Sunday, January 3, 2010

Debat Kusir: Berdebat dalam Perkara selain Kebenaran

Perdebatan ada dua jenis:

Jenis yang terpuji, yaitu berdebat untuk menjelaskan kebenaran, membela agama Allah ta’ala, dan membantah syubhat-syubhat dan hujjah-hujjah orang-orang yang sesat. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Dan debatlah mereka dengan cara yang baik.” (An-Nahl : 125)

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Dan janganlah kalian mendebat ahli kitab kecuali dengan cara yang lebih baik.” (Al-’Ankabut : 46)

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil melainkan Kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan paling baik penjelasannya.” (Al-Furqan : 33)

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Dan itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan siapa yang Kami kehendaki beberapa derajat. Sesunggguhnya Rabbmu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (Al-An’am : 83)

Seperti inilah kisah-kisah perdebatan para Nabi besama kaum mereka. Perdebatan mereka merupakan perdebatan jenis ini. Dan kisah perdebatan Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu dengan orang-orang Khawarij dan perdebatan Salaf yang lainnya dari kalangan shahabat, tabi’in dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, adalah perdebatan jenis ini.

Adapun jenis yang kedua adalah perdebatan yang tercela dan dimurrkai, yaitu perdebatan yang menyelisihi jenis pertama dan kebalikannya. Perdebatan seperti ini adalah perdebatan dalam kebathilan dan dalam rangka menguatkan syubhat-syubhat (kerancuan-kerancuan pemahaman) orang-orang yang sesat.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Mereka tiudak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja, sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar.” (Az-Zukhruf : 58)

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Dan janganlah engkau berdebat (untuk membela) orang-orang yang mengkhianati dirinya.” (An-Nisaa’ : 107)

Disebutkan dalam Ash-Shahihain dari hadists ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:

“Sesungguhnya orang yang paling dibenci oleh Allah adalah orang yang paling sengit pembantahannya[13].”

Disebutkan dalam Sunan At-Tirmidzi dari hadist Abu Umamah radhiallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:

“Tidaklah suatu kaum itu tersesat  setelah mereka berada di atas petunjuk, kecuali setelah mereka melakukan perdebatan.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alayhi sa sallam membaca ayat: “Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja, sebenarnya mereka kaum yang suka bertengkar.”

Hadist ini dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah di dalam Shahihul Jami’ dengan no. 5633. Dan Ayahanda (Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah) menyebutkannya di dalam Ash-Shahihul Musnad (1/350).

Sungguh pedebatan telah banyak terjadi di masa kita. Sehingga muncullah permusuhan dan banyak perselisihan. Manusia berpecah belah menjadi beberapa kelompok dan golongan kecuali yang dirahmati oleh Allah, dan semuanya mengaku bahwa dirinya di atas kebenaran:

Semuanya mengaku memiliki hubungan dengan Laila
sedangkan Laila tidak mengakui hal itu

Sesungguhnya orang-orang yang selalu melakukan perbaikan dan selalu menetapi kebenaran adalah Ahlus Sunnah yang berjalan di atas pemahaman Salafus Shalih. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Dan orang-orang yang berpegang teguh kepada Al-Kitab (Taurat) serta mendirikan shalat, akan diberi pahala karena sesungguhnya Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengadakan perbaikan.” (Al-A’raaf : 170)

Kalau masyarakat -bahkan individu dari masyarakat itu- merasakan tanggung jawab yang besar, tentu mereka tidak memiliki waktu untuk berdebat. Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda sebagaiman di dalam Shahih Muslim dari hadist Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu:

“Bersemangatlah dalam melakukan sesuatu yang bermanfaat untukmu, dan mintalah pertolongan kepada Allah dan janganlah engkau lemah..”

Manfaat yang paling agung adalah mentaati Allah subhanahu wa ta’ala dan mentaati Rasul-Nya, yang mengandung ketenangan dan kebahagiaan yang kekal.
Perkara-perkara duniawi adalah bagian dari perkara yang bermanfaat. Karena itulah Allah ta’ala berfirman:

“Dan janganlah engkau melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi.” (Al-Qashas : 77)

Dan Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kalian, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rizqi-Nya.” (Al-Mulk : 15)

Dan seseorang hendaknya meminta bantuan kepada Allah subhanahu wa ta’ala untuk mendapatkan manfaat itu:

“Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan.” (Al-Faatihah : 5),

taufiq dan kemudahan semunya di tangan Allah.
Saya tutup pembahasan tentang perdebatan ini dengan perkataan Al-Qahthani dalam Nuniyyah-nya (hal. 39):

Janganlah kau habiskan umurmu untuk berseteru di dalam perdebatan,
sesungguhnya pedebatan itu merusak agama.
Waspadalah engkau terhadap perdebatan dengan orang,
karna hal itu menyeru kepada permusuhan dan kebencian.
Jika engkau terpaksa harus berdebat dan tidak menemukan
tempat lari, dan kedua shaf yang berlawanan saling bertemu,
Maka jadikanlah Kitab Allah sebagai pakaian perang yang melindungimu,
dan syariat sebagai pedangmu, dan tampillah di medan itu.
Sunnah yang bersih menjadi perisai di depanmu,
dan kedarailah tekad bulat yang baik di dalam perjalanan ini.
Dengan kesabaran kokohlah engkau di bawah prinsip petunjuk itu,
kesabaran merupakan perbekalan manusia yang paling kokoh.
Dengan tombak kebenaran tikamlah setiap para penentang,
Alangkah baiknya seorang penunggang kuda yang ahli menombak.
Bawalah pedang kejujuran  sebagaimana seorang yang ikhlas
Membawanya semata-mata karena Allah, dan bukan penakut.
Dengan kesungguhanmu, waspadailah makar musuhmu,
karna ia seperti rubah daratan yang licik.
Asal perdebatan itu dari pertanyaan dan cabangnya adalah
jawaban yang baik dengan penjelasan yang terbaik.
Janganlah engkau menoleh (berpaling) ketika ditanya dan
janganlah mengulang lafazh pertanyaan, kedua hal itu adalah
perbuatan tercela..


________________________
[13] Al-Aladd secara bahasa maknanya al-a’waj (yang bengkok). Hal ini disebutkan Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah ketika menafsirkan surat Al-Baqarah ayat 204.
Disalin ulang dari Kitab Nashihati Lin-Nisaa’ (Nasehatku Untuk Kaum Wanita) karya Ummu ‘Abdillah Al-Wadi’iyyah hal. 69-73 subchapter dari Penyakit Lisan. http://nadiyyah.net/2010/01/debat-kusirdebat-kusir/