Wednesday, March 23, 2011

Dialog antara Mata dan Hati

Mata adalah sebagai penuntun, sementara hati sebagai pendorongnya dan pemberi perintah. Bagi mata memiliki kelezatan memandang, dan bagi hati memiliki kenikmatan pencapaian. Dalam kecenderungan cinta, keduanya merupakan sekutu dalam kasih sayang. Namun ketika keduanya mengalami kesulitan dan berkumpul dalam derita, maka keduanya justru saling berhadapan untuk mencela lawannya dan menyalahkannya.

Maka hati berkata kepada mata, “Engkaulah yang telah menyeret aku ke dalam jurang kebinasaan dan mengakibatkan penyesalan, karena aku mengikutimu dalam beberapa kejapan mata. Engkau yang mengajakku bersenang-senang dengan lirikan matamu di taman itu, dan engkau mencari kesembuhan dari kebun yang tidak sehat. Engkau menyangkal firman Allah Ta’ala, قل للمؤمنين “Katakan kepada pria-pria yang beriman, hendaklah mereka menundukkan pandangannya..”, dan engkau sangkal pula sabda Rasul-Nya:

النظر إلى المرأة سهم مسموم من سهام إبليس فمن تركه من خوف الله عز و جل أثابه الله إيمانا يجد حلاوته في قلبه

“Pandangan kepada wanita adalah anak panah beracun dari panah-panah yang dilontarkan oleh iblis. Barangsiapa yang meninggalkan pandangannya itu karena takut kepada Allah Azza wa Jalla, maka Allah akan menganugerahkan kepadanya keimanan yang dia rasakan manisnya di dalam hati.” (diriwayatkan oleh Imam Ahmad, telah menceritakan kepada kami Husyaim, telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahman bin Ishaq, dari Muharib bin Ditsar dari Shilah dari Hudzaifah)

Mata mulai berkata kepada hati, “Engkaulah yang telah menzalimi aku sejak awal hingga akhir. Engkau kukuhkan dosaku lahir dan batin. Padahal aku hanyalah utusanmu yang selalu taat dan sebagai penuntun engkau yang menunjukkan kepadamu jalan.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda,

إن في الجسد مضغة إذا صلحت صلح لها سائر الجسد وإذا فسدت فسد لها سائر الجسد ألا وهي القلب

“Sesungguhnya di dalam tubuh itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka seluruh tubuh akan menjadi baik. Namun jika ia rusak, maka seluruh tubuh akan menjadi rusak. Ketahuilah, segumpal daging itu adalah hati (jantung).”

Tatkala limpa mendengar dialog antara hati dan mata serta perdebatan mereka berdua, maka limpa berkata, “Kalian berdua saling bahu-membahu untuk membinasakan aku dan membunuhku. Sungguh adil orang yang telah menggambarkan perdebatan kalian ini, dan mengharuskan lisanku untuk mengadu kepadanya tentang kezaliman kalian itu.

Mataku berkata kepada hati, kau telah memfitnah aku sehingga aku menderita
Mata menganggap bahwa hati yang menimpakan derita
Namun tubuh menjadi saksi atas kedustaan mata
Matalah yang membangkitkan hati sehingga menuai petaka
Andaikata bukan karena mata tentu tak akan ada derita
Hati bukanlah penyebab pada sebagian yang menjadi korbannya
Limpa merana sebagai korban yang teraniaya
Hati dan mata telah membelah aku
Karena mereka tidak tunduk kepada Allah Ta’ala

Disarikan dari kitab “Raudhatul Muhibbin wa Nuzhatul Musytaqin.” karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah.

Wednesday, March 16, 2011

Memberikan Vaksin kepada Anak

Pertanyaan:

Apa hukumnya memberikan vaksin kepada anak? Karena saya dapati banyak ibu yang membawa anak-anak mereka ke pusat kesehatan untuk diberi vaksin.

081350xxxxxx

Jawab:

Asy-Syaikh Ibnu Baz t pernah ditanya: Apa hukumnya berobat sebelum terjadinya penyakit, seperti imunisasi atau vaksinasi?

Beliau t menjawab:

Tidak mengapa berobat bila dikhawatirkan terjadinya penyakit karena adanya wabah atau sebab-sebab yang lain yang dikhawatirkan terjadinya penyakit karenanya. Maka tidak mengapa mengkonsumsi obat untuk mengantisipasi penyakit yang dikhawatirkan. Hal ini berdasarkan sabda Nabi n dalam hadits yang shahih:

من تَصَبَّحَ بِسَبْعِ تَمَرَاتٍ مِنْ تَمْرِ الْمَدِيْنَةِ لَمْ يَضُرَّهُ سُمٌّ وَلَا سِحْرٌ

"Barangsiapa yang di waktu pagi memakan tujuh butir kurma Madinah, maka tidak akan mencelakakan dia sihir ataupun racun."[1]

Ini termasuk dalam bab menghindari penyakit sebelum terjadinya. Demikian pula bila dikhawatirkan terjadi sebuah penyakit lalu dilakukan vaksinasi/imunisasi untuk melawan penyakit tersebut yang terdapat di suatu negeri atau di negeri manapun, tidak mengapa melakukan hal demikian dalam rangka menangkalnya. Sebagaimana penyakit yang telah menimpa itu diobati, maka diobati pula penyakit yang dikhawatirkan akan menimpa. Akan tetapi tidak boleh memasang jimat-jimat dalam rangka menangkal penyakit, jin atau (bahaya) mata dengki. Karena Nabi n melarang hal tersebut. Nabi n telah menerangkan bahwa hal itu termasuk syirik kecil, maka wajib berhati-hati darinya. (Majmu' Fatawa wa Maqalat Ibni Baz, 6/21)

Friday, March 11, 2011

Khawarij, Aliran Pertama yang Menyimpang dari Islam

Mengenal Khawarij

Khawarij adalah firqah pertama yang menyempal dari jama’ah muslimin dan memiliki pengikut yang tidak kecil serta memiliki sejarah berdarah yang cukup panjang dengan kaum muslimin.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan: “Yang pertama menyempal dari jamaah muslimin, yang merupakan ahlul bid’ah, adalah Khawarij Al Maariqun“[1].

Mereka menyempal dalam permasalahan i’tikad sehingga menjadi contoh bagi gerakan revolusi berdarah dalam sejarah politik Islam yang membuat sibuk kekhilafahan Islam dalam tempo yang sangat panjang.

Disamping itu, firqah ini masih eksis (ada) dan memiliki kekuatan sampai saat ini di negara Oman, Zanjibar (satu wilayah negara Tanzania), timur Afrika dan di sekitar negara Maroko, Tunisia, Libiya dan Al Jaza’ir dengan madzhab Ibadhiyah-nya. Demikian juga pemikiran dan keyakinan mereka masih banyak mengotori pemikiran dan keyakinan kaum muslimin hingga saat ini.

Sekilas Sejarah Munculnya Khawarij

Pemikiran dan cikal bakal kelompok khawarij telah ada di zaman nabi yaitu dengan kemunculan Dzul Khuwaishirah, sehingga Ibnul Jauzi menyatakan: “Dzul Khuwaishirah adalah khawarij pertama yang keluar dalam islam. Penyakitnya adalah ridha dengan pemikiran pribadinya. Seandainya ia diam pasti akan tahu bahwa tidak ada pemikiran yang benar yang menyelisihi pendapat Rasulullah. Pengikut orang inilah yang memerangi Ali bin Abu Thalib[2].

Kemudian berkembang dan memulai gerakannya dengan memberontak terhadap kekhilafahan Utsman bin Affan Radhiallahu’anhu dan berhasil membunuh beliau. Kemudian kelompok khawarij ini menjadi satu kelompok resmi pada tanggal 10 Syawal tahun 37 H dengan membai’at Abdullah bin Wahb Al Raasibi sebagai pemimpin mereka.[3]

Kemudian imam Ali bin Abi Thalib Radhiallah’anhu memerangi mereka di daerah Al Nahrawaan hingga tersisa sedikit dan melarikan diri kebeberapa daerah. Tentang hal ini Al Baghdadi menceritakan: “Terbunuh orang-orang khawarij pada hari itu hingga hanya tersisa sembilan orang. Dua orang dari mereka lari ke daerah Sajistaan dan dari pengikut keduanya muncul Khawarij Sajistaan, dua orang lagi lari ke Yaman dan dari pengikutnya muncul sekte Ibadhiyah di Yaman. Dua orang lainnya lari ke Omaan dan muncul dari pengikutnya Khawarij Omaan dan dua yang lainnya lari kedaerah Al Jazirah dan muncul dari pengikutnya Khawarij Al Jaziroh. Tinggal seorang lari kedaerah Tel Muzan”[4].

Khawarij inilah yang bertanggung jawab atas fitnah perpecahan pertama dan pembunuhan kaum muslimin. Hal ini karena mereka memiliki pemikiran Takfir yang sesat. Mereka mengkafirkan para penguasa muslimin dan membunuh sebagian mereka. Mereka melakukan pembunuhan terhadap menantu Rasulullah, Utsman bin Affaan, Ali bin Abi Thalib Radhiallahu’anhum dan yang lainnya dari kalangan para sahabat dan kaum muslimin.

Benarlah yang dikatakan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:

“(Kaum Khawarij) memerangi kaum muslimin dan membiarkan penyembah berhala”

Kemudian mereka berkembang dan pecah menjadi beberapa sekte, diantaranya Al Azaariqah, Al Najdaat, Al Sholihiyah dan Al Ibadhiyah yang sekarang masih eksis dibeberapa Negara.

