Friday, April 18, 2008

Mengusap Jaurob (kaos kaki) dan Sandal

Pensyari’atan mengusap khuf (sepatu bot) sebagai ganti dari mencuci kaki saat berwudhu’ sudah dipahami oleh banyak kaum Muslimin. Kebolehannya sudah disepakati para ulama, sebagaimana dikatakan oleh Imam Nawawi di dalam Syarh Shahih Muslim (3/164). Bahkan Hasan al Bashri mengatakan:
“Aku diberitahu oleh tujuh puluh orang sahabat Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam pernah mengusap sepatunya”1
Yang menjadi permasalahan, sesuatu yang menutupi bagian anggota wudhu’, seperti kaos kaki, kerudung, imamah (kain surban yang dililitkan di kepala), dan lain sebagainya, apakah sama hukumnya dengan khuf, ataukah bagaimana? Berikut ini kami bawakan pembahasan yang diambil dari kitab Shahih Fiqih Sunnah, karya Abu Malik Kamal Ibnu Sayyid Salim.
Mengusap Kaos Kaki2

Al jaurab adalah sesuatu yang dikenakan seseorang pada dua kakinya, baik yang terbuat dari bahan wol, kapas, bahan sintetik, dan lain sebagainya. Sering pula disebut dengan nama asy syarab. Ada tiga pendapat ulama berkaitan dengan hukum mengusap dua kaos kaki.
  1. Tidak boleh mengusap keduanya, kecuali bila tertutupi oleh sepatu kulit. Demikian ini madzhab Abu Hanifah -namun kemudian, beliau menarik kembali pendapat ini- juga Malik, asy Syafi’i.3Mereka menyatakan, karena kaos kaki tidak bisa disebut khuf, sehingga tidak sama hukumnya, dan tidak ada hadits tentang mengusap dua kaos kaki.
  2. Diperbolehkan mengusap keduanya dengan syarat harus tebal, menutupi bagian yang wajib terkena air dalam berwudhu. Demikian pendapat madzhab al Hasan, Ibnul Musayyib, Ahmad dan para fuqaha madzhab Hanafi, Syafi’i, dan Hambali.4
  3. Boleh hukumnya mengusap dua kaos kaki secara mutlak, meskipun tipis. Inilah zhahir madzhab Ibnu Hazm, Ibnu Taimiyah dan dipilih oleh Syaikh al ‘Utsaimin dan ‘allamah asy Syinqithi. Dan inilah pendapat yang rajih.
Para pendukung pendapat kedua dan terakhir, memberikan argumentasi tentang bolehnya mengusap dua kaos kaki dengan dalil-dalil berikut.
  1. Hadits al Mughirah bin Syu’bah:
    “Sesungguhnya Rasulullah berwudhu’ dan mengusap dua kaos kaki dan sandalnya.”5
  2. Dari al Azraq bin Qais, ia berkata:
    “Aku pernah melihat Anas bin Malik berhadats. Maka ia membasuh mukanya, dua tangan dan mengusap dua kaos kakinya yang terbuat dari wol”.
    Aku bertanya,”Engkau mengusapnya?”
    Dia menjawab, “Keduanya adalah khuf, hanya saja terbuat dari wol”. Anas menegaskan, kata khuf lebih umum tidak hanya sekedar terbuat dari kulit saja. Dan ia adalah seorang sahabat yang pakar dalam bahasa.6
  3. Ada sebelas orang sahabat yang menyatakan bolehnya mengusap dua kaos kaki. Di antaranya : ‘Umar dan putranya, yaitu ‘Abdullah, kemudian ‘Ali, Ibnu Mas’ud, Anas dan lain-lain. Dan pada masa itu, tidak ada yang menentang mereka, sehingga menjadi Ijma’. Kemudian jumhur ulama melarang mengusap dua kaos kaki yang tipis karena tidak menutupi bagian yang harus terkena air wudhu’.Disebutkan, bahwa ini -menurut penelitian- bukan syarat yang harus terpenuhi, sebagai hasil Qiyas pada khuf yang berlubang. Selain itu, kaos kaki tipis yang dipakai sekarang sifatnya nisbi (relatif). Maka pengajuan syarat-syarat ini bertentangan dengan tujuan syari’at yang berorientasi memberikan kelonggaran agar tidak ada kesempitan ataupun kesulitan.
Faidah: Termasuk dalam makna kaos kaki, yaitu segala hal yang membalut dua kaki karena ada halangan, dan hal itu sulit untuk dilepaskan, sehingga boleh mengusapnya, sebagaimana dirajihkan oleh Syaikhut Islam. Dan hukum-hukum yang berkaitan dengan pengusapan pada kaos kaki sama dengan hukum pada pengusapan dua khuf.7
Apabila ada seseorang mengenakan kaos kaki rangkap dua, maka dalam masalah ini terdapat beberapa keadaan :
  1. Jika ia telah berwudhu’ kemudian memakai kaos kaki, saat berhadats, ia boleh mengusap kaos kaki yang paling atas. Ini merupakan madzhab ulama Hanafiyah dan pendapat yang rajih di kalangan ulama Malikiyah dan Hanabilah serta qaul qadim asy Syafi’i, tetapi qaul jadidnya (pendapat terbarunya) menyelisihi ulama-ulama tadi.8
  2. Jika ia berwudhu’ dan memakai kaos kaki kemudian mengusapnya, setelah itu melepaskan kaos kaki yang paling atas usai mengusapnya, maka ia boleh menyelesaikan batas waktunya dengan mengusap kaos kaki yang tersisa. Karena ia tetap disebut memasukkan dua kakinya dalam keadaan suci.
  3. Jika ia berwudhu’ dan memakai kaos kaki dan belum berhadats ketika memakai kaos kaki yang lain, maka ia boleh mengusap mana saja yang ia inginkan.9
  4. Jika ia berwudhu’ dan mengenakan satu kaos kaki dan mengusapnya, kemudian ia mengenakan kaos kaki lain -apabila ia masih dalam keadaan suci- maka ia boleh mengusap kaos kaki yang berada di atas. Sebab ia masih bisa dikatakan memasukkan dua kakinya dalam keadaan suci. Jika ia berhadats kemudian baru memakai kaos kaki lagi, maka ia tidak boleh mengusap bagian yang atas (kaos kaki kedua), tetapi boleh mengusap bagian bawahnya (kaos kaki pertama).
Mengusap Sandal

