Sunday, April 29, 2007

Perihal Menikahi Wanita Cantik

Abu Umair As-Sundawy & Abu Ishaq As-Sundawy

Dalam kitab madzhab Hambali Syarah Muntaha al-Iraadaat (2/621 ) :

Adalah juga sunnah untuk memilih wanita yang cantik, karena hal tersebut dapat melahirkan rasa ketenangan yang lebih besar dan lebih membantu dia untuk menundukkan pandangan dan cinta yang lebih.Olehkarenanya disyariatkan “Nadzor”

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ta`ala anhu; Ya Rasulullah,wanita mana yang terbaik? Beliau berkata:”Yang tatkala engkau melihatnya engkau merasa senang,……….al-Silsilah al-Sahihah (1838)

Beberapa ulama menganggapnya sebagai mustahab, jika seorang pria tatkala hendak menikah MEMULAINYA DENGAN MEMPERTANYAKAN TENTANG KECANTIKANNYA TERLEBIH DAHULU,kemudian baru tentang komitmen agamanya.

Imam al-Bahuuti berkata dalam Syarah Muntaha al-Iradat (2/621):

Dia (seorang pria ) seharusnya tidak bertanya/mencari tentang komitmen agama seorang wanita terlebih dahulu hingga dia telah mengetahui hal tentang kecantikannya. Imam Ahmad berkata :Jika seseorang pria ingin menikahi seorang wanita,dia mesti bertanya pertama kali TENTANG KECANTIKANNYA, jika kemudian dia mendapat kabar bagus mengenai kecantikan (wanita tersebut), baru dia bertanya mengenai komitmen agama (wanita tadi).Jika ternyata agamanya bagus maka dia seharusnya menikahi wanita tersebut.Jika dia tidak mendapat kabar yang baik mengenai agamanya maka dia akan menolak wanita tersebut atas dasar agamanya.Janganlah dia bertanya mengenai Komitmen agama dahulu,yang jika dia mendengan bahwa agama wanita itu bagus, namun kemudian dia mengetahui wanita tersebut tidak cantik lantas kemudian menolak.Maka dia (pria tadi) menolak wanita atas dasar “Kecantikan” bukan atas dasar “agama” -selesai kutipan-

Tentu hal ini menyalahi sabda Nabi `alaihi sholatu wasalam bahwa kita dianjurkan memilih atas dasar “komitmen agama” seorang wanita.

Yang salah adalah tatkala seorang pria mencari kecantikan dan melupakan sisi agama seorang wanita-sebagai pondasi kebahagiaan dan kebaikan yang dia cari-Oleh karenanya Nabi mendorong kita untuk memilih yang memiliki komitmen agama & akhlak yang bagus serta melarang untuk semata mencari penampilan luar tanpa penampilan dalam (hati)

Imam An-Nawawi Dalam Syarah Muslim (10/52) tatkala mengomentari hadist mengenai “wanita dinikahi karena empat hal…dst, berkata: Pandangan yang benar mengenai makna hadist ini adalah bahwa Nabi berkata tentang keumuman manusia apa yang dilakukannya tatkala hendak menikah, bahwa mereka menikah berdasar empat hal ini (harta,keturunan,kecantikan,agama).

Yang paling terakhir dalam pilihan orang adalah tentang komitmen agama seorang wanita,maka yang benar adalah engkau selayaknya memilih yang punya komitmen agama. Pandangan yang mengatakan mustahabb untuk mencari wanita yang cantik sebagai istrinya tidak lah berarti kecantikan itu hal yang utama. Dan berati bahwa kita harus mendapatkan wanita yang sangat cantik sejagat,karena tidak akan kita dapatkan yang sangat sempurna,mungkin bisa kita dapatkan tapi dengan kelemahan agama dan prilakunya.

Arti mencari yang cantik yang dimaksud adalah jenis kecantikan dimana kita sebagai pria bisa menjaga diri dari hal haram dan meredam dari berpalingatau memandang wanita lain selain istri kita.Toh Definisi cantik akan berbeda-beda pada setiap pria.

Nasehat saya adalah nikahilah wanita yang pada pandangan anda punya tingkat (kecantikan) dimana anda cukup merasa senang dan tenang dengan melihat dia. Hal ini (persoalan kecantikan) akan kau rasakan porsi bedanya bukan sebagai porsi pertama dan utama yang terus menggelayuti pikiran anda setelah anda memulai hidup baru…memulai serial selanjutnya dari problematika-probelamatika hidup kita.

Wednesday, April 25, 2007

Ya Ukhtiy.. Jauhilah Tabarruuj..

Syaikh Muhammad Nashirudin Al-Albany

Tabarruj yakni bila “seorang wanita menampakkan perhiasannya dan kecantikannya serta terlihat bagian-bagian yang seharusnya wajib ditutupi, dimana bagian-bagian itu akan memancing syahwat pria.” [ Fathul Bayan 7 / 274 ]

Allah Azza wajalla tentang permasalahan ini bersabda dalam Surah Al-Ahzab (yang artinya):

“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kalian bertabarruj seperti bertabarruj-nya wanita jahiliyyah dahulu, dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan ta`atilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul-bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” [QS Al-Ahzab : 33]

Imam Adz-Dzahabi berkata dalam “Al-Kaba`ir” yakni Di antara perbuatan yang menyebabkan para wanita mendapat laknat adalah menampakkan perhiasan emas dan permata yang ada di balik pakaiannya, memakai misk, anbar (nama sejenis minyak wangi) dan parfum jika keluar dari rumah, memakai pakaian-pakaian yang dicelup, sarung-sarung sutera dan penutup kepala yang pendek, bersamaan dengan itu dia memajangkan pakaian, meluaskan dan memanjangkan ujung lengan pakaian. Semua itu termasuk tabarruj yang Allah murkai. Allah murka kepada pelakunya di dunia dan akhirat. Karena perbuatan-perbuatan ini yang banyak dilakukan wanita, Rasulullah Shalallohu`alaihi wasallam bersabda (yang artinya): “……. Aku memandang ke neraka, maka aku melihat kebanyakan penghuninya adalah wanita.”


Hadits ini diriwayatkan oleh :

1. Imam Bukhari dalam kitab Bad’ul Khalq, bab Maa Ja’a fi Shifatil Jannah ( kitab 59 bab 8 ).
2. Imam Tirmidzi dalam kitab Shifatil Jahannam bab Maa Ja’a Anna Aktsara Ahli Nar An Nisa’ (kitab 40 bab 11 hadits ke-2602), dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan Tirmidzi 2098 dari Ibnu Abbas.
3. Imam Ahmad 2/297 dari Abu Hurairah. Dan hadits ini dishahihkan Al Albani dalam Shahihul Jami’ 1030.

Dari Imran bin Hushain berkata : “Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda (yang artinya):“Sesungguhnya penghuni Surga yang paling sedikit adalah para wanita….’ “ (HR. Muslim 95, 2738. An Nasa’i 385)

Saya (Syaikh Al-Albani, pent.) berkata: “Islam telah bersikap keras dalam memperingatkan ummatnya dari perbuatan tabarruj ini hingga menyandingkannya dengan kesyirikan, zina, mencuri dan perbuatan haram lainnya. Itu terjadi ketika Nabi Shalallohu`alaihi wasallam membai`at para wanita agar mereka tidak melakukan hal-hal itu. Abdullah bin `Amr radhiyallahu`anhu berkata: Umaimah binti Ruqaiqah datang kepada Rasulullah Shalallohu`alaihi wasallam untuk berbai`at kepada beliau, maka beliau berkata: “Saya akan membai’atmu untuk engkau tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apa pun, jangan engkau mencuri, berzina, membunuh anakmu, melakukan kebohongan yang engkau buat antara hadapanmu dan antara dua kakimu, jangan meratap dan jangan bertabarrujnya jahiliyyah dahulu.”

