bila kamu memasukinya niscaya kamu akan menang. dan Hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman”. Mereka berkata: “Hai Musa, kami sekali sekali tidak akan memasuki nya selama-lamanya, selagi mereka ada didalamnya, Karena itu pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, Sesungguhnya kami hanya duduk menanti disini saja”. Berkata Musa: “Ya Tuhanku, Aku tidak menguasai kecuali diriku sendiri dan saudaraku. sebab itu pisahkanlah antara kami dengan orang-orang yang fasik itu”. Allah berfirman: “(Jika demikian), Maka Sesungguhnya negeri itu diharamkan atas mereka selama empat puluh tahun, (selama itu) mereka akan berputar-putar kebingungan di bumi (padang Tiih) itu. Maka janganlah kamu bersedih hati (memikirkan nasib) orang-orang yang fasik itu.” (QS. Al_Maa’idah : 21-26).

Penantian terindah ialah saat mengerjakan apa yang dapat dilakukan dan terdekat dengan momentum termudah untuk dikejar, sebagaimana Ibnu Umar berkata disaat beliau usai mengucapkan hadits Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam, “Jadilah engkau di dunia ini seperti orang asing atau bahkan seperti orang yang sekedar lewat (musafir).” (HR. Al-Bukhari no. 6416), “Bila engkau berada di sore hati maka janganlah engkau menanti datangnya pagi. Sebaliknya bila engkau berada di pagi hari, janganlah menanti datangnya sore hari. Gunakanlah waktu sehatmu (untuk beramal ketaatan) sebelum datang sakitmu. Dan gunakan hidupmu (untuk beramal shalih) sebelum kematian menjemputmu.”

Maka janganlah bermurung durja dalam menanti, sebab demikian menyumbat hasil atas jawaban yang diingini. Akan tetapi hiasi momentum penantian dengan manfaat yang menyisakan penantian berikutnya. Agar ketika satu penantian terjawab memuaskan, maka telah ada usaha yang terserahkan untuk dinanti jawaban berikutnya. Berputar mengisi tanpa henti aliran deras penuh tekanan bernama ketawakalan.

Wallahu ‘Alam bi Shawwab

Akh Rizki Aji - Sobatmuda.com.
http://sobat-muda.com/content/view/137/1/

Thursday, October 29, 2009

Indahnya Pernikahan

Video Kajian oleh Ust Abdul Hakim bin Amir Abdat » Show/Hide

Tuesday, October 27, 2009

Hiasi Dirimu dengan Malu

Penulis: Ummu Salamah Farosyah

Semoga Allah Ta’ala senantiasa merahmatimu, saudariku… Malu, demikianlah nama sebuah sifat yang sangat lekat ketika kita berbicara tentang wanita. Maka beruntunglah engkau saudariku ketika Allah menciptakanmu dengan sifat malu yang ada pada dirimu! Karena apa? Hal ini tidak lain karena malu adalah bagian dari iman.

Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melewati seorang Anshar yang sedang menasehati saudaranya karena sangat pemalu, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Biarkan dia karena rasa malu adalah bagian dari Iman.” (HR. Bukhari Muslim)

Hakikat rasa malu itu adalah sebuah akhlak yang memotivasi diri untuk meninggalkan hal-hal yang buruk dan membentengi diri dari kecerobohan dalam memberikan hak kepada yang berhak menerimanya. Seorang muslimah akan menjauhkan dirinya dari larangan Allah dan selalu menaati Allah disebabkan rasa malunya kepada Allah yang telah memberikan kebaikan padanya yang tidak terhitung.

Perintah yang Dibawa oleh Setiap Nabi

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Sesungguhnya di antara yang didapat manusia dari kalimat kenabian terdahulu ialah: Jika engkau tidak malu, berbuatlah sekehendakmu.” (HR. Bukhari)

Yang dimaksud dengan “kalimat kenabian terdahulu” ialah bahwa rasa malu merupakan akhlaq yang terpuji dan dipandang baik, selalu diperintahkan oleh setiap nabi dan tidak pernah dihapuskan dari syari’at para nabi sejak dahulu.

Dalam hadits ini disebutkan, “Jika engkau tidak malu, maka berbuatlah sesukamu.” Kalimat ini mengandung 3 pengertian, yaitu:

Berupa perintah: Jika perbuatan tersebut tidak mendatangkan rasa malu, maka lakukanlah. Karena perbuatan yang membuat rasa malu jika diketahui orang lain adalah perbuatan dosa.

Berupa ancaman dan peringatan keras: Silahkan kamu melakukan apa yang kamu suka, karena azab sedang menanti orang yang tidak memiliki rasa malu. Berbuat sesuka hati, tidak peduli dengan orang lain.

Berupa berita: Lakukan saja perbuatan buruk yang kamu tidak malu untuk melakukannya.
Malu? Siapa yang punya?

Sifat malu ada dua macam, yaitu:

1. Malu yang merupakan watak asli manusia

Sifat malu jenis ini telah menjadi fitrah dan watak asli dari seseorang. Allah menganugerahkan sifat malu seperti ini kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Memiliki sifat malu seperti ini adalah nikmat yang besar, karena sifat malu tidak akan memunculkan kecuali perbuatan yang baik bagi hamba-hamba-Nya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, dari Imran Ibn Hushain radhiyallahu’anhu: “Rasa malu itu tidak mendatangkan kecuali kebaikan.” (HR. Bukhari Muslim)

2. Malu yang diupayakan (dengan mempelajari syari’at)

Al-Qurthubi berkata, “Malu yang diupayakan inilah yang oleh Allah jadikan bagian dari keimanan. Malu jenis inilah yang dituntut, bukan malu karena watak atau tabiat. Jika seorang hamba dicabut rasa malunya, baik malu karena tabiat atau yang diupayakan, maka dia sudah tidak lagi memiliki pencegah yang dapat menyelamatkannya dari perbuatan jelek dan maksiat, sehingga jadilah dia setan yang terkutuk yang berjalan di muka bumi dalam wujud manusia.”

Hati-Hati terhadap Malu yang Tercela

Saudariku, ketahuilah bahwa ada malu yang disebut malu tercela, yaitu malu yang menjadikan pelakunya mengabaikan hak-hak Allah Ta’ala sehingga akhirnya dia beribadah kepada Allah dengan kebodohan. Di antara malu yang tercela adalah malu bertanya masalah agama, tidak menunaikan hak-hak secara sempurna, tidak memenuhi hak yang menjadi tanggung jawabnya, termasuk hak kaum muslimin.

Nah, saudariku, kini engkau tahu! Meskipun malu adalah tabiat dasar seorang wanita, sifat ini tidak boleh menghalangimu untuk berbuat kebaikan. Berlomba-lombalah dalam berbuat kebaikan sampai engkau menjadi wanita yang paling mulia di sisi Allah!

Wallahu a’lam.

Maraaji’:
Syarah Hadits Arba’in Imam Nawawi
Tarjamah Riyadhus Shalihin Jilid 2 Imam Nawawi, Takhrij: Syaikh M. Nashiruddin Al-Albani.
Buletin Tuhfatun Nisa: Rufaidah.

***

Artikel www.muslimah.or.id

Sunday, October 25, 2009

Madrasah Orientalis

oleh Ust Abdul Hakim bin Amir Abdat



Saturday, October 24, 2009

Usia Ideal Menikah

Oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Pertanyaan.

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Berapa usia ideal untuk menikah bagi perempuan dan laki-laki, karena ada sebagian remaja putri yang menolak dinikahi oleh lelaki yang lebih tua darinya ? Dan demikian pula banyak laki-laki yang tidak mau menikahi perempuan yang lebih tua daripada mereka. Kami memohon jawabannya. Jazakumullahu khairan

Jawaban.

