Saturday, December 26, 2009

Nasehat Untuk Pedagang

Oleh: Syaikh Muhammad Ali Farkus hafizhohullaah

Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. Sholawat dan salam atas seorang yang telah Allah utus sebagai rahmat bagi alam semesta, juga atas keluarganya, sahabat-sahabatnya dan saudara-saudaranya hingga hari pembalasan. Amma ba’du:

Maka ketahuilah bahwasanya berdagang itu merupakan jenis mata pencaharian yang paling utama. Dan Rasulullah shollallahu ’alayhi wa sallam juga pernah berdagang sebelum beliau diangkat menjadi nabi. Sejumlah besar Sahabat rodhiyallaahu’anhum juga menjadikan berdagang sebagai pekerjaan mereka. Di antara mereka adalah sebagian besar dari sepuluh orang yang dikabarkan akan masuk surga. Dan para ulama telah bersepakat bahwa hukum asal berdagang dan mata pencaharian yang lain adalah halal. Namun tidak semua bentuk perdagangan dibolehkan. Oleh karena itu seorang pedagang harus memberikan perhatian yang cukup terhadap ilmu tentang hukum-hukum syar’iy yang berkaitan dengan fiqh mu’amalah maaliyyah. Dan mempelajari hukum-hukumnya merupakan syarta perlu dan mesti untuk menjalankan usaha dagangnya. Agar si pedangan tidak terjerembab dalam hal-hal yang diharamkan sedang ia tidak tahu, dan dari sisi lain, supaya ia mengetahui sejauh apa bahayanya melakukan perkara-perkara yang dilarang dan diharamkan, sehingga ia dapat menjauhinya dan bertakwa kepada Allah terhadap perkara-perkara tersebut.

Dan aku nasehatkan para pedagang, untuk tidak menjadikan perdagangan mereka sebagai kendaraan untuk bersandar kepada dunia, kemudian mereka menjadi tamak untuk mendapatkan tujuan jangka pendek lalu tidak menunaikan hak Allah dalam rezeki yang Allah berikan serta tidak menjalin silaturrahmi sebagaimana yang terdapat dalam hadis Abi Kabsyah Al Anmaariy: “Sesungguhnya dunia itu untuk empat orang…, dan seorang hamba yang diberi rizki oleh Allah berupa harta namun tidak diberi ilmu. Ia bertindak serampangan dengan hartanya tanpa ilmu, dan tidak bertakwa kepada Allah dalam hartanya, serta tidak menyambung silaturrahmi dan tidak mengetahui bahwa dalam hartanya itu ada hak yang harus ia tunaikan, maka ini adalah kedudukan yang paling buruk”.

Seorang pedagang juga hendaknya bersungguh-sungguh untuk menunaikan kewajiban-kewajiban dan tugas-tugasnya. Sehingga ia tidak membiarkan perdagangannya itu menggiringnya untuk menyepelekan pelaksanaan kewajiban syar’iynya, baik terhadap Tuhannya, atau keluarganya atau selain mereka atau terhadap dirinya sendiri. Atau menggiringnya untuk lalai mengerjakan perintah-perintah yang Allah telah wajibkan atasnya.

Dan hendaknya ia berhias dengan sifat jujur dan amanah dalam mu’amalahnya karena itu adalah akhlak yang terpuji. Maka ia menjauhi kebohongan dan sikap menutup-nutupi cacat dalam dagangannya. Sebab jujur itu adalah sebab keberkahan. Dan berbohong serta menyembunyikan cacat itu sebab kerugian dan dihapusnya keberkahan. Rasulullah shollallaahu’alayhiwasallam bersabda:

“Dua orang yang berjual beli itu mempunya hak khiyar selama mereka belum berpisah. Kalau keduanya berlaku jujur dan saling memberikan penjelasan, maka keduanya akan diberkahi dalam jual beli mereka. Dan kalau mereka berlaku dusta dan menyembunyikan cacat dagangan, akan dihapuslah keberkahan jual beli mereka” (dikeluarkan oleh Ad Daarimiy (6/2), dan An Nasaa`iy (196/4), dan Ath Thohaawiy dalam “Syarh Ma’aanil Aatsaar” (54/2) dari hadis Hafshoh rodhiyallaahu’anhaa).

Pedagang yang mengetahui suatu cacat dan menyembunyikannya serta tidak memberikan peringatan tentangnya, berarti ia merelakan harta saudaranya sesama muslim menjadi sia-sia dan ini adalah haram. Termasuk di dalamnya adalah dengan mempromosikan barang dagangan dengan iklan-iklan bohong dan reklame-reklame yang terlalu dilebih-lebihkan. Sehingga tersiarlah sesuatu yang didalamnya ada penipuan dan pencurangan. Dan hebohlah sesuatu yang didalamnya ada pemalsuan serta terkesanlah bahwa suatu dagangan itu begini dan begitu padahal kenyataannya tidak. Dan kadangkala itu semua disertai dengan sumpah palsu.

Seorang pedagang juga hendaknya menebarkan kebaikan-kebaikan dengan perdagangannya. Maka ia tidak boleh, dengan perdagangannya itu, membantu hal-hal yang dapat mengotori akidah yang benar atau menyimpangkan manhaj nabawiy yang lurus atau merusak akhlak yang luhur. Dengan cara tidak menjual barang-barang kotor yaitu yang barangnya itu sendiri diharamkan, atau yang dilarang oleh syari’at karena ia membantu suatu yang haram atau karena ia merupakan kezoliman atau perbuatan memakan harta orang lain secara batil seperti riba dan jenis-jenisnya, dan segala sesuatu yang dapat menyebabkan perseteruan antara saudara sesama muslim seperti jual beli jahaalah atau jual beli ghoror.

Seorang pedagang juga hendaknya enggan melakukan perdagangan di waktu-waktu yang diharamkan untuk berjual beli. Dan hendaknya ia menyerahkan dagangannya setunai-tunainya, secara kwantitas atau kwalitas, tanpa menipu atau mengurangi. Dan hendaknya juga ia menghindari perbuatan menaikkan harga atas pembeli yang tidak mengerti soal harga suatu barang, atau pembeli yang mempercayakan harga suatu dagangan kepada si penjual, atau yang berpanjang lebar melakukan penawaran.

Intinya adalah bahwa seorang pedagang hendaknya berusaha mewujudkan kesalehan dan menebarkan kebaikan serta memperluas cakupan kebaikan tersebut disertai dengan ketakwaan kepada Allah yang merupakan sebab diangkatnya suatu bencana dan memperoleh rizki yang halal. Allah berfirman:

“..Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar.” (Q.S.65:2)

“…Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran..” (Q.S.5:2)

Wa aakhiru da’waana anil hamdu lillaahi robbil ‘aalamiin. Wa shollallaahu ‘alaa muhammadin wa ‘alaa aalihii wa shohbihii wa ikhwaanihii ilaa yawmid diin wa sallama tasliimaa.

Diterjemahkan oleh Abu Abdil Halim Zulkarnain untuk http://al-ilmu.biz, dari tautan: http://www.ferkous.com/rep/M6.php