Ketahuilah, bukan termasuk perkara terlarang sedikitpun jika pakaian wanita yang dia pakai selain berwarna putih atau hitam, sebagaimana yang dianggap oleh sebagian wanita yang komit terhadap Sunnah. Itu dengan alasan :

Pertama : Sabda Rasulullah shallallaahu’alaihi wa sallam yang berbunyi (yang artinya) : “Parfum wanita adalah yang jelas warnanya dan lembut harumnya … “

Kedua : Pengalaman para wanita sahabat, dengan kisah sebagai berikut :

1. Dari Ibrohim An Nakha’i bahwa dia masuk bersama Alqamah serta Al Aswad kepada isteri – isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dia melihat mereka menyelimuti diri mereka dengan pakaian berwarna merah.
2. Dari Ibnu Abi Mulaikah, ia berkata; Aku melihat Ummu Salamah mengenakan jilbab dan berselimut dengan pakaian yang dicelup ddengan warna mu`ashfar (campuran antara kuning dan merah).
3. Dari Al qosim, yaitu Ibnu Muhammad bin Abi Bakr Ash Shiddiq dia berkata bahwa ‘Aisyah memakai pakaian yang dicelup dengan mu’ashfar, padahal dia waktu itu sedang ihram.”

Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah 120-123 dengan sedikit ringkasan
Sumber: Buletin Islamy Al Minhaj Edisi 3 Tahun1

Tuesday, April 24, 2007

Syaikh bin Baaz

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Abdurrahman bin Muhammad bin Abdullah bin Baaz rahimahullah dilahirkan di kota Riyadh pada tanggal 12 Dzul Hijjah tahun 1330 H, dari keluarga yang sebagian besar kaum lelakinya bergelut dalam dunia keilmuan.
Pada mulanya beliau bisa melihat, kemudian pada tahun 1336 H, kedua matanya menderita sakit, dan mulai melemah hingga akhirnya pada bulan Muharram tahun 1350 kedua matanya mulai buta.

Pendidikannya lebih banyak tertuju pada pelajaran Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau tumbuh dalam peliharaan salah seorang keluarganya. Al-Qur’an merupakan pelita yang menerangi hidupnya, sehingga umurnya dipergunakan untuk menimba ilmu Al-Qur’an, dan beliau hafal Al-Qur’an secara menyeluruh ketika beliaumasih kecil,belum mencapai usia baligh.

Beliau belajar ilmu-ilmu syar’i dari para ulama besar di Riyadh, seperti Syaikh Sa’d bin Bathiq dan Syaikh Hamd bin Faris dan Syaikh Sa’d bin Waqqash Al-Bukhari dan Syaikh Muhammad bin Ibrahim Ali Syaikh -semoga Allah merahmati mereka-, beliau terus menimba ilmu hingga mulai terpandang di kalangan para ulama.
 
Beliau pernah menjadi Qadhi mulai bulan Jumadats Tsaniah tahun 1357 hingga tahun 1371.
Selanjutnya pada tahun 1372 beliau mengajar di Ma’had Ilmi di Riyadh selama setahun kemudian pindah ke Fakultas Syariat Di Riyadh mengajar Ilmu Fiqih, Tauhid dan Hadits selama tujuh tahun, semenjak didirikannya fakultas ini hingga tahun 1380.
Pada tahun 1381 beliau ditunjuk menjadi wakil rektor Jamiah Islamiyah di Madinah Al Munawwarah, dan menempati posisinya tersebut hingga tahun 1390. Selanjutnya pada mulai tahun itu hingga tahun 1395 beliau menjadi rektor Jami’ah Islamiyah.

Pada tanggal 14/10/1395 terbit keputusan kerajaan yang menunjuk Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz rahimahullah sebagai mufti besar (Semacam ketua MUI) untuk negara Saudi Arabia dan sebagai ketua ikatan para ulama serta ketua idarah buhuts ilmiyah wal ifta’ yang setingkat dengan kedudukan mentri, hingga beliau meninggal.
Beliau juga banyak berkecimpung di berbagai lembaga dan majlis ilmiah islamiyah, di antaranya sebagai ketua ikatan para ulama, ketua majlis pendiri rabithah ‘alam islamy, ketua lembaga internasional yang mengurusi masjid dan ketua mujamma’ fiqhy islamy di Mekkah Al Mukarramah. Beliau juga sebagai anggota lembaga tinggi Jami’ah Islamiyah di Madinah Al Munawwarah, anggota lembaga tinggi dakwah Islam, anggota majlis syuro untuk WAMY (Ikatan Pemuda Islam Internasional) dan beberapa keanggotaan yang lain.

Beliau juga beberapa kali mengetuai berbagai mu’tamar internasional yang diadakan di negra Saudi Arabia, yang merupakan sarana bagi beliau untuk saling tukar pendapat dan fikiran dengan beberapa ulama, da’i dan pemikir lainnya dari berbagai belahan dunia.
 
Meski beliau disibukkan dengan berbagai kegiatan tersebut, beliau tidak lupa tugas utamanya sebagai seorang alim dan da’i. Beliau telah menulis berbagai karangan dan buku-buku, di antaranya: Al Fawa’id Al Jaliyyah fil Mabahits Al Fardhiyyah, At Tahqiq wal Idhah likatsir min masailil Hajj wal Umrah waz Ziyarah, At Tahdzir minal Bida’, Ar Risalatanil Mujazatani fiz Zakat wash Shiyam, Al Akidatul Mujazah, Wujubul Amal Bisunnatir Rasul, Ad Da’wah Ilal-llaah, Shifatud Da’iyah, Wujubu Tahkimi Syar’illaahi. Hukmus Sufur Wal Hijab, Nikahus Syighar, Tsalatsu Rasail Fish Shalat, Hukmul Islam Fiiman Tha’ana fil Qur’an Aw Fii Rasulillah, Hasyiyah Mufidah Ala Fathil Bari, Iqamatul Barahin ala Hukmi Manista’ana Bighairillaah Aw Shaddaqal Kuhhan wal Arrafin, Al Jihad fii Sabilillah, Wujubu Luzumis Sunnah Wal Hadzru Minal Bid’ah, dan berbagaimacam fatwa-fatwa dan tulisan-tulisan lainnya.

Beliau juga mempunyai berbagai kegiatan dakwah dan kepedulian terhadap berbagai urusan orang-orang muslimin, di antaranya sumbangan beliau kepada berbagai yayasan-yayasan Islam dan lembaga-lembaga Islam lainnya yang ada di berbagai belahan dunia. Beliau juga sangat peduli dengan permasalahan tauhid dan berbagai kerancuan yang terjadi pada masyarakat muslim. Lebih khusus lagi, beliau sangat memperhatikan mengenai pangajaran hafalan Al-Qur’an dan senantiasa menganjurkan kepada berbagai lembaga untuk mengadakan program tahfidz A-Qur’an.

Beliau telah banyak memberikan berbagai pelajaran dan muhadharah Islamiyah untuk menanamkan pemahaman Islam yang benar kepada kaum muslimin. Beliau juga telah menulis berbagai makalah dalam majallah Al Buhuts Al Islamiyah.

Pada tahun 1402 Yayasan Sosial Malik Faishal menganugerahkan trophy Internasional Raja Faishal kepada beliau atas jasa-jasa beliau kepada Islam.

Istriku Tidak Seperti yang Kudambakan

Written by Ummu Raihanah

Untuk para pemuda yang akan menikah, untuk para suami yang telah mendapatkan pasangan hidupnya. Kisah ini layak dan perlu untuk ditelaah. Mungkin kau telah membayangkan dengan berbagai juta pesona yang akan kau dapati dari calon pendampingmu.Terukir indah dalam mimpimu setiap malam, dan ketika kau terjaga tampaklah senyum merekah dari bibirmu,… betapa tak sabar hatimu ingin meraihnya. Namun, setelah kau bersamanya dan ia ada disisimu begitu dekat dengan dirimu. Matamu, jiwamu dan hatimu selalu bersamanya setiap waktu tiba-tiba kau merasa kecewa, kau temui ia tidak seperti yang kau dambakan, tidak seperti yang kau inginkan. Ibarat menelan pil pahit ingin segera kau muntahkan dari mulutmu tapi rasa pahit itu terlanjur menyerang di kerongkonganmu.Sulit untuk kau hilangkan dari lidahmu. Wahai para suami apa yang ingin kau lakukan??

