Friday, May 30, 2008

Ummu Hani bintu Abi Thalib Al-Hasyimiyyah radhiallahu anha

www.akhwat.co.nr

Dia begitu mengerti tentang agungnya hak seorang suami. Dia pun mengerti tentang hak anak-anak yang ditinggalkan suaminya dalam asuhannya. Dia tak ingin menyia-nyiakan satu pun dari keduanya, hingga dia dapatkan pujian yang begitu mulia, “Sebaik-baik wanita penunggang unta adalah wanita Quraisy, sangat penyayang terhadap anak-anaknya.”

Dia bernama Fakhitah, seorang wanita dari kalangan bangsawan Quraisy. Putri paman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Thalib Abdu Manaf bin Abdil Muththalib bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Qushay. Ibunya bernama Fathimah bintu Asad bin Hasyim bin Abdi Manaf. Dia saudari sekandung ‘Ali, ‘Aqil dan Ja’far, putra-putra Abu Thalib.

Semasa jahiliyah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah meminangnya. Pada saat bersamaan, seorang pemuda bernama Hubairah bin Abi Wahb Al-Makhzumi pun meminangnya pula. Abu Thalib menjatuhkan pilihannya pada Hubairah hingga akhirnya Abu Thalib menikahkan Hubairah dengan putrinya. Dari pernikahan ini, lahirlah putra-putra Hubairah, di antaranya Ja’dah bin Hubairah yang kelak di kemudian hari diangkat ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu -ketika menjabat sebagai khalifah- sebagai gubernur di negeri Khurasan. Putra-putra yang lainnya adalah `Amr –yang dulunya Ummu Hani` berkunyah dengannya, namun putranya ini meninggal ketika masih kecil– serta Hani` dan Yusuf.

Namun pada akhirnya, Islam memisahkan mereka berdua. Ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala membukakan negeri Makkah bagi Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan manusia berbondong-bondong masuk Islam, Ummu Hani` radhiallahu ‘anha pun berislam bersama yang lainnya. Mendengar berita keislaman Ummu Hani`, Hubairah pun melarikan diri ke Najran.

Pada hari pembukaan negeri Makkah itu, ada dua kerabat suami Ummu Hani` dari Bani Makhzum, Al-Harits bin Hisyam dan Zuhair bin Abi Umayyah bin Al-Mughirah, datang kepada Ummu Hani` untuk meminta perlindungan. Waktu itu datang pula ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu menemui Ummu Hani` sambil mengatakan, “Demi Allah, aku akan membunuh dua orang tadi!” Ummu Hani` pun menutup pintu rumahnya dan bergegas menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Saat itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tengah mandi, ditutup oleh putri beliau, Fathimah radhiallahu ‘anha dengan kain. Ummu Hani` pun mengucapkan salam, hingga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Siapa itu?” “Saya Ummu Hani`, putri Abu Thalib,” jawab Ummu Hani`. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menyambutnya, “Marhaban, wahai Ummu Hani`!”

Lalu Ummu Hani` mengadu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kedatangan dua kerabat suaminya untuk meminta perlindungan kepadanya sementara ‘Ali berkeinginan membunuh mereka. Maka beliau pun menjawab, “Aku melindungi orang yang ada dalam perlindunganmu dan memberi jaminan keamanan pada orang yang ada dalam jaminan keamananmu.” Usai mandi, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menunaikan shalat delapan rakaat. Waktu itu adalah waktu dhuha.

Setelah Ummu Hani` berpisah dari suaminya karena keimanan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang untuk meminang Ummu Hani`. Namun dengan halus Ummu Hani` menolak, “Sesungguhnya aku ini seorang ibu dari anak-anak yang membutuhkan perhatian yang menyita banyak waktu. Sementara aku mengetahui betapa besar hak suami. Aku khawatir tidak akan mampu untuk menunaikan hak-hak suami.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengurungkan niatnya. Beliau mengatakan, “Sebaik-baik wanita penunggang unta adalah wanita Quraisy, sangat penyayang terhadap anak-anaknya.”

Ummu Hani` radhiallahu ‘anha meriwayatkan hadits-hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang hingga saat ini termaktub dalam Al-Kutubus Sittah. Dia pun menyebarkan ilmu yang telah dia dulang hingga saat akhir kehidupannya, jauh setelah masa khilafah saudaranya, ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, pada tahun ke-50 H. Ummu Hani` Al-Hasyimiyyah, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala meridhainya….

Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.

Sumber Bacaan:
- Al-Bidayah wan Nihayah, Al-Imam Ibnu Katsir (4/292-293)
- Al-Ishabah, Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani (7/317)
- Al-Isti’ab, Al-Imam Ibnu Abdil Barr (4/1963-1964)
- Ath-Thabaqatul Kubra, Al-Imam Ibnu Sa’d (8/47)
- Siyar A’lamin Nubala`, Al-Imam Adz-Dzahabi (2/311-314)
- Tahdzibul Kamal, Al-Mizzi (35/389-390)

