Friday, October 30, 2009

Menguatkan Penantian

Hari-hari ini nyatanya bukan hanya sekedar usaha saja sebagai sebuah pemenuh kepuasan, hari-hari ini bukan saja sebuah doa menjadi perubah segala keadaan tertentu menjadi tentu, tetapi hari-hari ini adalah hari dimana seseorang membuat penahan atas dirinya tanpa tergesa dalam mencapai apa yang dimau. Tiap detak perjalanan menyibakkan sebuah penantian untuk sebuah pencapaian atas hasil pencitaan.

Ada kekuatan besar sejatinya dibalik nilai-nilai penantian. Penantian yang tentunya memiliki sebuah usaha untuk menggapainya. Bukan sekedar penantian tanpa batasan waktu jelas, ataukah penantian yang semakin membebankan, atau pun penantian dengan api emosi terpendam. Penantian adalah sebuah keindahan. Bukankah tidak semua hal yang diinginkan pun terkadang membuat seseorang menunggu hasilnya. Dan Allah sebagai Maha Pemberi pastinya mengetahui kapan waktu hasil tersebut mesti diberikan kepada hambanya. Dan Allah pun Maha Melihat dari tiap usaha hambanya. Penantian dari sebuah usaha agar mendapatkan hasil yang paripurna. Bukankah pula ada memang mereka-mereka yang mencintai dan serius menikmati indahnya.

Sebuah ucapan indah seorang Ibnu Jauzi soal penantian, ya penantian atas sebuah usaha pertobatan dengan harap doa terkabulkan, “Aku ingin beribadah dengan doa dan aku juga yakin suatu saat, doaku pasti dikabulkan. Hanya saja, mungkin tidak sekarang dikabulkan, demi kemaslahatanku yang akan datang pada waktunya nanti. Dan jika tidak dikabulkan pun, aku sudah beruntung bisa beribadah dan menyerahkan diri kepada Allah.” Begitulah penantian, selalu ada saja hikmah yang mengiringinya. Bisa jadi apabila tidak menanti, kita mendapatkan hasil yang ternyata lebih banyak madharatnya. Nikmatilah penantian jangan tergesa memaksakan tanpa perkiraan. Sebagaimana Jundub bin Junadah radhiyallahu ‘anhu diantara dakwahnya pada Bani Ghifar dan Bani Aslam.

Penantian Bani Ghifar dan Aslam

Termasuk juga generasi pertama yang masuk Islam adalah Abu Dzar Al-Ghifari. Dia adalah seorang dari Arab gunung (Badui) yang manis tutur katanya dan fasih (demikianlah keistimewaan orang-orang Badui dalam segi bahasa mereka sangat fasih, pen).

Ketika dia mendengar diutusnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, dia menyuruh saudaranya: “Naikilah kendaraanmu ke lembah ini dan beritahu aku tentang berita orang yang mengaku nabi dan datang kepadanya berita dari langit! Dengarlah ucapannya, dan bawalah kemari.” Maka berangkatlah ia sampai datang ke Makkah. Di sana ia mendengar ucapan Rasul shallallahu alaihi wa sallam, kemudian kembali kepada Abu Dzar dan berkata: “Aku melihat dia menyuruh agar kita berakhlak yang mulia dan dia mengucapkan ucapan yang bukan sya’ir.”

Abu Dzar berkata: “Engkau tidak mencukupi apa yang aku inginkan.” Kemudian dia mempersiapkan bekalnya, membawa tempat airnya dan berangkatlah beliau ke Makkah. Beliau mendatangi masjid dan mencari-cari Nabi shallallahu alaihi wa sallam (dalam keadaan tidak mengenalinya). Tapi dia tidak suka untuk bertanya tentangnya, karena dia mengetahui kebencian Quraisy kepada setiap orang yang berhubungan dengan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.

