Friday, November 14, 2008

Cinta, Kata Mereka

Menurut banyak pakar cinta, cinta adalah sebuah rasa yang dimiliki seseorang ketika melihat seseorang lainnya (biasanya dari lawan jenis) yang menarik perhatiannya. Apabila kedua orang ini cocok dan menjadi pasangan, maka rasa ini juga masih ada pada permulaan relasi.

Perasaan ini muncul karena di dalam tubuh diproduksi beberapa zat-zat tertentu yang sedikit membius otak dan efekya bisa disamakan dengan efek narkoba. Zat-zat tertentu ini dinamakan feromon.

Feromon membuat seseorang kecanduan, sehingga ingin melihat pasangannya atau orang idamannya seseringmungkin.

Akan tetapi perasaan jatuh cinta ini setelah selang beberapa waktu akan menhilang sedikit demi sedikit. Yang muncul biasanya rasa-rasa lain, seperti perasaan cinta sejati, kasih sayang, serta rasa aman dan nyaman.

Apalagi jika sudah menikah, perasaan-perasaan terakhir ini yang lebih menonjol.

Psikologis sebagai ilmu yang mempelajari kejiwaan manusia, sudah lama tertarik dengan konsep cinta (misalnya Eric Fromm, Maslow), karena manusia adalah satu-satunya makhluk, konon, yang daat merasakan cinta. Hanya saja masalahnya, sebagai sebuah konsep, cinta sedemikian abstraknya sehingga sulit untuk didekati secara ilmiah. Dalam tulisan ini dipilih teori seorang psikolog, Robert Stenberg, ang telah berusaha untuk menjabarkan cinta dalamkonteks hubungan antara dua orang.

Menurut Sternberg, cinta adalah sebuah kisah, kisah yang ditulis oleh setiap orang. Kisah tersebut merefleksikan kepribadian, minat dan perasaan seseorang terhadap suatu hubungan. Ada kisah tentang perang memperebutkan kekuasaan, misteri, permainan dan sebagainya. Kisah pada setiap orang berasal dari “skenario” yang sudah dikenalnya, apakah dari orangtua, pengalaman, cerita dan sebagainya. Kisah ini biasanya mempengaruhi orang bagaimana ia besikap dan bertindak dalam sebuah hubungan.

Sternberg terkenal dengan teorinya tentang segitiga cinta (bukan cinta segitiga, lho). Segitiga cinta itu mengandung komponen, yakni (1) keintiman (intimacy), (2) gairah (passion), dan (3) komitmen.
Keintiman adalah elemen emosi, yang di dalamnya terdapat kehangatan, kepercayaan (trust) dan keinginan untuk membina hubungan. Ciri-cirinya antara lain seseorang akan merasa dekat dengan seseorang, senang bercakap-cakap dengannya sampai waktu yang lama, merasa rindu bila lama tidak bertemu dan ada keinginan untuk bergandengan tangan atau saling merangkul bahu. *hohoho* ;D
Gairah adalah elemen motivasional yang didasari oleh dorongan dari dalam diri yang bersifat SEKSUAL! ;]

Komitmen adalah elemen kognitif, berupa keputusan untuk secara berkesinambungan dan tetap menjalankan suatu kehidupan bersama B-)

Menurut Sternberg, setiap komponen itu pada setiap orang berbeda derajatnya. Ada yang hanya tinggi di gairah, tapi rendah pada komitmen. Sedangkan cinta yang ideal adalah apabila ketiga komponen itu berada dalam proporsi yang sesuai pada suatu waktu tertentu. Misalnya pada tahap awal hubungan, yang paling besar adalah komponen keintiman. Setelah keintiman berlanjut pada gairah yang lebih besar, (yang dalam beberapa budaya, termasuk Islam) disertai dengan komitmen yang lebih besar. Misalnya melalui pernikahan.