Hukum Menyentuh atau Memegang Al-Qur’an Bagi Orang Junub, Wanita Haid Dan Nifas

Tidak ada satupun dalil yang melarang menyentuh atau memegang Al-Qur’an bagi orang junub, perempuan haid dan nifas. Allahumma, kecuali mereka yang melarang atau mengharamkan berdalil dengan firman Allah Azza wa Jalla.
“Tidak ada yang menyentuh (Al-Qur’an) kecuali mereka yang telah disucikan” [Al-Waqi’ah : 79]
Yang hak, yang dimaksud oleh ayat di atas ialah : Tidak ada yang dapat menyentuh Al-Qur’an yang ada di Lauhul Mahfudz sebagaimana ditegaskan oleh ayat yang sebelumnya (ayat 78) kecuali para Malaikat yang telah disucikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Demikian tafsir dari Ibnu Abbas dan lain-lain sebagaimana telah diterangkan oleh Al-Hafidzh Ibnu Katsir di tafsirnya. Bukanlah yang dimaksud bahwa tidak boleh menyentuh atau memegang Al-Qur’an kecuali orang yang bersih dari hadats besar dan hadats kecil. Kalau betul demikian maksudnya tentang firman Allah di atas artinya menjadi : Tidak ada yang menyentuh Al-Qur’an kecuali mereka yang suci/bersih, yakni dengan bentuk faa’il (subyek/pelaku) bukan maf’ul (obyek). Kenyataannya Allah berfirman : Tidak ada yang menyentuhnya (Al-Qur’an) kecuali mereka yang telah disucikan, yakni dengan bentuk maf’ul (obyek) bukan sebagai faa’il (subyek).
Merekapun berdalil dengan hadits.
“Tidak ada yang menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang suci”
Shahih riwayat Daruquthni dari jalan Amr bin Hazm. Dan dari jalan Hakim bin Hizaam diriwayatkan oleh Daruquthni, Hakim, Thabrani di kitabnya Mu’jam Kabir dan Mu’jam Ausath dan lain-lain. Dan dari jalan Ibnu Umar diriwayatkan oleh Daruquthni dan lain-lain. Dan dari jalan Utsman bin Abil Aash diriwayatkan oleh Thabrani di Mu’jam Kabir dan lain-lain. [1]
Yang hak, yang dimaksud oleh hadits di atas ialah : Tidak ada yang menyentuh Al-Qur’an kecuali orang mu’min, karena orang mu’min itu suci tidak najis sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Sesungguhnya orang mu’min itu tidak najis”
Shahih riwayat Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad dan lain-lain dari jalan Abu Hurairah, ia berkata : “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjumpaiku di salah satu jalan dari jalan-jalan yang ada di Madinah, sedangkan aku dalam keadaan junub, lalu aku menyingkir pergi dan segera aku mandi kemudian aku datang (menemui beliau), lalu beliau bersabda, “Kemana engkau tadi wahai Abu Hurairah?” Jawabku, “Aku tadi dalam keadaan junub, maka aku tidak suka duduk bersamamu dalam keadaan tidak bersih (suci)”. Maka beliau bersabda, “Subhanallah! Sesungguhnya orang mu’min itu tidak najis” (Dalam riwayat yang lain beliau bersabda, “Sesungguhnya orang muslim itu tidak najis”).
Bukanlah yang dimaksud dengan orang yang suci ialah suci dari hadats besar dan hadats kecil, karena lafadz thaahir dalam hadits di atas ialah satu lafadz yang mempunyai beberapa arti (musytarak) yaitu : Suci dari hadats besar, suci dari hadats kecil dan suci dalam arti orang mui’min. untuk menentukan salah satu dari tiga macam arti thaahir diatas harus ada qarinah (tanda dan alamat) yang membawa dan menentukan salah satunya. Apakah arti thaahir di atas maksudnya bersih dan hadats besar atau bersih dari hadats kecil atau mu’min?.
Untuk yang pertama dan kedua yaitu bersih dari hadats besar dan hadats kecil tidak ada satupun qarinah yang menetapkannya. [2]. Sedangkan untuk yang ketiga yaitu orang mu’min telah datang qarinah dari hadits shahih di atas yaitu sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya orang mu’min itu tidak najis”, Yakni orang mu’min itu suci, karena najis lawan dari suci, ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menafikan (meniadakan) kenajisan bagi orang-orang yang beriman (mu’minun), maka mafhumnya bahwa orang-orang yang beriman itu suci. Istimewa apabila kita melihat kepada sebab-sebab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (sabaabul wurudil hadits) bahwa orang mu’min itu tidak najis, yaitu kejadian pada diri Abu Hurairah yang sedang janabah dan tidak mau duduk bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan anggapan bahwa dia sedang tidak suci!? Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyalahkan anggapan tersebut dengan sabdanya : Subhaanallah, sesungguhnya orang mu’min itu tidak najis.
[Disalin dari buku Tiga Hukum Bagi Perempuan haid Dan junub (Menyentuh/Memegang Al-Qur; Membacanya Dan Tinggal Atau Diam Di Masjid, Penulis Abdul Hakim bin Amir Abdat, Penerbit Darul Qolam]
_________
Footnotes
[1]. Irwaa-ul Ghalil no. 122 oleh Syaikhul Imam Al-Albani. Beliau telah mentakhrij hadits di atas dan menyatakannya shahih
[2]. Karena tidak datang satupun dalil yang melarang menyentuh atau memegang Al-Qur’an bagi orang yang junub, perempuan haid dan nifas.
taken from here.

Thursday, May 15, 2008

Misteri Alam Kubur

Jika kita memasuki daerah pekuburan dan melayangkan pandangan pada kuburan-kuburan yang tersusun rapi, maka kita akan mendapati keheningan dan sunyi yang berkepanjangan. Tak terdengar sedikitpun suara, meski banyak yang tinggal disitu. Kuburan-kuburan yang berjejer rapat, sementara dahulu mereka tinggal berjauhan, tidak saling mengenal antara satu dengan yang lainnya. Ada anak kecil yang masih menyusui, ada orang kaya, ada juga orang yang tak punya. Ada orang yang tua renta, dan ada pula anak muda. Namun, apakah gerangan yang terjadi pada mereka? Banyak diantara kita tidak mengetahui Misteri Alam Kubur.

Oleh karena itu, kali ini kami akan mengajak anda untuk menjelajahi alam kubur sebagaimana yang telah dikabarkan oleh rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- berdasaarkan wahyu dari Allah - Subhanahu Wa Ta’ala-, bukan dari takhayyul yang dibuat-buat oleh manusia.

Al-Barra’ bin ‘Azib-radhiyallahu ‘anhu- dia berkata, ”Kami pernah mengiringi jenazah seorang dari sahabat anshar. Tatkala kami tiba di kuburan, ternyata penggalian lahat belum selesai. Akhirnya Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam-duduk (menghadap kiblat), dan kami pun duduk di sekelilingnya. seolah-olah ada burung diatas kepala kami yang hinggap (karena dalam keadaan diam dan tenang). Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- memegang kayu yang beliau pukulkan ke tanah.(Beliau memandang ke langit lalu memandang ke tanah, lalu beliau mendongakkan kepalanya dan menundukkannya tiga kali). Kemudian beliau bersabda,

”Berlindunglah kalian kepada Allah dari siksa kubur”. Diucapkan dua atau tiga kali. (Kemudian Rasulullah bersabda,

”Ya Allah aku berlindung kepadamu dari azab kubur”).tiga kali.

