Wednesday, April 30, 2008

Hukum Membaca Al-Qur’an bagi Orang Junub, Wanita Haid dan Nifas

“Artinya : Dari Ibnu Umar, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda, “Janganlah perempuan yang haid dan orang yang junub membaca sedikit pun juga dari (ayat) Al-Qur’an.”

Dalam riwayat yang lain, “Janganlah orang yang junub dan perempuan yang haid membaca sedikit pun juga dari (ayat) Al-Qur’an”

DLA’IF. Dikeluarkan oleh Tirmidzi (no. 121). Ibnu Majah (no. 595 dan 596). Ad-Daruquthni (1/117) dan Baihaqiy (1/89), dari jalan Ismail bin Ayyaasy dari Musa bin Uqbah dari Naafi, dari Ibnu Umar (ia berkata seperti di atas)


Berkata Imam Bukhari, “Ismail (bin Ayyaasy) munkarul hadits (apabila dia meriwayatkan hadits) dari penduduk Hijaz dan penduduk Iraq” [1]

Saya berkata : Hadits di atas telah diriawayatkan oleh Ismail bin Ayyaasy dari Musa bin Uqbah seorang penduduk Iraq. Dengan demikian riwayat Ismail bin Ayyaasy dla’if.

Imam Az-Zaila’i di kitabnya Nashbur Raayah (I/195) menukil keterangan Imam Ibnu Adiy di kitabnya Al-Kaamil bahwa Ahmad dan Bukhari dan lain-lain telah melemahkan hadits ini dan Abu Hatim menyatakan bahwa yang benar hadits ini mauquf kepada Ibnu Umar (yakni yang benar bukan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan tetapi hanya perkataan Ibnu Umar).

Berkata Al-Hafidzh Ibnu Hajar di kitabnya Talkhisul Habir (1/138) : Di dalam sanadnya ada Ismail bin Ayyaasy, sedangkan riwayatnya dari penduduk Hijaz dla’if dan di antaranya (hadits) ini. Berkata Ibnu Abi Hatim dari bapaknya (Abu Hatim), “Hadits Ismail bin Ayyaasy ini keliru, dan (yang benar) dia hanya perkataan Ibnu Umar”. Dan telah berkata Abdullah bin Ahmad dari bapaknya (yaitu Imam Ahmad ia berkata), “(Hadits) ini batil, “Beliau mengingkari (riwayat) Ismail. Sekian dari Al-Hafidz Ibnu Hajar.

Hadits yang lain dari jalan Ibnu Umar

“Artinya : Dari jalan Abdul Malik bin Maslamah (ia berkata) Telah menceritakan kepadaku Mughirah bin Abdurrahman, dari Musa bin Uqbah dan Naafi, dari Ibnu Umar, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidak boleh bagi orang junub membaca sedikitpun juga dari (ayat) Al-Qur’an”

DLA’IF. Diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni (1/117)

Al-Hafidz Ibnu Hajar telah melemahkan riwayat di atas disebabkan Abdul Malik bin Maslamah seorang rawi yang dla’if (Talkhisul Habir 1/138)

Hadits yang lain dari jalan Ibnu Umar.

“Artinya : Dari seorang laki-laki, dari Abu Ma’syar, dari Musa bin Uqbah, dari Naafi, dari Ibnu Umar, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda, “Perempuan yang haid dan orang yang junub, keduanya tidak boleh membaca sedikitpun juga dari (ayat) Al-Qur’an”

DLA’IF. Diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni (1/117)

Saya berkata : Riwayat ini dla’if karena : Pertama : Ada seorang rawi yang mubham (tidak disebut namanya yaitu dari seorang laki-laki). Kedua : Abu Ma’syar seorang rawi yang dla’if.

Hadits yang lain dari jalan Jabir bin Abdullah.

“Artinya : Dari jalan Muhammad bin Fadl, dari bapaknya, dari Thawus, dari Jabir, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidak boleh bagi perempuan yang haid dan nifas (dalam riwayat yang lain : Orang yang junub) membaca (ayat) Al-Qur’an sedikitpun juga (dalam riwayat) yang lain : Sedikitpun juga dari (ayat) Al-Qur’an)”

MAUDLU, Diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni (2/87) dan Abu Nua’im di kitabnya Al-Hilyah (4/22).
Saya berkata : Sanad hadits ini maudhu (palsu) karena Muhammad bin Fadl bin Athiyah bin Umar telah dikatakan oleh para Imam ahli hadits sebagai pendusta sebagaimana keterangan Al-Hafidz Ibnu Hajar di Taqrib-nya (2/200). Dan di kitabnya Talkhisul Habir (1/138) beliau mengatakan bahwa orang ini matruk (pendusta).

Ketika hadits-hadits diatas dari semua jalannya dla’if bahkan hadits terakhir maudlu, maka tidak bisa dijadikan sebagai dalil larangan bagi perempuan haid dan nifas dan orang yang junub membaca Al-Qur’an. Bahkan telah datang sejumlah dalil yang membolehkannya.

Pertama : Apabila tidak ada satu pun dalil yang sah (shahih dan hasan) yang melarang perempuan haid, nifas dan orang yang junub membaca ayat-ayat Al-Qur’an, maka hukumnya dikembalikan kepada hukum asal tentang perintah dan keutamaan membaca Al-Qur’an secara mutlak termasuk perempuan haid, nifas dan orang yang junub.

Kedua : Hadits Aisyah ketika dia haid sewaktu menunaikan ibadah haji.

“Artinya : Dari Aisyah, ia berkata : Kami keluar (menunaikan haji) bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (dan) kami tidak menyebut kecuali haji. Maka ketika kami sampai di (satu tempat bernama) Sarif aku haid. Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk menemuiku dan aku sedang menangis, lalu beliau bertanya, “Apa yang menyebabkanmu menangis?” Jawabku, “Aku ingin demi Allah kalau sekiranya aku tidak haji pada tahun ini?” Jawabku, “Ya” Beliau bersabda, “Sesungguhnya (haid) ini adalah sesuatu yang telah Allah tentukan untuk anak-anak perempuan Adam, oleh karena itu kerjakanlah apa-apa yang dikerjakan oleh orang yang sedang haji selain engkau tidak boleh thawaf di Ka’bah sampai engkau suci (dari haid)”

Shahih riwayat Bukhari (no. 305) dan Muslim (4/30)

Hadits yang mulia ini dijadikan dalil oleh para Ulama di antaranya amirul mu’minin fil hadits Al-Imam Al-Bukhari di kitab Shahih-nya bagian Kitabul Haid bab 7 dan Imam Ibnu Baththaal, Imam Ath-Thabari, Imam Ibnul Mundzir dan lain-lain bahwa perempuan haid, nifas dan orang yang junub boleh membaca Al-Qur’an dan tidak terlarang. Berdasarkan perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Aisyah untuk mengerjakan apa-apa yang dikerjakan oleh orang yang sedang menunaikan ibadah haji selain thawaf dan tentunya juga terlarang shalat. Sedangkan yang selainnya boleh termasuk membaca Al-Qur’an. Karena kalau membaca Al-Qur’an terlarang bagi perempuan haid tentu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskannya kepada Aisyah. Sedangkan Aisyah saat itu sangat membutuhkan penjelasan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam apa yang boleh dan terlarang baginya. Menurut ushul “mengakhirkan keterangan dari waktu yang dibutuhkan tidak boleh.

Ketiga : Hadits Aisyah.

“Artinya : Dari Aisyah, ia berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berdzikir atas segala keadaannya” [Hadits shahih riwayat Muslim (1/194 dan lain-lain]

Hadits yang mulia ini juga dijadikan hujjah oleh Al-Imam Al-Bukhari dan lain-lain imam tentang bolehnya orang yang junub dan perempuan haid atau nifas membaca Al-Qur’an. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdzikir kepada Allah atas segala keadaannya dan yang termasuk berdzikir ialah membaca Al-Qur’an. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Adz-Dzikra [2] (Al-Qur’an) ini, dan sesungguhnya Kami jugalah yang akan (tetap) menjaganya” [Al-Hijr : 9]

“Dan Kami turunkan kepadamu Adz-Dzikra (Al-Qur’an) supaya engkau jelaskan kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka dan agar supaya mereka berfikir” [An-Nahl : 44]

Keempat : Surat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Heracleus yang di dalamnya berisi ayat Al-Qur’an sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dan lain-lain. Hadits yang mulia inipun dijadikan dalil tentang bolehnya orang yang junub membaca Al-Qur’an. Karena sudah barang tentu orang-orang kafir tidak selamat dari janabah, meskipun demikian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menulis surat kepada mereka yang didalamnya terdapat firman Allah.

Kelima : Ibnu Abbas mengatakan tidak mengapa bagi orang yang junub membaca Al-Qur’an (Shahih Bukhari Kitabul Haidh bab 7).

Jika engkau berkata : Bukankah telah datang hadits bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membaca Al-Qur’an ketika janabah?

Saya jawab : Hadits yang dimaksud tidak sah dari hadits Ali bin Abi Thalib dengan lafadz.