Cinta dalam sebuah hubungan ini tidak selalu berada dalam konteks pacaran atau perkawinan. Pola-pola proporsi ketiga komponen ini dapat membentuk berbagai macam tipe hubungan seperti terlihat sbb:
  • Nonlove : Ketiga komponen tidak ada - Ada pada kebanyakan hubungan interpersonal, seperti pertemanan biasa (hanya kenalan saja)
  • Linking : Hanya keintiman - Ada kedekatan, saling pengertian, dukungan emosional dan kehangatan. Biasanya ada pada hubungan persahabatan *bisa teman sejenis juga maksutnya ^^
  • Infatuation : Hanya gairah - Seperti cinta pada pandangan pertama, ketertarikan secara fisik, biasanya mudah hilang.
  • Empty Love : Hanya komitmen - Biasanya ditemukan pada pasangan yang telah menikah dalam waktu yang panjang (misalnya pada pasangan usia lanjut)
  • Romantic Love : Keintiman dan gairah - Hubungan yang melibatkan gairah fisik maupun emosi yang kuat, tanpa ada komitmen (pacaran atau perkawinan)
  • Companionate Love : Keintiman dan komitmen - Hubungan jangka panjang yang tidak melibatkan unsur seksual, termasuk persahabatan *juga persahabatan antar suami istri ^^
  • Fatous Love : Gairah dan komitmen - Hubungan dengan komitmen tertentu (misalnya perkawinan) atas dasar gairah seksual. Biasanya pada suami istri yang sudah kehilangan keintimannya.
  • Consummate Love : Semua komponen - Menjadi tujuan dari hubungan cinta yang ideal B-)
Pada remaja, diharapkan (demikian menurut mereka) mulai mengenali cinta melalui hubungan yang mengandung komponen keintiman. Mulai dari tahap perkenalan, lalu menjadi teman akrab, lalu sahabat. Pada tahap persahabatan, baik dengan lawan jenis maupun sesama jenis, diharapkan berkembang perasaan hangat, kedekatan dan emosi lain yang lebih kaya. Dalam hubungan antar jenis, persahabatan dapat berkembang dengan komitmen pacaran. Pada tahap pacaran ini keintiman dapat muncul komponen gairah dengan proporsi yang relatif rendah.
Pada pasangan yang telah dewasa, bila faktor-faktor emosiaonal dan sosial telah dinilai siap, maka hubungan itu dapat dilanjutkan dengan membuat komitmen perkawinan. Dalam perkawinan, diharapkan ketiga komponen ini tetap hadir dan sama kuatnya.

Pada budaya tertentu (yang mereka maksud dogma agama, seperti petunjuk dalam agama kita), komitmen dianggap sebagai kekuatan utama dalam perkawinan. Karena itu banyak perkawinan (dalam budaya tersebut) yang hanya dilandasi oleh komitmen masing-masing pihak pada lembaga perkawinan itu sendiri. Perkawinan dipandang sebagai keharusan budaya dan agama untuk melanjutkan keturunan atau karena usia, atau untuk meningkatkan status, atau sebab-sebab lain. Perkawinan seperti ini akan terasa kering, karena baik suami maupun istri hanya menjalankan kewajibannya saja.

Variasi lain, perkawinan hanya dianggap sebagai lembaga yang mengesahkan hubungan seksual. Perkawinan semacam ini kehilangan sifat persahabatannya, yang ditandai dengan tidak adanya kemesraan suami isteri, seperti makan bersama, berbincang-bincang, saling berpelu*an dan sebagainya ^^
Seperti diuraikan sebelumnya, pola hubungan cinta seseorang sangat ditentukan oleh pengalamannya sendiri mulai dari masa kanak-kanak. Bagaimana orangtuanya saling mengekspresikan perasaan cinta *atau malau betengkar melulu :( … hubungan awal dengan teman-teman dekat, kisah-kisah romantis sampai yang horor dan seterusnya, akan membekas dan mempengaruhi seseorang dalam berhubungan. Karenanya, setiap orang disarankan untuk menyadari kisah cinta yang ditulis untuk dirinya sendiri.