Saya berpesan kepada para remaja putri agar tidak menolak lelaki karena usianya yang lebih tua dari dia, seperti lebih tua 10, 20 atau 30 tahun. Sebab hal itu bukan alasan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri menikahi Aisyah Radhiyallahu ‘anha, ketika beliau berusia 53 tahun, sedangkan Aisyah baru berusia 9 tahun. Jadi usia lebih tua itu tidak berbahaya, maka tidak apa-apa perempuannya yang lebih tua dan tidak apa-apa pula kalau laki-lakinya yang lebih tua.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menikahi Khadijah Radhiyallahu ‘anha yang pada saat itu berumur 40 tahun, sedangkan Rasulullah masih berusia 25 tahun sebelum beliau menerima wahyu. Itu artinya Khadijah lebih tua 15 tahun dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian menikahi Aisyah Radhiyallahu ‘anha sedang umurnya baru enam tahun atau tujuh tahun dan beliau menggaulinya ketika dia berumur sembilan tahun sedang beliau lima puluh tiga tahun.

Banyak sekali mereka yang berbicara di radio-radio atau di televisi menakut-nakuti orang karena kesenjangan usia antara suami dan istri. Ini adalah keliru besar ! Mereka tidak boleh berbicara demikian ! Kewajiban setiap perempuan adalah melihat dan memperhatikan laki-laki yang akan menikahinya, lalu jika dia seorang yang shalih dan cocok, maka hendaknya ia menerima lamarannya, sekalipun lebih tua darinya.

Demikian pula bagi laki-laki, hendaknya lebih memperhatikan perempuan yang shalihah yang komit dalam beragama, sekalipun lebih tua darinya selagi perempuan itu masih dalam batas usia remaja dan produktif. Walhasil, bahwa masalah usia itu tidak boleh dijadikan sebagai penghalang dan tidak boleh dijadikan sebagai cela, selagi laki-laki atau perempuan itu adalah sosok lelaki shalih dan sosok perempuan shalihah. Semoga Allah memperbaiki kondisi kita semua.

[Fatawa Mar'ah, hal.54 oleh Syaikh Bin Baz]

[Disalin dari. Kitab Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Penyusun Khalid Al-Juraisy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah Amir Hamzah dkk, Penerbit Darul Haq]

Sumber : http://www.almanhaj.or.id/content/429/slash/0

Konsep Tentang Pernikahan

Oleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

MUQADIMAH

Persoalan perkawinan adalah persoalan yang selalu aktual dan selalu menarik untuk dibicarakan, karena persoalan ini bukan hanya menyangkut tabiat dan hajat hidup manusia yang asasi saja tetapi juga menyentuh suatu lembaga yang luhur dan sentral yaitu rumah tangga. Luhur, karena lembaga ini merupakan benteng bagi pertahanan martabat manusia dan nilai-nilai ahlaq yang luhur dan sentral.

Karena lembaga itu memang merupakan pusat bagi lahir dan tumbuhnya Bani Adam, yang kelak mempunyai peranan kunci dalam mewujudkan kedamaian dan kemakmuran di bumi ini. Menurut Islam Bani Adamlah yang memperoleh kehormatan untuk memikul amanah Illahi sebagai khalifah di muka bumi, sebagaimana firman Allah Ta’ala.

“Artinya : Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat : “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata : “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di muka bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau ?. Allah berfirman : “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. [Al-Baqarah : 30].

Perkawinan bukanlah persoalan kecil dan sepele, tapi merupakan persoalan penting dan besar. ‘Aqad nikah (perkawinan) adalah sebagai suatu perjanjian yang kokoh dan suci (mitsaqon gholidhoo), sebagaiman firman Allah Ta’ala.

“Artinya : Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami istri dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat”. [An-Nisaa' : 21].

Karena itu, diharapkan semua pihak yang terlibat di dalamnya, khusunya suami istri, memelihara dan menjaganya secara sunguh-sungguh dan penuh tanggung jawab.

Agama Islam telah memberikan petunjuk yang lengkap dan rinci terhadap persoalan perkawinan. Mulai dari anjuran menikah, cara memilih pasangan yang ideal, melakukan khitbah (peminangan), bagaimana mendidik anak, serta memberikan jalan keluar jika terjadi kemelut dalam rumah tangga, sampai dalam proses nafaqah dan harta waris, semua diatur oleh Islam secara rinci dan detail.

Selanjutnya untuk memahami konsep Islam tentang perkawinan, maka rujukan yang paling sah dan benar adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah Shahih (yang sesuai dengan pemahaman Salafus Shalih -pen), dengan rujukan ini kita akan dapati kejelasan tentang aspek-aspek perkawinan maupun beberapa penyimpangan dan pergeseran nilai perkawinan yang terjadi di masyarakat kita.

Tentu saja tidak semua persoalan dapat penulis tuangkan dalam tulisan ini, hanya beberapa persoalan yang perlu dibahas yaitu tentang : Fitrah Manusia, Tujuan Perkawinan dalam Islam, Tata Cara Perkawinan dan Penyimpangan Dalam Perkawinan.

PERKAWINAN ADALAH FITRAH KEMANUSIAAN

Agama Islam adalah agama fithrah, dan manusia diciptakan Allah Ta’ala cocok dengan fitrah ini, karena itu Allah Subhanahu wa Ta’ala menyuruh manusia menghadapkan diri ke agama fithrah agar tidak terjadi penyelewengan dan penyimpangan. Sehingga manusia berjalan di atas fitrahnya.

Perkawinan adalah fithrah kemanusiaan, maka dari itu Islam menganjurkan untuk nikah, karena nikah merupakan gharizah insaniyah (naluri kemanusiaan). Bila gharizah ini tidak dipenuhi dengan jalan yang sah yaitu perkawinan, maka ia akan mencari jalan-jalan syetan yang banyak menjerumuskan ke lembah hitam. Firman Allah Ta’ala.

“Artinya : Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah) ; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus ; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. [Ar-Ruum : 30].

A. Islam Menganjurkan Nikah

Islam telah menjadikan ikatan perkawinan yang sah berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagi satu-satunya sarana untuk memenuhi tuntutan naluri manusia yang sangat asasi, dan sarana untuk membina keluarga yang Islami. Penghargaan Islam terhadap ikatan perkawinan besar sekali, sampai-sampai ikatan itu ditetapkan sebanding dengan separuh agama. Anas bin Malik radliyallahu ‘anhu berkata : “Telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :

“Artinya : Barangsiapa menikah, maka ia telah melengkapi separuh dari agamanya. Dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dalam memelihara yang separuhnya lagi“. [Hadist Riwayat Thabrani dan Hakim]

B. Islam Tidak Menyukai Membujang

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menikah dan melarang keras kepada orang yang tidak mau menikah. Anas bin Malik radliyallahu ‘anhu berkata : “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk nikah dan melarang kami membujang dengan larangan yang keras”. Dan beliau bersabda :

“Artinya : Nikahilah perempuan yang banyak anak dan penyayang. Karena aku akan berbanggga dengan banyaknya umatku dihadapan para Nabi kelak di hari kiamat”. [Hadits Riwayat Ahmad dan di shahihkan oleh Ibnu Hibban]

Pernah suatu ketika tiga orang shahabat datang bertanya kepada istri-istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang peribadatan beliau, kemudian setelah diterangkan, masing-masing ingin meningkatkan peribadatan mereka. Salah seorang berkata : Adapun saya, akan puasa sepanjang masa tanpa putus. Dan yang lain berkata : Adapun saya akan menjauhi wanita, saya tidak akan kawin selamanya …. Ketika hal itu di dengar oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau keluar seraya bersabda :

“Artinya : Benarkah kalian telah berkata begini dan begitu, sungguh demi Allah, sesungguhnya akulah yang paling takut dan taqwa di antara kalian. Akan tetapi aku berpuasa dan aku berbuka, aku shalat dan aku juga tidur dan aku juga mengawini perempuan. Maka barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku, maka ia tidak termasuk golongannku“.[Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim].

Orang yang mempunyai akal dan bashirah tidak akan mau menjerumuskan dirinya ke jalan kesesatan dengan hidup membujang. Kata Syaikh Hussain Muhammad Yusuf :

Hidup membujang adalah suatu kehidupan yang kering dan gersang, hidup yang tidak mempunyai makna dan tujuan. Suatu kehidupan yang hampa dari berbagai keutamaan insani yang pada umumnya ditegakkan atas dasar egoisme dan mementingkan diri sendiri serta ingin terlepas dari semua tanggung jawab“.

