Monday, July 16, 2007

Tsumamah bin Utsal

Pada tahun 6 H, Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasalam berazzam hendak memperluas dakwah beliau. Lantas beliau menulis delapan buah surat untuk raja-raja Arab dan non-Arab, lalu mengutus beberapa sahabat untuk mengajak mereka kepada Islam.

Salah satu dari raja-raja tersebut adalah Tsumamah bin Utsal al-Hanafi. Tidak heran, waktu itu Tsumamah dikenal sebagai seorang pemimpin dan orator Arab pada masa Jahiliah. Ia juga seorang pemimpin kabilah bani Hanifah yang agung, seorang Raja Yamamah yang dipatuhi rakyatnya.
Tsumamah menerima surat Nabi Sholallahu ‘alaihi wasalam tersebut dengan penuh rasa merendahkan. Ia berniat hendak melakukan sebuah konspirasi busuk terhadap Nabi dan menutup kedua telinganya dari men­dengar dakwah kepada kebenaran dan kebaikan. Bahkan ia amat marah, sehingga ia berniat untuk membunuh Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasalam dan mengubur habis dakwah beliau. Ia mencari kesempatan yang tepat untuk membunuh pada saat beliau sedang lengah. Konspirasi busuk itu hampir saja menjadi kenyataan jika bukan karena salah seorang paman Tsumamah memuji kemuliaannya pada saat ia hendak melakukan niat jelek itu. Allah menyelamatkan Nabi Sholallahu ‘alaihi wasalam dari niat busuk Tsumamah.

Meskipun telah berhenti mengganggu Nabi Sholallahu ‘alaihi wasalam., ia masih berniat untuk mengganggu para sahabat beliau, sehingga ia mencari kesempatan untuk membunuh mereka. Mendengar hal itu, Rasulullah memberitahukan kepada para sahabat beliau bahwa Tsumamah halal untuk dibunuh.

Beberapa lama kemudian, Tsumamah bin Utsal berniat untuk melakukan umrah. Ia berangkat dari Yamamah menuju Mekah. Ia berniat untuk melakukan thawaf di sekeliling Ka’bah dan me­nyembelih kurban untuk berhala-berhalanya.

Tatkala ia hampir mendekati Madinah, tiba-tiba dirinya melihat sesuatu yang tak pernah ia duga sebelumnya. Pasukan Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasalam sedang mengawasi dan mengontrol setiap rumah karena khawatir ada seseorang yang melewati Madinah atau ingin ber­buat jelek. Pasukan itu menangkap Tsumamah walau mereka tidak mengetahui siapa Tsumamah sebenarnya.

Tsumamah dibawa ke Madinah, lalu diikat di salah satu tiang masjid, menunggu hingga Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasalam melihat sendiri tawanan tersebut dan apa yang dikehendaki Nabi terhadapnya.

Ketika Rasulullah sampai ke masjid dan akan memasuki masjid, beliau melihat Tsumamah terikat di salah satu tiang masjid. Rasulullah pun berkata kepada para sahabat, “Tahukah kalian siapa yang kalian tawan ini?”

Mereka menjawab, “Tidak, ya Rasulullah.”
Beliau berkata, “Ia adalah Tsumamah bin Utsal, perlakukanlah ia dengan baik.”

Kemudian Rasulullah kembali ke rumah beliau dan berkata, “Kumpulkanlah makanan yang kalian miliki dan berikanlah kepada Tsumamah bin Utsal.”
Kemudian beliau menyuruh mereka untuk memerah susu unta beliau dan memberikan susu tersebut kepadanya. Semua pelayanan itu telah Tsumamah terima sebelum Rasulullah kembali me­nemuinya.

Kemudian beliau menemui Tsumamah dan hendak mengajak­nya kepada Islam. Beliau berkata, “Apa kabar, ya Tsumamah?”
Ia menjawab, “Aku baik-baik saja, ya Muhammad. Jika engkau mau membunuhku, bunuhlah. Jika engkau ingin memaafkanku, maafkanlah aku. Jika engkau menginginkan harta, mintalah, maka akan diberikan berapa yang engkau minta.”