Jika terbetik dalam hatimu untuk berpisah darinya maka tunggu dulu hingga kau membaca kisah ini, semoga kau bisa mengambil manfaat darinya dan semoga hatimu sedikit luruh melunak karenanya. Inilah kisahnya saudaraku, simaklah dengan baik-baik :

Ibnu Al-Jauzy mengatakan: “Ada satu riwayat yang dinisbahkan kepada Usman ibn Al-Nisabury: Pekerjaan apa yang ditangguhkan untukmu? Dia mengatakan ; Saya dalam memberikan kasih sayang, hingga keluargaku berupaya untuk menikahkanku, tapi aku tidak mau. Kemudian seorang wanita datang kepadaku lalu mengatakan : Wahai Abu Usman aku mencintaimu, demi Tuhan! Aku mohon padamu untuk menikahi aku. Kemudian aku menghadirkan bapaknya-orang yang tak punya- dan menikahkannya denganku, dengan demikian dia merasa girang dan gembira.

Ketika wanita itu masuk menghadapku, ternyata matanya buta sebelah, memiliki cacat, tidak cantik. Karena cintanya padaku ia melarangku untuk keluar, lalu aku duduk demi menjaga kegusarannya, dan aku tidak menampakkan kebencian sama sekali, seolah-olah aku menyingkirkan segala ketidak sukaan. Aku lakukan itu selama 15 tahun hingga ia wafat. Aku tidak memiliki apapun dari pekerjaanku kecuali aku menangguhkannya, demi untuk memelihara kegusaran hatinya. (Saidul khatir, 635-636)

Ibnu Qayyim mengatakan : “Dikatakan: Ada seseorang menikahi seorang wanita. Ketika masuk ia mendapati pada anggota tubuhnya cacar. Dia mengatakan: Aku menutupi kedua mataku, lalu aku katakan : Aku buta, setelah 20 tahun wanita itu wafat dan dia tidak mengetahui bahwa aku tidak buta. Kemudian dia ditanya mengapa demikian: Dia menjawab aku tidak ingin pandanganku menyedihkannya karena ada aib yang dimilikinya yaitu cacar” (Madarijus Salikin 2/326)

Kemudian simaklah kisah lainnya berikut ini:

Syaikh Dr. Muhammad ibn Luthfy as-Shabbagh mengatakan: Seorang kawan berbicara padaku bahwa gurunya menyimpan rahasia dengan suatu kenyataan yang terjadi dalam kehidupannya, dia mengatakan: Sesungguhnya aku telah menikahi istriku ini selama 40 tahun. Aku tidak pernah melihat satu halpun yang menggembirakan. Sejak hari pertama mempergaulinya, aku tahu dia cocok denganku dalam suatu hal, tapi dia adalah putri pamanku, dan aku yakin tidak ada seorangpun yang mau menanggungnya, aku tetap bersabar dengan penuh perhitungan. Allah subhanahu wata’ala mengaruniakanku beberapa putra yang baik dan shalih, dan memberiku pertolongan padanya untuk menjauhinya dengan menulis berbagai karangan. Dari karangan-karangan itulah aku berharap sumbangsih dalam ilmu pengetahuan dan sedekah jariyah yang mengalir. Dengan demikian, hubunganku yang kurang baik dengan istriku dapat menciptakan hubungan sosial yang produktif dan membangun. Keadaan ini mungkin tidak akan pernah terwujud seandainya aku menikah lagi dengan wanita lainnya.

Beliau mengatakan lagi: Seorang kawan yang lain mengajak aku ngobrol, dia mengatakan: Sejak hari-hari pertama aku menikah dengan istriku, aku benar-benar tidak punya keinginan dan tidak ada rasa cinta sama sekali, tetapi aku telah berjanji kepada Allah untuk bersabar atas masalah ini, tidak menyakitinya, dan aku rela dengan pemberian-Nya ini. Selama pernikahan ini, aku dianugerahi harta yang banyak, dikaruniai beberapa putra, kedamaian dan ketentraman. (nadzarat fil usrah al-muslimah, 196)

Apa pendapatmu setelah membaca kisah diatas?. Segala keputusan ada ditanganmu, wahai para suami,….Sungguh aku tidak ingin mencampuri kehidupan rumah tanggamu. Sebagai saudara seiman hanyalah sebuah nasehat yang ingin ku berikan kepadamu, Renungkanlah firman-Nya:

“Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal ALlah menjadikan padanya kebaikan yang banyak” (AN-Nisaa ;19)

dan juga hadits berikut ini semoga hatimu terbuka olehnya:

“Janganlah seorang mukmin membenci seorang mukminah. Kalaupun dia tidak menyukai suatu akhlaknya yang buruk, mungkin di sisi lain ada akhlaknya yang dia senangi” (HR. Muslim no.845). Wallahu’alam bish-shawwab.

Sydney, Juni 2005

Sumber Rujukan:

1. Ringkasan Shahih Muslim, Pustaka Amani, Jakarta
2. Kesalahan-kesalahan Suami, (lihat hal:114-116) Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd, Pustaka Progresif,Surabaya.

Friday, April 20, 2007

Ketika Adam dan Hawwa’ ‘alaihimas salam diusir dari Surga

Dengan lengkapnya kehidupan Adam di surga Allah setelah diciptakan pasangan baginya, yaitu Hawwa’, maka iblis pun yang telah diusir dari surga-Nya dan telah dikutuk oleh-Nya, mulai melancarkan operasi kedengkiannya dengan menggoda Adam dan Hawwa’ agar melanggar larangan Allah mendekati pohon terlarang yang ada padanya.

Kisah godaan iblis dan pelanggaran Adam dan Hawwa’ ini telah diceritakan oleh Allah Ta`ala dan Rasul-Nya serta para Shahabat nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam sebagaimana berikut ini. Allah Ta`ala menceritakan proses rayuan iblis kepada keduanya dalam beberapa ayat Al-Qur’an berikut ini:

(Artinya) “Wahai Adam, tinggallah engkau dan pasanganmu di surga. Makanlah apa saja yang kalian sukai darinya dan janganlah kalian mendekati pohon itu. Karena bila kalian mendekatinya maka kalian berdua akan menjadi termasuk golongan orang-orang yang dhalim.” Maka syaithan pun membisiki Adam dan Hawwa’ dengan satu perkara yang menyebabkan terbukanya kemaluan keduanya. Dan syaithan pun menyatakan: “Tidaklah Tuhan melarang kalian berdua mendekati pohon ini, kecuali agar kalian tidak menjadi Malaikat atau agar kalian jangan tinggal di surga ini dengan kekal.” Dan syaithan pun bersumpah dengan nama Allah di hadapan keduanya dengan menyatakan: “Sesungguhnya aku adalah pihak yang dengan tulus menasehati kalian berdua.” Maka syaithan pun menipu keduanya untuk mendekati pohon itu. Sehingga ketika keduanya merasakan buah dari pohon itu, tampaklah bagi keduanya kemaluan masing-masing, sehingga keduanya pun bersegera menutupi aurat masing-masing dengan dedaunan pohon-pohon di surga. Maka Tuhan pun memanggil keduanya: “Bukankah Aku telah melarang kalian berdua untuk medekat kepada kedua pohon itu, dan bukankah Aku telah mengatakan kepada kalian berdua bahwa syaithan itu adalah musuh yang nyata bagi kalian berdua?” Maka Adam dan Hawa pun menyatakan: “Wahai Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mendhalimi diri kami. Maka bila Engkau tidak mengampuni kami dan tidak merahmati kami, niscaya kami sungguh akan menjadi golongan yang merugi. Allah menyatakan kepada semuanya: “Turunlah kalian semua ke bumi. Sebagian kalian akan menjadi musuh atas sebagian yang lainnya. Dan bagi kalian di bumi itu ada tempat tinggal dan kesenangan sampai waktu tertentu. Allah menyatakan juga kepada mereka semua: “Di bumi itu kalian akan hidup dan padanya pula kalian akan mati dan daripadanya pula kalian akan dibangkitkan di hari kiamat.” (Al-A`raf: 19 – 25)

Al-Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir At-Thabari rahimahullah dalam tafsir beliau ketika menerangkan ayat ke 36 surat Al-Baqarah, membawakan sebuah riwayat dengan sanadnya bersambung kepada para Shahabat Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam wa radliyallahu `anhum ajma’in seperti Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud dan lain-lainnya dari kalangan Shahabat senior semua, beliau menerangkan: “Ketika Allah Yang Maha Agung dan Maha Mulia menyatakan kepada Adam: Tinggallah engkau dan pasanganmu di surga dan makanlah dari buah-buahan di surga dengan sekehendak kalian, dan janganlah kalian berdua mendekati pohon itu, niscaya bila kalian mendekatinya akan menjadi termasuk golongan orang-orang yang berbuat dhalim.