“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dari tempat buang air (wc), lalu beliau makan daging bersama kami, dan tidak ada yang menghalangi beliau sesuatupun juga dari (membaca) Al-Qur’an selain janabah”

DLA’IF. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 229), Tirmidzi (no 164), Nasa’i (1/144), Ibnu Majah (no. 594), Ahmad (1/83, 84, 107 dan 124), Ath-Thayaalis di Musnad-nya (no. 94), Ibnu Khuzaimah di Shahih-nya (no. 208), Daruquthni (1/119), Hakim (1/152 dan 4/107) dan Baihaqiy (1/88-89) semuanya dari jalan Amr bin Murrah dari Abdullah bin Salimah dari Ali, marfu (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam berbeda seperti diatas)

Hadits ini telah dishahihkan oleh Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Hakim, Adz-Dzahabi, Ibnu Sakan, Abdul Haq, Al-Baghawiy dan Syaikhul Imam Ahmad Muhammad Syakir di takhrij Tirmidzi dan takhrij musnad Ahmad.

Dan hadits ini telah didlaifkan oleh jama’ah ahli hadits –dan inilah yang benar- Insya Allah di antaranya oleh Syu’bah, Syafi’iy, Ahmad, Bukhari, Baihaqiy, Al-Mundziriy, An-Nawawi, Al-Khathaabiy dan Syaikhul Imam Al-Albani dan lain-lain.

Berkata Asy-Syafi’iy, “Ahli hadits tidak mentsabitkan (menguatkan)nya”. Yakni, ahli hadits tidak menguatkan riwayat Abdullah bin Salimah. Karena Amr bin Murrah yang meriwayatkan hadits ini Abdullah bin Salimah sesudah Abdullah bin Salimah tua dan berubah hafalannya. Demikian telah diterangkan oleh para Imam di atas. Oleh karena itu hadits ini kalau kita mengikuti kaidah-kaidah ilmu hadits, maka tidak ragu lagi tentang dla’ifnya dengan sebab di atas yaitu Abdullah bin Salimah ketika meriwayatkan hadits ini telah tua dan berubah hafalannya. Maka bagaimana mungkin hadits ini sah (shahih atau hasan)!. Selain itu hadits ini juga tidak bisa dijadikan dalil larangan bagi orang yang junub dan perempuan yang haid atau nifas membaca Al-Qur’an, karena semata-mata Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membacanya dalam junub tidak berarti beliau melarangnya sampai datang larangan yang tegas dari beliau. Ini kalau kita takdirkan hadits di atas sah, apalagi hadits di atas dla’if tentunya lebih tidak mungkin lagi dijadikan sebagai hujjah atau dalil!

Meskipun demikian menyebut nama Allah atau membaca Al-Qur’am dalam keadaan suci (berwudlu) lebih utama yakni hukumnya sunat berdasarkan hadits shahih di bawah ini.

“Artinya : Dari Muhaajir bin Qunfudz, sesungguhnya dia pernah datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau sedang buang air kecil (kencing), lalu ia memberi salam kepada beliau akan tetapi beliau tidak menjawab (salam)nya sampai beliau berwudlu. Kemudian beliau beralasan dan bersabda : ”Sesungguhnya aku tidak suka menyebut nama Allah (berdzikir) kecuali dalam keadaan suci (berwudlu)” [Hadits shahih riwayat Abu Dawud dan lain-lain]

[Disalin dari buku Tiga Hukum Bagi Perempuan Haid Dan Junub (Menyentuh/Memegang Al-Qur; Membacanya Dan Tinggal Atau Diam Di Masjid, Penulis Abdul Hakim bin Amir Abdat, Penerbit Darul Qolam]
_________
Footnotes
[1]. Saya nukil dari Baihaqiy dengan ringkas yang menukil dari Bukhari
[2]. Adz-Dzikra adalah salah satu nama dari nama-nama Al-Qur’an
 http://www.almanhaj.or.id/content/2419/slash/0

Tuesday, April 29, 2008

Responsibility in Knowledge and Dakwah

‘Alî b. Abî Tâlib – Allah be pleased with him – said:

Narrate to people what they can understand; do you want Allah and His Messenger to be disbelieved?
Quoted by Al-Bukhârî, Al-Sahîh, Chapter about a person preferring some people with certain knowledge to the exclusion of others.

Ibn Hajr said in Fath Al-Bârî, “[In this narration] there is evidence that ambiguous knowledge should not be mentioned amongst the general public.”

Shaykh Muhammad b. Sâlih Al-‘Uthaymîn – Allah have mercy on him – explained this very important and often misunderstood point beautifully. After mentioning the narration of ‘Alî, he states:
It is therefore an aspect of wisdom in da’wah (calling others to Allah) that you should not surprise people with things they are not able to comprehend. Rather, you should call them in stages, bit by bit until their minds settle…”

He goes on to say:

“[The statement of ‘Alî] ‘Do you want Allah and His Messenger to be disbelieved?’ is a rhetorical question, posed as a criticism of such behavior. It means: by narrating to people things they cannot understand do you want Allah and His Messenger to be disbelieved? This is because in such cases when you say, “Allah said, and His Messenger said” they will say you have lied if their minds cannot comprehend what you are saying. Here, they are not disbelieving Allah and His Messenger, but they are disbelieving you because of this speech that you have attributed to Allah and His Messenger. Thus they will end up disbelieving Allah and His Messenger – not directly – but by way of the one who transmits this knowledge (i.e. you).

Now if it is said: Should we stop telling people things they cannot understand even if they need to know? The answer is: no, we do not leave this knowledge altogether, but we should tell them in a way that they will be able to understand. This is done by telling them stage by stage, bit by bit until they can accept the speech we want them to know and they can feel comfortable with it. We do not abandon knowledge that people cannot understand and just say ‘this is something they will reject or dislike so we will not speak about it.’

The same is the case with acting upon a Sunnah that people are not used to and which they might find objectionable. We should act by this Sunnah, but only after informing people about it, such that they will be able to accept it and feel comfortable about it.

We learn from this narration (of ‘Alî) that it is important to employ wisdom in calling to Allah, and that it is incumbent upon anyone who calls to Allah to consider the level of understanding of those he is inviting, and that he should put everyone in their proper place.

Majmû’ Fatâwâ Ibn ‘Uthaymîn Vol.10 p140

Teman-Teman Akhirat

Umumnya, kita ngerasa seneng dengan adanya teman, terlebih teman yang buanyak. Memang lumrah, karena kita disebut sebagai makhluk sosial, artinya kita tak bisa hidup tanpa orang lain.

Tapi bukan berarti loh…. kita boleh semaunya bergaul dengan sembarang orang! Sebab, teman adalah cerminan diri. Baik buruk teman sangat berpengaruh terhadap hidup, terlebih agama kita. Karena itu, Islam memberi metode-metode jelas dalam menjalin teman, khususnya teman yang baik untuk akhirat kita.

Pilih Yang Baik!

Teman memiliki pengaruh yang besar sekali pada diri kita. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

“Seseorang itu tergantung agama temannya. Maka hendaknya salah seorang dari kamu melihat siapa temannya.” (Riwayat Ahmad dan At-Tirmidzi)

Hadits tersebut memiliki makna bahwa seseorang akan berbicara dan berkelakuan seperti kebiasaan kawannya. Karena itu beliau shallallahu alaihi wa sallam mengingatkan agar kita cermat dalam memilih teman. Kita kudu bisa mengenali kualitas agama dan akhlak kawan kita. Bila ia seorang yang shalih, ia boleh kita temani. Sebaliknya, bila ia seorang yang buruk akhlaknya dan suka melanggar ajaran agama, no way…! Tapi jangan lupa kasih nasehat teman yang model ini loh…

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah mengungkapkan,

“Jangan berteman, kecuali dengan orang mukmin, dan jangan memakan makananmu kecuali orang yang bertakwa.” (Riwayat Ahmad dihasankan oleh al-Albani)

Al-Khathabi mengatakan, “Yang dimaksud dengan jangan memakan makananmu, kecuali orang yang bertakwa adalah dengan cara mengundang mereka dalam suatu jamuan makan. Sebab jamuan makan bisa melahirkan rasa kasih sayang dan cinta di antara yang hadir.”
Yang ngga boleh juga dalam berteman adalah berkawan dengan para pelaku dosa besar dan ahli maksiat, apalagi berakrab ria dengan orang-orang kafir dan munafik.

Saling Memberi Nasihat

Dalam Islam, prinsip menolong teman adalah bukan berdasar permintaan dan keinginan hawa nafsu teman. Tapi prinsip menolong teman adalah keinginan untuk menunjukkan dan memberi kebaikan, menjelaskan kebenaran dan tidak menipu serta berbasa-basi dengan mereka dalam urusan agama Allah. Termasuk di dalamnya adalah amar ma’ruf nahi mungkar, meskipun bertentangan dengan keinginan teman.

Adapun mengikuti kemauan teman yang keliru dengan alasan solidaritas, atau berbasa-basi dengan mereka atas nama persahabatan, supaya mereka tidak lari dan meninggalkan kita, maka yang demikian ini bukanlah tuntunan Islam.