Sebab penyimpangan Khawarij[5]

Diantara sebab-sebab penyimpangan Khawarij adalah:

  1. Bodoh dan tidak faham tafsir Al Qur’an. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan: “Bid’ah pertama terjadi seperti bidah khawarij hanyalah disebabkan kesalah fahaman mereka terhadap Al Qur’an, tidak ada maksud menentangnya, namum mereka memahami dari Al Qur’an dengan salah sehingga meyakini bahwa sesuatu itu mengharuskan pengkafiran para pecandu dosa, karena mukmin itu hanyalah yang baik dan takwa. Mereka menyatakan: ‘Siapa yang tidak baik dan takwa maka ia kafir dan kekal dineraka’. Kemudian menyatakan: ‘Utsman, Ali dan orang yang mendukung mereka bukan mukmin, Karena mereka berhukum dengan selain hukum Islam’. Sehingga kebidahan mereka memiliki alur sebagai berikut:

    Pertama : Siapa yang menyelisihi Al Qur’an dengan amalannya atau pendapat yang salah, maka ia telah kafir.
    Kedua: Ali dan Utsman dan semua yang mendukung keduanya dulu berbuat demikian”.[6]

  2.  Tidak mengikuti Sunnah dan pemahaman para sahabat dalam menerapkan Al Qur’an dan Sunnah. Al Imam Al Bukhari menyatakan:

    “Ibnu Umar memandang mereka (Khawarij) sebagai makhluk terjelek dan menyatakan: ‘Sunguh mereka mengambil ayat-ayat yang turun untuk orang kafir lalu menerapkannya untuk kaum mukminin“.

  3. Wara’ tanpa ilmu. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan: “Sikap wara’ ini menjerumuskan pemiliknya ke kebidahan besar, karena khawarij bersikap wara’ dari kedzaliman dan dari semua yang mereka yakini kedzaliman dengan bercampur baur dengan kedzaliman tersebut menurut prasangka mereka hingga mereka meninggalkan kewajiban berupa shalat jum’at, jamaah, haji dan jihad (bersama kaum muslimin) serta sikap menasehati dan rahmat kepada kaum muslimin. Pemilik wara’ seperti ini telah diingkari para imam, seperti imam empat madzhab”[7].Kemudian beliau menjelaskan bahwa sikap wara’ tidak lurus tanpa disertai ilmu yang banyak dan pemahaman yang baik dalam pernyataan beliau: “Oleh karena itu orang yang bersikap wara’ membutuhkan ilmu yang banyak terhadap Al Qur’an dan Sunnah dan pemahaman yang benar terhadap agama. Bila tidak, maka sikap wara’ yang rusak tersebut merusak lebih banyak dari kebaikannya. Sebagaimana dilakukan ahlu bid’ah dari Khawarij dan selainnya”.

  4. Memandang satu kesatuan antara kesalahan dan dosa. Mereka menganggap kesalahan dan dosa satu hal yang tidak mungkin terpisah. Sehingga seorang yang berbuat salah menurut mereka pasti berdosa. Syaikhul Islam menyatakan: ” Orang-orang sesat menjadikan kesalahan dan dosa satu kesatuan yang tidak terpisahkan”. Kemudian beliau berkata: “Dari sini muncullah banyak sekte ahlil bid’ah dan sesat. Ada sekelompok mereka yang mencela salaf dan melaknat mereka dengan keyakinan para salaf tersebut telah berbuat dosa dan pelaku dosa tersebut pantas dilaknat bahkan terkadang mereka menghukuminya sebagai fasik atau kafir, sebagaimana dilakukan khawarij yang mengkafirkan, melaknat dan menghalalkan memerangi Ali bin Abi Thalib dan ‘Utsman bin Affaan serta orang-orang yang loyal terhadap keduanya”. [8].

  5. Keliru dan rancu memahami wasilah dan maqaasid (tujuan syar’i). contohnya amar ma’ruf nahi mungkar adalah sesuatu yang dituntut dalam syari’at (Mathlab Syar’i) yang memiliki ketentuan, batasan dan wasilah (sarana) tertentu. Kaum Khawarij dengan sebab berpalingnya mereka dari Sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menjadikan yang mungkar menjadi ma’ruf dan sebaliknya yang yang ma’ruf jadi mungkar. Oleh karena itu Syaikhul Islam menyatakan: “Kebidahan yang pertama kali muncul dan paling dicela dalam Sunnah dan atsar adalah bidah khawarij. Mereka memiliki dua kekhususan masyhur yang membuat mereka menyempal dari jamaah muslimin dan imam mereka:

    Pertama: keluar dari Sunnah dan mereka jadikan yang tidak jelek dianggap kejelekan dan yang tidak baik dianggap kebaikan.
    Kedua: pada Khawarij dan ahli bidah, mereka mengkafirkan orang lain hanya dengan sebab perbuatan dosa dan kejelakan. Konsekuensi dari vonis kafir dengan sebab perbuatan dosa ini adalah menghalalkan darah kaum muslimin dan harta mereka dan (menganggap) negeri Islam negeri kafir dan negeri mereklah negeri iman[9].

Pemikiran dan Aqidah Khawarij

Diantara pemikiran dan aqidah Khawarij yang terkenal adalah:

  1. Mengkafirkan pelaku dosa besar dan memberlakukan hukum orang kafir didunia dan akhirat padanya. Abul Hasan Al ‘Asy’ari ketika menceritakan pokok ajaran khawarij menyatakan: “Mereka (Khawarij) seluruhnya sepakat menyatakan semua dosa besar adalah kekufuran kecuali sekte Al Najdaat; mereka tidak berpendapat demikian”.[10]

  2. Mengkafirkan orang yang menyelisihi mereka dan memaksa orang lain mengikuti kebidahannya. Setelah itu menghalalkan darah dan harta orang yang menyelisihinya.[11] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan: “Mereka mengkafirkan orang yang menyelisihi mereka dan menghalalkan darinya –dengan dalih telah murtad menurut anggapan mereka- sesuatu yang tidak pernah mereka halalkan dari orang kafir asli, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam :

    Memerangi kaum muslimin dan membiarkan penyembah berhala (Ahlul Autsan)“.[12]
  3. Mengingkari adanya syafaat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam terhadap pelaku dosa besar yang belum bertaubat sebelum wafatnya.

  4. Mencari-cari kesalahan para ulama salaf dan salafi, karena mereka memandang para ulama tersebut sebagai batu sandungan dalam jalan mewujudkan tujuan mereka.[13]

  5. Membenci kaum muslimin dan mengkafirkan mereka serta menghalalkan darah dan harta mereka.

  6. Mencari kesalahan pemerintah yang sah (Waliyul Umur) dan mengajak orang banyak untuk menyerangnya kemudian mencela pemerintah dan mengkafirkan mereka.[14]

  7. Mewajibkan menggulingkan pemimpin (pemerintah) yang berbuat dzolim dan jahat dan melarang mereka menjadi penguasa dengan segala cara yang mereka mampui, baik dengan kekerasan senjata atau tidak. Abul Hasan Al Asy’ari menuliskan catatan tentang khawarij: “Mereka memandang (wajib) menggulingkan penguasa yang dzalim dan mencegah mereka menjadi penguasa dengan segala cara yang mereka mampui , dengan pedang atau tidak denga pedang”[15]. Sedangkan Ibnul Jauzi menyatakan: “Terus saja Khawarij memberontak terhadap pemerintah. Mereka memiliki beraneka ragam madzhab. Pengikut Naafi’ bin Al Azraq menyatakan: Kami masih musyrik selama masih berada di negeri syirik, apa bila kami memberontak maka kami menjadi muslim. Mereka juga menyatakan: Orang yang menyelisihi kami dalam madzhab adalah musyrik, pelaku dosa besar adalah musyrik dan orang yang tidak terlibat ikut serta bersama mereka dalam perang adalah orang kafir. Mereka menghalalkan pembunuhan wanita dan anak-anak kaum muslimin dan memvonis mereka dengan syirik”[16].
Demikian sekilas tentang Khawarij. Mudah-mudahan Allah jauhkan kita semua dari pemikiran, aqidah dan fitnah mereka ini.

Referensi:

1. Al Khawarij, Tarikhuhum Wa Araauhum Al I’tiqadiyah Wa Mauqif Al Islam Minha, DR. Ghalib bin ‘Ali ‘Awaji
2. Al Takfir wa Dhawaabithuhu, Syaikh Ibrahim bin ‘Amir Al Ruhaili, cetakan pertama tahun1426H, Dar Al Imam Al Bukhari
3. Al Mausu’ah Al Muyassarah Fil Adyaan Wal Madzaahib Wal Ahzaab Al Mu’asharah
4. Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah
5. Majalah Umati edisi 13/Sya’bah 1426-September 2005M





Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
Artikel UstadzKholid.Com

[1] Al Mausu’ah Al Muyassarah Fil Adyaan Wal Madzaahib Wal Ahzaab Al Mu’asharah, 1/53.
[2] Talbis Iblis, hal 90.
[3] Al Mausu’ah Al Muyassarah Fil Adyaan Wal Madzaahib Wal Ahzaab Al Mu’asharah, 1/53.
[4] Al Farqu Bainal Firaq Al Baghdadi, hal 80-81, lihat Al Khawarij, Tarikhuhum Wa Araauhum Al I’tiqadiyah Wa Mauqif Al Islam Minha, DR. Gholib bin ‘Ali ‘Awaji hal 95.
[5] Diringkas dari makalah berjudul Al Ru’yah Al Salafiyah Lil Waaqi’ Al Mu’ashir, tulisan Syaikh Abdullah bin Al ‘Ubailaan. Majalah Ummati edisi 13/Sya’bah 1426-September 2005M hal 8-11 dan Al Takfir wa Dhawaabithuhu, Syaikh Ibrahim bin ‘Amir Al Ruhaili, cetakan pertama tahun1426H, Dar Al Imam Al Bukhari.
[6] Majmu’ Al Fatawa, 13/30-31
[7] Majmu’ Fatawa, 20/140
[8] Majmu’ Al Fatawa, 35/69-70
[9] Majmu’ Al Fatawa, 19/71-73
[10] Maqaalat Islamiyyin, 1/168 dinukil dari Al Takfir Wa Dhawabithuhu, hal 173.
[11] Majmu’ Al Fatawa, 3/279
[12] Majmu’ Al Fatawa, 3/355
[13] Majalah Umati edisi 13/Sya’bah 1426-September 2005M hal 11
[14] ibid
[15] Maqaalat Islamiyyin, 1/204 dinukil dari Al Takfir Wa Dhowabithuhu, hal 174
[16] Talbis Iblis hal 130-131 dinukil dari Al Takfir Wa Dhawabithuhu, hal 174

Istri Cantik, Perlukah?