Iblis ingin masuk ke surga guna menemui keduanya, tetapi penjaga surga mencegahnya. Maka dia pun mendatangi seekor ular, yang pada waktu itu mempunyai empat kaki seperti unta, dan termasuk hewan yang paling bagus bentuknya waktu itu. Iblis berbicara dengannya untuk kiranya dia dapat masuk di mulut ular itu dan ular itu pun masuk ke surga sehingga iblis dapat masuk dengannya dan lolos dari penjaganya. Mereka tidak mengerti, apa yang dimaukan oleh Allah dengan ketentuan taqdir-Nya dimana iblis berhasil mengecohkan Malaikat penjaga surga sehingga dapat masuk ke dalam surga dengan menumpang pada ular itu. Iblis kemudian berbicara dengan Adam dan Hawwa’ dari mulut ular itu, tetapi keduanya tidak memperdulikannya. Keduanya baru mau mendengar omongan iblis setelah iblis keluar dari mulut ular itu. Kata iblis kepada keduanya: Wahai Adam, maukah aku tunjukkan kepadamu pohon khuldi (yakni pohon kekekalan) dan pohon mulkin (yakni pohon yang menjadikan orang yang memakannya menjadi raja) yang tidak akan binasa (Demikian diberitakan oleh Allah Ta`ala pernyataan iblis kepada Adam dalam surat Thaha ayat ke 120). Selanjutnya iblis menyatakan kepada Adam: Maukah aku tunjukkan kepadamu satu pohon yang bila engkau memakan buahnya, niscaya engkau akan menjadi raja seperti Allah Ta`ala, atau engkau menjadi orang-orang yang kekal sehingga engkau tidak akan mati selamanya. Dan iblis pun bersumpah dengan nama Allah di hadapan keduanya sembari menyatakan: Sesungguhnya aku termasuk pihak yang tulus dalam memberikan nasehat kepada kalian berdua. Iblis menginginkan kemaluan keduanya tersingkap dengan membuka baju keduanya. Dan iblis telah tahu sebelumnya bahwa keduanya mempunyai kemaluan ketika iblis sempat melongok pada catatan para Malaikat. Tetapi Adam belum mengerti kalau dirinya punya kemaluan. Waktu itu pakaian Adam untuk menutupi auratnya adalah dhufura (yakni dari sesuatu yang menyerupai lemak daging yang jernih, putih dan tebal. Demikian diterangkan dalam An-Nihayah fi Gharibil Hadits karya Abus Sa’adaat Ibnul Atsir jilid 3 hal. 158, pent). Adam menolak ajakan iblis untuk makan buah dari pohon terlarang itu. Tetapi Hawwa’ justru maju mendekati pohon itu dan makan dari buahnya, kemudian dia menyatakan kepada Adam: Wahai Adam makanlah, karena aku telah memakannya dan tidak berakibat negatif apapun bagiku. Maka ketika Adam memakan buah itu, tampaklah kemaluan keduanya dan segeralah mereka berusaha menutupinya dengan dedaunan di surga.” Demikian At-Thabari membawakan dalam Tafsir beliau, riwayat yang menerangkan proses pelanggaran Adam dan Hawwa’ secara lengkap sebagaimana yang dikisahkan oleh para Shahabat Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam.

Selanjutnya perlu juga kita mengerti tentang apa penilaian Allah Ta`ala terhadap pelanggaran Adam dan Hawwa’ ini dan apa hukuman yang Allah tetapkan bagi kedua setelah pelanggaran itu. Mengenai hal ini, Allah Ta`ala telah memberitakannya dalam firman-Nya di dalam Al-Qur’an di ayat lainnya sebagai berikut:

“Dan Adam telah durhaka kepada Tuhannya dan telah melenceng dari ketentuan Allah. Kemudian Tuhannya telah memilihnya sebagai orang yang bertaubat atas pelanggarannya dan menunjukinya untuk bertaubat kepada-Nya. Allah pun menyatakan: “Turunlah kalian berdua ke bumi. Sebagian dari kalian menjadi musuh atas sebagian yang lainnya. Maka bila datang petunjuk-Ku kepada kalian, dia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Dan barangsiapa yang berpaling dari mengingat Aku, maka sesungguhnya baginya kehidupan yang sempit dan Kami bangkitkan dia di hari kiamat sebagai orang buta.” (Thaha 121 – 124).

Adam dan Hawwa’ diusir dari surga setelah terjadinya pelanggaran itu dan keduanya diturunkan ke bumi bersama dengan iblis dan ular yang mengantarkan iblis ke dalam surga. Tetapi Adam dan Hawwa’ diusir dari surga dan diturunkan ke bumi dalam keadaan dipilih oleh Allah Ta`ala sebagai hamba-Nya yang bertaubat dari kemaksiatannya dan Allah mengampuni keduanya dan menunjuki keduanya ke jalan yang diridlai-Nya. Sedangkan iblis dan ular diturunkan oleh Allah ke bumi dengan kutukan-Nya. Akibat kutukan-Nya, ular dihilangkan keempat kakinya yang menyebabkan dia harus berjalan dengan bergeser di atas bumi. Dalam peristiwa pengusiran Adam dan Hawwa dari surga dan diturunkan semuanya (baik Adam dan Hawwa’ maupun iblis dan ular) ke bumi, Allah Ta`ala menyatakan: “Sebagian dari kalian menjadi musuh atas sebagian yang lainnya.” Artinya, Adam dan Hawwa’ dan segenap anak turunannya menjadi musuh bagi iblis dan ular dan segenap anak turunannya. Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Imam At-Thabari dalam Tafsirnya dari keterangan Ibnu Abbas radliyallahu `anhuma. Kemudian setelah beliau membawakan riwayat-riwayat tersebut, beliau menambahkan:

“Bila ditanyakan: Apa bentuk permusuhan antara Adam dan istrinya terhadap iblis dan ular? Jawabannya adalah: Adapun permusuhan iblis terhadap Adam dan turunannya, ialah kedengkiannya terhadap Adam dan penolakannya untuk mentaati Allah ketika Allah memerintahkan kepadanya agar bersujud kepada Adam seraya mengatakan kepada Allah: Aku lebih baik daripadanya, karena engkau menciptakan aku dari api dan engkau menciptakannya dari tanah liat (surat Shad 76). Adapun permusuhan Adam dan anak keturunannya terhadap iblis, adalah permusuhan kaum Mu’minin terhadap iblis karena kekafirannya kepada Allah dan kedurhakaannya terhadap Tuhannya dalam bentuk penolakannya dan pembangkangannya terhadap perintah-Nya. Dan sikap permusuhan Adam dan anak turunannya yang mu’min terhadap iblis adalah sebagai sikap dhahir keimanan mereka kepada Allah. Adapun sikap permusuhan iblis terhadap Adam adalah sikap dhahir kekafiran iblis terhadap Allah.

Sedangkan permusuhan antara Adam dan anak turunannya terhadap ular, maka hal ini telah kami sebutkan adanya riwayat dari Ibni Abbas dan Wahhab bin Munabbah. Riwayat-riwayat tersebut menerangkan permusuhan itu. Sebagaimana juga yang telah diriwayatkan dari sabda Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam bahwa beliau bersabda: (artinya) “Kita tidak akan membiarkan ular itu sejak kita memeranginya. Maka barangsiapa tidak membunuhnya ketika menemuinya karena takut pembalasannya, maka sungguh dia bukan dari golongan kami.” Demikian At-Thabari menerangkannya dalam Tafsir beliau jilid 1 halaman 278.