Nyatakan Cintamu!

Persahabatan yang paling agung adalah persahabatan yang dijalin di jalan Allah dan karena Allah, bukan untuk mendapatkan manfaat dunia, materi, jabatan, atau sejenisnya. Persahabatan yang dijalin untuk saling mendapatkan keuntungan duniawi sifatnya sangat sementara. Bila keuntungan tersebut telah sirna, maka persahabatan pun melayang.

Berbeda dengan persahabatan yang dijalin karena Allah, tidak ada tujuan apa pun dalam persahabatan tersebut, kecuali hanya untuk mendapatkan ridha Allah. Orang macam inilah yang berhak mendapat janji Allah.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

“Sesungguhnya Allah pada Hari Kiamat berseru, ‘Di mana orang-orang yang saling mencintai karena keagungan-Ku? Pada hari ini akan Aku lindungi mereka dalam lindungan-Ku, pada hari yang tidak ada perlindungan, kecuali per-lindungan-Ku.” (Riwayat Muslim)

Sebuah kisah mengatakan, “Dahulu ada seorang laki-laki yang berkunjung kepada saudara (temannya) di desa lain. Lalu ditanyakan kepadanya, ‘Ke mana anda hendak pergi? “Saya akan mengunjungi teman saya di desa ini.” Jawabnya. “Adakah suatu kenikmatan yang anda harap darinya?” “Tidak ada, selain bahwa saya mencintainya karena Allah l.” jawabnya. Maka orang yang bertanya ini mengaku, “Sesungguhnya saya ini adalah utusan Allah kepadamu (untuk menyampaikan) bahwasanya Allah telah mencintaimu sebagaimana engkau telah mencintai temanmu karena Dia.” (Riwayat Muslim)

Ungkapkan Cinta, Kokohkan Cinta

Anas radhiyallahu anhu mengisahkan, “Ada seorang laki-laki di sisi Nabi Shalallaahu alaihi wasalam. Tiba-tiba ada sahabat lain yang berlalu. Laki-laki tersebut lalu berkata, “Ya Rasulullah, sungguh saya mencintai orang itu (karena Allah)”. Maka Nabi n bertanya, “Apakah engkau telah memberitahukan kepadanya?” “Belum”, jawab laki-laki itu. Nabi bersabda, “Maka bangkit dan beritahukanlah padanya, niscaya akan mengokohkan kasih sayang di antara kalian.” Lalu ia bangkit dan memberitahukan, “Sungguh saya mencintai anda karena Allah.” Maka orang ini berkata, “Semoga Allah mencintaimu, yang engkau mencintaiku karena-Nya.” (Riwayat Ahmad, dihasankan oleh Al-Albani).

Jaga Rahasia

Setiap orang punya rahasia. Biasanya, rahasia itu disampaikan kepada teman terdekat atau yang dipercayainya. Anas radhiyallahu anhu pernah diberi tahu tentang suatu rahasia oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Anas radhiyallahu anhu berkata,

Nabi shallallahu alaihi wa sallam merahasiakan kepadaku suatu rahasia. Saya tidak menceritakan tentang rahasia itu kepada seorang pun setelah beliau (wafat). Ummu Sulaim pernah menanyakannya, tetapi aku tidak memberitahukannya.” (Riwayat Al-Bukhari)

Teman dan saudara sejati adalah teman yang bisa menjaga rahasia temannya. Orang yang membeberkan rahasia temannya adalah seorang pengkhianat terhadap amanat. Berkhianat terhadap amanat adalah termasuk salah satu sifat orang munafik.

Begitulah, diantara resep mencari teman akhirat. Artinya teman yang terjalin karena tali agama dan demi kepentingan agama. Siapakan temen kamu?

taken from Majalah ElFata Online

Sunday, April 27, 2008

Kufur : Definisi dan Jenisnya

[A]. Definisi Kufur
kufur secara bahasa berarti menutupi. Sedangkan menurut syara’ kufur adalah tidak beriman kepada Allah dan Rasulnya, baik dengan mendustakannya atau tidak mendustakannya.

[B]. Jenis Kufur
Kufur ada dua jenis : Kufur Besar dan Kufur Kecil

Kufur Besar


Kufur besar bisa mengeluarkan seseorang dari agama Islam. Kufur besar ada lima macam

[1]. Kufur Karena Mendustakan

Dalilnya adalah firman Allah.


‘Artinya : Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang-orang yang mengada-adakan dusta terhadap Allah atau mendustakan kebenaran tatkala yang hak itu datang kepadanya ? Bukankah dalam Neraka Jahannam itu ada tempat bagi orang-orang yang kafir ?� [Al-Ankabut : 68]

[2]. Kufur Karena Enggan dan Sombong, Padahal Membenarkan.


Dalilnya firman Allah.

“Artinya : Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para Malaikat, ‘Tunduklah kamu kepada Adam’. Lalu mereka tunduk kecuali iblis, ia enggan dan congkak dan adalah ia termasuk orang-orang kafir� [Al-Baqarah : 34]

[3]. Kufur Karena Ragu

Dalilnya adalah firman Allah.


“Artinya : Dan ia memasuki kebunnya, sedang ia aniaya terhadap dirinya sendiri ; ia berkata, “Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya, dan aku tidak mengira Hari Kiamat itu akan datang, dan jika sekiranya aku dikembalikan kepada Rabbku, niscaya akan kudapati tempat kembali yang baik� Temannya (yang mukmin) berkata kepadanya, ‘Apakah engkau kafir kepada (Rabb) yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes air mani, kemudian Dia menjadikan kamu seorang laki-laki ? Tapi aku (percaya bahwa) Dialah Allah Rabbku dan aku tidak menyekutukanNya dengan sesuatu pun� [Al-Kahfi : 35-38]

[4]. Kufur Karena Berpaling


Dalilnya adalah firman Allah.

“Artinya : Dan orang-orang itu berpaling dari peringatan yang disampaikan kepada mereka� [Al-Ahqaf : 3]

[5]. Kufur Karena Nifaq

Dalilnya adalah firman Allah

“Artinya : Yang demikian itu adalah karena mereka beriman (secara) lahirnya lalu kafir (secara batinnya), kemudian hati mereka dikunci mati, karena itu mereka tidak dapat mengerti� [Al-Munafiqun : 3]


Kufur Kecil

Kufur kecil yaitu kufur yang tidak menjadikan pelakunya keluar dari agama Islam, dan ia adalah kufur amali. Kufur amali ialah dosa-dosa yang disebutkan di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai dosa-dosa kufur, tetapi tidak mencapai derajat kufur besar. Seperti kufur nikmat, sebagaimana yang disebutkan dalam firmanNya.

“Artinya : Mereka mengetahui nikmat Allah, kemudian mereka mengingkari dan kebanyakan mereka adalah orang-orang kafir� [An-Nahl : 83]

Termasuk juga membunuh orang muslim, sebagaimana yang disebutkan dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Mencaci orang muslim adalah suatu kefasikan dan membunuhnya adalah suatu kekufuran� [Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim]

Dan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Janganlah kalian sepeninggalku kembali lagi menjadi orang-orang kafir, sebagian kalian memenggel leher sebagian yang lain� [Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim]

Termasuk juga bersumpah dengan nama selain Allah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Barangsiapa bersumpah dengan nama selain Allah, maka ia telah berbuat kufur atau syirik� [At-Tirmidzi dan dihasankannya, serta dishahihkan oleh Al-Hakim]

Yang demikian itu karena Allah tetap menjadikan para pelaku dosa sebagai orang-orang mukmin. Allah berfirman.

“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenan dengan orang-orang yang dibunuh� [Al-Baqarah : 178]

Allah tidak mengeluarkan orang yang membunuh dari golongan orang-orang beriman, bahkan menjadikannya sebagai saudara bagi wali yang (berhak melakukan) qishash[1].

Allah berfirman

“Artinya : Maka barangsiapa mendapat suatu pemaafan dari saudarnya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma’af) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula)� Al-Baqarah : 178]

Yang dimaksud dengan saudara dalam ayat di atas –tanpa diargukan lagi- adalah saudara seagama, berdasarkan firman Allah.