“Wanita cantik memang relatif, tapi kalau jelek itu mutlak!” Demikianlah bunyi sebuah joke klise yang tidak tepat alias ngawur. Lho, kok ngawur? Ya, sebab pada dasarnya segala yang Allah ciptakan itu bagus dan indah. Allah berfirman:

الَّذِي أَحْسَنَ كُلَّ شَيْءٍ خَلَقَهُ

“Dialah yang membaguskan segala sesuatu yang Dia ciptakan.” (QS. As-Sajdah [32]: 7)

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

كُلُّ خَلْقِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ حَسَنٌ

“Segala ciptaan Allah ‘Azza wa Jalla itu indah.” [Riwayat Ahmad dan ath-Thabrāni, serta dinyatakan valid oleh Syaikh al-Albāni]

Hanya saja, keindahan fisik yang Allah berikan kepada masing-masing individu itu beraneka ragam dan bertingkat-tingkat. Keanekaragaman dan tingkatan itulah yang kemudian didefinisikan sebagai jelek, cantik atau tampan. Tipe dan model yang begini disebut sebagai cantik, dan model yang begitu disebut jelek. Pada dasarnya, yang demikian itu hanyalah diversifikasi dan pembedaan bentuk. Bayangkan sekiranya seluruh manusia itu memiliki wajah dan postur yang sama. Repot kan?

Adalah fithrah manusia untuk menyukai segala hal yang indah. Karena itu, merupakan hal yang lumrah apabila seorang lelaki mencari wanita yang menurutnya indah atau cantik. Terkadang kita jumpai sikap berlebihan (ghuluww atau ifrāth) di kalangan sebagian aktivis, bahwa seolah-olah menjadikan kecantikan sebagai salah satu parameter dalam memilih pasangan hidup merupakan ‘dosa’ atau perbuatan tercela. Sebagian mereka juga ‘pasrah’ begitu saja apabila dijodohkan oleh pembimbing agama mereka (murabbi). Sikap semacam ini tentu saja bukan merupakan sikap yang tepat atau harus dilakukan. Sayangnya, ini masih cukup sering terjadi.

Sesungguhnya Islam adalah agama yang mudah (yusr) dan toleran (samhah). Islam mengakomodir keinginan dan kebutuhan manusia. Hanya saja, Islam memberi batasan dan aturan dalam pemuasan kebutuhan dan keinginan tersebut, untuk mencegah terbukanya pintu-pintu kerusakan.

Islam mengakomodir fithrah dan naluri manusia untuk menyukai lawan jenisnya. Karena itu Islam membolehkan bahkan menganjurkan menikah, serta menafikan dan melarang sikap membujang (tabattul). Namun, di sisi lain, Islam mengecam keras perbuatan zina, yang mengakibatkan hancurnya tatanan sosial dalam masyarakat.

Demikian pula halnya dalam memilih pasangan hidup. Islam mengakomodir apabila seorang pria membutuhkan wanita cantik sebagai pendamping hidupnya, selama proses yang dijalankan tidak bertentangan dengan syariah. Jika seseorang suka makan gado-gado dan tidak suka makan bakso, maka jangan dipaksa untuk makan bakso, bukankah begitu?

Pemaksaan ‘selera’ dalam kehidupan rumah tangga dampaknya bisa sangat fatal, yaitu berupa ketidakharmonisan hubungan suami istri dan lain-lain. Sebagian orang menyatakan bahwa rumah tangga yang tidak harmonis termasuk ‘neraka dunia’. Sayangnya, ada muslimah yang kurang menyadari hal-hal tersebut.

Jika ada ikhwān melakukan nazhar (melihat calon pasangan) dalam proses ta`āruf (saling mengenal sebelum pernikahan) lalu proses tersebut gagal karena sang muslimah dinilai belum memenuhi kriteria secara fisik, maka jadilah si ikhwān jadi bahan celaan. Padahal, seharusnya si akhwat tersebut berlapang dada. Sebab, jika proses tersebut dipaksakan berlanjut ke jenjang pernikahan, maka besar kemungkinan akan terjadi ketidakharmonisan dalam rumah tangga, yang dapat berbuntut perceraian.

Meskipun demikian, sikap semata-mata mencari kecantikan (beauty oriented) juga kurang tepat. Sebab, sekedar pasangan cantik tidak menjanjikan kebahagiaan. Faktor paling krusial dalam kebahagiaan rumah tangga adalah akhlak dan keshalihan dalam beragama. Ini adalah realitas yang tidak akan dipungkiri oleh mereka yang telah mengecap kehidupan rumah tangga.

Dari Abū Hurairah, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

تُنْكَحُ المَرْأةُ لأَرْبَعِ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وجَمَالِهَا ولِدِيْنِهَا فَاظْفَرْ بِذاتِ الدين تَرِبَتْ يَدَاك

“Wanita dinikahi karena empat perkara: karena hartanya, karena martabatnya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka hendaklah engkau mendapat wanita yang baik agamanya agar engkau beruntung dan tidak merugi.” [Riwayat al-Bukhāri.]

Ada dua pendapat di kalangan ulama dalam memahami hadits ini:

Pendapat Pertama: Hadits ini menunjukan bahwa seorang pria dianjurkan/disunnahkan untuk mencari istri dengan memperhatikan empat kriteria tersebut (harta, martabat, kecantikan dan agama). Ini adalah pendapat yang dipilih oleh al-Hāfizh Ibn Hajar. Beliau berkata, “Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam: ‘karena kecantikannya‘ merupakan dalil bahwa dianjurkan untuk menikahi wanita yang jelita. Kecuali jika terjadi kontradiksi antara wanita yang cantik jelita namun tidak shalih dan wanita yang shalih namun tidak cantik jelita (maka diutamakan yang shalih meskipun tidak cantik). Jika keduanya sama dalam hal keshalihan maka yang cantik jelita lebih utama (untuk dinikahi)….” [Lihat al-Fath, vol. IX, hal. 135].

Pendapat Kedua: Hadits tersebut hanya menyebut realitas yang terjadi di masyarakat, bahwa wanita dinikahi karena empat kriteria tadi. Dan kriteria yang dianjurkan dalam menikahi wanita hanyalah karena kebaikan agamanya. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Imam an-Nawawi. [Lihat al-Minhāj Syarh Shahīh Muslim Ibn al-Hajjāj, vol. X, hal. 51-52. Pendapat ini telah diisyaratkan oleh asy-Syaukani dalam an-Nail vol. IX, hal. 234.]

Imam Ibn Qudāmah berkata, “Hendaklah ia memilih wanita yang cantik jelita agar hatinya lebih tentram serta ia bisa lebih menundukkan pandangannya dan kecintaannya (mawaddah) kepadanya akan semakin sempurna. Karena itulah disyari’atkan nazhar (melihat calon istri) sebelum dinikahi. Diriwayatkan dari Abū Bakr Ibn Muhammad Ibn `Amr Ibn Hazm dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda,

إِنَّمَا النِّسَاءُ لُعَبٌ فَإِذَا اتَّخَذَ أَحَدُكُمْ لُعْبَةً فَلْيَسْتَحْسِنْهَا

“Para wanita itu ibarat mainan, maka jika salah seorang dari kalian hendak mengambil sebuah mainan maka hendaknya ia memilih mainan yang baik (yang cantik).” [Hadits ini dinyatakan tidak valid oleh Syaikh al-Albānidalam adh-Dha’īfah no. 462. Lihat al-Mughnī vol. VII, hal. 82.]

Imam al-Munāwi berkata, “Jika pernikahan disebabkan dorongan kecantikan maka pernikahan ini akan lebih langgeng dibandingkan jika yang mendorong pernikahan tersebut adalah harta sang wanita, karena kecantikan adalah sifat yang senantiasa ada pada sang wanita adapun kekayaan adalah sifat bisa (lebih mudah) hilang dari sang wanita.”

Namun, sebagian Salaf tidak suka untuk menikahi wanita yang terlalu cantik. Imam al-Munāwi berkata, “Salaf membenci wanita yang terlalu cantik karena hal itu (dapat) menimbulkan sikap kesewenangan pada diri wanita, yang akhirnya mengantarkannya kepada sikap perendahan sang pria.” [Faidhu'l Qadīr vol. III, hal. 271.]

Ada hadits yang menunjukan larangan menikahi wanita karena motivasi selain agama. Dari Abdu’Llah Ibn `Amr, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

لاَ تُنكِحوا النساءَ لِحُسْنِهن فَلَعَلَّهُ يُرْدِيْهِنَّ، ولا لِمَالِهِنَّ فَلَعَلَّهُ يُطْغِيْهِنَّ وانكحوهن للدين. وَلَأَمَةٌ سوداء خَرْمَاءُ ذاتُ دِينٍ أَفْضَلُ

“Janganlah kalian menikahi para wanita karena kecantikan. Sebab bisa jadi kecantikan menjerumuskan mereka dalam kebinasaan. Dan janganlah kalian menikahi para wanita karena harta, karena bisa jadi harta menjadikan mereka berbuat hal-hal yang melampaui batas. Namun nikahilah para wanita karena agama mereka. Sesungguhnya seorang budak wanita yang hitam dan terpotong sebagian hidungnya dan dengan telinga yang berlubang namun agamanya baik itu lebih baik (untuk dinikahi).” [Riwayat Ibn Mājah, al-Bazzār dan al-Baihaqi.]

Namun hadits ini tidak valid, tidak dapat dijadikan hujjah. [Sebagaimana dinyatakan oleh Syaikh al-Albāni dalamadh-Dha’īfah vol. III, hal. 172, dan Dhaī'fu'l Jāmi` no. 6216.]

