Wednesday, November 25, 2009

Hari Raya: Ibadah atau Adat?

Oleh : asy-Syaikh Salim bin Sa’ad ath-Thowil hafidzohulloh

Tidak Ada Hari Raya Kecuali Hanya Iedul Fithri dan Iedul Adha
الحمد لله وحده والصلاة والسلام على من لا نبي بعده، أما بعد

Sesungguhnya hari raya dinamakan Ied karena ia berulang dan kembali. Dan kata Ied dimutlakkan pada tempat dan waktu yang manusia kembali kepadanya, sebagaimana dalam hadits yang shohih adh-Dhohhak rodhiyallohu anhu berkata : Seseorang bernadzar di masa Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam untuk menyembelih unta di Bawwanah –yaitu nama suatu tempat-, ia lalu mendatangi Nabi shollallohu alaihi wa sallam dan berkata : “aku bernadzar untuk menyembelih unta di Bawwanah”, Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam bersabda : “apakah di sana ada berhala jahiliyyah yang disembah?”, mereka berkata : “tidak”, beliau bersabda : “apakah di sana dilakukan perayaan hari raya mereka?”, mereka berkata : “tidak”, beliau bersabda : “Tunaikanlah nadzarmu, sesungguhnya tidak boleh menunaikan nadzar yang berupa maksiat kepada Alloh dan yang tidak mampu dilakukan oleh anak Adam.” [HR. Abu Dawud dan sanadnya sesuai syarat as-Shohihain]

Dan hadits Anas rodhiyallohu anhu, bahwa Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam bersabda :

قدمت المدينة ولأهل ا لمدينة يومان يلعبون فيهما في الجاهلية وإن الله تعالى قد أبدلكم بهما خيرا منهما يوم الفطر ويوم النحر
Aku datang ke Madinah ketika penduduknya memiliki dua hari yang mereka bermain-main pada dua hari itu pada masa jahiliyyah, dan sesungguhnya Alloh ta’ala telah mengganti keduanya untuk kalian dengan yang lebih baik daripada keduanya : Iedul Fithri dan Iedul Adha.” [HR Ahmad, Abu Dawud & an-Nasa’i]

Saudaraku para pembaca yang mulia, inilah dua hadits shohih dan keduanya merupakan tonggak dalam memahami hukum-hukum seputar hari raya-hari raya yang baru, yaitu hari raya selain Iedul Fithri dan Iedul Adha. Nabi shollallohu alaihi wa sallam ketika bertanya kepada seseorang dalam hadits pertama tersebut tentang Bawwanah: “apakah di sana dilakukan perayaan hari raya orang-orang musyrik?”, untuk mencari kejelasan sebelum mengizinkannya melaksanakan nadzarnya atau tidak. Ketika beliau diberitahu bahwa hal tersebut tidak ada, beliau membolehkan ia menunaikan nadzarnya. Dan sabda beliau shollallohu alaihi wa sallam : “tidak boleh menunaikan nadzar yang berupa maksiat kepada Alloh” menunjukkan bahwa menyepakati orang-orang musyrik dalam hari raya mereka merupakan maksiat kepada Alloh tabaroka wa ta’ala.

Dan hadits yang kedua –hadits Anas rodhiyallohu anhu- menunjukkan bahwa Nabi shollallohu alaihi wa sallam memerintahkan mereka untuk melupakan hari-hari jahiliyyah yaitu hari dimana mereka menang atas musuh-musuh mereka sehingga mereka bermain-main di hari tersebut. Perhatikan kata “bermain-main”, mereka tidaklah merayakannya dengan sholat atau ibadah, bahkan mereka bermain-main pada hari yang disebut dengan “Yaumu Bu’ats” tersebut. Maka Nabi shollallohu alaihi wa sallam melarang mereka merayakan dua hari ini dan memberitahu mereka bahwa Alloh ta’ala telah menggantikannya dengan dua hari yang lebih baik dari keduanya; Iedul Fithri dan Iedul Adha.