Orang yang membujang pada umumnya hanya hidup untuk dirinya sendiri. Mereka membujang bersama hawa nafsu yang selalu bergelora, hingga kemurnian semangat dan rohaninya menjadi keruh. Mereka selalu ada dalam pergolakan melawan fitrahnya, kendatipun ketaqwaan mereka dapat diandalkan, namun pergolakan yang terjadi secara terus menerus lama kelamaan akan melemahkan iman dan ketahanan jiwa serta mengganggu kesehatan dan akan membawanya ke lembah kenistaan.

Jadi orang yang enggan menikah baik itu laki-laki atau perempuan, maka mereka itu sebenarnya tergolong orang yang paling sengsara dalam hidup ini. Mereka itu adalah orang yang paling tidak menikmati kebahagian hidup, baik kesenangan bersifat sensual maupun spiritual. Mungkin mereka kaya, namun mereka miskin dari karunia Allah.

Islam menolak sistem kerahiban karena sistem tersebut bertentangan dengan fitrah kemanusiaan, dan bahkan sikap itu berarti melawan sunnah dan kodrat Allah Ta’ala yang telah ditetapkan bagi mahluknya. Sikap enggan membina rumah tangga karena takut miskin adalah sikap orang jahil (bodoh), karena semua rezeki sudah diatur oleh Allah sejak manusia berada di alam rahim, dan manusia tidak bisa menteorikan rezeki yang diakaruniakan Allah, misalnya ia berkata : “Bila saya hidup sendiri gaji saya cukup, tapi bila punya istri tidak cukup ?!”.

Perkataan ini adalah perkataan yang batil, karena bertentangan dengan ayat-ayat Allah dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah memerintahkan untuk kawin, dan seandainya mereka fakir pasti Allah akan membantu dengan memberi rezeki kepadanya. Allah menjanjikan suatu pertolongan kepada orang yang nikah, dalam firman-Nya :

“Artinya : Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”. [An-Nur : 32].

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menguatkan janji Allah itu dengan sabdanya :

“Artinya : Ada tiga golongan manusia yang berhak Allah tolong mereka, yaitu seorang mujahid fi sabilillah, seorang hamba yang menebus dirinya supaya merdeka, dan seorang yang menikah karena ingin memelihara kehormatannya“. [Hadits Riwayat Ahmad 2 : 251, Nasa'i, Tirmidzi, Ibnu Majah hadits No. 2518, dan Hakim 2 : 160 dari shahabat Abu Hurairah radliyallahu 'anhu].

Para Salafus-Shalih sangat menganjurkan untuk nikah dan mereka anti membujang, serta tidak suka berlama-lama hidup sendiri.

Ibnu Mas’ud radliyallahu ‘anhu pernah berkata : “Jika umurku tinggal sepuluh hari lagi, sungguh aku lebih suka menikah daripada aku harus menemui Allah sebagai seorang bujangan”. [Ihya Ulumuddin dan Tuhfatul 'Arus hal. 20].

Sumber : http://www.almanhaj.or.id/content/173/slash/0

***

TUJUAN PERKAWINAN DALAM ISLAM

[1]. Untuk Memenuhi Tuntutan Naluri Manusia Yang Asasi

Di tulisan terdahulu kami sebutkan bahwa perkawinan adalah fitrah manusia, maka jalan yang sah untuk memenuhi kebutuhan ini yaitu dengan aqad nikah (melalui jenjang perkawinan), bukan dengan cara yang amat kotor menjijikan seperti cara-cara orang sekarang ini dengan berpacaran, kumpul kebo, melacur, berzina, lesbi, homo, dan lain sebagainya yang telah menyimpang dan diharamkan oleh Islam.

[2]. Untuk Membentengi Ahlak Yang Luhur.

Sasaran utama dari disyari’atkannya perkawinan dalam Islam di antaranya ialah untuk membentengi martabat manusia dari perbuatan kotor dan keji, yang telah menurunkan dan meninabobokan martabat manusia yang luhur. Islam memandang perkawinan dan pembentukan keluarga sebagai sarana efefktif untuk memelihara pemuda dan pemudi dari kerusakan, dan melindungi masyarakat dari kekacauan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Artinya : Wahai para pemuda ! Barangsiapa diantara kalian berkemampuan untuk nikah, maka nikahlah, karena nikah itu lebih menundukan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia puasa (shaum), karena shaum itu dapat membentengi dirinya”. [Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa'i, Darimi, Ibnu Jarud dan Baihaqi].

[3]. Untuk Menegakkan Rumah Tangga Yang Islami.

Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa Islam membenarkan adanya Thalaq (perceraian), jika suami istri sudah tidak sanggup lagi menegakkan batas-batas Allah, sebagaimana firman Allah dalan ayat berikut :

“Artinya : Thalaq (yang dapat dirujuki) dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang bail. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang dhalim”. [Al-Baqarah : 229].

Yakni keduanya sudah tidak sanggup melaksanakan syari’at Allah. Dan dibenarkan rujuk (kembali nikah lagi) bila keduany sanggup menegakkan batas-batas Allah. Sebagaimana yang disebutkan dalam surat Al-Baqarah lanjutan ayat di atas :

“Artinya : Kemudian jika si suami menthalaqnya (sesudah thalaq yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dikawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami yang pertama dan istri) untuk kawin kembali, jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah, diternagkannya kepada kaum yang (mau) mengetahui “. [Al-Baqarah : 230]

Jadi tujuan yang luhur dari pernikahan adalah agar suami istri melaksanakan syari’at Islam dalam rumah tangganya. Hukum ditegakkannya rumah tangga berdasarkan syari’at Islam adalah wajib. Oleh karena itu setiap muslim dan muslimah yang ingin membina rumah tangga yang Islami, maka ajaran Islam telah memberikan beberapa kriteria tentang calon pasangan yang ideal, yaitu: Harus Kafa’ah dan Shalihah.

[a]. Kafa’ah Menurut Konsep Islam

Pengaruh materialisme telah banyak menimpa orang tua. Tidak sedikit zaman sekarang ini orang tua yang memiliki pemikiran, bahwa di dalam mencari calon jodoh putra-putrinya, selalu mempertimbangkan keseimbangan kedudukan, status sosial dan keturunan saja. Sementara pertimbangan agama kurang mendapat perhatian. Masalah Kufu’ (sederajat, sepadan) hanya diukur lewat materi saja.

Menurut Islam, Kafa’ah atau kesamaan, kesepadanan atau sederajat dalam perkawinan, dipandang sangat penting karena dengan adanya kesamaan antara kedua suami istri itu, maka usaha untuk mendirikan dan membina rumah tangga yang Islami inysa Allah akan terwujud. Tetapi kafa’ah menurut Islam hanya diukur dengan kualitas iman dan taqwa serta ahlaq seseorang, status sosial, keturunan dan lain-lainnya. Allah memandang sama derajat seseorang baik itu orang Arab maupun non Arab, miskin atau kaya. Tidak ada perbedaan dari keduanya melainkan derajat taqwanya [Al-Hujurat : 13]

“Artinya : Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang-orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. [Al-Hujurat : 13].

Dan mereka tetap sekufu’ dan tidak ada halangan bagi mereka untuk menikah satu sama lainnya. Wajib bagi para orang tua, pemuda dan pemudi yang masih berfaham materialis dan mempertahanakan adat istiadat wajib mereka meninggalkannya dan kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang Shahih. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :

“Artinya : Wanita dikawini karena empat hal : Karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka hendaklah kamu pilih karena agamanya (ke-Islamannya), sebab kalau tidak demikian, niscaya kamu akan celaka”. [Hadits Shahi Riwayat Bukhari 6:123, Muslim 4:175]

[b]. Memilih Yang Shalihah

Orang yang mau nikah harus memilih wanita yang shalihan dan wanita harus memilih laki-laki yang shalih. Menurut Al-Qur’an wanita yang shalihah ialah :

“Artinya : Wanita yang shalihah ialah yang ta’at kepada Allah lagi memelihara diri bila suami tidak ada, sebagaimana Allah telah memelihara (mereka)“. [An-Nisaa : 34]

Menurut Al-Qur’an dan Al-Hadits yang Shahih di antara ciri-ciri wanita yang shalihah ialah :

“Ta’at kepada Allah, Ta’at kepada Rasul, Memakai jilbab yang menutup seluruh auratnya dan tidak untuk pamer kecantikan (tabarruj) seperti wanita jahiliyah (Al-Ahzab : 32), Tidak berdua-duaan dengan laki-laki yang bukan mahram, Ta’at kepada kedua Orang Tua dalam kebaikan, Ta’at kepada suami dan baik kepada tetangganya dan lain sebagainya”.
Bila kriteria ini dipenuhi Insya Allah rumah tangga yang Islami akan terwujud. Sebagai tambahan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk memilih wanita yang peranak (banyak keturunannya) dan penyayang agar dapat melahirkan generasi penerus umat.