Penting untuk diperhatikan, sebaiknya seorang pria menanyakan atau mencari tahu tentang kecantikan calon istri sebelum agamanya. Imam Ahmad berkata, “Jika seseorang ingin meminang seorang wanita maka hendaklah yang pertama kali ia tanyakan adalah kecantikannya. Jika dipuji kecantikannya maka ia bertanya tentang agamanya. Jika kecantikannya tidak dipuji maka ia menolak wanita tersebut bukan karena agamanya namun karena kecantikannya.” [Syarh Muntahā'l Iradāt, vol. II, hal. 623.]

Perkataan Imam Ahmad tersebut menunjukan tingginya fiqh dan pemahaman beliau. Sebab jika yang pertama kali ditanyakan adalah tentang agama si wanita, lalu dikabarkan kepadanya bahwa yang bersangkutan adalah wanita yang shalih, akan tetapi kemudian setelah dilihat ternyata secara fisik si wanita jauh di bawah harapan si pria, sehingga ia tidak jadi menikahi wanita tersebut, maka berarti si pria telah meninggalkan wanita tersebut padahal ia telah mengetahui bahwa wanita itu adalah wanita yang shalih.

Namun sekali lagi penting untuk ditekankan bahwa kecantikan adalah hal yang relatif. (Ingat joke di awal tulisan?) Terkadang seorang wanita sangat cantik menurut pria tertentu, namun ternyata tidak demikian menurut pria yang lain. Di samping itu, kriteria akhlak dan keshalihan agama lebih penting untuk ditekankan.

Ada saudara kita yang berumah tangga dan telah dikaruniai anak. Istrinya cantik. Keturunan Arab. Konon, adalah yang paling cantik di daerahnya dan menjadi idaman para pemuda di lingkungannya. Saudara kita ini merasa bangga bisa mendapatkannya. Namun, pada suatu perbincangan dia bertutur memberikan wejangan. Kira-kira demikian inti ceritanya:

“Kita memang harus percaya dengan hadits Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tentang dinikahinya wanita karena empat perkara. Benarlah anjuran untuk wanita karena agamanya. Sungguh kecantikan istri kita itu akan memudar atau kita akan merasa terbiasa, bahkan mungkin kita bosan. Setiap saat, setiap hari, kita melihat dan berjumpa dengannya. Akibatnya, kecantikan yang dulu terasa istimewa itu menjadi biasa. Bahkan, tak jarang kita akan melihat bahwa wanita lain terasa jauh lebih cantik darinya. Belakangan ini kami sering bertengkar, terutama ketika ia diingatkan tentang perkara agama. Maka, berusahalah untuk mencari istri yang baik dari sisi agamanya, niscaya akan datang ketenangan dan kebaikan dalam rumah tangga.”

Kemudian saudara kita tersebut menuturkan kisah salah seorang sahabatnya yang dikenalkan kepada kebenaran oleh istrinya. Dia begitu setia mengajari dan senantiasa melayani dengan tulus serta ikhlas untuk mengabdi pada sang suami, sehingga tiba suatu masa di mana si istri sampai mengatakan, “Silakan jika ingin ta’addud (poligami). Bila perlu akan saya bantu untuk mencarikan.” Ternyata, si suami sama sekali tidak tertarik, karena merasa istri tercintanya tersebut sudah demikian istimewa, sedangkan belum tentu ia akan mendapatkan yang semisal dari istri kedua.

Walhasil, mencari istri cantik itu perlu. Tapi jangan lengah terhadap kriteria lain yang lebih utama, yakni keshalihan dan agama. Kata orang: Kita sedang mencari teman hidup, bukan teman tidur. Menikah itu ‘bersenyawa’, bukan sekedar bersetubuh.

Pada diri manusia ada dua kebutuhan yang harus terpenuhi. Kebutuhan lahir dan kebutuhan batin. Menurut saya, kecantikan itu lebih terkait dengan pemenuhan kebutuhan lahir, sedangkan keshalihan itu lebih terkait dengan pemenuhan kebutuhan batin. Selanjutnya, kecantikan yang lebih bersifat lahir itu erat kaitannya dengan nafsu, sementara keshalihan yang lebih bersifat batin itu erat kaitannya dengan cinta dan kasih sayang. Idealnya, kebutuhan lahir dan batin, cinta dan nafsu, terkumpul dalam diri satu orang yang bernama ‘istri’.

Salam,

Abū Fāris an-Nūri
Jakarta, 02 Nov 2007


NB:

Bahan untuk menyusun tulisan ini adalah sebuah pembahasan ilmiah yang pernah diberikan oleh sahabat dan saudara saya yang mulia, Ustadz Firanda. Juga tulisan serupa yang dimuat dalam situs: salafyitb.wordpress.com oleh saudara dan kawan saya, Ustadz Abu Umair.

***

dengan editan seperlunya oleh Ummu Sausan.

Thursday, March 10, 2011

Berkhidmat pada Suami

Pulang dari bekerja, semestinya adalah waktu untuk beristrirahat bagi suami selaku kepala rumah tangga. Namun banyak kita jumpai fenomena di mana mereka justru masih disibukkan dengan segala macam pekerjaan rumah tangga sementara sang istri malah ngerumpi di rumah tetangga. Bagaimana istri shalihah menyikapi hal ini?

Salah satu sifat istri shalihah yang menandakan bagusnya interaksi kepada suaminya adalah berkhidmat kepada sang suami dan membantu pekerjaannya sebatas yang ia mampu. Ia tidak akan membiarkan sang suami melayani dirinya sendiri sementara ia duduk berpangku tangan menyaksikan apa yang dilakukan suaminya. Ia merasa enggan bila suaminya sampai tersibukkan dengan pekerjaan-pekerjaan rumah, memasak, mencuci, merapikan tempat tidur, dan semisalnya, sementara ia masih mampu untuk menanganinya. Sehingga tidak mengherankan bila kita mendapati seorang istri shalihah menyibukkan harinya dengan memberikan pelayanan kepada suaminya, mulai dari menyiapkan tempat tidurnya, makan dan minumnya, pakaiannya, dan kebutuhan suami lainnya. Semua dilakukan dengan penuh kerelaan dan kelapangan hati disertai niat ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan sungguh ini merupakan bentuk perbuatan ihsannya kepada suami, yang diharapkan darinya ia akan beroleh kebaikan.

Berkhidmat kepada suami ini telah dilakukan oleh wanita-wanita utama lagi mulia dari kalangan shahabiyyah, seperti yang dilakukan Asma’ bintu Abi Bakar Ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhuma yang berkhidmat kepada Az-Zubair ibnul Awwam radhiallahu ‘anhu, suaminya. Ia mengurusi hewan tunggangan suaminya, memberi makan dan minum kudanya, menjahit dan menambal embernya, serta mengadon tepung untuk membuat kue. Ia yang memikul biji-bijian dari tanah milik suaminya sementara jarak tempat tinggalnya dengan tanah tersebut sekitar 2/3 farsakh[1].” (HR. Bukhari no. 5224 dan Muslim no. 2182)

Demikian pula khidmatnya Fathimah bintu Rasulillah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di rumah suaminya, Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, sampai-sampai kedua tangannya lecet karena menggiling gandum. Ketika Fathimah datang ke tempat ayahnya untuk meminta seorang pembantu, sang ayah yang mulia memberikan bimbingan kepada yang lebih baik:

أَلاَ أَدُلُّكُماَ عَلَى ماَ هُوَ خَيْرٌ لَكُماَ مِنْ خاَدِمٍ؟ إِذَا أَوَيْتُماَ إِلَى فِرَاشِكُماَ أَوْ أَخَذْتُماَ مَضاَجِعَكُماَ فَكَبَّرَا أًَرْبَعاً وَثَلاَثِيْنَ وَسَبَّحاَ ثَلاَثاً وَثَلاَثِيْنَ وَحَمِّدَا ثَلاَثاً وَثَلاثِيْنَ، فَهَذَا خَيْرٌ لَكُماَ مِنْ خاَدِمٍ

“Maukah aku tunjukkan kepada kalian berdua apa yang lebih baik bagi kalian daripada seorang pembantu? Apabila kalian mendatangi tempat tidur kalian atau ingin berbaring, bacalah Allahu Akbar 34 kali, Subhanallah 33 kali, dan Alhamdulillah 33 kali. Ini lebih baik bagi kalian daripada seorang pembantu.” (HR. Al-Bukhari no. 6318 dan Muslim no. 2727)

Shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu, menikahi seorang janda untuk berkhidmat padanya dengan mengurusi saudara-saudara perempuannya yang masih kecil. Jabir berkisah: “Ayahku meninggal dan ia meninggalkan 7 atau 9 anak perempuan. Maka aku pun menikahi seorang janda. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya padaku:

تَزَوَّجْتَ ياَ جاَبِر؟ فَقُلْتُ: نَعَمْ. فَقاَلَ: بِكْرًا أَمْ ثَيِّباً؟ قُلْتُ: بَلْ ثَيِّباً. قاَلَ: فَهَلاَّ جاَرِيَةً تُلاَعِبُهاَ وَتُلاَعِبُكَ، وَتُضاَحِكُهاَ وَتُضاَحِكُكَ؟ قاَلَ فَقُلْتُ لَهُ: إِنَّ عَبْدَ اللهِ هَلَكَ وَ تَرَكَ بَناَتٍ، وَإِنِّي كَرِهْتُ أَنْ أَجِيْئَهُنَّ بِمِثْلِهِنَّ، فَتَزَوَّجْتُ امْرَأَةً تَقُوْمُ عَلَيْهِنَّ وَتُصْلِحُهُنَّ. فَقاَلَ: باَرَكَ اللهُ لَكَ، أَوْ قاَلَ: خَيْرًا

“Apakah engkau sudah menikah, wahai Jabir?”

“Sudah,” jawabku.

“Dengan gadis atau janda?” tanya beliau.