“Artinya : Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali, kepada perintah Allah, jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang berlaku adil. Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat� [Al-Hujurat : 9-10] [2]

Kesimpulan Perbedaan Antara Kufur Besar Dan Kufur Kecil

  • Kufur besar mengeluarkan pelakunya dari agama Islam dan menghapuskan (pahala) amalnya, sedangkan kufur kecil tidak menjadikan pelakunya keluar dari agama Islam, juga tidak menghapuskan (pahala)nya sesuai dengan kadar kekufurannya, dan pelakunya tetap dihadapkan dengan ancaman.
  • Kufur besar menjadikan pelakunya kekal dalam neraka, sedankan kufur kecil, jika pelakunya masuk neraka maka ia tidak kekal di dalamnya, dan bisa saja Allah memberikan ampunan kepada pelakunya, sehingga ia tiada masuk neraka sama sekali.
  • Kufur besar menjadikan halal darah dan harta pelakunya, sedangkan kufur kecil tidak demikian.
  • Kufur besar mengharuskan adanya permusuhan yang sesungguhnya, antara pelakunya dengan orang-orang mukmin. Orang-orang mukmin tidak boleh mencintai dan setia kepadanya, betapun ia adalah keluarga terdekat. Adapun kufur kecil, maka ia tidak melarang secara mutlak adanya kesetiaan, tetapi pelakunya dicintai dan diberi kesetiaan sesuai dengan kadar keimanannya, dan dibenci serta dimusuhi sesuai dengan kemaksiatannya.
Hal yang sama juga dikatakan dalam perbedaan antara pelaku syirik besar dan syirik kecil

[Disalin dari kitab At-Tauhid Lis Shaffitss Tsalis Al-Ali, Edisi Indonesia Kitab Tuhid 3, Penulis Dr Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, Penerjemah Ainul Harits Arifin Lc, Penerbit Darul Haq]
__________
Foote Note
[1]. Qishash ialah mengambil pembalasan yang sama. Qishash itu tidak dilakukan bila yang membunuh mendapat pemaafan dari ahlis waris yang terbunuh yaitu dengan membayar diat (ganti rugi) yang wajar. Pembayaran diat diminta dengan baik, umpanya dengan tidak mendesak yang membunuh, dan yang membunuh hendaknya membayar dengan baik, umpanya dengan tidak menangguh-nagguhkannya. Bila ahli waris si korban sesudah Allah menjelaskan hukum-hukum ini membunuh yang bukan si pembunuh atau membunuh si pembunuh setelah menerima diat maka terhadapnya di dunia di ambil qishah dan di akhirat dia mendapat siksa yang pedih,-pent
[2]. Lihat Syarhhuts Thahawiyah hal.361, cet. Al-Maktab Al-Islami.
http://www.almanhaj.or.id/content/1795/slash/0

Saturday, April 19, 2008

Mengusap Tutup Kepala Saat Wudlu'

Redaksi: Menyambung pembahasan sebelumnya tentang mengusap sesuatu yang menutupi bagian anggota wudhu', kali ini kami akan mengulas tutup kepala, seperti kerudung, imamah (kain surban yang dililitkan di kepala), dan lain sebagainya. Apakah sama hukumnya dengan khuf, atau bagaimana?

Mengusap imamah (sorban) saat berwudhu

Mengusap imamah -sebagai ganti mengusap kepala- saat berwudhu, hukumnya boleh secara mutlak. Ini pendapat madzhab Ahmad, lshaq, Abu Tsaur, al Auza'i, Ibnu Hazm, Ibnu Taimiyah. Demikian itu, juga merupakan pendapat Abu Bakar, 'Umar, Anas dan sahabat lainnya.1 Sebagaimana terbukti adanya riwayat tentang hal itu dan Nabi, yaitu :

Dari 'Amr bin Umayyah adh Dhamri, ia berkata: Aku melihat Rasulullah sedang mengusap khuf dan imamahnya.2

Hadits senada juga diriwayatkan oleh al Mughirah bin Syu'bah,3 dan dari Bilal, ia berkata: Aku pernah melihat Rasulullah mengusap khuf dan khimarnya.


Khirnar adalah tutup kepala, dan maksudnya adalah imamah. Sedangkan Abu Hanifah dan para muridnya, Malik dan asy Syafi'i4 berpendapat tidak boleh mengusap imamah saja, tetapi harus disertai mengusap ubun- ubun pula. Sehingga mengusap ubun-ubun itulah yang wajib, sedangkan mengusap imamah hanya sekadar tambahan. Keterangan ini berlandaskan pada bolehnya mengusap sebagian kepala (dalam berwudhu). Namun asy Syafi'i berkata : "Apabila hadits mengusap imamah shahih, itulah pendapatku. Dan tidak diragukan lagi, hadits itu shahih, sehingga menjadi pendapatnya.

Ulama-ulama yang tidak memperbolehkan mengusap imamah berhujjah dengan hadits Jabir bin Abdillah, ia berkata :
Aku pernah menyaksikan Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam membuka imamah dari kepalanya dan mengusap ubun-ubun,5
namun aku belum menemukan hadits ini dengan sanadnya. Serta dengan hadits al Mughirah: “Nabi wudhu', lalu mengusap imamah beserta ubun- ubun dan khufnya.6

Aku (Abu Malik Kamal Ibnu Sayyid Salim) berkata:

pendapat yang rajih yaitu, boleh mengusap imamah secara mutlak, karena terbukti adanya riwayat-riwayat tentang hal itu dari Nabi ShalallahuAlaihi Wa Sallam dan aplikasinya yang dilakukan oleh dua khalifah sepeninggal beliau Shalallahu Alaihi Wa Sallam. Sebab tidak ada hujjah yang signifikan yang ada di tangan para ulama yang melarangnya,7 kendatipun, seyogyanya juga mengusap pada sebagian ubun-ubun saat mengusap imamah, agar terhindar dari pertentangan yang ada. Wallahu a'lam.

Mengusap tutup kepala bagi wanita

Syaikhul Islam berkata,
"Jika seorang wanita mengkhawatirkan hawa dingin dan kondisi lain yang serupa, ia boleh mengusap tutup kepalanya. Sesungguhnya Ummu Salamah pernah mengusap tutup kepalanya. Sebaiknya, selain mengusap tutup kepalanya, ia juga mengusap sedikit rambutnya. Tetapi, jika ia tidak terdesak (terpaksa, darurat) untuk melakukannya, (maka) tentang persoalan ini terdapat silang pendapat di kalangan para ulama".8
Aku (Abu Malik Kamal Ibnu Sayyid Salim) katakan :
Para ulama Hanafiyah, Malikiyah, Syafi'iyyah dan ulama Hanabilah -dalam sebuah riwayat madzhab9 - mereka berpendapat hal itu tidak boleh. (Ini) berdasarkan hadits dari 'Aisyah, bahwasanya ia memasukkan tangannya ke dalam tutup kepalanya lantas mengusap kepalanya seraya berkata:
Seperti inilah Rasulullah memerintahkanku.10
Mereka menyatakan, karena benda yang dipakai di kepala wanita tersebut, tidak ada unsur kesulitan dalam mencopotnya, sehingga tidak boleh hanya mengusapnya saja.

Al Hasan al Bashri berpendapat bolehnya mengusap tutup kepala. Ini merupakan satu pendapat di kalangan ulama Hambali, namun mereka mempersyaratkan, hendaknya khimar (tutup kepala) wanita itu melingkar-lingkar di leher, sebagaimana imamah. Sebab, khimar kain yang dipakai pada kepala wanita dengan cara yang biasa (tidak seperti imamah).

Aku (Abu Malik Kamal Ibnu Sayyid Salim) katakan :
Seandainya hadits 'Aisyah shahih, maka akan menjadi penentu dalam melarangnya. Kalau tidak, maka pengqiyasan khimar kepada imamah bisa diterima. Baiknya adalah, mengusap khimar beserta bagian depan kepala. Wallahu a'lam.

Mengusap peci saat berwudhu

Jumhur ulama berpendapat tidak bolehnya mengusap peci -saat berwudhu- untuk mengganti mengusap kepala. Sebab yang wajib dilakukan adalah mengusap kepala. Pengusapan kepala dialihkan kepada imamah, menurut pendapat jumhur ulama atau berdasarkan nash menurut Ahmad, lantaran ada unsur kesulitan dalam melepaskannya.

Ibnu Hazm dan Ibnu Taimiyyah11 dan para ulama muhaqqiq menilai bolehnya mengusap pada peci. Karena ketika Rasulullah pernah mengusap pada imamah dan tutup kepala, maka kita jadi mengetahui, kalau persentuhan air dengan kepala tidak wajib. Apa saja yang dipakaikan di atas kepala, maka boleh diusap, kendatipun tidak menutupi tempat yang wajib terkena air dan tidak sulit dalam melepaskannya. Inilah pendapat yang benar. Wallahu a'lam.

Faidah: Tidak disyaratkan mengenakan penutup kepala dalam keadaan suci agar diperbolehkan mengusapnya. Masalah ini tidak diqiyaskan pada masalah mengusap khuf, karena tidak ada illah (alasan hukum) yang menyatukan keduanya. Rasulullah menjelaskan syarat thaharah dalam memakai khuf, dan tidak melakukannya dalam mengusap imamah, penutup kepala. Andai hal itu wajib, maka sudah pasti akan dijelaskan oleh beliau.12

Aku (Abu Malik Kamal Ibnu Sayyid Salim) katakan :

Demikianlah, dengan mengingat bahwa (mengusap) khuf adalah merupakan pengganti bagian yang harus dibasuh. Adapun kepala, hal yang wajib dilakukan padanya adalah mengusapnya. Segala sesuatu yang berada di atas kepala, maka hukumnya sama dengan hukum pada kepala, sehingga kedua hal ini (yakni mengusap khuf dan kepala) saling berbeda. Wallahu a'lam.