[4]. Untuk Meningkatkan Ibadah Kepada Allah.

Menurut konsep Islam, hidup sepenunya untuk beribadah kepada Allah dan berbuat baik kepada sesama manusia. Dari sudut pandang ini, rumah tangga adalah salah satu lahan subur bagi peribadatan dan amal shalih di samping ibadat dan amal-amal shalih yang lain, sampai-sampai menyetubuhi istri-pun termasuk ibadah (sedekah).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Artinya : Jika kalian bersetubuh dengan istri-istri kalian termasuk sedekah !. Mendengar sabda Rasulullah para shahabat keheranan dan bertanya : “Wahai Rasulullah, seorang suami yang memuaskan nafsu birahinya terhadap istrinya akan mendapat pahala ?” Nabi shallallahu alaihi wa sallam menjawab : “Bagaimana menurut kalian jika mereka (para suami) bersetubuh dengan selain istrinya, bukankah mereka berdosa .? “Jawab para shahabat :”Ya, benar”. Beliau bersabda lagi : “Begitu pula kalau mereka bersetubuh dengan istrinya (di tempat yang halal), mereka akan memperoleh pahala !”. [Hadits Shahih Riwayat Muslim 3:82, Ahmad 5:1167-168 dan Nasa'i dengan sanad yang Shahih].

[5]. Untuk Mencari Keturunan Yang Shalih.

Tujuan perkawinan di antaranya ialah untuk melestarikan dan mengembangkan bani Adam, Allah berfirman :

“Artinya : Allah telah menjadikan dari diri-diri kamu itu pasangan suami istri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?”. [An-Nahl : 72]

Dan yang terpenting lagi dalam perkawinan bukan hanya sekedar memperoleh anak, tetapi berusaha mencari dan membentuk generasi yang berkualitas, yaitu mencari anak yang shalih dan bertaqwa kepada Allah.

Tentunya keturunan yang shalih tidak akan diperoleh melainkan dengan pendidikan Islam yang benar. Kita sebutkan demikian karena banyak “Lembaga Pendidikan Islam”, tetapi isi dan caranya tidak Islami. Sehingga banyak kita lihat anak-anak kaum muslimin tidak memiliki ahlaq Islami, diakibatkan karena pendidikan yang salah. Oleh karena itu suami istri bertanggung jawab mendidik, mengajar, dan mengarahkan anak-anaknya ke jalan yang benar.
Tentang tujuan perkawinan dalam Islam, Islam juga memandang bahwa pembentukan keluarga itu sebagai salah satu jalan untuk merealisasikan tujuan-tujuan yang lebih besar yang meliputi berbagai aspek kemasyarakatan berdasarkan Islam yang akan mempunyai pengaruh besar dan mendasar terhadap kaum muslimin dan eksistensi umat Islam.

Sumber : http://www.almanhaj.or.id/content/173/slash/1

***

TATA CARA PERKAWINAN DALAM ISLAM

Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang tata cara perkawinan berlandaskan Al-Qur’an dan Sunnah yang Shahih (sesuai dengan pemahaman para Salafus Shalih -peny), secara singkat penulis sebutkan dan jelaskan seperlunya :

[1]. Khitbah (Peminangan)

Seorang muslim yang akan mengawini seorang muslimah hendaknya ia meminang terlebih dahulu, karena dimungkinkan ia sedang di pinang oleh orang lain, dalam hal ini Islam melarang seorang muslim meminang wanita yang sedang dipinang oleh orang lain (Muttafaq ‘alaihi). Dalam khitbah disunnahkan melihat wajah yang akan dipinang (Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi No. 1093 dan Darimi).

[2]. Aqad Nikah

Dalam aqad nikah ada beberapa syarat dan kewajiban yang harus dipenuhi :

a. Adanya suka sama suka dari kedua calon mempelai.
b. Adanya Ijab Qabul.
c. Adanya Mahar.
d. Adanya Wali.
e. Adanya Saksi-saksi.

Dan menurut sunnah sebelum aqad nikah diadakan khutbah terlebih dahulu yang dinamakan Khutbatun Nikah atau Khutbatul Hajat.

[3]. Walimah

Walimatul ‘urusy hukumnya wajib dan diusahakan sesederhana mungkin dan dalam walimah hendaknya diundang orang-orang miskin. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang mengundang orang-orang kaya saja berarti makanan itu sejelek-jelek makanan.

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Makanan paling buruk adalah makanan dalam walimah yang hanya mengundang orang-orang kaya saja untuk makan, sedangkan orang-orang miskin tidak diundang. Barangsiapa yang tidak menghadiri undangan walimah, maka ia durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya”. [Hadits Shahih Riwayat Muslim 4:154 dan Baihaqi 7:262 dari Abu Hurairah]

Sebagai catatan penting hendaknya yang diundang itu orang-orang shalih, baik kaya maupun miskin, karena ada sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :

“Artinya : Janganlah kamu bergaul melainkan dengan orang-orang mukmin dan jangan makan makananmu melainkan orang-orang yang taqwa“. [Hadist Shahih Riwayat Abu Dawud, Tirmidzi, Hakim 4:128 dan Ahmad 3:38 dari Abu Sa'id Al-Khudri].

SEBAGIAN PENYELEWENGAN YANG TERJADI DALAM PERKAWINAN YANG WAJIB DIHINDARKAN/DIHILANGKAN.

[1]. Pacaran.

Kebanyakan orang sebelum melangsungkan perkawinan biasanya “Berpacaran” terlebih dahulu, hal ini biasanya dianggap sebagai masa perkenalan individu, atau masa penjajakan atau di anggap sebagai perwujudan rasa cinta kasih terhadap lawan jenisnya.

Adanya anggapan seperti ini, kemudian melahirkan konsesus bersama antar berbagai pihak untuk menganggap masa berpacaran sebagai sesuatu yang lumrah dan wajar-wajar saja. Anggapan seperti ini adalah anggapan yang salah dan keliru. Dalam berpacaran sudah pasti tidak bisa dihindarkan dari berintim-intim dua insan yang berlainan jenis, terjadi pandang memandang dan terjadi sentuh menyentuh, yang sudah jelas semuanya haram hukumnya menurut syari’at Islam.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Artinya : Jangan sekali-kali seorang laki-laki bersendirian dengan seorang perempuan, melainkan si perempuan itu bersama mahramnya”. [Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Bukhari dan Muslim].

Jadi dalam Islam tidak ada kesempatan untuk berpacaran dan berpacaran hukumnya haram.

[2]. Tukar Cincin.

Dalam peminangan biasanya ada tukar cincin sebagai tanda ikatan, hal ini bukan dari ajaran Islam. (Lihat Adabuz-Zifaf, Syaikh Nashiruddin Al-AlBani)

[3]. Menuntut Mahar Yang Tinggi.

Menurut Islam sebaik-baik mahar adalah yang murah dan mudah, tidak mempersulit atau mahal. Memang mahar itu hak wanita, tetapi Islam menyarankan agar mempermudah dan melarang menuntut mahar yang tinggi.

Adapun cerita teguran seorang wanita terhadap Umar bin Khattab yang membatasi mahar wanita, adalah cerita yang salah karena riwayat itu sangat lemah. [Lihat Irwa'ul Ghalil 6, hal. 347-348].