“Dengan janda,” jawabku.

“Mengapa engkau tidak menikah dengan gadis, sehingga engkau bisa bermain-main dengannya dan ia bermain-main denganmu. Dan engkau bisa tertawa bersamanya dan ia bisa tertawa bersamamu?” tanya beliau.

“Ayahku, Abdullah, meninggal dan ia meninggalkan anak-anak perempuan dan aku tidak suka mendatangkan di tengah-tengah mereka wanita yang sama dengan mereka. Maka aku pun menikahi seorang wanita yang bisa mengurusi dan merawat mereka,” jawabku.

Beliau berkata: “Semoga Allah memberkahimu”, atau beliau berkata: “Semoga kebaikan bagimu.” (HR. Al-Bukhari no. 5367 dan Muslim no. 1466)

Hushain bin Mihshan berkata: “Bibiku berkisah padaku, ia berkata: “Aku pernah mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena suatu kebutuhan, beliaupun bertanya:

أَيْ هذِهِ! أَذَاتُ بَعْلٍ؟ قُلْتُ: نَعَم. قاَلَ: كَيْفَ أَنْتِ لَهُ؟ قُلْتُ: ماَ آلُوْهُ إِلاَّ ماَ عَجَزْتُ عَنْهُ. قاَلَ: فَانْظُرِيْ أَيْنَ أَنْتِ مِنْهُ، فَإِنَّماَ هُوَ جَنَّتُكَ وَناَرُكَ

“Wahai wanita, apakah engkau telah bersuami?”

“Iya,” jawabku.

“Bagaimana engkau terhadap suamimu?” tanya beliau.

Aku tidak mengurang-ngurangi dalam mentaatinya dan berkhidmat padanya, kecuali apa yang aku tidak mampu menunaikannya,” jawabku.

Lihatlah di mana keberadaanmu terhadap suamimu, karena dia adalah surga dan nerakamu,” sabda beliau. (HR. Ibnu Abi Syaibah dan selainnya, dishahihkan sanadnya oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Adabuz Zifaf, hal. 179)

Namun di sisi lain, suami yang baik tentunya tidak membebani istrinya dengan pekerjaan yang tidak mampu dipikulnya. Bahkan ia melihat dan memperhatikan keberadaan istrinya kapan sekiranya ia butuh bantuan.

Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam gambaran suami yang terbaik. Di tengah kesibukan mengurusi umat dan dakwah di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala, beliau menyempatkan membantu keluarganya dan mengerjakan apa yang bisa beliau kerjakan untuk dirinya sendiri tanpa membebankan kepada istrinya, sebagaimana diberitakan istri beliau, Aisyah radhiallahu ‘anha ketika Al-Aswad bin Yazid bertanya kepadanya:

ماَ كاَنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصْنَعُ فِي الْبَيْتِ؟ قاَلَتْ: كاَنَ يَكُوْنُ فِيْ مِهْنَةِ أَهْلِهِ –تَعْنِي خِدْمَةَ أَهْلِهِ- فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ خَرَجَ إِلَى الصَّلاَةِ

“Apa yang biasa dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam rumah?”

Aisyah radhiallahu ‘anha menjawab: “Beliau biasa membantu pekerjaan istrinya. Bila tiba waktu shalat, beliau pun keluar untuk mengerjakan shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 676, 5363)

Dalam riwayat lain, Aisyah radhiallahu ‘anha menyebutkan pekerjaan yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan di rumahnya:

ماَ يَصْنَعُ أَحَدُكُمْ فِيْ بَيْتِهِ، يَخْصِفُ النَّعْلَ وَيَرْقَعُ الثَّوْبَ وَيُخِيْطُ

“Beliau mengerjakan apa yang biasa dikerjakan salah seorang kalian di rumahnya. Beliau menambal sandalnya, menambal bajunya, dan menjahitnya.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 540, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Al-Adabil Mufrad no. 419 dan Al-Misykat no. 5822)

كاَنَ بَشَرًا مِنَ الْبَشَرِ، يَفْلِي ثَوْبَهُ وَيَحْلُبُ شاَتَهُ

“Beliau manusia biasa. Beliau menambal pakaiannya dan memeras susu kambingnya”. (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 541, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Al-Adabil Mufrad no. 420 dan Ash-Shahihah 671)

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.



Oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husein Al-Atsariyyah
Sumber: http://menikahsunnah.wordpress.com/2007/06/20/berkhidmat-pada-suami/



Foot note:
[1]. 1 farsakh kurang lebih 8 km atau 3,5 mi

Terhambat Komunikasi

Pertanyaan :

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh,

Ustadz yang dirahmati Allah, saya mohon solusi. Saya seorang akhwat yang baru saja menikah dengan seorang ikhwan, belum ada 4 bulan. Kami menikah lewat proses ta’aruf singkat. Namun sebelumnya kami sama-sama punya masa lalu yang kelam, yang ternyata berakibat pada ketidaknyamanan dalam rumah tangga yang sedang kami bangun. Saya tahu bagaimana masa lalu suami saya, dulu dia pernah menjalin hubungan dekat dengan seorang akhwat sekitar 2 tahun lebih, hingga dia mengakhiri hubungannya karena ta’aruf dengan saya. Namun, saya tidak tahu detail masa lalunya dan saya memang tidak ingin tahu. Saya pikir itu semua sudah berlalu dan dilupakan. Tapi, sepertinya suami saya masih terbebani dengan masa lalunya itu Ustadz. Sebenarnya, di sisi lain, saya juga punya masa lalu yang lebih kelam dari suami. Saya pernah berbuat dosa besar dengan pacar saya, namun saya sudah benar-benar insyaf dan berubah.

Alhamdulillah sejak itu, rasanya Allah bukakan pintu-pintu kebaikan untuk saya, termasuk lewat pernikahan ini. Hampir setiap usai shalat, saya sering menangis menyesali dosa-dosa masa lalu saya. Dan saya tidak pernah bercerita masa lalu kelam saya pada suami. Saya lebih memilih diam daripada berbohong, meski sebenarnya saya seorang yang extrovert. Sedangkan suami tipe introvert, sehingga setiap masalah dia pendam sendiri. Saya sedih karena suami masih merasa terbebani dengan masa lalunya. Sehingga dia belum bisa menjalankan peran seorang suami dengan semestinya. Dia kurang perhatian dengan saya dan belum bisa mencintai saya sepenuhnya. Dia merasa telah menzhalimi saya. Lantas apakah saya juga termasuk menzhalimi suami, karena saya menutupi aib masa lalu saya? Di usia pernikahan kami yang masih sangat muda ini, saya mengharapkan kebahagiaan, namun malah ketidakharmonisan yang terjadi. Komunikasi juga tidak lancar. Dan sekarang, kami sedang tinggal berjauhan karena suami punya urusan di luar kota. Apa yang harus kami lakukan agar hubungan kami bisa harmonis? Apakah saya harus bercerita juga tentang masa lalu kelam saya? Saya mohon doa dan solusinya segera Ustadz. Syukran, jazakumullah. Wassalamu ‘alaikum.

Hamba Allah

Jawaban:

Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh

Saudariku yang saya hormati, di antara hikmah dari penciptaan manusia di muka bumi ini -selain untuk beribadah hanya kepada Allah saja tanpa mempersekutukannya dengan sesuatu apapun- adalah untuk saling mengenal di antara mereka, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

“Wahai sekalian manusia sungguh kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.” ( al-Hujurat : 13 ).

Berdasarkan ayat ini, ta’aruf (saling mengenal) di antara manusia sangatlah dianjurkan oleh Allah, hal ini memiliki faidah yang sangat banyak, di antaranya untuk menjalin persaudaraan di antara mereka dan dengannya mereka dapat saling tolong-menolong dalam kehidupan sosial bermasyarakat, dan lain-lain. Dan tujuan dari ta’aruf di sini bukanlah untuk hal-hal yang sifatnya negatif, sehingga bisa mengakibatkan terjadinya pelanggaran syariat -seperti yang dilakukan oleh sebagian pemuda sekarang-.

Adapun jika ta’aruf ini dilakukan oleh dua insan dan keduanya telah memiliki kecenderungan yang kuat untuk mengikat tali pernikahan serta sudah siap untuk menerima kehadiran orang baru dalam kehidupannya, -tidak hanya kesiapan lahirnya saja akan tetapi juga kesiapan batin untuk menerima segala kelebihan dan kekurangan pasangan masing-masing demi terwujudnya sebuah keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah- maka hal ini lebih dianjurkan lagi. Allah – ta’ala – berfirman,

“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu kasih sayang. Sungguh, pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.” (ar-Ruum : 21).

Sedangkan proses untuk mengetahui karakter dan pribadi pasangan masing-masing secara detail dan lebih dalam lagi, itu dibutuhkan waktu yang cukup lama, tidak hanya sehari dua hari atau sepekan dua pekan, akan tetapi dibutuhkan waktu bertahun-tahun dengan cara tinggal bersamanya selama itu. Jadi, kalau pun seseorang sudah mempunyai hubungan dengan lawan jenisnya selama beberapa tahun tanpa ikatan pernikahan (pacaran), -dan ini merupakan sebuah kemaksiatan yang selayaknya dihindari oleh setiap muslim- maka tidak ada jaminan bagi keduanya untuk mendapatkan kebahagiaan yang mereka idam-idamkan setelah pernikahan mereka berlangsung.

Betapa banyak kita lihat di luar sana orang-orang yang mempunyai hubungan dengan lawan jenisnya tanpa ikatan pernikahan (pacaran) dalam waktu yang lama, akan tetapi pada akhirnya banyak juga di antara mereka yang gagal dalam membina rumah tangga setelah melangsungkan pernikahan itu, wal ‘iyaadzu billah… Sebaliknya, tidak sedikit di antara mereka yang melakukan ta’aruf singkat walaupun sehari atau dua hari saja, kemudian disusul dengan pernikahan antara keduanya, nyatanya pernikahan mereka langgeng sampai akhir hayat. Jadi, dalam usia pernikahan Ukhtiyang baru 4 bulan ini, masih dibutuhkan banyak kesabaran dalam mempelajari dan memahami karakter pasangan, di antaranya dengan memperbanyak komunikasi dengannya, meluangkan waktu untuk berdua baik di dalam rumah maupun di luar rumah -walaupun hanya jalan-jalan dan rekreasi ringan-.