Tidak ada pembatasan waktu untuk mengusap penutup kepala, karena benar kalau diqiyaskan kepada batas tempo pengusapan khuf. Rasulullah pernah mengusap imamah dan penutup kepala tanpa menentukan batasan waktunya. Hal ini telah diriwayatkan dari 'Umar bin al Khaththab.13



Disalin dari majalah As Sunnah, Edisi 03/Tahun X/1427H/2006M. Catatan Kaki:
  1. Masailu Abu Dawud (8), al Mushni (1/300), al Majmu’ (1/406), al Ausath ( 1/468), al Muhalla (2/58), Majmu al Fatawa (21/184). [↩]
  2. Shahih Al Bukhari (205). [↩]
  3. Shahih Muslim (275). [↩]
  4. Hasyiatu Ibni ‘Abidin (1/181), Hasyiatu ad Dasuqi (1/164) dan al Majmu’ (1/407). [↩]
  5. Saya belum menemukannya, tidak ada di kitab-kitab hadits yang saya miliki. Ibnul Mundzir menyampaikannya tanpa sanad (1/469). [↩]
  6. Hadits shahih riwayat Imam Muslim. [↩]
  7. Lihat hujjah-hujjah mereka dan sanggahannya di al Muhalla (2/61). [↩]
  8. Majmu’ al Fatawa (21/218). [↩]
  9. Al Mudawwanah (1/42), al Umm (1/26), al Badai’ (1/5), al Mughni (1/305). [↩]
  10. Saya belum menemukannya. Al Kasani menyebutkannya di al Badai’ (1/5), dan saya belum menjumpainya di kitab-kitab hadits. [↩]
  11. Al Muhatta (2/58), Majmu al Fatawa (21/184-187, 214). [↩]
  12. Al Muhalla (2/64). [↩]
  13. Al Muhalla (2/65). [↩]

Friday, April 18, 2008

Mengusap Jaurob (kaos kaki) dan Sandal

Pensyari’atan mengusap khuf (sepatu bot) sebagai ganti dari mencuci kaki saat berwudhu’ sudah dipahami oleh banyak kaum Muslimin. Kebolehannya sudah disepakati para ulama, sebagaimana dikatakan oleh Imam Nawawi di dalam Syarh Shahih Muslim (3/164). Bahkan Hasan al Bashri mengatakan:
“Aku diberitahu oleh tujuh puluh orang sahabat Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam pernah mengusap sepatunya”1
Yang menjadi permasalahan, sesuatu yang menutupi bagian anggota wudhu’, seperti kaos kaki, kerudung, imamah (kain surban yang dililitkan di kepala), dan lain sebagainya, apakah sama hukumnya dengan khuf, ataukah bagaimana? Berikut ini kami bawakan pembahasan yang diambil dari kitab Shahih Fiqih Sunnah, karya Abu Malik Kamal Ibnu Sayyid Salim.
Mengusap Kaos Kaki2

Al jaurab adalah sesuatu yang dikenakan seseorang pada dua kakinya, baik yang terbuat dari bahan wol, kapas, bahan sintetik, dan lain sebagainya. Sering pula disebut dengan nama asy syarab. Ada tiga pendapat ulama berkaitan dengan hukum mengusap dua kaos kaki.
  1. Tidak boleh mengusap keduanya, kecuali bila tertutupi oleh sepatu kulit. Demikian ini madzhab Abu Hanifah -namun kemudian, beliau menarik kembali pendapat ini- juga Malik, asy Syafi’i.3Mereka menyatakan, karena kaos kaki tidak bisa disebut khuf, sehingga tidak sama hukumnya, dan tidak ada hadits tentang mengusap dua kaos kaki.
  2. Diperbolehkan mengusap keduanya dengan syarat harus tebal, menutupi bagian yang wajib terkena air dalam berwudhu. Demikian pendapat madzhab al Hasan, Ibnul Musayyib, Ahmad dan para fuqaha madzhab Hanafi, Syafi’i, dan Hambali.4
  3. Boleh hukumnya mengusap dua kaos kaki secara mutlak, meskipun tipis. Inilah zhahir madzhab Ibnu Hazm, Ibnu Taimiyah dan dipilih oleh Syaikh al ‘Utsaimin dan ‘allamah asy Syinqithi. Dan inilah pendapat yang rajih.
Para pendukung pendapat kedua dan terakhir, memberikan argumentasi tentang bolehnya mengusap dua kaos kaki dengan dalil-dalil berikut.
  1. Hadits al Mughirah bin Syu’bah:
    “Sesungguhnya Rasulullah berwudhu’ dan mengusap dua kaos kaki dan sandalnya.”5
  2. Dari al Azraq bin Qais, ia berkata:
    “Aku pernah melihat Anas bin Malik berhadats. Maka ia membasuh mukanya, dua tangan dan mengusap dua kaos kakinya yang terbuat dari wol”.
    Aku bertanya,”Engkau mengusapnya?”
    Dia menjawab, “Keduanya adalah khuf, hanya saja terbuat dari wol”. Anas menegaskan, kata khuf lebih umum tidak hanya sekedar terbuat dari kulit saja. Dan ia adalah seorang sahabat yang pakar dalam bahasa.6
  3. Ada sebelas orang sahabat yang menyatakan bolehnya mengusap dua kaos kaki. Di antaranya : ‘Umar dan putranya, yaitu ‘Abdullah, kemudian ‘Ali, Ibnu Mas’ud, Anas dan lain-lain. Dan pada masa itu, tidak ada yang menentang mereka, sehingga menjadi Ijma’. Kemudian jumhur ulama melarang mengusap dua kaos kaki yang tipis karena tidak menutupi bagian yang harus terkena air wudhu’.Disebutkan, bahwa ini -menurut penelitian- bukan syarat yang harus terpenuhi, sebagai hasil Qiyas pada khuf yang berlubang. Selain itu, kaos kaki tipis yang dipakai sekarang sifatnya nisbi (relatif). Maka pengajuan syarat-syarat ini bertentangan dengan tujuan syari’at yang berorientasi memberikan kelonggaran agar tidak ada kesempitan ataupun kesulitan.
Faidah: Termasuk dalam makna kaos kaki, yaitu segala hal yang membalut dua kaki karena ada halangan, dan hal itu sulit untuk dilepaskan, sehingga boleh mengusapnya, sebagaimana dirajihkan oleh Syaikhut Islam. Dan hukum-hukum yang berkaitan dengan pengusapan pada kaos kaki sama dengan hukum pada pengusapan dua khuf.7
Apabila ada seseorang mengenakan kaos kaki rangkap dua, maka dalam masalah ini terdapat beberapa keadaan :
  1. Jika ia telah berwudhu’ kemudian memakai kaos kaki, saat berhadats, ia boleh mengusap kaos kaki yang paling atas. Ini merupakan madzhab ulama Hanafiyah dan pendapat yang rajih di kalangan ulama Malikiyah dan Hanabilah serta qaul qadim asy Syafi’i, tetapi qaul jadidnya (pendapat terbarunya) menyelisihi ulama-ulama tadi.8
  2. Jika ia berwudhu’ dan memakai kaos kaki kemudian mengusapnya, setelah itu melepaskan kaos kaki yang paling atas usai mengusapnya, maka ia boleh menyelesaikan batas waktunya dengan mengusap kaos kaki yang tersisa. Karena ia tetap disebut memasukkan dua kakinya dalam keadaan suci.
  3. Jika ia berwudhu’ dan memakai kaos kaki dan belum berhadats ketika memakai kaos kaki yang lain, maka ia boleh mengusap mana saja yang ia inginkan.9
  4. Jika ia berwudhu’ dan mengenakan satu kaos kaki dan mengusapnya, kemudian ia mengenakan kaos kaki lain -apabila ia masih dalam keadaan suci- maka ia boleh mengusap kaos kaki yang berada di atas. Sebab ia masih bisa dikatakan memasukkan dua kakinya dalam keadaan suci. Jika ia berhadats kemudian baru memakai kaos kaki lagi, maka ia tidak boleh mengusap bagian yang atas (kaos kaki kedua), tetapi boleh mengusap bagian bawahnya (kaos kaki pertama).
Mengusap Sandal

Pada hadits terdahulu disebutkan, al Mughirah bin Syu’bah mengatakan, bahwa Rasulullah berwudhu’ dan mengusap kaos kaki dan sandalnya.10 Hadits ini, dengan merujuk ulama yang menshahihkannya, mengandung dua hal.
  1. Beliau Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam, memakai sandal dengan mengenakan kaos kaki dan mengusapnya, sehingga hukumnya menjadi satu seperti pada pemakaian dua pasang kaos kaki atau memakai dua pasang khuf sekaligus.
  2. Al Mughirah melihat Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam sedang mengusap satu usapan pada kaos kaki dan usapan lainnya pada sandal. Sehingga hadits ini menjadi dalil bolehnya mengusap sandal, meskipun kaki tidak terbalut kaos kaki. Kesimpulan ini, walau agak jauh, hanya saja bisa didukung oleh dalil yang telah lalu, yaitu dalam hadits Abu Zhubyan, bahwa ‘Ali bin Abi Thalib berwudhu’ dan mengusap. sandalnya, dan kemudian ia memasuki masjid dengan melepaskan dua sandalnya. Setelah itu ia mengerjakan shalat…11 tidak ada penyebutan kata jaurob (kaos kaki) dalam hadits ini.
Menurut penelitian, mungkin saja bolehnya mengusap sandal -juga dengan tidak adanya syarat- bagian (sandal) yang diusap menutupi tempat yang harus terkena air wudhu’. Wallahu a’lam.