Memang teori Sternberg tentang cinta ini belumlah lengkap dan memuaskan semua orang. Misalnya, bagaimana teori ini dapat menjelaskan cinta ibu terhadap anaknya? Atau bagaimana cinta dapat dipertentangkan dengan perang dan kebencian? Hanya saja, sebagai sebuah deskripsi ilmiah terhadap fenomena cinta, teori ini dapat dikatakan cuku membantu dalam memetakan pola-pola hubungan cinta antar individu.

Catatan:


Apa yang diungkapkan oleh ‘pakar cinta’ di atas adalah proses mengendapnya rasa suka dalam jiwa seseorang yang mengubahnya menjadi nuansa rasa yang unik. Dalam konteks ini, tak banyak perbedaan yang berarti pada pandangan banyak pakar, pemerhati dan pengulas soal cinta. Selain itu, tak ada yang perlu dipersoalkan, karena yang diulas adalah substansi cinta, bukan justifikasinya atau keabsahannya. Di situ juga dibeberkan data-data ilmiyah yang berkaitan dengan unsur-unsur pembentuk cinta dalam tubuh manusia. Hal ini pun, tidak terlalu mendesak untuk dikomentari. Soal analogi ccinta dengan feromon atau sejenis zat candu, juga bukan soal yang harus dikontroversikan. Selain kenyataan bahwa cinta asmara memang tidak jauh dari itu, ini pun bukan soal legalitas atau sebaliknya. Namun ada sisi-sisi yang harus dicermati dengan kaidah-kaidah yang benar, agar pemaknaan cinta asmara dan penempatannnya secara proporsional, tidak ternodai oleh pandangan-pandangan liberal yang anti kode etik, adab dan nilai-nilai agama yang absolut.

Pertama, cinta yang muncul melalui cara yang halal, seperti antara suami isteri, atau ibu dengan anaknya dan seterusnya, hanya akan hilang bila secara aturan agama hubungan cinta itu sudah tidak bisa dilanjutkan. Suami, bila sudah bercerai dengan istri, atau salah satunya menjadi kafir. Begitu pula, bila salah satu dari ibu atau anak, murtad.

Kedua, benar, bahwa kesejatian cinta diperoleh seseorang dengan pasangannya, bila sudah bersuami istri. Di sini seharusnya disadari bahwa ketidak sejatian cinta antar pasangan yang belum menikah lebih karena belum terikat sesuatu yang membuatnya halal.
Ketiga, cinta akan dijabarkan oleh sesuai dengan latar belakang pemikiran, keyakinan, pengalaman dan lain sebagainya. Namun semuanya hanya berada di awang-awang, dan tidak bisa ‘diikat’ dengan batasan tertentu, kecuali nilai-nilai agama.
 
Keempat, tiga elemen cinta yang disebutkan oleh Sternberg cukup logis. Namun dalam penjabarannya ia sedikit tersandung. Itu mudah dimaklumi, karena ia tidak membekali dirinya dengan ilmu-ilmu rabbani. Ia tidak mengerti seribu satu bahaya yang muncul akibat hubungan cinta kasih pra nikah. Betapapun menurut etikanya, cinta itu harus dibatasi pada dominasi elemen cinta pertama, yaitu keintiman, namun sama sekali tak menyelesaikan masalah. Karena nafsu, ibarat anak bayi yang disusui. Tanpa disapih dengan paksa, akan sulit -bahkan sering sekali mustahil- membujuknya berhenti menyusu. Batasan-batasan yang ada dalam agama bertujuan mengikat dan membatasi manusia pada hal-hal yang tidak mungkin dicapai oleh akal. Atau, kalaupun dapat dicapai, hanya sebagian sisinya saja. Karena terbukti, hikmah-hikmah yang ada dalam ajaran Islam, soal halal dan haram misalnya, hanya sedikit yang dapat diungkap oleh manusia. Dan itu pun sudah dianggap sebagai pencapaian luar biasa. Sehingga, artinya, terlalu banyak hal yang tak dapat dicapai oleh ilmu manusia. Untuk alasan itulah, Allah menetapkan hukum-hukum bagi mereka,