Saudariku, setiap manusia pasti pernah melakukan kesalahan di masa lalunya, yang mana kesalahannya ini menjadi lembaran hitam yang pernah mewarnai hidupnya. Namun beruntunglah orang-orang yang mau bertaubat, karena ampunan Allah sangatlah luas hingga meliputi seluruh hambanya yang mau bertaubat kepada-Nya dan mau memperbaiki ke salahan dimasa lalunya. Alhamdulillah, Ukhti telah menyadari dan menyesali kesalahan yang dulu pernah terjadi, semoga Allah melimpahkan segenap ampunan kepada Ukhti dan memberikan taufik untuk tidak mengulangi kesalahan-kesalahan itu.

Kalaupun suami Ukhti masih merasa terbebani dengan masa lalunya, yakinkanlah dengan tutur kata yang lembut, sikap yang santun dan penuh perhatian kepadanya bahwa Ukhti sudah bisa menerima masa lalunya itu. Semoga dengan begitu, dapat merangsang tumbuhnya rasa cinta dari hati sang suami, sehingga dia bisa lebih perhatian lagi kepada Ukhti. Kalau sudah demikian, maka akan lebih mudah baginya untuk menjalankan perannya sebagai suami yang ideal bagi keluarganya. Untuk itu, saya anjurkan kepada kalian berdua agar tidak mengungkit-ungkit masa lalu kalian dan berusahalah untuk menerima kelebihan dan kekurangan masing-masing demi untuk membina hubungan yang lebih baik lagi di masa yang akan datang.

Kemudian, saya anjurkan untuk tidak mencari-cari kesalahan pasangan, terutama di saat munculnya konflik dalam rumah tangga (terlebih lagi dalam keadaan emosi). Bicarakanlah setiap permasalahan dengan kepala dingin dan bermusyawarahlah dengan cara yang baik, sehingga tercapai sebuah solusi yang cemerlang yang dapat menyelesaikan masalah-masalah tersebut dengan bijak. Kalaupun cara itu belum berhaasil, maka berziarahlah kepada salah seorang ustadz guna meminta saran dan nasihat dari beliau untuk mencari solusi yang lebih baik.

Adapun lembaran hitam yang pernah mewarnai kehidupan Ukhti sebelum menikah, tidak perlu diceritakan (dan ini bukan merupakan bentuk kezhaliman). Begitu pula sebaliknya, Ukhti tidak perlu menanyakan atau menyinggung kembali sisi gelap yang pernah dilalui oleh sang suami, karena hal itu bisa memicu keretakan hubungan rumah tangga kalian berdua. Lebih baik, pilihlah materi-materi pembicaraan yang sifatnya santai seperti : bercanda ringan, atau yang bisa mendatangkan maslahat di hari esok.

Komunikasi yang baik antara pasutri adalah salah satu kunci kebahagiaan dan keharmonisan dalam membina rumah tangga. Didukung lagi dengan adanya kejujuran, pengertian, keterbukaan, dan mau bermusyawarah dalam setiap permasalahan yang perlu dimusyawarahkan -walaupun membicarakan hal-hal yang kecil sekalipun- serta adanya sikap lapang dada dalam menerima nasihat, saran, dan kritik dari pasangan. Adapun jarak yang berjauhan sekarang ini, seharusnya tidak menghalangi komunikasi dan saling memberikan perhatian antara kalian berdua, terlebih lagi didukung dengan adanya alat komunikasi yang sangat canggih di zaman ini, di antaranya melalui telepon, HP, internet, dll. Saya sarankan kepada Ukhti agar sebisa mungkin tetap menjaga komunikasi yang baik dengan suami dan berikanlah perhatian yang lebih kepadanya, apalagi dalam kondisi-kondisi seperti sekarang ini agar sang suami tidak merasa jenuh dan kesepian.

Mulailah memperbaiki hubungan dengannya sedini mungkin, walaupun harus diawali dengan komunikasi jarak jauh. Dan kalaupun ada berita tentang kepulangannya dari luar kota, persiapkan diri untuk menyambutnya dengan berdandan dan berbusana sebagus mungkin. Selain itu, siapkan peralatan dan kebutuhannya setelah safar dan berikan pelayanan kepadanya sebaik mungkin, misalnya menyediakan air hangat untuk mandi juga menyiapkan makanan dan minuman yang disukai. Dan yang lebih penting dari itu, tetap jagalah komunikasi yang baik dengannya di sela-sela pelayanan Ukhti kepadanya, agar komunikasi yang sudah mulai dirajut dengan baik sebelumnya akan bertambah erat.

Kemudian saya ingatkan sekali lagi, janganlah Ukhti membuka lembaran-lembaran hitam yang pernah Ukhti alami atau mengungkit-ungkit kembali masa lalu yang kelam tersebut -apalagi masa lalu sang suami-. Kuburlah hal itu dalam-dalam, semoga taubat Ukhti dan suami nanti bisa menghapus dosa dan kesalahan kalian berdua di masa lampau, dan semoga Allah selalu menurunkan rahmat dan hidayah-Nya kepada keluarga Ukhti serta mengumpulkan kita semua di dalam surga-Nya. Amiin…Wallahu a’lam bisshawab. (Ustadz Abu Abdil Aziz As-Solowy)

Rubrik Konsultasi Keluarga, Majalah Nikah Sakinah, Vol. 9, No. 10, Januari 2011

Mengendalikan Rasa Cemburu Dalam Rumah Tangga

Oleh Ustadz Abu Sa'ad M Nurhuda
Menurut 'Abdullah bin Syaddad, ada dua jenis ghirah. Pertama, ghirah yang dengannya seseorang dapat memperbaiki keadaan keluarga. Kedua, ghirah yang dapat meyebabkannya masuk neraka.

Ditinjau dari nilainya di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala, cemburu ada dua macam. Dalam sebuah hadist disebutkan, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi was allam bersabda:

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ: إِنَّ مِنَ الْغِيْرَةَ مَا يُحِبُّ اللهُ وَمِنْهَا مَا يَبْغُضُ اللهُ فَالْغِيْرَةُ الَّتِيْ يُحِبُّ اللهُ الْغِيْرَةُ فِيْ الرَّيْبَةِ وَالْغِيْرَةُ الَّتِيْ يَبْغُضُ اللهُ الْغِيْرَةُ فِيْ غَيْرِ الرَّيْبَةِ

"Ada jenis cemburu yang dicintai AllahSubhanahu wa Ta'ala, adapula yang dibenci-Nya. Yang disukai, yaitu cemburu tatkala ada sangkaan atau tuduhan. Sedangkan yang dibenci, yaitu adalah yang tidak dilandasikeraguan" [1]

Disebutkan di dalam hadits, bahwa Saad bin Ubadah Radhiyallahu 'anhu berkata:

قَالَ سَعْدُ بْنُ عُبَادَةَ : لَوْ رَأَيْتُ رَجُلاً مَعَ امْرَأَتِيْ لَضَرَبْتُهُ بِالسَّيْفِ غَيْرَ مُصَفِّحٍ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَتَعْجَبُوْنَ مِنْ غِيْرَةِ سَعْدٍ لأَنَا أَغْيَرُ مِنْهُ وَاللهُ أَغْيَرُ مِنِّيْ

"Sekiranya aku melihat seorang laki-laki bersama dengan isteriku, niscaya akan kutebas ia dengan pedang," ucapan itu akhirnya sampai kepada Rasulullah. Lalu beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,”Apakah kalian merasa heran terhadap kecemburuan Saad? Demi Allah, aku lebih cemburu daripadanya, dan Allah lebih cemburu daripadaku.”[2]

Ditinjau dari sisi yang lain, cemburu ada dua macam. Pertama, ghirah lil mahbub (cemburu membela orang yang dicintai). Kedua, ghirah 'alal-mahbub (cemburu membela agar jangan sampai ada orang lain yang juga mencintai orang yang dicintainya).

Ghirah lil mahbub adalah pembelaan seseorang terhadap orang yang dicintai, disertai dengan emosi demi membelanya, ketika hak dan kehormtan orang yang dicintai diabaikan atau dihinakan. Dengan adanya penghinaan tersebut, ia marah demi yang dicintainya, kemudian membelanya dan berusaha melawan orang yang menghina tadi. Inilah cemburu sang pecinta yang sebenarnya. Dan ini pula ghirah para rasul dan pengikutnya terhadap orang-orang yang menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta'ala, serta melanggar syariat Allah Subhanahu wa Ta'ala. Jenis ghirah inilah yang semestinya dimiliki seorang muslim, untuk membela Allah Subhanahu wa Ta'ala, Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam dan agama-Nya. Adapun ghirah 'alal-mahbub adalah kecemburuan terhadap orang lain yang ikut mencintai orang yang dicintainya. Jenis ghirah inilah yang hendak kita kupas pada pembahasan ini.