Pada hadits terdahulu disebutkan, al Mughirah bin Syu’bah mengatakan, bahwa Rasulullah berwudhu’ dan mengusap kaos kaki dan sandalnya.10 Hadits ini, dengan merujuk ulama yang menshahihkannya, mengandung dua hal.
  1. Beliau Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam, memakai sandal dengan mengenakan kaos kaki dan mengusapnya, sehingga hukumnya menjadi satu seperti pada pemakaian dua pasang kaos kaki atau memakai dua pasang khuf sekaligus.
  2. Al Mughirah melihat Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam sedang mengusap satu usapan pada kaos kaki dan usapan lainnya pada sandal. Sehingga hadits ini menjadi dalil bolehnya mengusap sandal, meskipun kaki tidak terbalut kaos kaki. Kesimpulan ini, walau agak jauh, hanya saja bisa didukung oleh dalil yang telah lalu, yaitu dalam hadits Abu Zhubyan, bahwa ‘Ali bin Abi Thalib berwudhu’ dan mengusap. sandalnya, dan kemudian ia memasuki masjid dengan melepaskan dua sandalnya. Setelah itu ia mengerjakan shalat…11 tidak ada penyebutan kata jaurob (kaos kaki) dalam hadits ini.
Menurut penelitian, mungkin saja bolehnya mengusap sandal -juga dengan tidak adanya syarat- bagian (sandal) yang diusap menutupi tempat yang harus terkena air wudhu’. Wallahu a’lam.

Disalin dari majalah As Sunnah, Edisi 03/Tahun X/1427H/2006MCatatan Kaki:
  1. Lihat al Wajiz, hlm. 47. [1]
  2. Mulai dari sini sampai akhir naskah, merupakan perkataan Penulis kitab Shahih Fiqih Sunnah, karya Abu Malik Kamal Ibnu Sayyid Salim. [2]
  3. Al Mabsuth (1/102), al Mudawwanah (1/40), al Umm (1/33), al Ausath (1/465). [3]
  4. Masailu Ahmad, karya Ibnu Hani (1/21), al Ausath (1/464), al Majmu’ (1/540), Fathul Qadir (1/157). [4]
  5. Dishahihkan oleh al Albani; Abu Dawud (159), at Tirmidzi (99), Ahmad (4/252). Hadits ini diperdebatkan keshahihannya. Lihat al Irwa’ (101). [5]
  6. Dishahihkan Ahmad Syakir; ad Dulab (1/179). [6]
  7. meliputi cara dan masa berlakunya -red. majalah As-Sunnah. [7]
  8. Hasyiyah Ibni ‘Abidin (1/179), Jawahiru at Iklii (1/24), Raudhatuth Thalibin (1/127). Pembicaraan mereka di kitab-kitab itu tentang mengusap khuf dan hukumnya sama saja. [8]
  9. Para ulama Hanabilah menyatakannya secara kongkrit di Kasyyafu al Qinna’ (1/117-118). [9]
  10. Telah dijelaskan, lihat hadits Mughirah di atas. [10]
  11. Sanadnya shahih, diriwayatkan oleh al Baihaqi 1/288, ath Thahawi 1/58 lihat Tamamul Minnah hlm. 15. [11]