[4]. Mengikuti Upacara Adat.

Ajaran dan peraturan Islam harus lebih tinggi dari segalanya. Setiap acara, upacara dan adat istiadat yang bertentangan dengan Islam, maka wajib untuk dihilangkan. Umumnya umat Islam dalam cara perkawinan selalu meninggikan dan menyanjung adat istiadat setempat, sehingga sunnah-sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang benar dan shahih telah mereka matikan dan padamkan.

Sungguh sangat ironis…!. Kepada mereka yang masih menuhankan adat istiadat jahiliyah dan melecehkan konsep Islam, berarti mereka belum yakin kepada Islam.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

“Artinya : Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?”. [Al-Maaidah : 50]

Orang-orang yang mencari konsep, peraturan, dan tata cara selain Islam, maka semuanya tidak akan diterima oleh Allah dan kelak di Akhirat mereka akan menjadi orang-orang yang merugi, sebagaimana firman Allah Ta’ala :

“Artinya : Barangsiapa yang mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”. [Ali-Imran : 85].

[5]. Mengucapkan Ucapan Selamat Ala Kaum Jahiliyah.

Kaum jahiliyah selalu menggunakan kata-kata Birafa’ Wal Banin, ketika mengucapkan selamat kepada kedua mempelai. Ucapan Birafa’ Wal Banin (semoga mempelai murah rezeki dan banyak anak) dilarang oleh Islam.

Dari Al-Hasan, bahwa ‘Aqil bin Abi Thalib nikah dengan seorang wanita dari Jasyam. Para tamu mengucapkan selamat dengan ucapan jahiliyah : Birafa’ Wal Banin. ‘Aqil bin Abi Thalib melarang mereka seraya berkata : “Janganlah kalian ucapkan demikian !. Karena Rasulullah shallallhu ‘alaihi wa sallam melarang ucapan demikian”. Para tamu bertanya :”Lalu apa yang harus kami ucapkan, wahai Abu Zaid ?”. ‘Aqil menjelaskan :

“Ucapkanlah : Barakallahu lakum wa Baraka ‘Alaiykum” (Mudah-mudahan Allah memberi kalian keberkahan dan melimpahkan atas kalian keberkahan). Demikianlah ucapan yang diperintahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam”. [Hadits Shahih Riwayat Ibnu Abi Syaibah, Darimi 2:134, Nasa'i, Ibnu Majah, Ahmad 3:451, dan lain-lain].

Do’a yang biasa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ucapkan kepada seorang mempelai ialah:

“Baarakallahu laka wa baarakaa ‘alaiyka wa jama’a baiynakumaa fii khoir”

Do’a ini berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan dari Abu Hurairah:

“Artinya : Dari Abu hurairah, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika mengucapkan selamat kepada seorang mempelai, beliau mengucapkan do’a : (Baarakallahu laka wabaraka ‘alaiyka wa jama’a baiynakuma fii khoir) Mudah-mudahan Allah memberimu keberkahan, Mudah-mudahan Allah mencurahkan keberkahan atasmu dan mudah-mudahan Dia mempersatukan kamu berdua dalam kebaikan“. [Hadits Shahih Riwayat Ahmad 2:38, Tirmidzi, Darimi 2:134, Hakim 2:183, Ibnu Majah dan Baihaqi 7:148].

[6]. Adanya Ikhtilath.

Ikhtilath adalah bercampurnya laki-laki dan wanita hingga terjadi pandang memandang, sentuh menyentuh, jabat tangan antara laki-laki dan wanita. Menurut Islam antara mempelai laki-laki dan wanita harus dipisah, sehingga apa yang kita sebutkan di atas dapat dihindari semuanya.

[7]. Pelanggaran Lain.
Pelanggaran-pelanggaran lain yang sering dilakukan di antaranya adalah musik yang hingar bingar
.
KHATIMAH

Rumah tangga yang ideal menurut ajaran Islam adalah rumah tangga yang diliputi Sakinah (ketentraman jiwa), Mawaddah (rasa cinta) dan Rahmah (kasih sayang), Allah berfirman :

“Artinya : Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu hidup tentram bersamanya. Dan Dia (juga) telah menjadikan di antaramu (suami, istri) rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir”.[Ar-Ruum : 21].

Dalam rumah tangga yang Islami, seorang suami dan istri harus saling memahami kekurangan dan kelebihannya, serta harus tahu pula hak dan kewajibannya serta memahami tugas dan fungsiya masing-masing yang harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.

Sehingga upaya untuk mewujudkan perkawinan dan rumah tangga yang mendapat keridla’an Allah dapat terealisir, akan tetapi mengingat kondisi manusia yang tidak bisa lepas dari kelemahan dan kekurangan, sementara ujian dan cobaan selalu mengiringi kehidupan manusia, maka tidak jarang pasangan yang sedianya hidup tenang, tentram dan bahagia mendadak dilanda “kemelut” perselisihan dan percekcokan.

Bila sudah diupayakan untuk damai sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an surat An-Nisaa : 34-35, tetapi masih juga gagal, maka Islam memberikan jalan terakhir, yaitu “perceraian”.

Marilah kita berupaya untuk melakasanakan perkawinan secara Islam dan membina rumah tangga yang Islami, serta kita wajib meninggalkan aturan, tata cara, upacara dan adat istiadat yang bertentangan dengan Islam. Ajaran Islam-lah satu-satunya ajaran yang benar dan diridlai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala [Ali-Imran : 19]

“Artinya : Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami istri-istri dan keturunan yang menyejukkan hati kami, dan jadikanlah kami Imam bagi orang-orang yang bertaqwa“. [Al-Furqan :74].

Amiin. Wallahu a’alam bish shawab.

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 10-11/Th I/1415-1994. Diterbitkan Oleh Lajnah Istiqomah Surakarta, Alamat Gedung Umat Islam Lt II Kartopuran 241A Surakarta 57152]
Sumber : http://www.almanhaj.or.id/content/173/slash/2

Friday, October 23, 2009

Bingkisan Menuju Keluarga Sakinah

Oleh Al Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas.
Bingkisan Menuju Keluarga Sakinah (1)-(14) » Show/Hide

Mereka Bertanya Tentang Manhaj Salaf

Oleh Al Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat
Mereka Bertanya tentang Manhaj Salaf (1)-(08) » Show/Hide

Monday, October 19, 2009

Padamnya Rasa Cemburu

Penulis : Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah

Cemburu, asal tidak berlebihan, merupakan salah satu sifat terpuji yang harus dimiliki pasangan suami istri. Sayangnya, kerusakan moral atas nama modernitas telah mengikis rasa cemburu itu. Walhasil, pintu perselingkuhan pun terbuka lebar hingga berujung pada runtuhnya bangunan rumah tangga.

Banyak kita jumpai fenomena di mana seorang suami tidak lagi merasa berat hati bila melihat istrinya keluar rumah berdandan lengkap dengan beraneka polesan make-up di wajah. Sang istri datang ke pesta, ke pusat perbelanjaan, ataupun ke tempat kerja hanya dengan pakaian ‘sekedarnya’ yang memperlihatkan auratnya. Tak cuma itu, keluarnya istri dari rumah pun seringkali hanya ditemani sopir pribadinya.

Hati suami seakan tak tergerak. Darahnya pun seolah tidak mendidih melihat semua itu. Justru terselip rasa bangga bila istrinya dapat tampil cantik di hadapan banyak orang. Parahnya lagi, dia tetap merasa tenang ketika ada lelaki lain yang mendekati istrinya dan berbicara dengan nada akrab. Bahkan sekali lagi dia merasa bangga bila lelaki lain itu mengagumi kecantikan istrinya.

Yang ironis, sang suami dengan semua itu, kemudian memandang dirinya sebagai seorang yang berpikiran maju, moderat, penuh pengertian, dan mengikuti perkembangan jaman. Innalillahi wa inna ilaihi raji‘un.