BEBERAPA CONTOH KECEMBURUAN SEBAGIAN ISTERI NABI SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM

Disebutkan dalam sebuah riwayat, Anas Radhiyallahu 'anhu berkata:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ بَعْضِ نِسَائِهِ فَأَرْسَلْتْ إِحْدَى أُمَّهَاتِ الْمُؤْمِنِيْنَ بِصَحْفَةٍ فِيْهَا طَعُامٌ فَضَرَبَتِ الَّتِيْ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْ بَيْتِهَا يَدَّ الْخَادِمِ فَسَقَطَتِ الصَّحْفَةُ فاَنْفَلَقَتْ فَجَمَعَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلْقَ الصَّحْفَةِ ثُمَّ جَعَلَ يَجْمَعُ فِيْهَا الطَّعَامَ الَّذِيْ كَانَ فِيْ الصَّحْفَةِ وَيَقُوْلُ: غَارَتْ أُمُّكُمْ ثُمَّ حُبِسَ الْخَادِمُ حَتَّى أَتَى بِصَحْفَةٍ مِنْ عِنْدِ الَّتِيْ هُوَ فِيْ بَيْتِهَا فَدَفَعَ الصَّحْفَةَ الصَّحِيْحَةَ إِلَى الَّتِيْ كَسَّرَتْ صَحْفَتَهَا وَأَمْسَكَ الْمَكْسُوْرَةَ فِيْ بَيْتِ الَّتِيْ كَسَّرَتْ

"Suatu ketika Nabi di rumah salah seorang isteri beliau. Tiba-tiba isteri yang lain mengirim mangkuk berisi makanan. Melihat itu, isteri yang rumahnya kedatangan Rasul memukul tangan pelayan pembawa makanan tersebut, maka jatuhlah mangkuk tersebut dan pecah. Kemudian Rasul mengumpulkan kepingan-kepingan pecahan tersebut serta makanannya, sambil berkata: "Ibu kalian sedang cemburu,” lalu Nabi menahan pelayan tersebut, kemudian beliau memberikan padanya mangkuk milik isteri yang sedang bersama beliau untuk diberikan kepada pemiliki mangkuk yang pecah. Mangkuk yang pecah beliau simpan di rumah isteri yang sedang bersama beliau" [3]

Ibnu Hajar menjelaskan bahwa isteri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang memecahkan mangkuk adalah 'Aisyah Ummul Mu’minin, sedangkan yang mengirim makanan adalah Zainab binti Jahsy.[4]

Dalam hadist yang lain diriwayatkan:

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ: مَا غِرْتُ عَلَى امْرَأَةٍ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَمَا غِرْتُ عَلَى خَدِيْجَةَ لِكَثْرَةِ ذِكْرِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِيَّاهَا وَثَنَائِهِ عَلَيْهَسا

"Dari 'Aisyah: “Aku tidak cemburu kepada seorang wanita terhadap Rasulullah sebesar cemburuku kepada Khadijah, sebab beliau selalu menyebut namanya dan memujinya"[5].

Dalam sebuah riwayat disebutkan, 'Aisyah berkata: “Tatkala pada suatu malam yang Nabi berada di sampingku, beliau mengira aku sudah tidur, maka beliau keluar. Lalu aku (pun) pergi mengikutinya. (Aku menduga beliau pergi ke salah satu isterinya dan aku mengikutinya sehingga beliau sampai di Baqi’). Beliau belok, aku pun belok. Beliau berjalan cepat, aku pun berjalan cepat, akhirnya aku mendahuluinya. Lalu beliau bersabda: “Kenapa kamu, hai 'Aisyah, dadamu berdetak kencang?”Lalu aku mengabarkan kepada beliau kejadian yang sesungguhnya, beliau bersabda: “Apakah kamu mengira bahwa Allah dan Rasul-Nya akan menzhalimimu?”[6]

NASIHAT BAGI WANITA DALAM MENGENDALIKAN PERASAAN CEMBURU

Sebagaimana fenomena yang kita lihat dalam kehidupan rumah tangga pada umumnya, tampaklah bahwa sifat cemburu itu sudah menjadi tabiat setiap wanita, siapun orangnya dan bagaimanapun kedudukannya. Akan tetapi, hendaklah perasaan cemburu ini dapat dikendalikan sedemikian rupa, sehingga tidak menimbulkan masalah yang bisa menghancurkan kehidupan rumah tangga.

Berikut beberapa nasihat yang perlu diperhatikan oleh para isteri untuk menjaga keharmonisan kehidupan rumah tangga, sehingga tidak ternodai oleh pengaruh perasaan cemburu yang berlebihan.

  1. Seorang isteri hendaklah bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan bersikap pertengahan dalam hal cemburu terhadap suami. Sikap pertengahan dalam setiap perkara merupakan bagian dari kesempurnaan agama dan akal seseorang. Dikatakan oleh Nabi Shallalahu 'alaihi wa sallam kepada 'Aisyah Radhiyallahu 'anha :

    "Hai 'Aisyah, bersikaplah lemah-lembut, sebab jika Allah menginginkan kebaikan pada sebuah keluarga, maka Dia menurunkan sifat kasih-Nya di tengah-tengah keluarga tersebut [7]".

    Dan sepatutnya seorang isteri meringankan rasa cemburu kepada suami, sebab bila rasa cemburu tersebut melampaui batas, bisa berubah menjadi tuduhan tanpa dasar, serta dapat menyulut api di hatinya yang mungkin tidak akan pernah padam, bahkan akan menimbulkan perselisihan di antara suami isteri dan melukai hati sang suami. Sedangkan isteri akan terus hanyut mengikuti hawa nafsunya.

  2. Wanita pecemburu, lebih melihat permasalahan dengan perasaan hatinya daripada indera matanya. Ia lebih berbicara dengan nafsu emosinya dari pada pertimbangan akal sehatnya. Sehingga sesuatu masalah menjadi berbalik dari yang sebenarnya. Hendaklah hal ini disadari oleh kaum wanita, agar mereka tidak berlebihan mengikuti perasaan, namun juga mempergunakan akal sehat dalam melihat suatu permasalahan.

  3. Dari kisah-kisah kecemburuan sebagian isteri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tersebut, bisa diambil pelajaran berharga, bahwa sepatutnya seorang wanita yang sedang dilanda cemburu agar menahan dirinya, sehingga perasaan cemburu tersebut tidak mendorongnya melakukan pelanggaran syari'at, berbuat zhalim, ataupun mengambil sesuatu yang bukan haknya. Maka janganlah mengikuti perasaan secara membabi buta.

  4. Seorang isteri yang bijaksana, ia tidak akan menyulut api cemburu suaminya. Misalnya, dengan memuji laki-laki lain di hadapannya atau menampakkan kekaguman terhadap penampilan laki-laki lain, baik pakainnya, gaya bicaranya, kekuatan fisiknya dan kecerdasannya. Bahkan sangat menyakitkan hati suami, jika seorang isteri membicarakan tentang suami pertamanya atau sebelumnya. Rata-rata laki-laki tidak menyukai itu semua. Karena tanpa disadarinya, pujian tersebut bermuatan merendahkan "kejantanan"nya, serta mengurangi nilai kelaki-lakiannya, meski tujuan penyebutan itu semua adalah baik. Bahkan, walaupun suami bersumpah tidak terpengaruh oleh ungkapannya tersebut, tetapi seorang isteri jangan melakukannya. Sebab seorang suami tidak akan bisa melupakan itu semua selama hidupnya.

  5. Ketahuilah wahai para isteri! Bahwa yang menjadi keinginan laki-laki di lubuk hatinya adalah jangan sampai ada orang lain dalam hati dan jiwamu. Tanamkan dalam dirimu bahwa tidak ada lelaki yang terbaik, termulia, dan lainnya selain dia.

  6. Wahai, para isteri! Jadikanlah perasaan cemburu kepada suami sebagai sarana untuk lebih mendekatkan diri kepadanya. Jangan menjadikan ia menoleh kepada wanita lain yang lebih cantik darimu. Berhias dirilah, jaga penampilan di hadapannya agar engkau selalu dicintai dan disayanginya. Cintailah sepenuh hatimu, sehingga suami tidak membutuhkan cinta selain darimu. Bahagiakan ia dengan seluruh jiwa, perasaan dan daya tarikmu, sehingga suami tidak mau berpisah atau menjauh darimu. Berikan padanya kesempatan istirahat yang cukup. Perdengarkan di telinganya sebaik-baik perkataan yang engkau miliki dan yang paling ia senangi.

  7. Wahai, para isteri! Janganlah engkau mencela kecuali pada dirimu sendiri, bila saat suamimu datang wajahnya dalam keadaan bermuram durja. Jangan menuduh –salah- kecuali pada dirimu sendiri, bila suamimu lebih memilih melihat orang lain dan memalingkan wajah darimu. Dan jangan pula mengeluh bila engkau mendapatkan suamimu lebih suka di luar daripada duduk di dekatmu. Tanyakan kepada dirimu, mana perhatianmu kepadanya? Mana kesibukanmu untuknya? Dan mana pilihan kata-kata manis yang engkau persembahkan kepadanya, serta senyum memikat dan penampilan menawan yang semestinya engkau berikan kepadanya? Sungguh engkau telah berubah di hadapannya, sehingga berubah pula sikapnya kepadamu. Lebih dari itu, engkau melemparkan tuduhan terhadapnya karena cemburu butamu.

  8. Dan ingatlah wahai para isteri! Suamimu tidak mencari perempuan selain dirimu. Dia mencintaimu, bekerja untukmu, hidup senantiasa bersamamu, bukan dengan yang lainnya. Bertakwalah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, ikutilah petunjuk-Nya dan percayalah sepenuhnya kepada suamimu setelah percaya kepada Allah yang senantiasa menjaga hamba-hamba-Nya yang selalu menjaga perintah-perintah-Nya, lalu tunaikanlah yang menjadi kewajibanmu. Jauhilah perasaan was-was, karena setan selalu berusaha untuk merusak dan mengotori hatimu.

TIDAK BOLEHKAH CEMBURU?

Barangkali, di antara para isteri ada yang membantah dan berkata, adalah kebodohon apabila seorang isteri tidak memiliki rasa cemburu pada suaminya, padahal cemburu ini merupakan ungkapan cintanya kepada suaminya, sekaligus sebagai bumbu penyedap yang bisa menimbulkan keharmonisan, kemesraan dan kepuasan batin dalam kehidupan rumah tangga.

Ya, benar! Akan tetapi, apakah pantas bagi seorang isteri yang berakal sehat, jika ia tenggelam dalam rasa cemburunya, sehingga menenggelamkan bahtera kehidupan rumah tangganya, mencabik-cabik jalinan cinta dan kasih-sayang dalam keluarganya, bahkan ia sampai terjangkiti penyakit depresi, buruk sangka yang dapat membawanya kepada penyakit psikis yang kronis, perang batin yang tidak berkesudahan, dan akhirnya merusak akal sehatnya?