Kemudian bersabda, “Sesungguhnya seorang hamba yang mu’min apabila meninggal dunia dan menghadapi akhirat maka turunlah para malaikat dari langit. Wajahnya putih seakan-akan di wajah mereka itu matahari. Mereka membawa kain kafan diantara kafan-kafan surga dan hanuth (parfum) diantara parfum-parfum surga hingga mereka duduk dari tempat yamg jaraknya sejauh mata memandang. Kemudian datanglah malaikat maut -Alaihis Salam- hingga duduk di sisi kepalanya lalu dia berkata, “Wahai jiwa yang baik (dalam sebuah riwayat: yang tenang) keluarlah menuju kepada ampunan Allah dan keridhoan-Nya. (Rasulullah bersabda), “Maka keluarlah ruh itu mengalir seperti tetesan air dari wadahnya, lalu malaikat itu mengambilnya. Apabila malaikat maut telah mengambilnya, maka para malaikat itu tidak membiarkannya berada di tangan malaikat maut sekejap mata pun hingga mereka mengambilnya, lalu mereka meletakkan di dalam kafan dan parfum tersebut.(Maka itulah makna firman Allah -Ta’ala-,

“Dia diwafatkan oleh malaikat-malaikat kami; dan malaikat-malaikat kami itu tidak melalaikan kewajibannya”. (QS. Al An’am:61)

Semerbak bau wangi seperti misik paling wangi yang didapati di muka bumi. Lalu mereka membawanya naik. Tidaklah mereka melewatkan ruh itu di hadapan sekumpulan para malaikat melainkan para malaikat itu mengatakan, Siapakah ruh yang wangi ini? Mereka menjawab, Fulan bin Fulan -disebut dengan nama-nama terbaik yang dulu mereka menyebutnya ketika di dunia- hingga mereka sampai di langit dunia. Lalu mereka minta agar pintu dibukakan untuk ruh itu. Maka dibukakan untuk mereka. Lalu para malaikat muqarrabun dari semua sisi langit itu mengantarkannya sampai ke langit yang berikutnya hingga berakhir di langit yang ke tujuh. Maka Allah -Ta’ala- berfirman, “Tulislah untuk hamba-Ku di ‘Illiyyin.

“Tahukah kamu apakah ‘Illiyyin itu? (yaitu) Kitab yang bertulis. Yang disaksikan oleh malaikat-malaikat yang didekatkan (kepada Allah)”. (QS. Al-Muthoffifin:19-21).

Maka ditulislah kitabnya di Illiyyin. (Kemudian Allah berfirman lagi), ”Kembalikanlah ia ke bumi. sesungguhmya Aku (berjanji kepada mereka bahwa) dari bumilah Aku menciptakan mereka dan dari sana Aku kembalikan mereka, dan dari sana pula Aku mengeluarkan mereka lagi di kali yang lain”. Maka (ia dikembalikan ke bumi, dan) dikembalikan ruhnya itu ke dalam jasadnya.(Kata beliau -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, sesungguhnya ia mendengar suara sandal orang-orang yang mengantarnya, apabila mereka pulang meninggalkannya). Lalu ia didatangi oleh dua malaikat (yang keras hardikannya) seraya menghardiknya dan mendudukkannya. Lalu kedua malaikat itu bertanya kepadanya, ”Siapa Rabbmu?” Maka ia menjawab, ”Rabbku adalah Allah”. Keduanya bertanya lagi, ”Apa agamamu?” Dia menjawab, ”Agamaku Islam”. Lalu keduanya bertanya lagi, ”Siapakah orang yang diutus oleh Allah kepada kalian itu?” Dia menjawab, ”Beliau adalah utusan Allah”. Lalu keduanya bertanya lagi kepadanya, “Apa saja amalanmu?”Dia menjawab, ”Aku membaca Kitabullah, lalu aku beriman kepadanya, dan membenarkannya”. Lalu malaikat itu bertanya lagi, ”Siapa Rabbmu? dan apa agamamu? dan siapa nabimu?” Itulah akhir fitnah (ujian) atau pertanyaan yang diajukan kepada seorang mu’min. Maka itulah makna firman Allah -Ta’ala-,

“Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat”. (QS.Ibrahim: 27)

Lalu ia menjawab, ”Rabbku adalah Allah; agamaku Islam, dan nabiku adalah Muhammad -Shollallahu ‘alaihi wasallam-“. Maka ada Penyeru (Allah) yang menyeru dari langit dengan mengatakan, ”Telah benar hamba-Ku. maka bentangkanlah permadani dari jannah (surga) dan kenakanlah untuknya dari pakaian jannah, serta bukakanlah untuknya pintu ke jannah”. Lalu sampai kepadanya hawa jannah dan bau wanginya, dan diluaskan kuburnya sejauh mata memandang. Datanglah kepadanya (di dalam sebuah riwayat: didatangkan kepadanya dalam bentuk) seorang laki-laki yang tampan wajahnya bagus pakaiannya, dan wangi baunya, lalu orang itu mengatakan, ”Berbahagialah dengan apa yang membuatmu senang, (berbahagialah dengan keridhan dari Allah -Ta’ala-dan jannah yang di dalamnya ada nikmat-nikmat yang abadi). Ini adalah hari yang dijanjikan kepada engkau”. Lalu ia mengatakan kepadanya, ”(Engkau telah diberi kabar gembira oleh Allah dengan kebaikan) Siapakah engkau ini? wajahmu menunjukkan wajah orang yang datang dengan kebaikan”. Orang itu menjawab, ”Aku adalah amalanmu yang shalih (Demi Allah tidaklah aku mengetahuimu, kecuali engkau orang yang bersegera melakukan ketaatan kepada Allah. Maka Allah membalasmu dengan yang terbaik)”. Kemudian dibukakanlah untuknya pintu jannah dan pintu neraka. Lalu dikatakan kepadanya, ”Inilah tempat tinggalmu jika engkau durhaka kepada Allah. Kemudian Allah menggantikanmu dengan yang itu (jannah)”. Saat ia melihat apa yang ada di dalam jannah, ia mengatakan, ”Ya Rabbi, segerakanlah datangnya hari kiamat agar aku pulang lagi kepada keluargaku dan hartaku”. (Lalu dikatakan kepadanya:tenanglah).

