Thursday, December 31, 2009

Ketika Aku Tak Lagi Cerdas

Apa arti sebuah kecerdasan?

Jika diajukan pertanyaan seperti ini, mungkin sebagian besar orang akan menjawab, bahwa seseorang akan dikatakan cerdas ketika berhasil mengumpulkan sederet title di belakang namanya, terlebih lagi jika dia lulusan luar negeri yang menjadi kiblat pendidikan dan gaya hidup, aktif di berbagai organisasi kemasyarakatan atau pergerakan atau bahkan politik, selalu punya ide atau pendapat brilliant dalam beberapa diskusi dengan pemikirannya yang kritis, maju dan modernis, berhasil dalam karir, dan seterusnya.

Apa arti kecerdasan bagiku? Mungkin sama, hingga pada suatu titik pandangan itu kemudian bergeser. Entah kapan dan bagaimana persisnya kejadiannya.

Pertanyaan tentang arti kecerdasan mengemuka ketika dari sebuah diskusi dengan salah seorang kawan, terlontar ucapan itu, “Ya Allah, aku sudah kehilangan mbak Rahma yang cerdas seperti dulu kala.”

Bukan karena rasa kecewa, tersinggung atau sakit hati yang mendorong tulisan ini hadir. Namun rasa penasaran dan tanda tanya yang membuat pertanyaan itu mengemuka. Benarkah aku dulu adalah seorang yang cerdas? Lalu kemana perginya kecerdasan itu, jika memang aku pernah memilikinya?

Menengok kembali ke masa lalu, dimana pemikiranku –katanya- masih tergolong dalam katagori “Cerdas”, sungguh itu adalah seuatu anugerah yang patut disyukuri. Anugerah itu berubah menjadi nikmat yang lebih besar lagi, manakala sesuatu yang dikatakan sebagai ‘kecerdasan’ itu, telah menghantarkanku untuk mantap merengkuh jalan sunnah sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah صلى الله عليه وسلم sesuai dengan apa yang dipahami oleh para sahabat, sebaik-baik generasi di awal Islam. Anugerah bahwa sesuatu yang dinilai cerdas dan ilmiah itu benar-benar telah membuatku jatuh hati pada manhaj yang membahas setiap sendi ibadah dan amalan berdasarkan dalil yang sah dan tidak taasub pada pendapat, pemikiran atau pun perasaan seseorang atau tokoh tertentu. Subhallahu wabihamdih.

Jika kemudian perubahan itu membuatku kehilangan kecerdasan, di satu sisi itu adalah benar. Harus diakui, setelah perubahan itu, lebih banyak belajar justru membuat lebih mengenal kekurangan diri sendiri, bahwa ilmu yang dimiliki sekarang ini sungguh tidak berarti apa-apa, sungguh jauh dari apa yang bisa dikatagoriakn sebagai sebuah kecerdasan. Pemahaman dalam persoalan-persoalan Ad-Diin sungguh sangat minim sehingga jauh dari katagori kecerdasan. Kemampuan untuk memahami nash Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan kemampuan pemikiran dan pemahaman akal dan jiwa yang seadanya sungguh tidak bisa dikatakan cerdas.

Kehilangan kecerdasan di sisi lain, dengan tolak ukur di awal, adalah mungkin benar adanya. Jika dulu aku begitu menggebu untuk menempuh pendidikan dalam bidang pembangunan pedesaan karena keperdulian kepada masyarakat miksin dan terpinggirkan, kini keinginan itu tidak lagi menjadi obsesi. Karena yang kini kupahami, bukanlah merubah nasib masyarakat itu dengan berbagai pendekatan keilmuan dan terapan pembagunan yang menjadi prioritas, melainkan menjauhkan mereka dari kesyirikan dan kebid’ahan, sebuah fenomena yang nyaris menghiasai setiap strata masyarakat. Jika kemudian aku beranggapan memberantas kesyirikan lebih utama daripada memberantas kemiskinan dianggap pemikiran yang tidak cerdas, maka aku termasuk golongan yang tidak cerdas itu.