Disalin dari majalah As Sunnah, Edisi 03/Tahun X/1427H/2006MCatatan Kaki:
  1. Lihat al Wajiz, hlm. 47. [1]
  2. Mulai dari sini sampai akhir naskah, merupakan perkataan Penulis kitab Shahih Fiqih Sunnah, karya Abu Malik Kamal Ibnu Sayyid Salim. [2]
  3. Al Mabsuth (1/102), al Mudawwanah (1/40), al Umm (1/33), al Ausath (1/465). [3]
  4. Masailu Ahmad, karya Ibnu Hani (1/21), al Ausath (1/464), al Majmu’ (1/540), Fathul Qadir (1/157). [4]
  5. Dishahihkan oleh al Albani; Abu Dawud (159), at Tirmidzi (99), Ahmad (4/252). Hadits ini diperdebatkan keshahihannya. Lihat al Irwa’ (101). [5]
  6. Dishahihkan Ahmad Syakir; ad Dulab (1/179). [6]
  7. meliputi cara dan masa berlakunya -red. majalah As-Sunnah. [7]
  8. Hasyiyah Ibni ‘Abidin (1/179), Jawahiru at Iklii (1/24), Raudhatuth Thalibin (1/127). Pembicaraan mereka di kitab-kitab itu tentang mengusap khuf dan hukumnya sama saja. [8]
  9. Para ulama Hanabilah menyatakannya secara kongkrit di Kasyyafu al Qinna’ (1/117-118). [9]
  10. Telah dijelaskan, lihat hadits Mughirah di atas. [10]
  11. Sanadnya shahih, diriwayatkan oleh al Baihaqi 1/288, ath Thahawi 1/58 lihat Tamamul Minnah hlm. 15. [11]

Wednesday, April 16, 2008

Hikmah Ingat dan Lupa

Ibnu Qayyim Al Jauziyah - rahimahullah

Coba perhatikan kemahabijaksanaan Allah menciptakan ingatan dan kelupaan yang khusus diberikan bagi manusia. Banyak sekali hikmah yang tersembunyi dibalik itu disamping banyak sekali maslahatnya (manfaatnya) bagi umat manusia. Sebab, kalaulah bukan karena kekuatan ingatan dan daya hafal yang khusus diberikan kepada manusia niscaya semua mereka akan kacau balau. Ia tidak tahu akan hak dan kewajibannya. Ia tidak akan tahu siapa saja yang ia terima dan apa saja yang ia beri. Ia tidak akan tahu apa yang ia dengar dan apa yang ia lihat. Ia tidak akan tahu apa yang ia katakan dan apa yang dikatakan kepadanya. Ia tidak akan mengingat orang yang telah berbuat baik kepadanya, dan tentunya ia juga tidak tahu orang yang berbuat jahat kepadanya. Ia tidak akan mengenal orang yang bermuamalah dengannya. Ia tidak akan mengetahui orang yang bermanfaat untuk dirinya dan harus didekatinya dan tidak pula mengetahui orang yang bisa mencelakakannya dan harus dijauhinya.

Kemudian ia tidak akan mengetahui jalan yang pernah ia lalui sebelumnya meskipun ia telah melaluinya berulang kali. Ia tidak akan mengetahui ilmu meskipun ia mempelajarinya sepenjang umurnya. Pengalaman yang telah dilaluinya jelas tidak akan bermanfaat baginya karena ia tidak mengingatnya. Ia tidak akan bisa mengambil pelajaran dari masa lalunya. Bahkan kemungkinan besar sifat-sifat kemanusiaannya akan hilang.

Cobalah perhatikan manfaat yang sangat besar itu bagi dirimu. Coba renungi satu saja perkara tersebut, apalagi bila direnungi seluruhnya!

Salah satu nikmat yang sangat besar atas umat manusia adalah nikmat lupa. Sebab, kalau manusia tidak lupa tentu ia tidak akan merasa terhibur dan tidak akan bisa terlepas dari kesedihan. Ia tidak akan bisa terhibur dari musibah. Ia tentu tidak bisa menghilangkan kesedihan. Ia tidak akan bisa melepaskan kedengkian. Ia tidak akan bisa menikmati kelezatan dunia karena selalu ingat dengan musibah-musibah. Tentu ia tidak akan bisa melupakan musuhnya dan tidak akan bisa melupakan balasan dari orang yang hasad (dengki) atas dirinya.

Cobalah perhatikan nikmat Allah pada penciptan daya hafal dan daya lupa ini, padahal keduanya sangat kontradiktif.dan masing-masing dari kedua hal tersebut memiliki maslahat tersendiri.

Sumber : Gharaa-ib wa ‘Ajaa-ib Al-Makhluqaat Min Manzhuuri Fikri Al Imam Ibnul Qayyim, Edisi Indonesia : Keajaiban-keajaiban Mahluk dalam Pandangan Ibnul Qayyim

Mengapa Anak Sering Menangis?

Ibnu Qayyim Al Jauziyah - rahimahullah

Sekarang, coba kita lihat mengapa sih anak-anak suka menangis, serta manfaaat apa yang tersembunyi di balik itu ! Para ahli medis dan ahli anatomi tubuh telah mengungkap kegunaan dan hikmah mengapa anak-anak suka menangis. Mereka berkata: Pada otak anak kecil terdapat cairan yang apabila terus mendekam dalam otak mereka akan menyebabkan kerusakan dan akibat yang buruk. Menangis dapat menyedot cairan dari otak mereka. Dengan begitu otak mereka akan kuat dan sehat.

Demikian pula menangis dan merengek dapat melegakan saluran pernafasannya dan membuka serta melancarkan saluran keringatnya. Dengan begitu urat syarafnya menjadi kuat. Sering kali kita lihat manfaat dan maslahat menangis dan menjerit bagi anak kecil. Bila demikianlah agungnya hikmah menangis bagi anak kecil, biasanya menangis itu penyebabnya adalah rasa sakit yang mengganggu, itu saja engkau tidak tahu hikmahnya dan barangkali tidak pernah terlintas dalam benakmu. Begitulah rasa sakit yang diderita anak kecil, tangisannya, sebab-sebabnya dan hikmah kegunaannya ternyata masih samar atas kebanyakan manusia. Mereka belum dapat memastikan apa hikmah di balik itu, tiap-tiap orang mengemukakan pendapatnya masing-masing.

Sumber : Gharaa-ib wa ‘Ajaa-ib Al-Makhluqaat Min Manzhuuri Fikri Al Imam Ibnul Qayyim, Edisi Indonesia : Keajaiban-keajaiban Mahluk dalam Pandangan Ibnul Qayyim

Saturday, April 12, 2008

Khitan Bagi Wanita

Penyusun: Ummu Ibrohim

Bagi masyarakat muslim Indonesia, khitan bagi anak laki-laki adalah sebuah perkara yang sangat wajar, meskipun di sana sini masih banyak yang perlu diluruskan berhubungan dengan pelaksanaan sunnah bapak para nabi (Ibrohim ‘alaihissalam). Namun, bagi kaum hawa, khitan menjadi sebuah perkara yang sangat jarang dilakukan, bahkan bisa saja masih menjadi sesuatu yang tabu dilakukan oleh sebagian orang, atau bahkan mungkin ada yang mengingkarinya. Padahal tentang disyariatkannya khitan bagi kaum wanita adalah sesuatu yang benar-benar ada dalam syariat islam yang suci ini, dan setahu kami (penulis) tidak ada khilaf ulama mengenai hal ini. Khilaf di kalangan mereka hanya berkisar antara apakah khitan itu wajib dilakukan oleh kaum wanita ataukah sekedar sunnah (mustahab). Semoga tulisan ini dapat memberikan sedikit penjelasan tentang permasalahan ini.

Pengertian Khitan

Khitan secara bahasa diambil dari kata (??? ) yang berarti memotong. Sedangkan al-khatnu berarti memotong kulit yang menutupi kepala dzakar dan memotong sedikit daging yang berada di bagian atas farji (clitoris) dan al-khitan adalah nama dari bagian yang dipotong tersebut. (lihat Lisanul Arab, Imam Ibnu Manzhur).

Berkata Imam Nawawi, “Yang wajib bagi laki-laki adalah memotong seluruh kulit yang menutupi kepala dzakar sehingga kepala dzakar itu terbuka semua. Sedangkan bagi wanita, maka yang wajib hanyalah memotong sedikit daging yang berada pada bagian atas farji.”(Syarah Sahih Muslim 1/543, Fathul Bari 10/340)

Dalil Disyariatkannya Khitan

Khitan merupakan ajaran nabi Ibrohim ‘alaihissalam, dan umat ini diperintahkan untuk mengikutinya, sebagaimana dalam QS. An-Nahl: 123,

“Kemudian Kami wahyukan kapadamu (Muhammad), “Ikutilah agama Ibrohim, seorang yang hanif.”