Ketika datang waktu malam, Ali radhiallahu anhu melihat dia. Maka tahulah Ali radhiallahu anhu bahwa dia orang asing. Diajaknya dia sebagai tamunya di rumahnya. Ali tidak bertanya tentang sesuatu (tujuan atau keperluan) satu sama lain sesuai dengan kaidah dalam menghormati tamu di kalangan Arab, yaitu tidak bertanya tentang tujuan dan maksud kedatangannya, kecuali setelah tiga hari.

Pada pagi harinya, kembali dia membawa tempat air dan bekalnya ke masjid sampai habis hari itu dan dia belum melihat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Maka ketika petang hari, dia kembali ke pembaringannya di masjid. Kemudian Ali melewatinya dan berkata: “Bukankah sudah waktunya seorang untuk mengetahui rumah yang kemarin dia diterima sebagai tamunya?” Maka dibangunkannya kemudian pergi bersamanya, juga tak saling bertanya satu sama lainnya. Pada hari yang ketiga, kembali dia seperti tadi, maka Ali berkata kepadanya: “Tidaklah engkau mau mengabarkan kepadaku apa yang menyebabkan engkau datang kemari?” Dia berkata: “Kalau engkau mau memberikan janji kepadaku mau menunjukkan aku, akan kerjakan (menjawab).” Maka Ali memberikan janjinya dan dia mengabarkan. Ali berkata: “Sesungguhnya itu adalah haq. Dia adalah utusan Allah. Jika pagi hari nanti, ikutilah aku. Kalau aku melihat sesuatu yang aku khawatirkan atasmu aku berhenti, seakan-akan aku menuangkan air. Dan jika aku berjalan, ikutilah aku sampai engkau masuk ke tempat aku masuk.” Abu Dzar pun mengerjakan yang demikian. Dia berangkat mengikuti jejak Ali sampai masuk ke tempat Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan mendengarkan ucapannya. Di situ beliau masuk Islam dan berkatalah Nabi shallallahu alaihi wa sallam: “Pulanglah engkau ke kaummu dan khabarkanlah kepada mereka (tentang aku) sampai datang perintahku.” Dia berkata (Abu Dzar): “Demi yang jiwaku ada di tangan-Nya, aku akan menyeru dengannya di tengah-tengah mereka (kaum Quraisy).” Dia segera keluar hingga mendatangi masjid berseru dengan sekeras suaranya: “Asyhadu anla ilaha Illallah, wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah!” Maka bangkitlah kaum Quraisy dan memukulinya hingga ia terbaring. Abbas pun datang memarahi mereka dan mengucapkan: “Celaka kalian! Tidakkah kalian tahu bahwa dia dari suku Ghifar? Jalan perdagangan kalian ke Syam melewati mereka.” Abbas segera menolongnya dan menyelamatkannya dari mereka. Tetapi kembali Abu Dzar mengulanginya pada keesokan harinya dan kembali mereka memukulinya sampai Abbas datang kembali. (HR. Bukhari dalam Manaqibul Anshar dan Muslim dalam Fadha`il Shahabah), dan dalam riwayat lain berisi sambungan hadits tersebut yakni Rasulullah menyuruh Abu Dzar kembali ke kaumnya. Dan menunggu berita selanjutnya dari Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam. Hingga akhirnya suatu ketika Rasulullah berpapasan dengan jumlah orang banyak ketika perjalanan safar. Menemukan sebagian besar Bani Ghifar dan Bani Aslam telah masuk Islam atas upaya Abu Dzar. Berkatalah Rasulullah, “Semoga Allah mengampuni Suku Ghifar, dan memberikan keselamatan atas Suku Aslam”

Mengindahkan Penantian

Indahnya sebuah penantian berakhir doa yang menjanjikan. Bukankah memang kita hidup hanya penuh dengan penantian sebagai sebuah jawaban pasti dari usaha yang tiap detak gerik dilakukan. Bukankah hari ini kita sama-sama menanti kematian? Dan kita mengetahui soal dahsyatnya hari-hari setelah kematian? Begitulah penantian. Tidak mesti selamanya menjenuhkan dan membosankan. Selagi upaya telah berjalan, maka biarkanlah penantian mengisi selang jawaban untuk mengakhiri hasilnya pada tabung keputusan. Ada kala tabung itu berisi sangat pelan, namun pasti akan penuh sekalipun waktunya berlama jalan. Bisa pula cepat terisi dengan sangat seiring tekanan yang kuat dari aliran hulunya menuju hilir tanpa sumbatan. Penantian, mengajarkan kita untuk lebih banyak sadar memupuk kesabaran.