Lanjut beliau -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda , “Sesungguhnya seorang hamba yang kafir (di dalam sebuah riwayat, “yang fajir/durhaka”) apabila ia meninggal dunia dan menghadapi akhirat, turunlah kepadanya para malaikat dari langit (yang keras lagi kejam) yang berwajah hitam-hitam. Mereka membawa pakaian kasar (dari neraka). lalu mereka duduk dari tempatnya sejauh mata memandang. kemudian datanglah malaikat maut hingga duduk di sisi kepalanya lalu ia berkata, ”Wahai jiwa yang jelek! Keluarlah menuju kemurkaan Allah dan kemarahannya!” Maka tercerai-berai ruh itu di dalam jasadnya, kemudian dicabut seperti dicabutnya besi berduri (banyak cabangnya) dari bulu yang basah lalu tertarik putus bersamanya urat-urat dan pembuluhnya. (Kemudian ia dilaknat oleh setiap malaikat yang ada di antara langit dan bumi dan semua malaikat yang ada di langit; ditutuplah pintu-pintu langit. Tidak ada di antara malaikat penjaga pintu itu, kecuali mereka memohon kepada Allah agar ruh itu jangan dinaikkan melalui tempat mereka). Lalu malaikat maut mangambilnya. Apabila malaikat maut telah mengambilnya, maka para malaikat itu tidak membiarkannya berada di tangannya sekejap mata pun hingga mereka mengambilnya, lalu mereka meletakkannya di dalam kafan tersebut. Maka keluarlah dari ruh itu bau busuk seperti bangkai paling busuk yang didapati di muka bumi. Kemudian mereka membawanya naik. Tidaklah mereka melewatkan ruh itu di hadapan sekumpulan para malaikat, melainkan para malaikat itu mangatakan,

“Siapakah ruh yang sangat busuk ini?” Mereka menjawab, Fulan bin Fulan – disebut dengan nama-nama terburuk yang dulu mereka menyebutnya ketika di dunia– hingga mereka sampai di langit dunia. Lalu mereka minta agar pintu dibukakan untuk ruh itu. Namun tidak dibukakan untuknya. Kemudian Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- membaca ayat,

“Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami dan menyombongkan diri terhadapnya, sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langitdan tidak (pula) mereka masuk surga, hingga unta masuk ke lubang jarum. Demikianlah kami memberi pembalasan kepada orang-orang yang berbuat kejahatan. (QS. Al-A’raf:40)

Allah berfirman, ”Tulislah kitabnya di Sijjin, di bumi yang paling bawah”. (Kemudian Allah berfirman lagi), ”Kembalikanlah ia ke bumi. Sesungguhmya Aku (berjanji kepada mereka bahwa) dari bumilah Aku menciptakan mereka dan dari sana Aku kembalikan mereka, dan dari sana pula Aku mengeluarkan mereka lagi di kali yang lain”. Maka dilemparkan ruh (dari langit) dengan lemparan (yang membuat ruh itu kembali ke dalam jasadnya). Kemudian Rasulullah membaca,
“Barangsiapa yang mempersekutukan sesuatu dengan Allah, Maka adalah ia seolah-olah jatuh dari langit, lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh”. (QS. Al-Hajj: 31)

Lalu dikembalikan ruh itu ke dalam jasadnya. (Kata beliau -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, ”Sesungguhnya ia mendengar suara sandal orang-orang yang mengantarkannya apabila mereka pulang meninggalkannya). Lalu ia didatangi oleh dua malaikat (yang keras hardikannya), lalu keduanya menghardiknya dan mendudukkannya. Kemudian kedua malaikat itu bertanya kepadanya, ”Siapa Rabbmu?” Maka ia menjawab, ”Haah…hah, saya tidak tahu”. Keduanya bertanya lagi, ”Apa agamamu?” Dia menjawab, ”Haah hah, saya tidak tahu”. Lalu keduanya bertanya lagi, ”apa komentarmu tentang orang yang diutus oleh Allah kepada kalian itu?” Dia tidak tahu namanya. Lalu dikatakan kepadanya, ”Muhammad!?” Maka ia menjawab, ”Haah…hah, saya tidak tahu (saya mendengar orang mengatakan begitu”. Lalu dikatakan kepadanya, ”Engkau tidak tahu, dan tidak membaca?” Maka ada penyeru yang menyeru dari langit dengan mengatakan, ”Dia dusta. Maka bentangkanlah permadani dari neraka dan bukakanlah untuknya pintu ke neraka”. Lalu sampailah kepadanya panas neraka dan hembusan panasnya. Disempitkan kuburnya hingga bertautlah tulang rusuknya karenanya. Datanglah kepadanya (di dalam sebuah riwayat: didatangkan kepadanya dalam bentuk) seorang laki-laki yang buruk wajahnya buruk pakaiannya dan busuk baunya. Lalu orang itu mengatakan, ”Aku kabarkan kepadamu tentang sesuatu yang membuatmu menderita. Inilah hari yang dijanjikan kepadamu”. Lalu ia mengatakan kepadanya, ”(Engkau telah diberikan kabar jelek oleh Allah)”. Siapakah engkau ini? Wajahmu menunjukkan wajah orang yang datang dengan kejelekan”.

Orang itu menjawab, ”Aku adalah amalanmu yang buruk. (Demi Allah, tidaklah aku mengetahuimu, kecuali engkau adalah orang yang berlambat-lambat dari melakukan ketaatan kepada Allah dan bergegas kepada kemaksiatan kepada Allah. Maka Allah membalasmu dengan yang terburuk)”. Kemudian didatangkan kepadanya seorang yang buta, tuli lagi bisu dengan membawa sebuah palu besar di tangannya! Kalau saja palu itu dipukulkan kepada gunung, tentu gunung itu menjadi debu. maka orang itu memukulkan palu itu kepadanya hingga ia menjadi debu. Kemudian Allah mengembalikannya lagi seperti semula. Lalu orang itu memukulnya sekali lagi hingga ia memekik keras dengan teriakan yang bisa didengar oleh segala yang ada, kecuali manusia dan jin. Kemudian dibukakan pintu neraka untuknya dan dibentangkan permadani dari neraka). Maka ia berkata:”Ya Rabbi! janganlah Engkau datangkan hari kiamat itu!” [HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya (4753), Al-Hakim dalam Al-Mustadrok (107), Ath-Thoyalisiy dalam Al-Musnad (753), dan Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf (12059). Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Takhrij Al-Misykah (1630)]

Demikianlah perjalanan kita kali ini. Semoga bisa menjadi nasihat bagi kita sebagai calon penghuni kubur yang akan segera menyusul orang-orang yang ada dalam liang lahat. Maka persiapkanlah imanmu dan amal sholihmu dengan mempelajarilah agamamu sehingga engkau menjadi orang-orang yang selamat dari hardikan malaikat, dan himpitan kubur yang gelap. Ingatlah dunia dan umurmu singkat !!

Sumber : Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 55 Tahun I. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp) alamat url http://almakassari.com/?p=242#more-242

copas from: http://antosalafy.wordpress.com/2008/03/10/misteri-alam-kubur/

Sunday, May 11, 2008

Dampak Menikahi Ahli Kitab

Pada saat Allah membolehkan pernikahan, di sana mengandung tujuan sebagai cara untuk memperbaiki akhlak. Sehingga dapat membersihkan masyarakat dari akhak yang buruk, lebih menjaga kemaluan, menegakkan masyarakat dengan sistem Islam yang bersih, dan melahirkan umat muslim yang bersyahadat La ilaaha illallah wa anna muhammadar Rasulullah (tidak ada ilah yang berhak diibadahi selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah).
Kemaslahatan ini tidak mungkin akan terwujud kecuali dengan menganjurkan untuk menikahi wanita shalihah, memliki kualitas agama dan kemuliaan yang memadai serta berakhak mulia.
Adapun mengenai pengaruh dan dampak yang negatif dari menikahi wanita Ahli Kitab dapat diringkas sebagai berikut.