Disebutkan dalam Tufatul Maudud, halaman 164 bahwa Saroh ketika menghadiahkan Hajar kepada nabi Ibrohim ‘alaihissalam , lalu Hajar hamil, hal ini menyebabkan ia cemburu. Maka ia bersumpah ingin memotong tiga anggota badannya. Nabi Ibrohim ‘alaihissalam khawatir ia akan memotong hidung dan telinganya, lalu beliau menyuruh Saroh untuk melubangi telinganya dan berkhitan. Jadilah hal ini sebagai sunnah yang berlangsung pada para wanita sesudahnya.

Dari Abu Harairah radhiyallahu’anhu Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ” lima hal yang termasuk fitroh yaitu: mencukur bulu kemaluan, khitan, memotong kumis, mencabut bulu ketiak, dan memotong kuku.” (HR. Imam Bukhori dan Imam Muslim)

Hukum Khitan bagi Wanita

a. Ulama yang mewajibkan khitan, mereka berhujjah dengan beberapa dalil:

1. Hukum wanita sama dengan laki-laki, kecuali ada dalil yang membedakannya, sebagimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dari Ummu Sulaim radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wanita itu saudara kandung laki-laki.” (HR. Abu Daud 236, Tirmidzi 113, Ahmad 6/256 dengan sanad hasan).

2. Adanya beberapa dalil yang menunjukkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut khitan bagi wanita, diantaranya sabda beliau:

“Apabila bertemu dua khitan, maka wajib mandi.” (HR. Tirmidzi 108, Ibnu Majah 608, Ahamad 6/161, dengan sanad shahih).

Dari ‘Aisyah rodhiyallahu ‘anha berkata, Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apabila seorang laki-laki duduk di empat anggota badan wanita dan khitan menyentuh khitan maka wajib mandi.” (HR. Bukhori dan Muslim)

Dari Anas bin Malik rodhiyallahu’anhu berkata, Rosulullahi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Ummu ‘athiyah,”Apabila engkau mengkhitan wanita biarkanlah sedikit, dan jangan potong semuanya, karena itu lebih bisa membuat ceria wajah dan lebih disenangi oleh suami.”(HR. Al-Khatib)

3. Khitan bagi wanita sangat masyhur dilakukan oleh para sahabat dan para shaleh sebagaimana tersebut di atas.

b. Ulama yang berpendapat sunnah, alasannya:

Menurut sebagian ulama tidak ada dalil secara tegas yang menunjukkan wajibnya, juga karena khitan bagi laki-laki tujuannya membersihkan sisa air kencing yang najis yang terdapat pada tutup kepala dzakar, sedangkan suci dari najis merupakan syarat sahnya sholat. Sedangkan khitan bagi wanita tujuannya untuk mengecilkan syahwatnya, jadi ia hanya untuk mencari sebuah kesempurnaan dan bukan sebuah kewajiban. (Syarhul Mumti’, Syaikh Ibnu Utsaimin 1/134)

Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah pernah ditanya, “Apakah wanita itu dikhitan ?” Beliau menjawab, “Ya, wanita itu dikhitan dan khitannya adalah dengan memotong daging yang paling atas yang mirip dengan jengger ayam jantan. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, biarkanlah sedikit dan jangan potong semuanya, karena itu lebih bisa membuat ceria wajah dan lebih disenangi suami.’ Hal ini karena, tujuan khitan laki-laki ialah untuk menghilangkan najis yang terdapat dalam penutup kulit kepala dzakar. Sedangkan tujuan khitan wnaita adalah untuk menstabilkan syahwatnya, karena apabila wanita tidak dikhitan maka syahwatnya akan sangat besar.” (Majmu’ Fatawa 21/114)

Jadi, khilaf mengenai hukum khitan ini ringan, baik sunnah atau wajib keduanya adalah termasuk syariat yang diperintahkan, kita harus berusaha untuk melaksanakannya.

Waktu Khitan

Terdapat beberapa hadits yang dengan gabungan sanadnya mencapai derajat hasan yang menunjukkan bahwa khitan dilaksanakan pada hari ke tujuh setelah kelahiran, yaitu:

Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu’anhuma, bahwasannya Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan aqiqah Hasan dan Husain serta mengkhitan keduanya pada hari ketujuh.(HR. Thabrani dan Baihaqi)

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhu berkata, “Terdapat tujuh perkara yang termasuk sunnah dilakukan bayi pada hari ketujuh: Diberi nama, dikhitan,…” (HR. Thabrani)

Dari Abu Ja’far berkata, “Fathimah melaksanakan aqiqah anaknya pada hari ketujuh. Beliau juga mengkhitan dan mencukur rambutnya serta menshadaqahkan seberat rambutnya dengan perak.” (HR. Ibnu Abi Syaibah)

Namun, meskipun begitu, khitan boleh dilakukan sampai anak agak besar, sebagaiman telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhyallahu’anhu, bahwa beliau pernah ditanya, “Seperti apakah engkau saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal dunia ?” Beliau menjawab, “Saat itu saya barusan dikhitan. Dan saat itu para sahabat tidak mengkhitan kecuali sampai anak itu bisa memahami sesuatu.” (HR. Bukhori, Ahmad, dan Thabrani).

Berkata Imam Al-Mawardzi, ” Khitan itu memiliki dua waktu, waktu wajib dan waktu sunnah. Waktu wajib adalah masa baligh, sedangkan waktu sunnah adalah sebelumnya. Yang paling bagus adalah hari ketujuh setelah kelahiran dan disunnahkan agar tidak menunda sampai waktu sunnah kecuali ada udzur. (Fathul Bari 10/342).

Walimah Khitan

Acara walimah khitan merupakan acara yang sangat biasa dilakukan oleh umat Islam di Indonesia, atau mungkin juga di negeri lainnya. Persoalannya, apakah acara semacam itu ada tuntunannya atau tidak?

Utsman bin Abil ‘Ash diundang ke (perhelatan) Khitan, dia enggan untuk datang lalu dia diundang sekali lagi, maka dia berkata, ” Sesungguhnya kami dahulu pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mendatangi walimah khitan dan tidak diundang.” (HR. Imam Ahmad)

Berdasarkan atsar dari Utsman bin Abil’Ash di atas, walimah khitan adalah tidak disyariatkan, walaupun atsar ini dari sisi sanad tidak shohih, tetapi ini merupakan pokok, yaitu tidak adanya walimah khitan. Karena khitan merupakan hukum syar’i, maka setiap amal yang ditambahkan padanya harus ada dalilnya dari Al-Qur’an dan As Sunnah. Dan walimah ini merupakan amalan yang disandarkan dan dikaitkan dengan khitan, maka membutuhkan dalil untuk membolehkannya. Semoga Allah ta’ala memudahkan kaum muslimin untuk menjalankan sunnah yang mulia ini.

Di ringkas oleh Ummu Ibrohim, dari:

1. Khitan bagi Wanita, Ustadz Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf, Al-Furqon edisi 6 Tahun V/ Muharram 1427/ Februari 200
2. Khitan bagi Wanita, Ustadz Abu Nu’aim Al-Atsari, As Sunnah edisi 1/V/1421 H/2001 M

Saturday, April 5, 2008

Rumah Tangga Ideal

Ust Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Menurut ajaran Islam, rumah tangga yang ideal adalah rumah tangga yang diliputi sakinah (ketentraman jiwa), mawaddah (rasa cinta), dan rahmah (kasih sayang).

Allah Ta’ala berfirman, yang artinya :

Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)- Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan menjadikan diantaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir. (Q.S ar-Rum [30] :21).

Dalam rumah tangga yang Islami, seorang suami atau istri harus saling memahami kekurangan dan kelebihannya, harus tahu pula hak dan kewajibannya, memahami tugas dan fungsinya masing-masing, melaksanakan tugasnya itu dengan penuh tanggung jawab, ikhlas serta mengharapakan ganjaran dan ridho dari Alloh Ta’ala.

Sehingga, upaya mewujudkan pernikahan dan rumah tangga yang mendapat keridhoan Allah ‘Azza wa Jalla dapat menjadi kenyataan. Akan tetapi, mengingat kondisi manusia yang tidak bisa lepas dari kelemahan dan kekurangan, sementara ujian dan cobaan selalu mengiringi kehidupan manusia, maka tidak jarang pasangan yang sedianya hidup tenang, tentram dan bahagia justru dilanda kemelut perselisihan dan percekcokan.

Apabila terjadi perselisihan dalam rumah tangga, maka harus ada upaya ishlah (mendamaikan) . Yang harus pertama kali dilakukan oleh suami dan istri adalah lebih dahulu saling introspeksi, menyadari kesalahan masing-masing, dan saling memaafkan, serta memohon kepada Allah agar disatukan hati, dimudahkan urusan dalam ketaatan kepada-Nya, dan diberikan kedamaian dalam rumah tangganya.