Rasulullah pun meninggalkannya selama dua hari, tetapi Tsumamah tetap diberikan makanan dan minuman dan dibawa­kan kepadanya susu.
Lalu Rasulullah kembali menemuinya,”Bagaimana keadaanmu, ya Tsumamah?”

la menjawab, “Masih seperti yang kemarin, ya Muhammad. Jika engkau mau membunuhku, bunuhlah. Jika engkau ingin me­maafkanku, maafkanlah aku. Jika engkau menginginkan harta, mintalah, maka akan diberikan berapa yang engkau minta.”

Rasulullah kembali meninggalkannya dan menemuinya keesok­an harinya dan berkata, “Bagaimana keadaanmu, ya Tsumamah?”
“Aku masih seperti yang kukatakan kepadamu. Jika engkau ingin memaafkanku, maafkanlah aku. Jika engkau mau membunuhku, bunuhlah. Jika engkau menginginkan harta, maka akan aku beri­kan berapa yang engkau pinta.”
Lalu Rasulullah melihat ke arah para sahabat beliau dan berkata, “Bebaskanlah Tsumamah. Peganglah janjinya dan bebaskanlah ia.”

Setelah itu, Tsumamah meninggalkan masjid Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasalam. Ketika ia sampai di sebuah pohon korma di pinggir kota Madinah dekat al-Baqi’, yang tidak ada air di sana, ia berhenti dan me­nambatkan kudanya. Lalu ia membersihkan mukanya dengan sempurna, kemudian ia kembali ke masjid Rasulullah. Ketika ia sampai di sebuah pohan korma di pinggir

Tatkala sampai dan berdiri di kerumunan para sahabat, ia berkata, “Asyhadu alla ilaha illallah wa asyhadu anna muhammadan abduhu wa rasuluhu.” Lalu ia menghadap Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasalam dan berkata, “Ya Muhammad, demi Allah, tiada wajah yang paling aku benci di bumi ini selain wajahmu dan sekarang wajahmu adalah wajah yang paling aku sukai. Demi Allah, tiada agama yang paling aku benci selain agamamu, sekarang agamamu adalah agama yang paling aku cintai. Demi Allah, tiada negeri yang paling aku benci selain negerimu, sekarang negerimu adalah negeri yang paling aku cintai.”

Lalu ia berkata lagi, “Dahulu aku telah membunuh para sahabat­mu, sekarang apakah yang harus aku perbuat?”

Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasalam menjawab, “Tiada celaan bagimu, ya Tsumamah. Sesungguhnya, Islam telah menghapuskan apa yang engkau lakukan sebelumnya.

Rasulullah pun mengabarkan berita gembira yang Allah tetap­kan atasnya karena keislamannya. Tsumamah merasa amat senang dan berkata, “Demi Allah, sungguh, aku akan membalasnya ter­hadap kaum musyrikin melebihi apa yang aku lakukan terhadap para sahabatmu. Sungguh, aku akan memberikan jiwaku, pedang­ku, pengikutku untuk menolongmu dan agamamu.”

Kemudian ia berkata lagi, “Ya Rasulullah, sesungguhnya, pe­ngawalmu telah menangkapku, padahal aku ketika itu ingin me­laksanakan umrah, sekarang apa yang harus aku perbuat?”

Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasalam menjawab, “Tunaikanlah umrahmu, tetapi atas syariat Allah dan Rasul-Nya.”

Lalu beliau mengajarinya tata cara manasik.
Kemudian, Tsumamah melaksanakan keinginannya. Ketika ia tiba di Mekah, ia berdiri dan berkata dengan suara keras, “Labbaika Allahumma labbaik. Labbaika la syariika laka labbaik. Innaal hamda wan ni’mata laka wal mulk. La syarika lak.”

Ia merupakan muslim pertama di dunia yang memasuki Mekah dengan mengucapkan talbiyah.

Quraisy mendengar suara talbiyah itu. Mereka amat marah. Pedang-pedang telah terhunus, menuju sumber suara untuk meng­hentikannya. Tatkala Quraisy menemui Tsumamah yang sedang mengucapkan talbiyah dan melihat mereka dengan sombong, se­orang pemuda Quraisy ingin membunuhnya dengan panah, tapi mereka melarangnya, mereka berkata, “Celaka engkau, tahukah engkau siapa ini?”