Dikisahkan pula dalam beberapa riwayat, seberapa lama Adam dan Hawwa’ tinggal di surga sejak ditempatkan padanya oleh Allah Ta`ala sampai diusir daripadanya untuk diturunkan ke dunia. Al-Imam Abul Fida’ Ibnu Katsir rahimahullah dalam kitab beliau Al-Bidayah wan Nihayah jilid 1 halaman 74 membawakan beberapa riwayat sebagai berikut:
Diriwayatkan dalam Shahih Muslim bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam bersabda: 

(hadits1)

Sebaik-baik hari yang matahari terbit padanya adalah hari Jum’at. Pada hari itu Adam diciptakan oleh Allah, dan pada hari itu pula dia dimasukkan ke surga. Juga pada hari itu dia dikeluarkan dari surga.” (HR. Muslim dalam Shahihnya Kitabul Jum’ah bab Shalatul Jum’ah wa ma Yata`allaqu biha min Ahkam, hadits ke 854 / 18 dari Abu Hurairah radliyallahu `anhu)

Dan dalam Shahih Al-Bukhari disebutkan pula sabda Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam yang menyatakan: “Dan pada hari Jumat pula terjadinya hari kiamat.”
Adapun pengertian bahwa Adam masuk surga pada hari Jumat dan dikeluarkan darinya pada hari itu juga ialah sebagaimana yang diterangkan oleh Al-Imam At-Thabari dalam Tarikhnya (jilid 1 hal. 118 – 120) bahwa Adam dan Hawwa’ ditempatkan di surga pada hari Jumat yang sehari waktu itu ukurannya dengan hari yang ada di dunia ini ialah seribu tahun. Jadi sejam di hari itu ukurannya ialah delapan puluh tiga tahun dengan hari yang ada di dunia ini. Sedangkan dalam beberapa riwayat diberitakan bahwa Adam diciptakan sesaat menjelang waktu petang. Kemudian di hari itu juga, dia ditempatkan di surga dan Hawwa’ juga diciptakan setelahnya masih di hari itu. Dia dikeluarkan dari surga untuk diturunkan ke bumi juga di hari itu. Yakni keduanya tinggal di surga Firdaus, hanya setengah jam menurut hitungan waktu di sisi Allah Ta`ala atau empat puluh tiga tahun empat bulan dalam ukuran waktu di dunia. Demikian saya ringkaskan dari keterangan Al-Imam At-Thabari dalam Tarikhnya. 

Selanjutnya berkenaan dengan tempat pertama kalinya Adam, Hawwa’, iblis dan ular di bumi ini, ialah sebagaimana yang diterangkan oleh Al-Imam At-Thabari dalam Tarikhnya (jilid 1 hal. 121 – 126), bahwa Mujahid meriwayatkan keterangan Abdullah bin Abbas bin Abdul Mutthalib yang mengatakan: “Adam diturunkan ketika turun ke bumi di negeri India.” Abu Shalih meriwayatkan juga dari Ibnu Abbas yang menerangkan bahwa Hawwa’ diturunkan di Jeddah yang merupakan bagian dari Makkah. Kemudian dalam riwayat lain At-Thabari meriwayatkan lagi bahwa iblis diturunkan di negeri Maisan, yaitu negeri yang terletak antara Basrah dengan Wasith. Sedangkan ular diturunkan di negeri Asbahan (Iran)

Demikianlah Allah Ta`ala memulai kehidupan Adam dan Hawwa’ di dunia setelah keduanya diusir dari surga. Perpisahan dan perjumpaan adalah satu kemestian dalam kehidupan di dunia ini sebagaimana terpisahnya Adam dari Hawwa’ ketika diturunkan di dunia. Dan juga satu kemestian pula dalam kehidupan di dunia ini, bahwa hidup itu harus berlaga menghadapi musuh-musuh. Karena di samping keduanya diturunkan di dunia ini, juga diturunkan pula iblis dan ular sebagai kedua musuh anak manusia sampai hari kiamat

(B E R S A M B U N G)
Al Ustadz Ja’far Umar Thali

Friday, April 13, 2007

Hukum Hijab Wanita Muslim dg Wanita Lainnya

Assalamu’alaikum warohmatullohi wabarokatuhu,
Dari Fatwa-fatwa Tentang Wanita Jilid 3, Darul Haq.


Hukum Hijab Wanita Muslimah di Hadapan Wanita Kafir (hal 45)

Syaikh Ibnu Baz ditanya: Apa saja yang boleh ditampakkan oleh wanita muslimah di hadapan wanita kafir, seperti beragam hindu? Benarkah tidak diperbolehkan baginya menampakkan kecuali wajahnya saja?
Jawab:

Yang benar adalah yang boleh ditampakkan wanita di hadapan wanita, baik itu wanita kafir atau muslimah, adalah apa yang ada di atas pusarnya dan apa yang ada di bawah lututnya. Adapun apa yang ada di antara pusar dan lututnya adalah aurat di hadapan orang lain. tIdak boleh seorang wanita menampakkannya di hadapan wanita lain, baik ia muslimah atau bukan, kerabat atau bukan, seperti aurat laki-laki di hadapan laki-laki lainnya. Wanita boleh melihat dada wanita lain, kepalanya, betisnya dan lain sebagainya, dan laki-laki boleh melihat dada laki-laki, kepalanya, betisnya dan sebagainya. Sedangkan pendapat yang menyatakan bahwa wanita kafir tidak boleh melihat wajah wanita muslimah adalah pendapat yang lemah, sebab para wanita yahudi dan penyembah berhala pada masa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam mendatangi istri-istri Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam untuk suatu keperluan, dan tidak ada riwayat yang menunjukkan bahwa istri-istri Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam berhijab dari wanita-wanita kafir tersebut, sedangkan mereka adalah wanita yang paling bertaqwa dan yang paling utama. (Majallatul Buhuts Al-Islamiyah, 33/113)

Aurat Wanita Bagi Wanita Lain (hal 232)

Syaikh Shalih Al Fauzan ditanya: Banyak wanita yang menyebutkan bahwa aurat wanita di hadapan wanita lainnya adalah antara pusar sampai ke lutut, sehingga sebagian dari mereka tidak segan untuk mengenakan pakaian yang sempit sekali atau yang terbuka yang menampakkan sebagian besar dadanya dan tangannya. Bagaimana komentar anda?

Jawab:

Diwajibkan bagi setiap muslimah untuk mempunyai rasa malu dan menjadi tauladan yang baik bagi saudara-saudaranya sesama wanita, dengan tidak membuka tubuhnya di hadapan wanita lainnya kecuali membuka bagian yang telah menjadi kebiasaan bagi wanita muslimat yang taat di hadapan wanita-wanita lain. Inilah yang diutamakan dan lebih selamat, karena meremehkan masalah membuka bagian tubuh tanpa adanya kebutuhan untuk membukanya bisa menjadikannya meremehkan dan menjadikannya membuka wajah yang diharamkan.

Wallahua’lam. (Al-Muntaqa min Fatwasy Syaikh Shalih Al-Fauzan, juz 3 hal. 307)

Hukum menampakkan Rambut di Hadapan Wanita Non Muslimah (hal 238)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya: Bolehkah wanita membuka rambutnya di hadapan wanita-wanita non muslimah, sedangkan mereka menceritakan kondisinya kepada kerabat laki-laki mereka yang juga bukan muslim?

Jawab:

Pertanyaan ini berdasar pada perselisihan para ulama tentang penafsiran firman Allah, Artinya: ” Dan katakanlah kepada wanita yang beriman,’Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. 

Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara-saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita’ .” (An-Nur:31)

Kata ganti dalam ayat “atau wanita-wanita” para ulama berselisih pendapat tentangnya. Sebagian menafsirkan sebagai Al-Jins, yang maksudnya adalah jenis wanita secara umum. Ada yang menafsirkannya dengan Al-Wasfu (sifat), yaitu hanya wanita-wanita yang beriman saja.
 