Kebobrokan akhlak yang sangat parah pun menimpa, tatkala ghirah itu hilang… tatkala bara cemburu itu padam… Seorang suami tidak lagi memiliki ghirah terhadap istrinya, tidak ada rasa cemburu yang membuat dia menjaga istri dengan baik. Menyimpannya dalam istana yang mulia agar tidak terjamah tatapan mata dan sentuhan tangan yang tidak halal… Tidak ada lagi rasa cemburu di hatinya yang dapat mendorong untuk menjaga istrinya agar tidak melakukan hal-hal yang dilarang Allah dan Rasul-Nya, agar tidak melakukan pelanggaran akhlak dan moral. Bahkan, dia sendiri terjerembab, jatuh dalam jurang kenistaan.

Ghirah yang Hilang

Bila kita bandingkan kenyataan yang kita dapati pada hari ini dan kisah masa lalu, maka yang terucap hanyalah kata rindu, rindu kepada masa lalu. Betapa orang-orang dahulu begitu menjaga wanita mereka. Tidak mereka biarkan wanita mereka terlihat oleh mata-mata yang tidak halal, apalagi terkena sentuhan. Merupakan suatu aib bagi mereka bila wanita keluar rumah tanpa memakai kain penutup seluruh tubuhnya. Suatu cela bagi mereka bila ada lelaki lain berbicara dengan wanita mereka.

Mereka lazimkan wanita untuk mengenakan perhiasan rasa malu dan ‘iffah (menjaga kehormatan dan harga diri). Perbuatan seperti itu bukan sekedar tradisi dan budaya suatu masyarakat atau bangsa tertentu. Namun demikianlah yang diinginkan dalam syariat agama yang mulia ini. Dengan ghirah ini kemuliaan mereka pun tetap terjaga dan akhlak mereka terpelihara. Namun ketika ghirah ditanggalkan dan wanita dibiarkan keluar dari rumahnya tanpa rasa malu, terjadilah apa yang terjadi. Fitnah dan kerusakan moral yang tak terkira. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam jauh sebelumnya telah memperingatkan:

“Sesungguhnya dunia ini manis dan hijau. Dan Allah menjadikan kalian sebagai pengatur di dalamnya dengan turun temurun, lalu Dia melihat bagaimana kalian berbuat. Maka hati-hatilah kalian dari dunia dan hati-hatilah kalian dari wanita karena awal fitnah yang menimpa Bani Israil adalah pada wanitanya.” (Shahih, HR. Muslim no. 2742)

Jaman memang telah berubah. Mayoritas manusia semakin jauh dari akhlak yang lurus. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

Tidak datang kepada kalian suatu jaman kecuali jaman setelahnya lebih jelek darinya (yakni dari jaman sebelumnya) hingga kalian bertemu dengan Tuhan kalian.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 7068)

Ghirah Seorang Suami Menurut Tuntunan Islam

Di dalam agama yang mulia ini, seorang suami dituntut untuk memiliki ghirah atau rasa cemburu kepada istrinya, sehingga ia tidak menghadapkan istrinya kepada perkara yang mengikis rasa malu dan mengeluarkannya dari kemuliaan.

Sa’ad bin ‘Ubadah radhiyallahu ‘anhu pernah berkata dalam mengungkapkan kecemburuan terhadap istrinya:

Seandainya aku melihat seorang laki-laki bersama istriku niscaya aku akan memukul laki-laki itu dengan pedang (yang dimaksud bagian yang tajam, red)…”
Mendengar penuturan Sa‘ad yang sedemikian itu, tidaklah membuat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mencelanya, bahkan beliau bersabda: “Apakah kalian merasa heran dengan cemburunya Sa`ad? Sungguh aku lebih cemburu daripada Sa`ad dan Allah lebih cemburu daripadaku.” (Shahih, HR. Al-Bukhari, dalam kitab An Nikah, bab “Al-Ghairah” dan Muslim no. 1499)

Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-‘Asqalani berkata: “Dalam hadits Ibnu ‘Abbas yang diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad, Abu Dawud dan Al-Hakim disebutkan bahwa tatkala turun ayat:

“Dan orang-orang yang menuduh wanita baik-baik berzina kemudian mereka tidak dapat menghadirkan empat saksi maka hendaklah kalian mencambuk mereka sebanyak 80 cambukan dan jangan kalian terima persaksian mereka selama-lamanya.” (An-Nur: 4)

Berkatalah Sa‘ad bin ‘Ubadah: “Apakah demikian ayat yang turun? Seandainya aku dapatkan seorang laki-laki berada di paha istriku, apakah aku tidak boleh mengusiknya sampai aku mendatangkan empat saksi? Demi Allah, aku tidak akan mendatangkan empat saksi sementara laki-laki itu telah puas menunaikan hajatnya.” Mendengar ucapan Sa‘ad, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Wahai sekalian orang-orang Anshar, tidakkah kalian mendengar apa yang diucapkan oleh pemimpin kalian?”. Orang-orang Anshar pun menjawab: “Wahai Rasulullah, janganlah engkau mencelanya karena dia seorang yang sangat pencemburu. Demi Allah, dia tidak ingin menikah dengan seorang wanita pun kecuali bila wanita itu masih gadis dan bila dia menceraikan seorang istrinya, tidak ada seorang laki-laki pun yang berani untuk menikahi bekas istrinya tersebut karena cemburunya yang sangat.” Sa‘ad berkata: “Demi Allah, sungguh aku tahu wahai Rasulullah bahwa ayat ini benar dan datang dari sisi Allah, akan tetapi aku cuma heran.” (Fathul Bari, 9/385)

Asma bintu Abi Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anha bertutur tentang dirinya dan kecemburuan suaminya: “Az-Zubair menikahiku dalam keadaan ia tidak memiliki harta dan tidak memiliki budak. Ia tidak memiliki apa-apa kecuali hanya seekor unta dan seekor kuda. Akulah yang memberi makan dan minum kudanya. Aku yang menimbakan air untuknya dan mengadon tepung untuk membuat kue. Karena aku tidak pandai membuat kue maka tetangga-tetanggaku dari kalangan Anshar-lah yang membuatkannya, mereka adalah wanita-wanita yang jujur. Aku yang memikul biji-bijian di atas kepalaku dari tanah milik Az-Zubair yang diserahkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai bagiannya, dan jarak tempat tinggalku dengan tanah tersebut 2/3 farsakh1. Suatu hari aku datang dari tanah Az-Zubair dengan memikul biji-bijian di atas kepalaku, maka aku bertemu dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam beserta sekelompok orang dari kalangan Anshar. Beliau memanggilku, kemudian menderumkan untanya untuk memboncengkan aku di belakangnya2. Namun aku malu untuk berjalan bersama para lelaki dan aku teringat dengan Az-Zubair dan kecemburuannya, sementara dia adalah orang yang sangat pencemburu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengetahui bahwa aku malu maka beliau pun berlalu. Aku kembali berjalan hingga menemui Az-Zubair. Lalu kuceritakan padanya: ‘Tadi aku berjumpa dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan aku sedang memikul biji-bijian di atas kepalaku, ketika itu beliau disertai oleh beberapa orang shahabatnya. Beliau menderumkan untanya agar aku dapat menaikinya, namun aku malu dan aku tahu kecemburuanmu’.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 5224 dan Muslim no. 2182)

Bukanlah makna ghirah atau cemburu itu dengan selalu berprasangka buruk kepada istri sehingga selalu mengintainya siang dan malam guna mencari-cari kesalahannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

Jauhilah oleh kalian kebanyakan dari prasangka karena sebagian prasangka itu dosa….” (Al-Hujurat: 12)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda:

“Hati-hati kalian dari prasangka3 karena prasangka itu adalah pembicaraan yang paling dusta.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 6064 dan Muslim no. 2563)

Ghirah Menyaring Kejelekan

Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullahu berkata, bara dan panasnya ghirah ini akan menyaring kejelekan dan sifat tercela, sebagaimana emas dan perak dibersihkan dari kotoran yang mencampurinya. Orang-orang mulia dan tinggi harga dirinya pasti memiliki ghirah yang besar terhadap dirinya dan orang-orang yang dekat dengannya juga terhadap orang lain secara umum. Karena itulah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang paling memiliki ghirah terhadap umatnya. Dan ghirah Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih dibanding beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam. (Ad-Daau wad Dawa, hal. 106)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Tidak ada satupun yang lebih ghirah daripada Allah. Karena ghirah-Nya inilah Dia mengharamkan perbuatan keji baik yang tampak maupun yang tersembunyi.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 5220 dan Muslim no. 2760)