Saudaraku para pembaca yang budiman, jika anda telah mengetahui ini, anda akan mendapati betapa jauhnya orang-orang pada masa sekarang dari Sunnah Nabi shollallohu alaihi wa sallam. Betapa banyaknya mereka membuat-buat hari raya-hari raya bid’ah yang Alloh tidak menurunkan penjelasannya. Dan kebanyakannya baik berupa ikut-ikutan kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani, atau mengikuti ahlul bida’ wal ahwa’, ataupun yang tidak diketahui asal usulnya. Kemudian jika kita perhatikan dan kita pelajari, kita akan mendapatkan bahwa makna hari raya dalam Islam tidak ada bandingannya dengan hari raya-hari raya lainnya yang diada-adakan, yakni hari raya yang syar’i merupakan waktu yang agung dan mulia yang memiliki makna yang besar; setelah dilaksanakannya puasa, sholat, i’tikaf, membaca al-Qur’an, menghidupkan lailatul qodr yang lebih baik dari seribu bulan, menyambung silaturahmi, berbuka puasa, zakat fithri dan waktu-waktu lainnya yang mendekatkan diri kita kepada Alloh, kaum muslimin berbahagia dengan ketaatan mereka kepada Robb mereka, maka datanglah Iedul Fithri setelah ibadah-ibadah yang agung ini.

Adapun Iedul Adha, ia adalah hari ke-sepuluh pada bulan Dzulhijjah, dan sepuluh hari pertama Dzulhijjah yang Alloh telah bersumpah dengannya dalam firman-Nya :

وليال عشر

“Dan malam yang sepuluh” [QS al-Fajr : 2]
Ia adalah hari-hari yang paling agung dalam setahun, dan diantaranya ada hari ke-sembilan : hari Arofah, yaitu hari terbaik yang matahari terbit padanya dimana para jama’ah haji wuquf di Arofah dan Alloh dan para malaikatnya bangga terhadap mereka dan Alloh mengampuni siapa yang Dia kehendaki diantara mereka, dan orang-orang selain jama’ah haji ketika itu melaksanakan puasa Arofah satu hari yang menghapus dosa-dosa dua tahun, maka ketika mereka berada pada ketaatan kepada Alloh azza wa jalla, Alloh mensyari’atkan kepada mereka Iedul Adha agar mereka mengingat Alloh pada hari itu dan menyembelih binatang kurban mereka untuk mendekatkan diri kepada Alloh dan mengagungkan syi’ar-syi’ar Alloh. Maka mereka berhak untuk bergembira di hari raya mereka. Adapun hari raya-hari raya yang lain tidak memiliki makna yang mulia ini.

Kita misalkan, seandainya si fulan dilahirkan pada yang seperti hari ini, apakah perlu menjadikan setiap hari dari hari-hari yang ada bersepakat dengannya dalam bergembira dan bersenang-senang?
Jawabnya: tidak, hal ini terjadi pada ummat ini ketika (agama) mereka lemah sehingga mereka mengikuti ummat lainnya dan bodoh terhadap agamanya, la haula wa la quwwata illa billah. Bahkan beberapa peristiwa menyedihkan dan menyakitkan pun diperingati, mereka memperingati susah dan sedihnya mereka. Mengapa? Apakah Alloh yang memerintahkan ini ?! ataukah Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam yang mensyariatkannya kepada kita?

Saudaraku para pembaca yang mulia, semoga Alloh memberikan taufiq kepadaku dan juga kalian kepada kebenaran dan berpegang teguh pada as-Sunnah, setelah kita ketahui prinsip yang agung ini, maka pegang teguhlah dan janganlah dilanggar. Tidak ada hari raya melainkan hanya Iedul Fithri dan Iedul Adha. Dan janganlah engkau tertipu dengan perkataan bahwa itu hanyalah peristiwa dan adat saja dan bukan ibadah, sampai kalian katakan bahwa itu adalah bid’ah. Ceritakanlah kepada mereka tentang “Yaumu Bu’ats” yang orang-orang dahulu bersenang-senang pada hari itu, mengapa Nabi shollallohu alaihi wa sallam melarang mereka dan memberitahu bahwa Alloh telah mengganti dengan yang lebih baik darinya, padahal mereka dahulu bermain, bersenang-senang dan bergembira?!

Saudaraku para pembaca, ingat-ingatlah hadits Anas rodhiyallohu anhu dengan baik untuk membela sunnah dan memberantas bid’ah. Dan aku memohon kepada Alloh agar memberikan taufik kepada kaum muslimin baik pemerintah maupun rakyatnya kepada kebenaran dan memberi mereka petunjuk ke jalan yang lurus.

والحمد لله أولا وآخرا وصلى الله على نبيه محمد وعلى آله وصحبه أجمعين

[http://tholib.wordpress.com/2009/09/16/hari-raya-ibadah-atau-adat/, diterjemahkan dari : http://www.saltaweel.com/makalat/index/2006/16-10-2006.htm ]