[1]. Dampak Negatif Pada Lingkungan Keluarga

Dampak negatif pada lingkungan keluarga adalah apabila seorang suami memiliki kepribadian yang kuat maka dia akan mampu mempengaruhi sang isteri dan bahkan mungkin akan menjadikan isteri mau memeluk agama Islam. Tetapi kadangkala yang terjadi justru sebaliknya. Kadang-kadang sang isteri tetap berpegang teguh dengan agamanya yang dahulu dan selalu melakukan aktivitas yang dianggap boleh oleh agamanya, seperti minum khamr, makan daging babi dan bebas berteman dengan laki-laki yang bukan mahramnya. Dengan prilaku tersebut, seorang wanita dan keluarga muslim akan retak dan berantakan serta anak keturunannya akan hidup dalam lingkungan yang penuh dengan kemungkaran. Kita memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala kebaikan dan keselamatan.
Bahkan problem tersebut kadangkala akan bertambah lebih buruk apabila sang isteri yang fanatik (terhadap agamanya) sengaja dan tetap bandel mengajak putra-putrinya menemaninya ke gereja, lalu memperlihatkan kepada mereka bagaimana cara-cara ibadah para pendeta. Apalagi jika mereka sampai memperhatikan semua itu. Barang siapa yang tumbuh bersama sesuatu, ia pasti akan tercampuri oleh sesuatu itu. [1]

[2]. Dampak Negatif Pada Lingkungan Masyarakat.

Banyaknya wanita-wanita Ahli Kitab yang hidup di lingkungan masyarakat muslim merupakan persoalan yang amat berbahaya … dan yang lebih berbahaya lagi dari semua itu adalah jika kondisi itu muncul dengan terencana…
Adapun bahayanya pada lingkungan masyarakat adalah menyebabkan kemunduran umat Islam –ini memang nyata dan telah terbukti- dan semakin memajukan taraf hidup umat Nashrani. Dalam kondisi seperti ini, mereka sebenarnya adalah kurir-kurir pasukan ghzwul fikr (perang pemikiran) yang sangat berbahaya di dalam tubuh umat Islam dan akan mengusung hal-hal buruk lainnya seperti budaya hidup bebas tanpa batas, kebobrokan moral dan kebiasaan-kebiasaan kaum Nashrani yang sehari-hari mereka kerjakan.
Hal ini diawali dengan kebiasaan ikhtilath (bercampur baur) antara laki-laki dan perempuan dengan diiringi munculnya pakaian-pakaian yang membuka aurat, baik terbuka seluruhnya, separoh ataupun pakaian mini. Bahkan tidak jarang kebiasaan-kebiasaan ini akan merembet kepada tari-tarian model barat, makan dengan tangan kiri, dan memberikan ucapan penghormatan dengan bahasa Perancis maupun Inggris.
Demikianlah, apalagi dampak negatifnya pada aspek politik, pasti lebih dahsyat lagi. Hal ini sebagaimana yang diceritakan oleh Safar Aster (penulis kitab perjajian lama) tentang kisah seorang wanita Yahudi yang menikah dengan raja Persia. Dia banyak membantu penyebaran keturunan Yahudi di Persia. Sehingga ketika perdana menteri Persia, Haman, hendak mengambil tindakan kepada kaum Yahudi, dia malah membuat propaganda di hadapan raja seolah-olah masalah yang ada adalah sang perdana menteri hendak memberontak. Sehingga ketika datang hari akan dilaksanakan hukuman, justru sang perdana menteri yang di gantung di tempat tiang gantungan yang sebenarnya dipersiapkan untuk orang-orang Yahudi Mardakhai. Lalu bersama sang perdana menteri ini ikut digantung pula para tentara sebanyak 75.000 (tujuh puluh lima ribu) pada tanggal 16 bulan Adzar. Sehingga kemudian hari pada tanggal 14 bulan Adzar menjadi salah satu hari raya resmi kaum Yahudi.
Ini adalah sebagian kecil dari dampak negative menikah dengan wanita Ahli Kitab.

HIKMAH DIPERBOLEHKANNYA SEORANG MUSLIM MENIKAHI WANITA AHLI KITAB

Mungkin ada seseorang yang bertanya seraya berkata : “… pengaruh negatif menikahi wanita Ahli Kitab ini senatiasa ada , tetapi kenapa Islam membolehkan hal tersebut dan tidak mengharamkannya?”
Kami katakan, hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala kita memohon taufiq-Nya, sesungguhnya seorang muslim wajib mengikuti perintah-perintah-Nya, baik ia mengetahui hikmah yang ada di dalamnya ataupun tidak mengetahuinya.
Adapun hikmah dibolehkannya menikahi wanita Ahli Kitab bagi seorang muslim…Para ulama telah mengungkapkan sebagian dari hikmah tersebut, di antaranya yaitu.
[1]. Ahli Kitab adalah sekelompok manusia yang paling dekat kepada petunjuk manakala mereka disodori bukti-bukti dan dijelaskan jalannya. Apabila seorang wanita Ahli Kitab memiliki suami muslim yang memperlakukannya dengan baik, maka dia akan mendapatkan keadilan Islam yang tampak di hadapannya setiap hari dan selalu akan bertambah di matanya. Dengan demikian, bisa jadi cahaya Islam akan terserap ke dalam hatinya, sehingga dia mau memeluk agama Islam yang lurus. Inilah yang sebenarnya kita inginkan agar dia dapat meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat.
[2]. Sangat mungkin salah seorang muslim jatuh cinta dan tergila-gila kepada wanita non muslimah. Kemudian ia akan cenderung melakkan perbuatan haram tatkala segala pintu untuk mencapai tujuannya telah tertutup dan terkunci. Demikian pula, sangat mungkin salah seorang muslim tinggal di sebuah wailayah yang tidak ada seorang muslimah pun, sedang ia khawatir akan dirinya dan nasib keturunannya jika tetap membujang. Hal itu sangat wajar bila pintu rukhshah (keringanan) dibuka sampai batas tertetntu dalam kasus-kasus seperti ini, tidak sebagaimana biasanya. Akhirnya, Allah membuka pintu rukhshah ini, namunn tetap memperhatikan kaidah : “Sesungguhnya kemaslahatan masyarakat tidak akan tercipta kecuali dengan meminimalkan dampak buruk yang mungkin timbul. [2]