Ketika menisbatkan diri hanya kepada manhaj salaf, metode beragama sebagaimana yang dijalankan oleh salafush-shaleh, para pendahulu yang diridhai Allah sebagaimana termaktub dalam surah At-Taubah ayat 100, dan berusaha mengikuti mereka dengan baik, sehingga konsekuensinya mengingkari adanya golongan-golongan lain yang berpecah belah, dan hanya mengambil apa yang sejalan dengan Al-Qur’an dan Sunnah yang sah, menyebabkan seseorang dikatakan tidak menjunjung tinggi ukhuwah dan itu termasuk kebodohan, benar aku tak lagi cerdas.

Ketika aku tidak lagi tertarik untuk mempelajari dan mendalami pemikiran-pemikiran kelompok lain yang dianggap lebih maju dan masuk kedalam golongan itu untuk bersama-sama memperbaiki nasib umat seperti yang banyak didengung-dengungkan, dan memilih lebih memprioritaskan usaha untuk mengenal agama ini melalui para ulama yang terbukti benar-benar konsisten menyebarkan ilmu yang shahih, dikatakan sebuah kemunduran, maka cukuplah bagiku dengan apa yang kuyakini. Karena kewajiban setiap manusia yang paling utama adalah menyelamatkan dirinya dan keluarganya dari api neraka, dan bukan menyelamatkan orang lain, sebagaimana termaktub dalam firman Allah سبحانه وتعالى berikut:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلائِكَةٌ غِلاظٌ شِدَادٌ لا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”

Dan jalan untuk menyelamatkan diri yang terbaik adalah dengan meraih ridha Allah سبحانه وتعالى, sebagaimana yang firmankan-Nya dalam surat At-Taubah, mengikuti para pendahulu yang pertama kali masuk Islam, dengan ihsan.

Ketika mencukupkan diri dengan keyakinan bahwa segala kebaikan hanya dapat diraih dengan istiqamah di atas manhaj salaf, disamakan dengan keterbelakangan, maka yang disebut keterbelakangan itu adalah lebih baik bagiku.

Ibnu Mas’ud radiallahu anhu berkata: “Barangsiapa di antara kalian ingin mengikuti sunnah, maka ambillah dari orang yang telah wafat, karena orang yang masih hidup tidak akan selamat dari fitnah. Orang-orang yang telah wafat ini adalah para sahabat Muhammad صلى الله عليه وسلم. Mereka adalah generasi terbaik dari umat ini dan yang paling baik hatinya, paling dalam ilmunya, paling sedikit bebannya (tidak suka memberat-beratkan dalam agama). Mereka adalah kaum yang telah dipilih oleh Allah سبحانه وتعالى untuk menemani Nabi-Nya صلى الله عليه وسلم serta menegakkan agama-Nya. Karena itu, pahami keutamaan dan kemuliaan mereka dan ikutilah jejak mereka dan berpegang teguhlah kepada akhlak dan agama mereka semampu kalian. Sesungguhnya mereka berada di atas jalan yang lurus.[1]

Pendidikan tinggi dengan pemikiran modernis tidak lagi menjadi tolak ukur sebuah kecerdasan, tidak juga kepandaian retorika di setiap kesempatan diskusi. Tidak juga dengan kemampuan akal dengan nilai IQ tinggi. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ali bin Abi Thalib radiallahu anhu,

“Jikalau agama itu cukup dengan pikiran maka bagian bawah sepatu lebih utama untuk diusap daripada bagian atas. Aku benar-benar melihat Rasulullah صلى الله عليه وسلم mengusap punggung kedua sepatunya.” (HR Abu Dawud) [2]

Dan seterusnya, sebuah kecerdasan akan terlihat manakala seseorang mampu mengelola kehidupnya benar-benar sebagai seorang hamba yang taqwa, sehingga ia pulang ke kampung akhirat dengan membawa hasil perdangangan yang menguntungkan. Wallahu a’lam.

Hanya kepada Allah saja kita memohon pertolongan.

________________

[1] Meriwayatkan yang semisalnya Ibnu Abdil Baar dalam Jami’ Al-Bayan (2/97) dan Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah dari Ibnu Umar (1/305). Dikutip dari terjemahan Sittu Duror; Landasan Membangun Jalan Selamat, karya Abdul Malik bin Ahmad Ramdhani; penerbit: Media Hidayah.

[2] HR Abu Dawud dengan sanad hasan, Bulughul Maram (no. 65).

Sumber: khayla.net