Jika cara tersebut gagal, maka harus ada juru damai dari pihak keluarga suami maupun istri untuk mendamaikan antara keduanya. Mudah-mudahan Allah memberikan taufiq kepada pasangan suami istri tersebut.

Apabila sudah diupayakan untuk damai sebagaimana yang disebutkan dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 34-35, tetapi masih juga gagal, maka Islam memberikan jalan terakhir, yaitu “perceraian”.

Syeikh musthofa al-Adawi berkata : “Apabila masalah antara suami istri semakin memanas, hendaklah keduanya saling memperbaiki urusan keduanya, berlindung kepada Alloh dari setan yang terkutuk, dan meredam perselisihan antara keduanya, serta mengunci rapat setiap pintu perselisihan dan jangan menceritakannya kepada orang lain.

Apabila suami marah sementara istri ikut emosi, hendaklah keduanya berlindung kepada Alloh, berwudhu dan sholat dua roka’at. Apabila keduanya sedang berdiri, hendaklah duduk, apabila keduanya sedang duduk, hendaklah berbaring, atau hendaklah salah seorang dari keduanya, mencium, merangkul, dan menyatakan alasan kepada yang lainnya. Apabila salah seorang berbuat salah, hendaklah yang lain segera memaaafkan karena mengharap wajah Alloh semata.”[1]

Di tempat lain beliau berkata : “Sedangkan berdamai adalah lebih baik, sebagaimna yang difirmankan oleh Alloh Ta’ala. Berdamai lebih baik bagi keduanya daripada berpisah dan bercerai. Berdamai lebih baik bagi anak dairpada mereka terlantar (tidak terusus). Berdamai lebih baik daripada bercerai. Perceraian adalah rayuan iblis dan termasuk perbuatan Harut dan Marut.

Allah berfirman (yang artinya) :

…..Maka mereka mempelajari dari keduanya (Harut dan Marut) apa yang dapat memisahkankan antara seorang (suami) dengan istrinya. Dan mereka tidak dapat mencelakakan seseorang dengan sihirnya kecuali dengan izin Alloh ….( QS. A-Baqoroh [2]:102).

Di dalam Shohih Muslim dari sahabat Jabir bin Abdulloh Rhodiyallaahu ‘anhuma ia berkata : Rosulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Sesungguhnya iblis meletakkan singgasananya di atas lautan. Kemudian ia mengirimkan bala tentaranya. Tentara yang paling dekat kedudukannya dengan iblis adalah yang menimbulkan fitnah paling besar kepada manusia. Seorang dari mereka datang dan berkata : ‘Aku telah lakukan ini dan itu .’ Iblis menjawab : ‘engkau belum melakukan apa-apa’. Nabi melanjutkan: “ lalu datanglah seorang dari mereka dan berkata: “Tidaklah aku meninggalkannya sehingga aku berhasil memisahkan ia (suami) dan istrinya. Beliau melanjutkan: “Lalu Iblis mendekatkan kedudukannya. ‘Iblis berkata sebaik-baik pekerjaan ialah yang telah engkau lakukan.’” [2]

Ini menunjukkan bahwa perceraian adalah perbuatan yang dicintai setan.

Apabila dikhawatirkan terjadinya perpecahan antara suami istri, hendaklah hakim atau pemimpin mengirim dua orang juru damai. Satu dari pihak suami dan satu lagi dari pihak istri untuk mengadakan perdamaian antara keduanya. Apabila keduanya damai, maka Alhamdulillah. Namun apabila permasalahan terus berlanjut antara keduanya kepada jalan yang telah digariskan dan keduanya tidak mampu menegakkan batasan-batasan Alloh (syariat dan hukum-hukumNya) di antara keduanya. Yaitu istri tidak mampu lagi menunaikan hak suami yang disyariatkan dan suami tidak mampu menunaikan hak istrinya, serta batas-batas Alloh menjadi terabaikan di antara keduanya dan keduanya tidak mampu menegakkan ketaatan kepada Alloh, maka ketika itu urusannya seperti yang Alloh firmankan, yang artinya:

Dan jika keduanya bercerai, maka Alloh akan memberi kecukupan kepada masing-masing dari karunia-Nya Dan Alloh Maha Luas (karuniaNya) lagi Maha bijaksana ( Q.S an-Nisa’ [4] : 130 )

Allah Taala berfirman yang artinya :

Laki-laki (suami) itu adalah pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka telah memberikan nafkah dan hartanya. Maka perempuan-perempuan yang sholih adalah yang ta’at (kepada Allah) lagi menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah memelihara (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan nusyuz [4] hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Alloh Maha Tinggi lagi Maha Besar.

Dan jika kamu khawatir terjadi persengketaan antara keduanya, maka kirimkanlah seorang juru damai dari keluarga laki-laki dan seorang juru damai dari keluarga perempuan. Jika keduanya (juru damai itu) bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufiq kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti.

(Q.S an-Nisa’ [4] : 34-35 )

Pada hakikatnya, perceraian dibolehkan menurut syariat Islam, dan ini merupakan hak suami. Hak talak (cerai) dalam syari’at islam adalah dibolehkan.

Adapun hadits yang mengatakan “perkara halal yang dibenci Alloh adalah talak (cerai), yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2178), Ibnu Majah (no.2018) dan al-Hakim (2/196) adalah hadits lemah. Hadits ini dilemahkan oleh Ibnu abi Hatim rahimahullah dalam al-‘Ilal , dilemahkan pula oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Irwa ul Gholil (no.2040).

Meskipun talak (cerai) dibolehkan dalam ajaran islam, tetapi seorang suami tidak boleh terlalu memudahkan masalah ini. Ketika seorang suami akan menjatuhkan talak, ia harus berpikir tentang maslahat (kebaikan) dan mafsadat (kerusakan) yang mungkin timbul akibat perceraian agar jangan sampai membawa kepada penyesalan yang panjang. Ia harus berfikir tentang dirinya, istrinya dan anak-anaknya, serta tanggung jawabnya di hadapan Alloh pada hari kiamat.

Kemudian bagi istri, bagaimanapun kemarahannya kepada suami, hendaklah ia tetap sabar dan janganlah sekali-kali ia menuntut cerai kepada suaminya. Terkadang ada istri yang meminta cerai disebabkan masalah kecil atau karena suaminya menikah lagi (berpoligami) atau menyuruh suaminya menceraikan madunya. Hal ini tidak dibenarkan dalam agama islam. Jika si istri masih terus menuntut cerai, maka haram atasnya aroma surga, berdasarkan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam

“Siapa saja yang menunutut cerai kapada suaminya tanpa ada alasan yang benar, maka haram atasnya aroma surga.” [6]

Abu Huroirah rahimahullah berkata :

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam melarang : ‘ …. Dan janganlah seorang istri meminta (suaminya) untuk menceraikan saudari (madu)nya agar memperoleh nafkahnya.

Dalam agama Islam dibolehkan poligami (menikahi lebih dari satu istri) dan ini sama sekali bukan untuk menyakiti perempuan atau berbuat zholim kepada perempuan, melainkan disyariaatkan untuk mengangkat derajat perempuan dan menghormati mereka. Sebab poligami telah disyariatkan oleh Alloh yang Maha Adil, Maha Bijaksana, Maha Pengasih dan Maha Penyayang kepada hamba-hambaNya.

Setiap keluarga selalu mendambakan terwujudnya rumah tangga yang bahagia, diliputi sakinah, mawaddah dan rohmah. Oleh karena itu, setiap suami dan istri wajib menunaikan hak dan kewajibannya sesuai dengan syaria’at Islam dan bergaul dengan cara yang baik.

Kesimpulannya, wanita tidak boleh meminta cerai dari suaminya tanpa alasan syar’i. Kepada suami istri, hendaklah selalu melaksanakan kewajiban yang Alloh bebankan kepadanya, menjauhi apa-apa yang dilarang, dan selalu berdo’a kepada Alloh agar dikaruniai pasangan dan keturunan yang sholih dan sholihah.

“….Wahai Robb kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.” ( QS. Al-Furqon [25]: 74 )

Foot note:
————
1. Fiqh Ta’aamu bainaz-Zaujani
2. Hadits shohih : Diriwayatkan Muslim (no 2040)
3. Dinukil dari Fiqh Ta’ammul bainaz-Zaijaini (hal. 87-92) secarara ringkas.
4. Nusyuz yaitu meninggalkan kewajibannya selaku istri, seperti meninggalkan rumah tanpa seizin suaminya.
5. Hadits shohih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no.2226), Tirmidzi (no. 1187), Ibnu Majah (no. 2055), Darimi(2/162) , Ibnu Jarud (no.748), Ibnu Hibban (no.1320), ath-Thobari dalam Tafsirnya (no. 4843-4844), al-Hakim (2/200), al-Baihaqi (7/316), dari Tsauban rhodiyallaahu ‘anhu.
6. Hadits shohih: Diriwayatkan oleh al-Bukhori (no.2140), Muslim (no.1515 (12)), dan Nasai (7/258)
———— -
Sumber : diketik ulang dari majalah Al-Mawaddah Edisi ke-8 tahun ke-1 (Maret 2008) hal 30 dan 55-56.