Bukan penantian konyol yang disajikan para kaumnya Musa ‘alayhissalam,

Dan (Ingatlah) ketika Musa Berkata kepada kaumnya: “Hai kaumku, ingatlah nikmat Allah atasmu ketika dia mengangkat nabi nabi diantaramu, dan dijadikan-Nya kamu orang-orang merdeka, dan diberikan-Nya kepadamu apa yang belum pernah diberikan-Nya kepada seorangpun diantara umat-umat yang lain”. Musa berkata: “Hai kaumku, masuklah ke tanah Suci (Palestina) yang Telah ditentukan Allah bagimu, dan janganlah kamu lari kebelakang (karena takut kepada musuh), Maka kamu menjadi orang-orang yang merugi. Mereka berkata: “Hai Musa, Sesungguhnya dalam negeri itu ada orang-orang yang gagah Perkasa, Sesungguhnya kami sekali-kali tidak akan memasukinya sebelum mereka ke luar daripadanya. jika mereka ke luar daripadanya, pasti kami akan memasukinya”. Berkatalah dua orang diantara orang-orang yang takut (kepada Allah) yang Allah Telah memberi nikmat atas keduanya: “Serbulah mereka dengan melalui pintu gerbang (kota) itu, Maka bila kamu memasukinya niscaya kamu akan menang. dan Hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman”. Mereka berkata: “Hai Musa, kami sekali sekali tidak akan memasuki nya selama-lamanya, selagi mereka ada didalamnya, Karena itu pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, Sesungguhnya kami hanya duduk menanti disini saja”. Berkata Musa: “Ya Tuhanku, Aku tidak menguasai kecuali diriku sendiri dan saudaraku. sebab itu pisahkanlah antara kami dengan orang-orang yang fasik itu”. Allah berfirman: “(Jika demikian), Maka Sesungguhnya negeri itu diharamkan atas mereka selama empat puluh tahun, (selama itu) mereka akan berputar-putar kebingungan di bumi (padang Tiih) itu. Maka janganlah kamu bersedih hati (memikirkan nasib) orang-orang yang fasik itu.” (QS. Al_Maa’idah : 21-26).

Penantian terindah ialah saat mengerjakan apa yang dapat dilakukan dan terdekat dengan momentum termudah untuk dikejar, sebagaimana Ibnu Umar berkata disaat beliau usai mengucapkan hadits Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam, “Jadilah engkau di dunia ini seperti orang asing atau bahkan seperti orang yang sekedar lewat (musafir).” (HR. Al-Bukhari no. 6416), “Bila engkau berada di sore hati maka janganlah engkau menanti datangnya pagi. Sebaliknya bila engkau berada di pagi hari, janganlah menanti datangnya sore hari. Gunakanlah waktu sehatmu (untuk beramal ketaatan) sebelum datang sakitmu. Dan gunakan hidupmu (untuk beramal shalih) sebelum kematian menjemputmu.”

Maka janganlah bermurung durja dalam menanti, sebab demikian menyumbat hasil atas jawaban yang diingini. Akan tetapi hiasi momentum penantian dengan manfaat yang menyisakan penantian berikutnya. Agar ketika satu penantian terjawab memuaskan, maka telah ada usaha yang terserahkan untuk dinanti jawaban berikutnya. Berputar mengisi tanpa henti aliran deras penuh tekanan bernama ketawakalan.

Wallahu ‘Alam bi Shawwab

Akh Rizki Aji - Sobatmuda.com.
http://sobat-muda.com/content/view/137/1/