[Disalin dari kitab Akhkaamu Nikaakhu Al-Kuffaar Alaa Al-Madzhabi Al-Arba’ah, Penulis Humaidhi bin Abdul Aziz bin Muhammad Al-Humaidhi, edisi Indonesia Bolehkah Rumah Tangga Beda Agama?, Penerbit At-Tibyan, Penerjemah Mutsana Abdul Qahhar]
__________
Foote Note
[1]. Majalah Al-Buhuts Al-Islamiyyah edisi 10 hal.323 dan seterusnya, dengan sedikit perubahan.
[2]. Al-Islam fi Muwajahah At-Tahaddiyyat Al-Ma’ashirah hal.126,127 oleh Al-Maududi, terbitan Daar Al-Qalam, Kuwait

Menikahi Ahli Kitab

[Yang Merdeka, Yang Berstatus Sebagai Ahli Dzimmah [1], Dan Yang Menjaga Kehormatannya]
Di kalangan para ulama ada dua pendapat dalam masalah ini.

Pendapat Pertama.

Seorang muslim halal menikahi wanita-wanita Ahli Kitab, baik yang merdeka, yang berstatus sebagai Ahli Dzimmah, ataupun yang menjaga kehormatannya. Ini adalah pendapat jumhur ulama dari kalangan Hanafiyah [2], Malikiyah [3], Syafi’iyah [4], dan Hanabilah (Hanbali) [5].

Pendapat Kedua.

Seorang muslim haram menikahi wanita-wanita Ahli Kitab, baik yang merdeka, yang berstatus sebagai Ahli Dzimmah ataupun yang menjaga kehormatannya.
Pendapat ini dinukil dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhuma, dan ia menjadi pendapat Syi’ah Imamiyah [6].
Dalil-Dalil Pendapat Di Atas.

Pendapat Pertama : Yaitu pendapat jumhur ulama, mereka berdalil dengan dalil-dalil sebagai berikut.

[a]. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu” [Al-Maidah : 5]
[b]. Perilaku para sahabat, karena mereka telah menikahi wanita-wanita yang bersetatus sebagai Ahli Dzimmah dari Ahli Kitab. Misalnya Utsman Radhiyallahu ‘anhu, beliau telah menikahi Nailah binti Al-Gharamidhah Al-Kalbiyyah, padahal ia seorang wanita Nasrani, lalu masuk Islam dengan perantara beliau. Hudzaifah Radhiyallahu ‘anhu menikah dengan seorang wanita Yahudi dari Al-Madain.
[c]. Jabir Radhiyallahu ‘anhu ditanya tentang hukum seorang muslim menikahi wanita-wanita Yahudi dan Nasrani.
Maka beliau menjawab : “Kami telah menikahi mereka pada waktu penaklukan kota Kufah bersama Sa’ad bin Abi Waqqash” [7]
[d]. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai orang-orang Majusi.
“Artinya : Berbuatlah kalian kepada mereka seperti yang berlaku bagi Ahli Kitab, selain menikahi wanita-wanita mereka dan tidak makan daging sembelihan mereka” [8]

Sedangkan Pendapat Kedua : Mereka berdalil dengan dalil-dalil sebagai berikut.

[a]. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala
“Artinya : Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman” [Al-Baqarah : 221]
Sisi pengambilan dalil dari ayat tersebut adalah bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengharamkan nikah dengan wanita musyrik dalam ayat ini. Padahal wanita Ahli Kitab adalah orang musyrik. Dalam menyatakan bahwa wanita Ahli Kitab itu adalah orang musyrik, mereka berdalil dengan sebuah riwayat yang shahih dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma bahwa beliau pernah ditanya tentang hukum menikah dengan wanita-wanita Nashrani dan Yahudi. Maka beliau menjawab :
“Sesungguhnya Allah telah mengharamkan bagi orang-orang yang beriman menikah dengan wanita-wanita musyrik. Dan, saya tidak mengetahui ada kemusyrikan yang lebih besar daripada seorang wanita yang mengatakan Rabb-nya adalah Nabi Isa. Padahal beliau adalah salah seorang hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala” [9] [HR Al-Bukhari dalam Shahih-nya]
[b]. Mereka juga berdalil dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir” [Al-Mumtahanah : 10]
Sisi pengambilan dalil dari ayat tersebut adalah bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melarang tetap berpegang teguh pada ikatan pernikahan dengan perempuan-perempuan kafir. Padahal perempuan-perempuan Ahli Kitab termasuk perempuan-perempuan kafir. Sementara larangan (An-Nahyu) dalam ayat tersebut bermakna haram.

