Saturday, April 19, 2008

Mengusap Tutup Kepala Saat Wudlu'

Redaksi: Menyambung pembahasan sebelumnya tentang mengusap sesuatu yang menutupi bagian anggota wudhu', kali ini kami akan mengulas tutup kepala, seperti kerudung, imamah (kain surban yang dililitkan di kepala), dan lain sebagainya. Apakah sama hukumnya dengan khuf, atau bagaimana?

Mengusap imamah (sorban) saat berwudhu

Mengusap imamah -sebagai ganti mengusap kepala- saat berwudhu, hukumnya boleh secara mutlak. Ini pendapat madzhab Ahmad, lshaq, Abu Tsaur, al Auza'i, Ibnu Hazm, Ibnu Taimiyah. Demikian itu, juga merupakan pendapat Abu Bakar, 'Umar, Anas dan sahabat lainnya.1 Sebagaimana terbukti adanya riwayat tentang hal itu dan Nabi, yaitu :

Dari 'Amr bin Umayyah adh Dhamri, ia berkata: Aku melihat Rasulullah sedang mengusap khuf dan imamahnya.2

Hadits senada juga diriwayatkan oleh al Mughirah bin Syu'bah,3 dan dari Bilal, ia berkata: Aku pernah melihat Rasulullah mengusap khuf dan khimarnya.


Khirnar adalah tutup kepala, dan maksudnya adalah imamah. Sedangkan Abu Hanifah dan para muridnya, Malik dan asy Syafi'i4 berpendapat tidak boleh mengusap imamah saja, tetapi harus disertai mengusap ubun- ubun pula. Sehingga mengusap ubun-ubun itulah yang wajib, sedangkan mengusap imamah hanya sekadar tambahan. Keterangan ini berlandaskan pada bolehnya mengusap sebagian kepala (dalam berwudhu). Namun asy Syafi'i berkata : "Apabila hadits mengusap imamah shahih, itulah pendapatku. Dan tidak diragukan lagi, hadits itu shahih, sehingga menjadi pendapatnya.

Ulama-ulama yang tidak memperbolehkan mengusap imamah berhujjah dengan hadits Jabir bin Abdillah, ia berkata :
Aku pernah menyaksikan Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam membuka imamah dari kepalanya dan mengusap ubun-ubun,5
namun aku belum menemukan hadits ini dengan sanadnya. Serta dengan hadits al Mughirah: “Nabi wudhu', lalu mengusap imamah beserta ubun- ubun dan khufnya.6

Aku (Abu Malik Kamal Ibnu Sayyid Salim) berkata:

pendapat yang rajih yaitu, boleh mengusap imamah secara mutlak, karena terbukti adanya riwayat-riwayat tentang hal itu dari Nabi ShalallahuAlaihi Wa Sallam dan aplikasinya yang dilakukan oleh dua khalifah sepeninggal beliau Shalallahu Alaihi Wa Sallam. Sebab tidak ada hujjah yang signifikan yang ada di tangan para ulama yang melarangnya,7 kendatipun, seyogyanya juga mengusap pada sebagian ubun-ubun saat mengusap imamah, agar terhindar dari pertentangan yang ada. Wallahu a'lam.

Mengusap tutup kepala bagi wanita

Syaikhul Islam berkata,
"Jika seorang wanita mengkhawatirkan hawa dingin dan kondisi lain yang serupa, ia boleh mengusap tutup kepalanya. Sesungguhnya Ummu Salamah pernah mengusap tutup kepalanya. Sebaiknya, selain mengusap tutup kepalanya, ia juga mengusap sedikit rambutnya. Tetapi, jika ia tidak terdesak (terpaksa, darurat) untuk melakukannya, (maka) tentang persoalan ini terdapat silang pendapat di kalangan para ulama".8
Aku (Abu Malik Kamal Ibnu Sayyid Salim) katakan :
Para ulama Hanafiyah, Malikiyah, Syafi'iyyah dan ulama Hanabilah -dalam sebuah riwayat madzhab9 - mereka berpendapat hal itu tidak boleh. (Ini) berdasarkan hadits dari 'Aisyah, bahwasanya ia memasukkan tangannya ke dalam tutup kepalanya lantas mengusap kepalanya seraya berkata:
Seperti inilah Rasulullah memerintahkanku.10
Mereka menyatakan, karena benda yang dipakai di kepala wanita tersebut, tidak ada unsur kesulitan dalam mencopotnya, sehingga tidak boleh hanya mengusapnya saja.