Menurut pendapat pertama, diperbolehkan bagi wanita untuk menampakkan rambutnya dan wajahnya di hadapan para wanita kafir dan tidak diperbolehkan menurut pendapat kedua. Kami cenderung memilih pandangan pertama, karena lebih mendekati kepada kebenaran. Karena seluruh wanita itu sama, tidak berbeda antar kafir dan muslimah, apabila tidak dihawatirkan akan menimbulkan fitnah. Adapaun apabila dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah, misalnya wanita yang melihat akan memberitahukan kondisinya kepada kerabat laki-lakinya, maka kekhawatiran akan timbulnya fitnah lebih didahulukan, dan tidak diperbolehkan bagi wanita untuk menampakkan sesuatu dari tubuhnya, semisal badannya, kedua kakinya, rambutnya dan lainnya di hadapan wanita lain, baik itu muslimah atau non muslimah. (Fatawal Mar’ah, 1/73)

Wassalamu’alaikum warohmatullohi wabarokatuhu

Monday, April 9, 2007

Adam ‘alayhissalam Manusia Pertama

Al Ustadz Ja’far Umar Thalib

Allah Ta`ala azali dan abadi, tidak berpermulaan dan tidak pula berakhiran. Dia Al-Khaliq (Maha Pencipta segenap makhluk-Nya) dan Dia adalah Al-Hafidl (Maha Pemelihara segenap jagat raya) dan Dia juga Al-Maalik (memiliki dengan mutlak segenap alam). Dan Dia pula Al-Qahir (segala kehendak-Nya pasti terlaksana dan tidak ada yang mampu menghalangi kehendak-Nya). Semua itu adalah sifat rububiyah Allah dan karena itu dalam pengertian Tauhid Rububiyah dinyatakan bahwa Allah sajalah satu-satunya Dzat yang memiliki sifat-sifat tersebut di atas. Konsekwensi keyakinan tersebut ialah Tauhid Uluhiyah, yaitu keyakinan bahwa Allah sajalah yang berhak diibadahi dengan cara peribadatan yang Dia kehendaki sebagaimana yang diajarkan oleh Rasul-Nya.

Dalam rangka mengenali Rububiyah Allah, kita dituntunkan untuk mempelajari dan mengamati makhluk Allah Ta`ala dengan segala keunikannya yang menakjubkan. Allah Ta`ala berfirman:

(ayat)

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, serta berselang-selingnya malam dan siang, bahtera yang mengarungi lautan untuk kegunaan bagi manusia, dan hujan yang Allah turunkan dari langit sehingga Dia menghidupkan dengannya tetumbuhan di bumi setelah sebelumnya dalam keadaan tidak bisa tumbuh karena kekeringan, dan dengan air hujan itu pula Allah tebarkan di bumi berbagai jenis makhluk melata. Juga dalam pengaturan peredaran angin dan mendung yang Allah atur pergerakannya di antara langit dan bumi, semua itu sungguh adalah sebagai pertanda kebesaran Rububiyah Allah bagi kaum yang berakal.” (Al-Baqarah: 164).

Juga Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda:

(hadits1)

Dari Abdullah bin Salam, dia menyatakan: Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah kalian berfikir tentang Allah, tetapi berfikirlah tentang makhluk Allah.” (HR. Abu Nu`aim Al-Asfahani dalam Hilyahnya jilid 6 halaman 66 – 67).

SEJARAH PENCIPTAAN JAGAT RAYA

Termasuk upaya mempelajari makhluk Allah dalam rangka mengenali Rububiyah-Nya, adalah mempelajari sejarah penciptaan langit dan bumi serta isinya. Dan dalam pembicaraan tentang sejarah penciptaan alam semesta ini, Allah dan Rasul-Nya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah menceritakannya untuk kita semakin yakin dengan maha sempurnanya Rububiyah Allah, sebagai berikut:

1). Allah Ta`ala azali, ada sebelum adanya segala makhluk. Hal ini sebagaimana yang diberitakan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam dalam riwayat berikut ini:

(hadits 2)

Dari Abi Razin Al-Uqaili, dia menceritakan: Aku pernah bertanya kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah, di manakah Tuhan kita sebelum terciptanya langit dan bumi?” Beliau menjawab: “Dia berada di Ama’, yaitu posisi yang tidak ada di atasnya hawa dan tidak pula di bawahnya hawa.” (HR. At-Tirmidzi dalam Sunannya hadits ke 3109 dan beliau menyatakan bahwa hadits ini adalah hasan. Juga hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Ashim dalam As-Sunnah jilid. 1 hal. 419 hadits ke 625. Yazid bin Harun (beliau adalah salah seorang Imam Ahli Hadits di kalangan Ta’biin) menyatakan: “Al-Ama’ itu maknanya ialah bahwa Dia Allah tidak bersama apapun.”

2). Allah Ta`ala menciptakan Arsy dan padanya terdapat Kursi-Nya sebagai makhluk-makhluk-Nya yang pertama kali sebelum menciptakan makhluk yang lainnya. Hal ini diberitakan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam dalam menjawab pertanyaan Abi Razin Al-Uqaili tentang di mana Allah ketika sebelum menciptakan segenap makhluk-Nya. Beliau menjawab:

(hadits 3)

“Dia Allah berada di Ama’ tidak ada hawa di bawah-Nya dan tidak ada pula hawa di atas-Nya, kemudian Dia menciptakan Arsy-Nya dan diletakkan di atas air.” (HR. Ahmad dalam Musnadnya jld. 4 hal. 11)

Arsy Allah itu adalah makhluk yang terbesar, dan Ibnu Abbas radliyallahu `anhuma menerangkan bahwa Arsy itu adalah makhluk Allah yang tertinggi tempatnya (Riwayat. Ibnu Abi Hatim dalam Tafsirnya jilid 6 hal. 2005 riwayat ke 10701). Ibnu Abi Hatim meriwayatkan juga dalam tafsirnya dengan sanadnya, keterangan Imam dari kalangan Tabi`in bernama Sa`ad Abu Mujahid At-Tha`i bahwa Arsy Allah itu diciptakan dari mutiara berwarna merah. Wahab bin Munabbah (juga Imam dari kalangan Tabi`in) menerangkan bawa Allah menciptakan Arsy-Nya dari cahaya-Nya.

Dalam riwayat Ibnu Hibban dari Abu Dzar, bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam menyatakan kepadanya: “Wahai Abu Dzar, langit yang tujuh dibandingkan dengan Kursi Allah adalah seperti gelang tangan yang diletakkan di padang pasir. Dan Arsy Allah dibandingkan dengan Kursi-Nya seperti padang pasir dibandingkan dengan gelang tangan itu.” Demikian disebutkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari jilid 13 hal. 411. Sa`id bin Mansur dalam Sunannya jilid 3 hal. 952 riwayat ke 425 meriwayatkan hadits ini dari Mujahid dalam bentuk omongan Mujahid dan bukan sabda Rasullullah shallallahu `alaihi wa sallam. Demikian pula Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dalam As-Sunnah hal.55 riwayat ke 268 meriwayatkan omongan Mujahid ini. Ibnu Hajar Al-Asqalani menshahihkan segenap riwayat tersebut.