Diskusi Seputar Dalil-Dalil Di Atas

Jumhur ulama telah mendiskusikan (mengkritisi) dalil-dalil pendapat kedua dengan penjelasan sebagai berikut.
[1]. Diskusi Dalil Pertama.
Yaitu firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman” [Al-Baqarah : 221]
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya ayat tersebut telah dimansukh (dihapus) dengan ayat yang tertera di dalam surat Al-Maidah, yakni firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu” [Al-Maidah : 5]
Demikian pula bahwa dalil yang dijadikan hujjah oleh mereka adalah bersifat umum (‘amm), yang mengandung arti setiap wanita kafir, sedangkan ayat yang kami bawakan ini adalah bersifat khusus (khas), yang menyatakan halal menikahi wanita Ahli Kitab. Padahal dalil yang bersifat khusus itu wajib didahulukan.[10]
[2]. Diskusi Dalil Kedua.
Yaitu tentang pernyataan Ibnu Umar :
“Saya tidak mengetahui ada kesyirikan yang lebih besar daripada seorang wanita yang mengatakan Rabb-nya adalah Nabi Isa”. Maka dapat dijawab : “Bahwa ayat ini mengkhususkan wanita-wanita Ahli Kitab dari wanita-wanita musyrik secara umum. Maka dalil yang bersifat umum harus dibangun di atas dalil yang bersifat khusus” [11]
[3]. Diskusi Dalil Ketiga
Yaitu firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir” [Al-Mumtahanah : 10]
Ibnu Qudamah mejelaskan : “Lafadz musyrikin (orang-orang musyrik) secara mutlak itu tidak mencakup Ahli Kitab, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala berikut.
“Artinya : orang-orang kafir yakni Ahli Kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya)…”[Al-Bayyinah : 1]
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman.
“Artinya : Sesungguhnya orang-orang kafir yakni Ahli Kitab dan orang-orang musyrik” [Al-Bayyinah : 6]
Maka anda akan mendapatkan bahwa Al-Qur’an sendiri membedakan antara kedua golongan tersebut. Al-Qur’an telah menunjukkan bahwa lafadz ‘musyrikin’ (orang-orang musyrik) secara mutlak itu tidak mencakup Ahli Kitab.
Jadi firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir” [Al-Mumtahanah : 10]
Adalah bersifat umum (‘amm), yang mengandung arti setiap wanita kafir, sedangkan ayat yang kami bawakan ini adalah bersifat khusus (khash), yang menyatakan halal menikahi wanita Ahli Kitab. Padahal dalil yang besifat khusus itu wajib didahulukan.
Setelah diskusi singkat ini, jelaslah bagi kita bahwa semua dalil para ulama yang menyatakan haram menikahi wanita Ahli Kitab adalah lemah, dan tidak ada satupun dalil yang shahih. Adapun yang lebih rajih (unggul) adalah pendapat jumhur ulama yang menyatakan halal menikahi wanita-wanita mereka (Ahli Kitab).
Berkaitan : .. Di kalangan para ulama yang menyatakan halal menikahi wanita-wanita Ahli Kitab sendiri, yaitu jumhur ulama, mereka masih berbeda pendapat tentang menikahi wanita-wanita Ahli Kitab, apakah hukum halal itu boleh secara muthlak ataukah boleh namun makruh hukumnya?

Dalam masalah ini terdapat tiga pendapat.

Pendapat Pertama.
Menikahi wanita-wanita Ahli Kitab adalah boleh namun makruh hukumnya. Ini adalah pendapat sebagian madzhab Hanafiyah [12], pendapat madzhab Malikiyah [13], Syafi’iyah [14], dan Hanabilah [15].
Pendapat Kedua
Menikahi wanita-wanita Ahli Kitab adalah boleh secara mutlak, tidak makruh sama sekali. Ini adalah pendapat sebagian madzhab Malikiah, di antara mereka ada Ibnu Al-Qasim dan Khalil, dan itu merupakan pendapat imam Malik [16].
Pendapat Ketiga
Az-Zarkasyi dari kalangan madzhab Syafi’iyah berkata : “Kadangkala hukumnya menikahi wanita Ahli Kitab bisa sunnah (istihbab), apabila wanita tersebut dapat diharapkan masuk Islam. Pasalnya, ada riwayat bahwa Utsman Radhiyallahu ‘anhu telah menikah seorang wanita Nashrani, kemudian wanita itu masuk Islam dan ke-islamannya pun baik” [17]. Ini adalah pendapat yang marjuh (lemah) dari kalangan madzhab Syafi’iyah.
[Disalin dari kitab Akhkaamu Nikaakhu Al-Kuffaar Alaa Al-Madzhabi Al-Arba’ah, Penulis Humaidhi bin Abdul Aziz bin Muhammad Al-Humaidhi, edisi Indonesia Bolehkah Rumah Tangga Beda Agama?, Penerbit At-Tibyan, Penerjemah Mutsana Abdul Qahhar
__________
Foote Note
[1]. Ahli dzimmah adalah orang-orang bukan Islam yang berada di bawah perlindungan pemerintah Islam.
[2]. Syarh Fath Al-Qadir III/228, Bada’i Ash-Shana’i II/270, Hasyiyah Ibnu Abidin III/45 dan Tabyin Al-Haqaiq Syarh Kanzu Ad-Daqaiq oleh Az-Zailaiy II/109 terbtan Daar Al-Ma’rifah, Beirut.
[3]. Al-Fawakih Ad-Diwani II/42, Bidayah Al-Mujtahid II/44 dan Al-Kafi oleh Ibnu Abdil Barr II/543
[4]. Al-Majmu Syarh Al-Muhadzdzab XVI/232, Mughni Al-muhtaj III/187 Raudhah Ath-Thalibin VII/132 dan Alaihis salam Sail Al-Jarar Al-Mutadaffiq Ala Hadaiq Al-Zhar II/253 terbitan Al-Daar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, Beirut.
[5]. Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah VI/589 dan Syarh Muntaha Al-Iradaat III/236
[6]. Al-Majmu Syarh Al-Muhadzdzab XVI/233, Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah VI/590 dan Fath Al-Qadir oleh Asy-Syaukani I/15
[7]. Al-Majmu Syarh Al-Muhadzdzab XVI/232
[8]. Tanwir Al-Hawalik Syarh Al-Muwaththa Malik, kitab Az-Zakaat I/263
[9]. Fathul Baari Syarh Shahih Al-Bukhari, kitab Ath-Thalaq IX/416 terbitan Daar Al-Ma’rifah, Beirut
[10]. Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah VI/590
[11]. Lihat Tafsir Fath Al-Qadir oleh Asy-Syaukani II/15
[12]. Tabyin Al-Haqa-iq Syarh Kanzu Ad-Daqa-iq II/109
[13]. Al-Fawakih Ad-Diwani II/43
[14]. Takmilah Al-Majmu 16/232
[15]. Al-Furu oleh Ibnu muflih V/207
[16]. Al-Fawakih Ad-Diwani II/43
[17]. Mughni Al-Muhtaj III/187

Benarkah Mereka Ahli Kitab?

Pertanyaan

Al-Lajnatud-Da’imatu Lil Buhutsil Ilmiyah Wal Ifta ditanya : Orang-orang Nashara, penganut trinitas adalah musyrik. Sedangkan orang-orang Yahudi –pembunuh para nabi- adalah musuh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga musyrik karena perkataan mereka “kami adalah para kekasih Allah”, “tangan Allah dibelengu”, dan lain sebagainya. Kitab-kitab mereka -sebagaimana diketahui- telah diselewengkan. Tolong berikanlah jawaban yang jelas, serta hilangkanlah kebingungan orang-orang yang bimbang! Jazakumullah khairan jaza.