“Dia adalah Tsumamah bin Utsal, Raja Yamamah.”
“Demi Allah, jika engkau membunuhnya, maka kaumnya akan menghentikan suplai makanan kepada kita. Kita akan mati kelaparan.”

Quraisy menemui Tsumamah setelah menaruh kembali pedang mereka dalam sarungnya lalu berkata, “Apa yang terjadi pada dirimu, ya Tsumamah?”
“Apakah engkau meninggalkan agamamu dan agama nenek moyangmu?”

Tsumamah menjawab, “Aku hanya mengikuti agama yang paling baik. Aku mengikuti agama Muhammad. Aku bersumpah demi Pemilik Bait (Ka’bah) ini, sesungguhnya, kalian tidak akan pernah menerima anggur atau makanan lainnya dari Yamamah setelah kepulanganku hingga kalian mengikuti agama Muhammad.”

Lalu Tsumamah bin Utsal umrah di hadapan para Quraisy se­bagaimana yang diajarkan Rasulullah. Kemudian ia menyembelih kurban untuk Allah, bukan untuk berhala. Setelah itu, ia pulang ke negerinya dan mengajak kaumnya untuk menghentikan pe­ngiriman makanan ke Quraisy. Mereka mengikuti perintah Tsumamah. Mereka tidak lagi mengirimkan produk-produk mereka kepada penduduk Mekah.

Pemboikotan yang dilakukan Tsumamah itu sedikit demi sedikit menyusahkan Quraisy. Harga-harga melambung naik. Kelaparan dan kesusahan merajalela, sehingga mereka amat takut akan keselamatan diri mereka dan anak-anak mereka karena kelaparan.

Mereka pun akhirnya menulis surat kepada Rasulullah, “Per­janjian kita adalah bahwa engkau boleh melakukan silaturahim, tapi sekarang engkau memutuskan silaturahim kami. Engkau telah membunuh bapak-bapak kami dengan pedang. Engkau telah membunuh anak-anak kami dengan kelaparan. Sesungguhnya, Tsumamah bin Utsal telah memboikot makanan kepada kami dan itu menyusahkan kami. Jika engkau mau, tulislah surat kepada­nya agar ia memenuhi lagi kebutuhan kami.”

Lalu Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasalam pun mengirimkan surat kepada Tsumamah bin Utsal untuk menghentikan pemboikotan itu. Tsumamah pun langsung menghentikan pemboikotan itu.

Sepanjang hidupnya, Tsumamah tetap menjalankan agamanya dan menjaga perjanjian Nabinya. Ketika Rasulullah wafat dan se­bagian Arab keluar dari Islam satu per satu, Musailamah al-­Kadzdzab mengajak kaumnya di Hanifah mengimaninya. Tsumamah berdiri di hadapannya dan berkata kepada kaumnya, “Wahai bani Hanifah, jauhilah ajakan yang sesat itu. Demi Allah, sesungguhnya, dia (Musailamah) adalah kecelakaan yang Allah telah tetapkan bagi siapa yang mengikutinya, ujian bagi siapa yang tidak mengikutinya.”

Kemudian ia berkata, “Wahai bani Hanifah, sesungguhnya, dua kenabian tidak ada pada waktu yang bersamaan. Sesungguhnya, Muhammad adalah Rasulullah, tiada nabi setelahnya, dan tiada nabi lain yang bersamanya.”

Kemudian ia membacakan kepada mereka, surah al-Mukmin ayat 1-3:
“Haa Miim, diturunkan Kitab ini (Al-Qur’an) dari Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui, Yang Mengampuni dosa dan Menerima taubat lagi keras hukuman-Nya; Yang mempunyai karunia. Tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Hanya kepada-Nyalah kembali (semua makhluk).”

Setelah itu, ia berkata, “Itu bukan firman Allah, melainkan adalah perkataan Musailamah.”

Kemudian ia bergabung bersama kaumnya yang masih tetap dalam Islam, membunuh para murtaddin demi berjihad di jalan Allah, dan meninggikan kalimat-Nya di bumi.

Allah telah membalasi Tsumamah bin Utsal atas pengorbanan­nya terhadap Islam dan kaum muslimin dengan balasan yang lebih baik. Dia memuliakannya dengan surga yang Ia janjikan untuk orang-orang yang bertakwa.

Sumber: Shuwar min Hayaati ash-Shahaabah