3). Allah Ta`ala menciptakan Al-Qalam untuk menuliskan taqdir-Nya atas segala kejadian di jagat raya ini sampai hari kiamat. Hal ini telah diberitakan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam dalam sabda beliau:

(hadits 4)

“Sesungguhnya yang pertama kali diciptakan oleh Allah adalah Al-Qalam. Maka Allah menyatakan kepadanya: ((Tulislah)). Maka berkatalah Al-Qalam itu: ((Wahai Tuhanku, apakah yang harus aku tulis?)) Maka berkatalah Allah kepadanya: ((Tulislah segenap taqdir segala kejadian sampai datangnya hari kiamat)).” (HR. Abu Dawud dalam Sunannya hadits ke 4700 dari Ubadah bin As-Shamit).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menerangkan: “Para Ulama’ Muslimin dari kalangan Shahabat Nabi, Tabi`in dan Ulama’ sesudah generasi mereka, telah memperbincangkan tentang apakah makhluk Allah yang pertama itu Arsy ataukah Al-Qalam. Al-Hafidh Abul Ala’ Al-Hamdani telah menerangkan bahwa para Ulama’ berselisih pendapat dalam dua pendapat. Yaitu, pendapat yang mengatakan bahwa makhluk pertama itu adalah Arsy. Pendapat kedua menyatakan bahwa makhluk pertama itu adalah Al-Qalam. Mereka menguatkan pendapat pertama (yaitu pendapat yang mengatakan bahwa Arsy adalah makhluk pertama), karena Al-Qur’an dan As-Sunnah menerangkan bahwasanya Arsy telah ada di atas air ketika Allah Ta`ala menentukan taqdir-Nya atas segenap makhluk-Nya dengan Al-Qalam yang Ia perintah untuk menuliskannya di lembaran penulisan taqdir-Nya. Maka dengan demikian, Arsy-Nya telah diciptakan lebih dulu sebelum Al-Qalam. Para Ulama’ itu menerangkan tentang hadits yang mengatakan bahwa makhluk yang pertama kali diciptakan adalah Al-Qalam, maknanya ialah bahwa Al-Qalam itu adalah makhluk yang diciptakan terlebih dahulu sebelum penciptaan langit dan bumi dari alam raya ini. Dan sungguh Allah Ta`ala telah memberitakan bahwa Dia menciptakan langit dan bumi ini dalam tempo enam hari.” (Daqa’iqut Tafsir, Ibnu Taimiyah, juz 3 / 4, hal. 228).

Adapun keterangan dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang menegaskan bahwa Arsy adalah makhluk Allah yang pertama ialah firman Allah dalam surat Hud ayat ke 7 sebagaimana telah tercantum di atas yang dipahami oleh para Imam dari kalangan Tabi`in bahwa Arsy yang berada di atas air itu diciptakan oleh Allah, sebelum Dia menciptakan makhluk apa pun. Para Imam Tabi`in yang memahami demikian ialah Mujahid bin Jabir Al-Makki, Wahab bin Munabbah, Dhamrah bin Habib bin Shuhaib Az-Zubaidi, Qatadah bin Di`amah As-Sadusi dan lain-lainnya. Adapun dalil dari As-Sunnah bagi para Ulama’ yang meyakini bahwa Arsy itu adalah makhluk yang pertama kali diciptakan, ialah antara lain sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Shahihnya dari Imran bin Hushain, bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda:

(hadits 5)

Allah telah ada sebelum ada apapun yang selain-Nya. Dan (setelah itu) terjadilah Arsy-Nya yang diletakkan di atas air. Dan (setelah itu) Allah menuliskan (melalui Al-Qalam) dalam kitab taqdir-Nya segala sesuatu yang akan terjadi, dan (setelah itu) Allah menciptakan segenap langit dan bumi.” (HR. Bukhari dalam Shahihnya, Kitab Bad’ul Khalqi hadits ke 3191. Dan diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya jilid 4 hal. 431. Juga diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahihnya, Kitabul Qadar hadits ke 6690, dari Abdullah bin Amr bin Al-`Ash dengan lafadh yang agak berbeda).

Adapun para Shahabat Nabi shallallahu `alaihi wa sallam yang berpendapat demikian adalah Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, Abu Razin Al-Uqaili dan lain-lainnya. Demikian Ibnu Katsir menerangkan dalam Al-Bidayah wan Nihayahnya juz 1 hal. 7.

4). Allah Ta`ala setelah menciptakan air, kemudian Arsy, dan meletakkan Arsy-Nya di atas air. Kemudian menciptakan Al-Qalam yang diperintah oleh-Nya untuk menuliskan di Al-Lauhil Mahfudh (yakni kitab lembaran taqdir tentang segala kejadian yang telah ditaqdirkan-Nya sampai hari kiamat). Kemudian setelah itu Allah menciptakan zaman atau peredaran waktu. Hal ini diberitakan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi sallam dalam sabdanya berikut ini:

(hadits 6)

“Zaman telah beredar seperti keadaannya, di hari diciptakannya langit dan bumi, (peredaran zaman itu ialah) setahun dibagi dalam dua belas bulan, daripadanya ada empat bulan-bulan haram…………….” (HR. Bukhari dalam Shahihnya, Kitabul Maghazi, Bab Hajjatil Wada’, hadits ke 4406, dari Abi Bakrah).

Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah menerangkan makna hadits ini:
“Maka dengan demikian, telah diketahui bahwa zaman itu telah ada lebih dahulu sebelum Allah menciptakan matahari dan bulan, juga sebelum Allah menciptakan malam dan siang.” (Daqaikut Tafsir 3 / 4 hal. 228).

5). Allah menciptakan bumi, kemudian menciptakan langit yang tujuh dan segenap isi langit dan bumi itu. Hal ini telah diterangkan oleh Allah Ta`ala dalam firman-Nya di surat Fusshilat 9 - 12 (artinya): “Katakanlah: Apakah kalian memang mengingkari Yang Menciptakan bumi dalam tempo dua hari dan kalian jadikan bagi-Nya sekutu. Pencipta itu adalah Tuhan bagi sekalian alam. Dan Kemudian Allah jadikan diatas permukaan bumi itu gunung-gunung dan kemudian Allah berkahi bumi itu sehingga menumbuhkan berbagai jenis tetumbuhan, air dan hewan untuk ditentukan menjadi makanan bagi penghuni bumi dan Allah lengkapi semua itu dalam empat hari (yakni dua hari penciptaan bumi dan dua hari melengkapi fasilitas hidup padanya, sehingga selama empat hari itu,jadilah seluruh proses penciptaan bumi untuk layak hidup padanya). Penjelasan ini sebagai jawaban bagi orang yang bertanya tentangnya. Setelah itu Allah menuju ke atas untuk menciptakan langit yang waktu itu dalam keadaan sebagai asap dan dikatakan kepadanya dan kepada bumi, datanglah kalian berdua dalam keadaan taat atau dalam keadaan terpaksa. Maka berkatalah keduanya Bahkan kami datang memenuhi panggilan-Mu dalam keadaan taat. Maka Allah ciptakan langit itu menjadi tujuh lapis dalam dua hari dan Allah tentukan segala kekuatan berdirinya dan segenap penghuni bagi setiap langit itu. Dan Kami hiasi langit yang paling dekat bumi dengan lentera-lentera (yaitu bintang-bintang yang bersinar) dan penjaga (yaitu menjaga langit dari Syaithan yang ingin mencuri berita dari langit). Demikian itu, adalah ketentuan dari yang Maha Mulia dan Maha Mengetahui.”

Dengan telah diciptakannya matahari dan bulan, maka zaman itu mulai dihitung dengan peristiwa tenggelam dan terbitnya matahari dan bulan. Dihitung dengan pergantian malam dan siang. Adapun zaman sebelum terciptanya langit dan bumi, penghitungannya di sisi Allah seperti yang diterangkan oleh-Nya:

(ayat)

“Dan sesungguhnya sehari di sisi Tuhanmu, adalah seperti seribu tahun dari perhitungan kalian.” (Al-Hajj: 47).

Dengan ayat ini, Ibnu Abbas dan lain-lainnya meyakini bahwa penciptaan langit dan bumi itu dalam enam hari ialah hari dalam perhitungan di sisi Allah dan bukan hari dalam perhitungan kita. Yakni enam hari itu maknanya ialah enam ribu tahun. (lihat Tafsir Ibnu Katsir tentang surat Al-Hajj 47).