“…dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit…” (Al-Isra’ : 85)

Kelima, sebenarnya bukan hanya remaja, anak-anak sekalipun harus diperkenalkan tentang cinta. Namun pengenalan di sini berarti pengenalan tentang hakikatnya, adab-adab dan hukum-hukumnya yang terkait dengannya. Artinya, pengenalan di sini bukan berarti anak-anak dan remaja dibimbing untuk saling bercinta dengan pasangannya, meski dengan batasan apapun. Sama halnya dengan soal SEKS. Pengenalan seks bagi anak dan remaja adalah pengenalan tentang substansinya, adab dan hukum-hukumnya secara bertahap, disesuaikan dengan kadar pemahaman mereka. Pengenalan soal seks, bukan berarti menggiring mereka melakukan seks bebas atau seks pra nikah.

Sternberg tampaknya juga percaya, bahwa ikatan resmi cinta kasih berupa akad pernikahan diperlukan untu mengikat cinta kasih. Namun ia tidak sampai pada kesimpulan hukum berupa keharusan. Sekali lagi, itu wajar-wajar saja, karena ia memang tidak memiliki sudut pandang keagamaan, apalagi untuk mengenal petunjuk Islam. Artinya, menurut Sternberg, cinta yang tumbuh berkembang secara bebas pada sepasang insan yang saling mencintai, sebelum diikat perkawinan, sah-sah saja. Kalau ia sedikit berpikir tentang kesejatian cinta pasca nikah, seperti yang dia ungkapkan sebelumnya, nilai-nilai Islam itu pasti akan tertangkap dengan jelas. Dan dia pun akan sadar betapa Islam memang datang sebagai kemashlahatan umat manusia.

Dalam Islam, segala jalan untuk menuju hunganga cinta kasih sebelum menikah, harus sangat diwaspadai, karena merupakan satu tangga menuju perzinaan yang jelas-jelas haram.

Allah berfirman, “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (Al-Isra’ : 32)

Sementara zina itu sendiri, selain haram juga dapat mengikis nilai-nilai iman, sehingga berakibat pada berkurangnya komitmen pada kebenaran.

Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda :

“Setiap pezinaa ketika melakukan perzinaannya, bukanlah seorang mukmin. Setiap peminum khmar ketika meminum khamrnya, bukanlah seorang mukmin. Setiap pencuri ketika melakukan pencurian, bukanlah seorang mukmin.” (Dikeluarkan oleh Al-Bukhari (V:119, AlFath); dan Muslim (57) harist Abu Hurairah).

Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam juga bersabda, “Apabila ada hamba yang berzina, imannya akan keluar dari dalam dirinya. Bentuknya seperti bayang-bayang. Apabila si hamba sudah meninggalkan perbuatan maksiatnya, iman itu pun kembali kepadanya.” (Dikeluarkan oleh Abu Dawud (4690) dan yang lainnya dari hadist Abu Hurairah dengan sanad yang shahih).

Bahkan, demi menjaga kaum muslimin dari perzinaan, Islam juga menganjurkan masing-masing pihak pria dan wanita untuk menjaga sikap dan perilaku mereka terhadap awan jenis. Bahkan isteri-isteri Nabu pun pernah mendapatkan peringatan terhadap hal itu, seperti yang disebutkan dalam Al-Qur’an:

“…Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya…” (Al-Ahzab : 32)

Menurut Ibnul Qayyim, semua ayat ini berkaitan dengan penyakit syahwat, yaitu keinginan untuk bermaksiat, terutama berzina. (Ath Thibb An Nabawi hal 1-2).
Diketik ulang dari buku Sutra Asmara *hoho* karya Ust Abu Umar Basyier.