Jawaban

Yang dimaksud Ahlu Kitab adalah orang-orang Nashara dan Yahudi, meskipun mereka muysrik. Perbuatan syirik mereka ini sudah melekat pada mereka saat Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi kita, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengabarkan tentang pengkultusan orang-orang Nashara terhadap Nabi Isa Alaihissalam, dan menganggapnya sebagai tuhan yang mereka sembah disamping menyembah Allah Azza wa Jalla.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata : ‘Sesungguhnya Allah itu adalah Al-Masih putera Maryam” [Lihat Al-Maidah : 17 dan 72]
Sebagaimana juga Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberitahukan tentang Yahudi yang mengatakan Uzair itu anak Allah. Secara global, Allah Azza wa Jalla juga mengabarkan tentang Ahlul Kitab, bahwa mereka telah menjadikan para rahibnya sebagai sesembahan selain Allah Azza wa Jalla.
Allah Azza wa Jalla berfirman.
“Orang-orang Yahudi berkata, ‘Uzair itu putera Allah’, dan orang-orang Nasrani berkata, ‘Al-Masih itu putera Allah’. Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir terdahulu. Dilaknati Allah-lah mereka, bagaimana mereka sampai berpaling” [At-Taubah : 30]
Dan firman-Nya
“Katakanlah : ‘Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun, dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Ilah selain Allah. Jika mereka berpaling, maka katakanlah kepada mereka : ‘Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)” [Ali-Imran : 64]
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga memberitahukan aqidah trinitas mereka, dan Allah Azza wa Jalla melarang mereka darinya. Allah Azza wa Jalla berfirman.
“Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya Al-Masih, Isa putera Maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimatNya yang disampaikanNya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasulNya, dan janganlah kamu mengatakan : “(ilah itu) tiga”, Berhentilah (dari ucapan itu). (Itu) lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah, Ilah Yang Maha Esa” [An-Nisaa : 171]
Dan ayat-ayat lain yang menunjukkan tindakan syirik dan kekufuran mereka saat wahyu ini turun, sedangkan Allah Azza wa Jalla tetap menyebut mereka sebagai Ahlul Kitab, bukan hanya pada satu tempat saja.
Wabillahit-taufiq, washallahu ‘ala Nabiyina Muhammad wa alihi wa shahbihi ajma’in.
[Fatawa Al-Lajnatud-Da’imatu Lil Buhutsil Ilmiyah Wal Ifta, 3/421-423]

Thursday, May 8, 2008

Jual Beli dengan Uang Muka

Pertanyaan:

Benarkah jual beli dengan sistem panjar (uang muka/downpayment-DP)? Kemudian jika pembeli menggagalkan, halalkah mengambil uang panjar tersebut? Bagaimana jual beli yang benar?

Abdurrazzaq - Temanggung
 0815xxxxxxx

Jawab:

Jual beli ini dikenal dalam bahasa fiqih dengan istilah ‘urbun. Definisi terbaik untuk jual beli ini adalah apa yang telah disampaikan Ibnu Qudamah rahimahullahu, yaitu seseorang membeli barang kemudian membayarkan kepada penjual satu dirham atau semisalnya. Dengan syarat, bila pembeli jadi membelinya maka uang itu dihitung dari harga, dan jika tidak jadi membeliya maka itu menjadi milik penjual.

Tentang hukum jual-beli ini, terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama:

1. Mayoritas para ulama, satu riwayat dari Al-Imam Ahmad rahimahullahu dan yang dikuatkan oleh Abul Khaththab rahimahullahu dari kalangan ulama Hambali dan Ibnu Qudamah rahimahullahu mengatakan bahwa itulah yang sesuai dengan qiyas. Pendapat ini juga dikuatkan oleh Asy-Syaukani rahimahullahu. Mereka semua mengatakan bahwa jual beli ‘urbun sesuai dengan gambaran di atas, batal. Dengan argumen hadits yang berbunyi:


“Rasulullah melarang jual beli ‘urbun.”

2. ‘Umar ibnul Khaththab, Abdullah – putranya – radhiyallahu ‘anhuma, Ibnu Sirin, Nafi’ bin Abdul Harits, Zaid bin Aslam rahimahumullah, satu riwayat yang lain dari Al-Imam Ahmad rahimahullahu dan yang masyhur di kalangan ulama Hambali, mereka membolehkan jual beli sesuai gambaran di atas.

Dengan alasan:

Bahwa hadits yang disebutkan di atas dha’if/lemah1.

Karena penjual bisa jadi menanggung kerugian dengan sebab masa tunggu. Misalnya harga barangnya menjadi turun atau penjual kehilangan calon-calon pembeli. Semua risiko ini ditanggung penjual bila pembeli mengurungkan niatnya untuk membeli. Demikian pula pembeli berikutnya bisa menawar lebih murah setelah ditinggalkan oleh pembeli pertama.

Namun demikian dinasihatkan kepada para penjual, bilamana ia tidak menanggung kerugian apa-apa agar mengembalikan uang itu dalam rangka menjaga sikap wara’.

Atas dasar yang membolehkan jual beli ‘urbun, maka dikecualikan tiga keadaan:
  • Pada sesuatu yang disyaratkan secara syar’i harus kontan pada masing-masing barang yang dipertukarkan, yaitu barang-barang yang mengandung riba (lihat penjelasan tentang Riba di Asy Syariah edisi 28). Misalnya uang, seperti menukar uang real Saudi dengan real Yaman. Maka tidak boleh menerapkan sistem ‘urbun.
  • Sesuatu yang disyaratkan untuk diserahkan secara kontan dan penuh pada salah satu barang yang dipertukarkan, yaitu pada jual beli sistem salam2. Di mana dipersyaratkan secara kontan memberikan uang secara penuh di muka. Maka tidak boleh diberlakukan sistem ‘urbun.
  • Pada kondisi penjual tidak memiliki barang yang dijual, maka tidak boleh dengan sistem ‘urbun.
  • (diringkas oleh Qomar ZA, dari penjelasan Asy-Syaikh Abdurrahman Al-’Adani dalam kitabnya Syarhul Buyu’, hal. 36-37)

1
Dianggap lemah oleh para ulama, di antaranya oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Dha’iful Jami’ Ash-Shaghir, Dha’if Abu Dawud, Dha’if Ibnu Majah, Misykatul Mashabih. Dikarenakan sanadnya tidak tersambung antara Al-Imam Malik rahimahullahu dengan ‘Amr bin Syu’aib. Yakni Al-Imam Malik rahimahullahu meriwayatkan dengan cara balaghan.
2 Sistem salam yaitu seseorang membeli suatu barang yang belum ada di tangan penjual namun ada dalam pikirannya. Maka pembeli dan penjual menyepakati barang yang dibeli dan sifat-sifatnya lalu pembeli menyerahkan uangnya di muka secara penuh. Dalam hal ini disyaratkan barangnya harus jelas, sifatnya jelas, jumlahnya jelas dan waktunya jelas.

Sumber: http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=541