Ibnul Qayyim juga mengatakan: “Pokok dari agama ini adalah ghirah, maka siapa yang tidak memiliki ghirah berarti ia tidak memiliki agama. Ghirah ini akan melindungi hati sehingga terlindung pula anggota badan lainnya, tertolaklah dengannya segala perbuatan jelek dan keji. Sementara tidak adanya ghirah menyebabkan matinya hati hingga anggota badan lainnya pun ikut mati, akibatnya tidak ada penolakan terhadap perbuatan jelek dan keji.” (Ad-Daau wad Dawa, hal. 109-110)

Awal Runtuhnya Ghirah

Hilangnya ghirah dari lubuk hati seorang insan disebabkan oleh banyak hal, di antara sebab terbesar yang bisa kita saksikan adalah:

Kebanyakan mereka berpaling dari mempelajari agama yang agung ini, yang dengannya Allah memuliakan kita setelah sebelumnya kita hina. Namun ketika nikmat yang agung ini disia-siakan dan manusia enggan mengikuti petunjuk Rasul yang menyampaikan agama ini, mereka kembali terpuruk hina dina di hadapan umat lainnya. Sehingga mereka merasa minder bila tidak mengikuti orang-orang kafir. Sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, mereka terus mengikuti jejak orang-orang kafir tersebut. Dalam keadaan mereka menyangka bahwa itu adalah peradaban dan kemajuan, padahal sebenarnya hal itu adalah kehinaan dan kehancuran. Kenyataan yang demikian ini telah disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam jauh sebelumnya, beliau bersabda:

Sungguh-sungguh kalian akan mengikuti sunnah (cara hidupnya) orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, hingga seandainya mereka masuk ke dalam lubang dhabb (sejenis biawak), kalian pun akan memasukinya.” Para shahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah mereka itu orang-orang Yahudi dan Nasrani?” Beliau menjawab: “Siapa lagi (kalau bukan mereka)?” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 3456 dan Muslim no. 2669)

Termasuk perkara yang menyebabkan hilangnya ghirah dalam dada kaum muslimin adalah banyaknya fitnah dan perubahan yang mereka terima lalu ditelan mentah-mentah oleh hati-hati mereka sehingga menjadi bagian darinya. Akibatnya terbaliklah fitrah mereka. Dalam pandangan mereka, yang mungkar adalah ma‘ruf dan yang ma‘ruf adalah mungkar. Bila ada yang membawakan kebenaran kepada mereka sementara kebenaran itu menyelisihi kebiasaan mereka, maka mereka menganggap hal itu jumud, terbelakang, dan menghambat kemajuan. Membebaskan wanita keluar dari rumahnya dengan segenap keindahannya adalah termasuk kemajuan dalam pikiran kotor mereka.

Hal lain yang membuat seorang suami menanggalkan ghirah-nya adalah persangkaannya yang keliru. Dia menyangka bahwa rasa malu dan menutup tubuh (berhijab) bagi wanita adalah bagian dari masa lalu sehingga telah ketinggalan jaman bila tetap dikenakan di masa modern ini. Ia tidak ingin mengekang istrinya dengan kebiasaan yang sudah usang dimakan jaman, bahkan ia ingin menunjukkan kepada istrinya dan kepada orang lain bahwa ia seorang laki-laki yang moderat dan selalu mengikuti kemajuan.

Tenggelam dalam lumpur dosa termasuk salah satu sebab padamnya api ghirah di dalam hati dan hal ini merupakan hukuman atas dosa yang diperbuat. (Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, Ad-Daau wad Dawa, hal. 106)

Dari penjelasan yang kita dapatkan di atas, pahamlah kita bahwa ghirah dalam batasan yang diperkenankan syariat merupakan sifat yang terpuji. Dengan ghirah ini seorang laki-laki dapat menjaga istrinya dan mahramnya yang lain dari perbuatan yang melanggar syariat Allah Subhanahu wa ta’ala. Sebaliknya tidak adanya ghirah menyebabkan seorang suami membiarkan istrinya jatuh ke dalam lumpur noda dan dosa. Akibatnya kejelekan dan fitnah pun tersebar…

Betapa butuhnya kita untuk kembali kepada aturan syariat yang mulia ini. Betapa perlunya kita kembali menengok ke masa lalu yang sangat menjaga ghirah, masa lalu yang sarat dengan penerapan ajaran agama yang mulia ini. Dan sungguh ini adalah senandung kerinduan kepada masa lalu….

Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab.
Sumber: http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=132

Thursday, October 15, 2009

Kehadiran Sang Buah Hati

Menyambut Kelahiran Bayi (1)


Di antara keutamaan dan kesempurnaan syariat islam ialah memuat segala sesuatu. Termasuk di antaranya adalah penjelasan hukum berkaitan dengan menanti si buah hati serta hal-hal yang berkaitan dengannya. Dengan demikian para orang tua dapat melaksanakan kewajiban terhadap buah hatinya secara jelas. Alangkah indahnya masyarakat yang mampu melaksanakan syariat Alloh di muka bumi ini dimulai dari keluarganya. Tentu saja untuk merealisasikan hal tersebut kita wajib mengikuti tuntunan yang Alloh gariskan melalui Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Mensyukuri Nikmat Alloh Atas Kehadiran Buah Hati

Kedua orang tua ketika dianugerahi anak oleh Alloh, hendaklah bersyukur kepada Alloh atas nikmat tak terkira dari-Nya tersebut. Keadaan keluarga yang tidak Alloh karuniai dengan anak tentulah akan terasa kurang sempurna dan sepi. Dalam Al Quran Alloh mengisahkan tentang sepasang suami istri yang berdoa kepada Robbnya tatkala sang istri sedang mengandung.

Alloh berfirman,
هُوَ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ إِلَيْهَا فَلَمَّا تَغَشَّاهَا حَمَلَتْ حَمْلاً خَفِيفًا فَمَرَّتْ بِهِ فَلَمَّآ أَثْقَلَتْ دَعَوَا اللهَ رَبَّهُمَا لَئِنْ ءَاتَيْتَنَا صَالِحًا لَنَكُونَنَّ مِنَ الشَّاكِرِينَ فَلَمَّآ ءَاتَاهُمَا صَالِحًا جَعَلاَ لَهُ شُرَكَآءَ فِيمَآءَاتَاهُمَا فَتَعَالَى اللهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ

“Dialah yang menciptakan kalian dari satu manusia dan menjadikan darinya istrinya, agar dia merasa tentram dengannya. Maka setelah dia mengumpulinya, istrinya mengandung kandungan ringan, terus merasa ringan beberapa waktu. Tatkala dia merasa berat, maka keduanya berdoa kepada Robbnya, seraya berkata: ‘Sesungguhnya jika engkau memberi kami anak yang sempurna, tentulah kami termasuk orang yang bersyukur.’ Tatkala Alloh memberi anak yang sempurna kepada keduanya, maka keduanya menjadikan sekutu bagi Alloh terhadap anak yang telah dianugerahkan kepada keduanya. Maha suci Alloh terhadap apa yang mereka persekutukan.” (QS. Al A’raaf: 189-190)

Ayat tersebut menunjukkan hendaklah orang tua bersyukur kepada Alloh sebagaimana keduanya berdoa kepadaNya takkala bayi tersebut masih dalam kandungan.

Memberi Nama Yang Baik

Orang tua hendaknya memberi nama yang baik untuk buah hatinya. Rosululloh mengajari nama yang paling disukai oleh Alloh. Dalam sebuah hadits Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya,

“Sesungguhnya nama yang paling disukai Alloh adalah Abdullah dan Abdurrohman.” (HR. Muslim, Abu Dawud).