DICIPTAKANNYA ADAM ALAIHIS SALAM

Allah Ta`ala telah menciptakan segenap makhluk-Nya dengan proses penciptaan yang telah diberitakan oleh-Nya dan Rasul-Nya dalam uraian di atas. Juga Allah telah menciptakan para malaikat-Nya dari cahaya dan menciptakan pula para jin dari api. Allah menciptakan surga dan neraka sebelumnya dan ditaqdirkan pula siapa-siapa yang akan masuk kepada keduanya. Kemudian Allah tempatkan para malaikat-Nya di tempat tugas masing-masing baik di langit maupun di bumi. Juga Allah tentukan penempatan jin di bumi dan ditempatkan pula dari kalangan mereka, iblis (namanya sebelum dikutuk oleh Allah adalah `Azazil) di surga Allah. Maka dengan demikian, telah lengkaplah alam raya ini dengan kehidupan, dan Allah berada di atas ArsyNya. Semua makhluk Allah itu bertasbih dan bertahmid, memuji dan menyanjung-Nya dan menyatakan sujud dan ruku’ kepada-Nya serta mengikrarkan Maha Sucinya Allah dari segala sifat kekurangan dan kerendahan. Ramailah alam ini dengan ibadah, tasbih, tahmid, takbir, dan doa kepada Allah Yang Maha Mulia. Semuanya mengakui keAgungan dan keBesaran Allah, dan Ia berada di atas seluruh makhluk-Nya, bahkan di atas makhluk-Nya yang paling tinggi yaitu Arsy dan Kursi-Nya. Hal ini diberitakan oleh Allah Ta`ala dalam firman-Nya:

(ayat)

Bertasbih kepada-Nya langit yang tujuh dan bumi serta segenap isinya. Dan segala makhluk bertasbih dan bertahmid kepada-Nya, akan tetapi kalian tidak mengerti cara tasbih mereka. Sesungguhnya Dia Maha Penyabar dan Maha Pengampun.” (Al-Isra’: 44).

Tetapi kemudian muncul fitnah yang terjadi di antara para jin penduduk bumi. Sehingga terjadilah perbuatan saling membunuh di antara mereka dan dengan demikian terjadilah pertumpahan darah dan kerusakan di muka bumi. Maka Allah mengutus para malaikat-Nya yang dipimpin oleh `Azazil untuk menghukum mereka dan kemudian menempatkan mereka di puncak-puncak gunung dan di pulau-pulau yang diliputi lautan. Dengan keberhasilannya memimpin pasukan malaikat untuk menghukum para jin itu, muncullah di hati pimpinan tersebut perasaan besar diri (sombong). Sehingga Allah ingin memunculkan kesombongan di hatinya itu dengan pengumuman-Nya akan menciptakan penduduk bumi yang baru bernama Al-Insan. Demikian diceritakan oleh Al-Imam Ibnu Jarir At-Thabari dalam Tarikhnya jilid 1 / 85 - 88 dari Ibnu Abbas, `Amr bin Hammad, Sa`id bin Al-Musayyib, Syahr bin Hausyab dan lain-lainnya. Ibnu Atsir dalam Al-Kamil fit Tarikh jilid 1 halaman 26 menguatkan pendapat Ibnu Abbas yang tersebut di atas.

Selanjutnya Ibnu Jarir At-Thabari membawakan beberapa riwayat dengan sanadnya dari Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud dan para shahabat Nabi yang lainnya yang menceritakan bahwa Allah Ta`ala memerintahkan malaikat-Nya untuk mengambil tanah liat dari bumi dari berbagai jenis tanah yang ada di bumi. Kemudian dicampurkanlah berbagai jenis tanah itu dan Allah dengan Tangan-Nya sendiri Yang Maha Mulia membentuk Adam. Setelah itu tanah liat dalam bentuk manusia tersebut dibiarkan sehingga berbau busuk dan akhirnya mengering. Di dalam Al-Qur’an diceritakan oleh Allah Ta`ala bahwa Dia menciptakan Adam dari tanah liat, sebagaimana pernyataan iblis kepada-Nya:

(ayat)

“Apakah aku akan sujud kepada makhluk yang Engkau ciptakan dari tanah liat?” (Al-Isra’: 61).

Kemudian tanah liat itu menjadi tanah yang berbau:

(ayat)

“Dan sungguh Kami ciptakan manusia itu dari tanah kering yang semula adalah sebagai tanah liat basah yang berbau.” (Al-Hijr: 26).

Kemudian jadilah ia tanah liat yang telah kering dan berbunyi bila dipukul:

(ayat)

“Dia Allah telah menciptakan manusia dari tanah liat kering, sehingga karena keringnya jadilah ia seperti tembikar (yakni tanah liat yang telah masak karena dipanggang di api).” (Ar-Rahman: 14).

Dan setelah itu Allah meniupkan ruh padanya sehingga jadilah ia hidup dan tanda kehidupannya yang pertama adalah ketika dia bersin. Maka para malaikat Allah menyatakan kepada manusia pertama yang baru hidup ini: “Katakan Alhamdulillah dengan bersinmu,” maka dia pun mengucapkan Alamdulillah. Dan Allah menyatakan kepadanya: “Rahmat Tuhanmu terlimpah padamu.” Dan mulailah Adam hidup dan para malaikat Allah diperintahkan oleh-Nya untuk sujud menghormat padanya. (Tarikh At-Thabari jilid 1 hal. 94).

(B E R S A M B U N G)

DAFTAR PUSTAKA:
1). Al-Qur’an Al-Karim.
2). Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Qur’an (Tafsir At-Thabari), Al-Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir At-Thabari, Darul Kutub Al Ilmiyah, Beirut – Libanon, cet. th. 1412 H / 1992 M.
3). Tafsirul Qur’anil Adzim, Abdurrahman bin Muhammad bin Idris Ar-Razi Ibnu Abi Hatim, Maktabah Nizar Musthafa Al-Baaz, Makkatul Mukarramah, cet. th. 1419 H / 1999 M.
4). Tafsirul Qur’anil Adzim, Abul Fida’ Isma’il bin Katsir Al-Qurasyi Ad-Dimasyqi, Maktabah Musthafa Muhammad, Mesir, cet. th. 1356 H / 1937 M.
5). Daqa’iqut Tafsir, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Darul Qiblah Lits Tsaqafah Al-Islamiyah, Jeddah – Saudi Arabia, cet. th. 1406 H / 1986 M.
6). Musnadul Imam Ahmad, Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, tanpa penerbit, tanpa tahun.
7). Fathul Bari Syarah Shahih Al-Bukhari, Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani, Al-Maktabah As-Salafiyah, tanpa tahun.
8). Shahih Muslim bi Syarah An-Nawawi, Darul Khair Damaskus – Beirut, cet. th. 1414 H / 1994 M.
9). Sunan Abi Dawud, Abu Dawud Sulaiman bin Al-Asy’ats As-Sijistani Al-Azadi, Darur Rayyan Lit Turats, cet. th. 1408 H / 1988 M.
10). Sunan At-Tirmidzi, Abu Isa Muhammad bin Isa bin Surah At-Tirmidzi, Darul Kutub Al-Ilmiyah, Beirut – Libanon, cet. th. 1356 H / 1937 M.
11). Hilyatul Auliya’, Abu Nu’aim Ahmad bin Abdullah Al-Ashfahani, Darul Fikr, Beirut – Libanon, cet. th. 1416 H / 1996 M.
12). As-Sunnah, Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, Darul Kutub Al Ilmiyah, Beirut – Libanon, cet. th. 1414 H / 1994 M.
13). As-Sunnah, Abu Bakr Ahmad bin Amr Ibnu Abi Syaibah, Darus Shumai’ie, Ar-Riyadl – Saudi Arabia, cet. th. 1419 H / 1998 M.
14). Tarikhul Umam wal Muluk (Tarikh At-Thabari), Abu Ja’far Muhammad bin Jarir At-Thabari, Rawa’i’ At-Turats Al-Arabi, Beirut – Libanon, tanpa tahun.
15). Al-Kami Fit Tarikh, Abil Hasan bin Abil Karam Muhammad bin Muhammad bin Abdul Karim bin Abdul Wahid As-Syaibani Ibnul Atsir, Darul Fikr, Beirut – Libanon, tanpa tahun.
16). Al-Bidayah wan Nihayah, Abul Fida’ Ismai’il bin Katsir Al-Qurasyi Ad-Dimasyqi, Darul Kutub Al-Ilmiyah, Beirut – Libanon, cet. th. 1408 H / 1988 M.