Al Hasan al Bashri berpendapat bolehnya mengusap tutup kepala. Ini merupakan satu pendapat di kalangan ulama Hambali, namun mereka mempersyaratkan, hendaknya khimar (tutup kepala) wanita itu melingkar-lingkar di leher, sebagaimana imamah. Sebab, khimar kain yang dipakai pada kepala wanita dengan cara yang biasa (tidak seperti imamah).

Aku (Abu Malik Kamal Ibnu Sayyid Salim) katakan :
Seandainya hadits 'Aisyah shahih, maka akan menjadi penentu dalam melarangnya. Kalau tidak, maka pengqiyasan khimar kepada imamah bisa diterima. Baiknya adalah, mengusap khimar beserta bagian depan kepala. Wallahu a'lam.

Mengusap peci saat berwudhu

Jumhur ulama berpendapat tidak bolehnya mengusap peci -saat berwudhu- untuk mengganti mengusap kepala. Sebab yang wajib dilakukan adalah mengusap kepala. Pengusapan kepala dialihkan kepada imamah, menurut pendapat jumhur ulama atau berdasarkan nash menurut Ahmad, lantaran ada unsur kesulitan dalam melepaskannya.

Ibnu Hazm dan Ibnu Taimiyyah11 dan para ulama muhaqqiq menilai bolehnya mengusap pada peci. Karena ketika Rasulullah pernah mengusap pada imamah dan tutup kepala, maka kita jadi mengetahui, kalau persentuhan air dengan kepala tidak wajib. Apa saja yang dipakaikan di atas kepala, maka boleh diusap, kendatipun tidak menutupi tempat yang wajib terkena air dan tidak sulit dalam melepaskannya. Inilah pendapat yang benar. Wallahu a'lam.

Faidah: Tidak disyaratkan mengenakan penutup kepala dalam keadaan suci agar diperbolehkan mengusapnya. Masalah ini tidak diqiyaskan pada masalah mengusap khuf, karena tidak ada illah (alasan hukum) yang menyatukan keduanya. Rasulullah menjelaskan syarat thaharah dalam memakai khuf, dan tidak melakukannya dalam mengusap imamah, penutup kepala. Andai hal itu wajib, maka sudah pasti akan dijelaskan oleh beliau.12

Aku (Abu Malik Kamal Ibnu Sayyid Salim) katakan :

Demikianlah, dengan mengingat bahwa (mengusap) khuf adalah merupakan pengganti bagian yang harus dibasuh. Adapun kepala, hal yang wajib dilakukan padanya adalah mengusapnya. Segala sesuatu yang berada di atas kepala, maka hukumnya sama dengan hukum pada kepala, sehingga kedua hal ini (yakni mengusap khuf dan kepala) saling berbeda. Wallahu a'lam.

Tidak ada pembatasan waktu untuk mengusap penutup kepala, karena benar kalau diqiyaskan kepada batas tempo pengusapan khuf. Rasulullah pernah mengusap imamah dan penutup kepala tanpa menentukan batasan waktunya. Hal ini telah diriwayatkan dari 'Umar bin al Khaththab.13



Disalin dari majalah As Sunnah, Edisi 03/Tahun X/1427H/2006M. Catatan Kaki:
  1. Masailu Abu Dawud (8), al Mushni (1/300), al Majmu’ (1/406), al Ausath ( 1/468), al Muhalla (2/58), Majmu al Fatawa (21/184). [↩]
  2. Shahih Al Bukhari (205). [↩]
  3. Shahih Muslim (275). [↩]
  4. Hasyiatu Ibni ‘Abidin (1/181), Hasyiatu ad Dasuqi (1/164) dan al Majmu’ (1/407). [↩]
  5. Saya belum menemukannya, tidak ada di kitab-kitab hadits yang saya miliki. Ibnul Mundzir menyampaikannya tanpa sanad (1/469). [↩]
  6. Hadits shahih riwayat Imam Muslim. [↩]
  7. Lihat hujjah-hujjah mereka dan sanggahannya di al Muhalla (2/61). [↩]
  8. Majmu’ al Fatawa (21/218). [↩]
  9. Al Mudawwanah (1/42), al Umm (1/26), al Badai’ (1/5), al Mughni (1/305). [↩]
  10. Saya belum menemukannya. Al Kasani menyebutkannya di al Badai’ (1/5), dan saya belum menjumpainya di kitab-kitab hadits. [↩]
  11. Al Muhatta (2/58), Majmu al Fatawa (21/184-187, 214). [↩]
  12. Al Muhalla (2/64). [↩]
  13. Al Muhalla (2/65). [↩]