Sering kali terjadi kesalahan pada sebagian orang tua, setelah anak diberi nama yang baik malah dipanggil dengan nama panggilan yang jelek. Contohnya Abdullah dipanggil dul, atau orang tua memberi nama yang diharamkan bahkan termasuk kesyirikan kepada Alloh seperti Abdul Ka’bah, Abdul Rasul dan sejenisnya. Kebiasaan yang seperti ini harus ditinggalkan karena akan memberikan dampak yang tidak baik bagi orang tua maupun anaknya.

Aqiqah (Menyembelih Kambing)

Termasuk yang disyariatkan oleh Alloh ketika menyambut buah hati adalah bersyukur kepada Alloh dengan Aqiqah. Aqiqah adalah menyembelih kambing pada hari ke tujuh dihitung mulai dari hari kelahiran. Untuk anak laki-laki dua ekor kambing sedangkan untuk anak perempuan satu ekor kambing. Sebagaimana sabda Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya,

Bayi laki-laki hendaklah diaqiqahi dua ekor kambing sedangkan bayi permpuan satu ekor kambing.” (Shohih. HR. Ahmad dan Tirmidzi).

Dalam hadis lain, Samurah bin Jundub menuturkan bahwa Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Setiap bayi tergadai dengan aqiqahnya. Pada hari ketujuh kambing aqiqah disembelih, rambut kepalanya dicukur serta diberi nama.” (Hasan Shohih. HR. Abu Daud, Tirmidzi, dan Ahmad)

Mencukur Habis (baca: Menggundul) Rambut Bayi dan Bersedekah

Disyariatkan pula pada hari ke tujuh dilakukan ibadah-ibadah yang lain seperti:
Mencukur habis rambut kepala dengan tidak melakukan qoza, yaitu mencukur sebagian dan membiarkan sebagian yang lain. Ibnu Umar menceritakan bahwa Rosululloh melarang qoza. (HR. Bukhari). Perlu ada kehati-hatian saat mencukur rambut, karena kulit kepala bayi masih lunak.
Bersedekah untuk orang miskin dengan senilai perak yang seberat rambut bayi.

“Cukurlah rambut kepalanya (Al-Hasan) kemudian bersedekahlah dengan perak untuk orang-orang miskin seberat rambut tadi.” (Hasan. HR. Ahmad).

Perintah untuk mencukur habis rambut bayi ini berlaku untuk anak laki-laki dan perempuan. Namun yang dirojihkan Syaikh Al Utsaimin, cukur habis ini hanya berlaku untuk bayi laki-laki (Lihat Syarh Mumti’ 7/540)

Demikian sedikit penjelasan tentang kewajiban orang tua ketika menanti buah hatinya. Pengorban yang diberikan oleh kedua orang berupa rasa syukur dengan aqiqah dan bersedekah dengan senilai perak yang seberat rambut sebenarnya tidak sebanding dengan karunia Alloh yang diberikan kepada keduanya. Akan tetapi Alloh ingin menguji siapakah yang bersyukur kepada-Nya dan siapakah yang tidak. Wallohu a’lam bishshowab.

***

Menyambut Kelahiran Bayi (2)


Para pembaca yang semoga dirahmati oleh Alloh, pada edisi yang lalu (edisi 50/Thn I) telah dibahas mengenai beberapa hukum yang berkaitan dengan kelahiran sang buah hati. Pada kali ini, kami akan menambah sedikit pembahasan berkaitan dengan tuntunan Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam yang lain dalam masalah tersebut dan beberapa kesalahan yang perlu diperhatikan.

Mentahnik dan Mendo’akan Keberkahan Bagi Sang Bayi

Di antara petunjuk Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam dalam menyambut sang buah hati adalah mentahnik (mengunyahkan kurma hingga lembut kemudian memasukkannya ke mulut bayi) dan mendo’akan keberkahan bagi sang bayi. Hal ini telah dikisahkan dalam Shohih Bukhori dan Shohih Muslim, dimana Beliau mentahnik dan mendoakan anak Asma’ binti Abu Bakr yang baru dilahirkan, yaitu Ibnu Zubair. Bayi tersebut diletakkan di kaki Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam. Lalu Beliau mengunyah kurma dan menyuapkannya ke dalam mulut Ibnu Zubair. Makanan yang pertama kali masuk ke dalam badan Ibnu Zubair adalah ludah Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam. Setelah itu beliau mendo’akan keberkahan untuk Ibnu Zubair.

Khitan

Berkhitan adalah termasuk salah satu dari fitroh. Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya,

“Lima hal termasuk fitroh: berkhitan, mencukur bulu kemaluan, memotong kumis, memotong kuku dan mencabut bulu ketiak.” (HR. Bukhori dan Muslim).

Syaikh Ibnu Utsaimin mengatakan dalam Majmu’ Fatawa bahwa pendapat yang paling kuat berkenaan dengan hukum khitan adalah khitan bagi laki-laki hukumnya wajib dan sunnah bagi perempuan.

Khitan ini lebih utama dilakukan ketika bayi berumur tujuh hari sebagaimana yang dilakukan Nabi pada al-Hasan dan al-Husain (HR. Thobroni dan Baihaqi). Di antara faedah khitan pada waktu kecil ini yaitu aurat akan lebih terjaga, apalagi jika sudah mencapai usia dewasa.

Sunnahkah Mengusap Kepala Bayi Dengan Darah Hewan Aqiqoh ?

Sebagian orang ada yang mengusap kepala bayi dengan darah aqiqoh (sembelihan kambing) padahal perbuatan ini telah dilarang dalam Islam sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits. Abdulloh bin Buroidah menceritakan dari ayahnya:

“Pada masa jahiliyah dulu, apabila kami dikaruniai seorang anak, kami menyembelih kambing dan mengusapkan darahnya ke kepalanya (sang bayi). Tetapi tatkala Islam datang, kami menyembelih kambing, mencukur (rambut) kepala (sang bayi) serta mengusapnya (kepala sang bayi) dengan minyak wangi.” (HR. Abu Daud dan Al Hakim dalam Al Mustadrok. Dishohihkan oleh Al Hakim dan disetujui oleh Adz Dzahabi).

Dalam hadits ini nampak bahwa yang disyari’atkan adalah mengusap kepala bayi dengan minyak wangi, bukan dengan darah aqiqoh.

Adzan di Telinga Bayi ???

Sengaja sub-judul di atas diberi tanda tanya, agar para pembaca yang budiman memperhatikan hal ini baik-baik. Sebab, hampir tidak ada penulis yang membahas masalah ini kecuali mengatakan bahwa mengadzani bayi adalah sunnah.
Perlu ditegaskan, bahwa mengadzani telinga bayi tidak disyari’atkan karena seluruh riwayat tersebut lemah dan tidak dapat terangkat ke derajat hasan. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh ahli hadits abad ini Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rohimahulloh dalam Silsilah Ahadits Dho’ifah no. 321.

Mewaspadai Nama-Nama yang Dilarang

Diharamkan pemberian nama dengan:

Kata “Abdu” (hamba) yang disandarkan kepada selain Alloh seperti Abdul Ka’bah (Hambanya Ka’bah) dan Abdul Husain (Hambanya Husain), Abdul Muhammad dan lain-lain.

Nama yang tidaklah layak disandang oleh manusia seperti Malikul Mulk (Raja Diraja).

Nama-nama yang mutlak hanya milik Alloh seperti Ar Rohman, Al Kholiq dan Al Ahad.
Ada pula nama-nama yang harus dijauhi seperti:

Nama tokoh-tokoh barat yang jelas memusuhi dan memerangi Islam, karena cepat atau lambat nama seperti ini akan menarik kecintaan para pendengarnya.

Nama-nama yang dibenci oleh setiap orang dan tidak layak disandang oleh manusia, seperti Kalb (anjing) dan Hazn (sedih). Nama-nama yang jelek seperti ini hendaklah diganti dengan nama-nama yang bagus, sebagaimana terdapat dalam sebuah riwayat bahwa Nabi mengubah nama seseorang Hazn menjadi Sahl.

Semoga kita menjadi hamba-Nya yang selalu menghidupkan ajaran Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam sampai akhir hayat kita. Amiin.

(Sebagian besar tulisan ini disadur dari Majalah Al Furqon, Gresik)

***
Penulis: Abu Ismail Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id