Memang sangat tipis, perbedaan antara yang benar dengan yang salah, antara yang sakit dengan yang sehat, antara cemburu yang penuh dengan kemesraan dengan cemburu yang membakar dan menyakitkan hati dikarenakan penyakit kejiwaan yang berat. Namun, tetap ada perbedaan antara cemburu dalam rangka membela kehormatan diri dan kelembutan karena didasari rasa cinta kepada suami, dengan cemburu yang merusak dan membinasakan. Kalau begitu, cemburulah wahai para isteri, dengan kecemburuan yang membahagiakan suamimu, dan menampakkan ketulusan cintamu kepadanya! Tetapi hindarilah kecemburuan yang merusak dan menghancurkan keluargamu. Cemburulah demi memelihara harga diri dan kehormatan suami. Dan lebih utama lagi, cemburu untuk membela agama Allah.

Isteri yang selalu memantau kegiatan suaminya, mencari-cari berita tentangnya, serta selalu menaruh curiga pada setiap aktivitas suaminya, bahkan cemburu kepada teman dan sahabatnya, maka inilah isteri yang bodoh. Dengan sifatnya tersebut, maka kehidupan rumah tangganya, rasa cinta, kepercayaan di antara keduanya akan terputus dan hancur. Dan bagi wanita yang rasa cemburunya tersulut karena suatu sebab, kemudian ia merasa hal itu tidak pada tempatnya, hendaklah ia menyadari kesalahannya, lalu melakukan perbaikan atas sikapnya tersebut. Dan yang paling penting adalah, tidak mengulangi lagi kesalahan serupa di kemudian hari.

KECEMBURUAN LAKI-LAKI

Di antara salah satu adab pergaulan antara suami-isteri, yaitu seorang suami seharusnya bersikap pertengahan dalam hal kecemburuan kepada isteri, sehingga tidak terlalu berlebih-lebihan, atau sebaliknya menganggap remeh sikap cemburu. Hendaknya ia melakukan tindakan preventif. Jangan beriskap lengah terhadap hal-hal yang perlu dikhawatirkan bahayanya. Tetap menjaga isterinya, namun dalam batas-batas yang telah digariskan syari'at. Hal seperti ini dan semisalnya, termasuk jenis cemburu yang terpuji. Adapun sikap cemburu suami yang berlebih-lebihan serta prasangka yang tidak dilandasi bukti dan akal sehat, dan juga selalu mengontrol dan mengawasi isteri dalam segala perbuatannya, maka ini termasuk perbuatan yang tercela lagi diharamkan.

Allah berfirman :

"Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kalian mencari-cari kesalahan orang lain" [al Hujurat/49:12]

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam juga melarang para suami mencari-cari kesalahan isteri. Sebagaimana beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tegaskan dalam hadits:

“Ada jenis cemburu yang Allah membencinya. Yaitu kecemburuan suami kepada isteri yang tidak disertai adanya indikasi kuat yang mendukungnya".[8]

Barangsiapa mengabaikan sifat cemburu yang bisa lebih menguatkan hubungan cinta di antara suami isteri, maka ia hidup dengan hati yang rusak dan melenceng dari fitrahnya. Dijelaskan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada ad-dayyuts pada hari kiamat, dan tidak akan memasukkannya ke dalam surga”.[9]

Dayyuts adalah, seorang suami yang tidak memiliki sifat cemburu dan membiarkan isterinya berbuat maksiat. Dan sebaliknya, suami yang terlalu berlebihan rasa cemburunya akan hidup sengsara dan tersiksa, bahkan jarang seorang isteri yang mampu hidup lama dengannya, karena selalu merasa diawasi dan merasa tertekan.

Sikap yang wajar dalam masalah ini akan membawa dampak positif, terpeliharanya harga diri, kehormatan dan tercapainya kehidupan yang berbahagia. Sikap pertengahan dalam menyikapi rasa cemburu, artinya ia menjauh dari berprasangka buruk, tidak mencari-cari satu perkara secara mendetail bila tidak perlu, menghindari sikap tergesa dalam menerima berita -yang sengaja dihembuskan oleh orang yang mempunyai niat buruk- tanpa menyaringnya, berhati-hati terhadap perkara yang dikhawatirkan membahayakan, dan menjaga diri dari perilaku yang merusak. Jika hal itu dapat dipenuhi, maka itulah keutamaan yang sebenarnya. Sebaliknya, apabila tidak, maka akan membawa malapetaka bagi kehidupan rumah tangga.

Terkadang ada di antara para suami yang terjangkiti sifat cemburu buta. Dia merasa cemburu (pada isterinya) dari semua orang, sehingga isteri dilarang mengunjungi atau dikunjungi, meski kunjungan dari orang-orang mulia dan terhormat. Suami tidak bisa menerima, jika pintu rumahnya terbuka. Dia tidak merasa nyaman jika ada seseorang mengunjungi isterinya, tanpa sepengetahuannya. Atau saat ia tidak berada di rumah. Jika ia berangkat kerja, seluruh pintu ditutup, kunci-kunci dibawanya, dan setelah pulang seluruh kamar dikelilingi dan diamati. Sampai-sampai bila orang tua atau mahram dari isterinya datang berkunjung, maka harus menunggu di luar rumah sampai suami yang pecemburu itu tiba. Sungguh ini bisa menjadikan si isteri dan kerabatnya merasa tersinggung dan marah karena merasa tidak dihargai.

Kepada suami yang memiliki sifat demikian, rasanya lebih adil dan tepat jika dikatakan kepadanya: "Yang engkau lakukan itu, bukan termasuk cemburu yang benar menurut agama. Juga bukan kecemburuan seorang yang benar-benar disebut laki-laki. Itu tidak lebih sekedar kekhawatiran yang berlebihan, sehingga dengannya engkau telah membelenggu isterimu dari hak syar’inya. Dalam keadaan demikian, isterimu seperti bukan makhluk hidup padahal bukan pula benda mati. Engkau telah memadamkan cahaya kemuliaan dan kehormatannya. Nama baiknya akan menjadi pembicaraan di tengah publik. Sekiranya engkau termasuk orang muslim yang benar, yang berpegang pada akhlak dan etika Islam, tentu engkau akan melaksanakan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala, yang artinya:

"Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kalian mencari-cari kesalahan orang lain". [al Hujurat/49:12].

Sebaliknya, ada seorang suami yang terpesona dengan peradaban modern dan kemewahan duniawi. Maka diajaklah isterinya pergi ke tempat-tempat hiburan, diberikanlah kebebasan kepada isterinya untuk berkenalan dengan orang lain, yang baik maupun yang buruk akhlaknya. Hingga akhirnya si isteri pun melakukan hal-hal yang dilarang agama. Ternyata kemudian, si suami merasa cemburu. Sesampai di ke rumah, dihitunglah kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat isterinya, hingga terjadilah perselisihan di antara mereka. Namun suami ini tetap lalai dan belum menyadari keteledorannya. Dia selalu saja membuka pintu rumahnya bagi siapa pun, kawan-kawan atau koleganya. Dia tidak merasa berdosa jika mereka datang saat ia tidak ada. Hingga akhirnya, jika telah ada berita buruk tentang kehormatan isterinya, dia baru menyadari kelengahannya, cemburu lagi, marah besar dan naik pitam.

Wahai, suami yang lalai! Kecemburuanmu tak lagi bermanfaat setelah semua petaka itu terjadi. Kecemburuanmu adalah kecemburuan yang dibenci, yang tidak membuahkan apa-apa selain kehancuran mahligai rumah tanggamu. Maka tinggalkanlah kecemburuanmu yang palsu itu. Gantilah dengan kecemburuan yang dibenarkan agama, yakni kecemburuan lelaki sejati, kecemburuan yang bijak dan tidak membabi-buta. Itulah kecemburuan yang dicintai Allah, yang tidak mungkin menjadi sebab timbulnya hal-hal negatif di kalangan orang-orang baik dan terhormat.

Dengan hidayah Allah Subhanahu wa Ta'ala, dan di atas nilai-nilai yang utama inilah, kebahagiaan hidup bagi seluruh lapisan masyarakat bisa tercapai. Wallahu a’lam.

Maraji’ Utama :
  • Tuhfatul-‘Arus, az-Zawaj as-Said fil-Islam, Majdi Muhammad asy-Syahawi, Aziz Ahmad al Aththar, Maktabah at-Taufiqiyyah.
  • Tuhfatul-‘Arus aw az-Zawaj al Islamy as-Said, Mahmud Mahdi al-Istanbuli, Darul-Ma’rifah, Darul-Baidha’, Cetakan ke-5, Tahun 1406.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun X/1428H/2007M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnote
[1]. Sunan al Baihaqi (7/308).
[2]. Hadist riwayat al Bukhari (5/2002).
[3]. Hadist riwayat al Bukhari (5/2003).
[4]. Lihat Fathul Bari (7/149 dan 9/236).
[5]. Hadist riwayat al Bukhari (5/2004).
[6]. Hadist riwayat Muslim (2/670), secara ringkas dari hadits yang panjang.
[7]. Hadist riwayat Ahmad. Lihat Majmu’ Zawaid (8/19).
[8]. Hadist riwayat al Bazzar dan ath-Thabrani. Lihat Majma’ az-Zawaid (7/320).
[9]. Hadits riwayat Ahmad (2/69, 128, 134).

Wednesday, March 9, 2011

Kelembutan dan Basa Basi dalam Menghadapi Istri

Kelembutan merupakan kunci utama menghadapi wanita

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

اِرْفَقْ بِالْقَوارِيْرِ

“Lembutlah kepada kaca-kaca (maksudnya para wanita)” (HR Al-Bukhari V/2294 no 5856, Muslim IV/1811 no 2323, An-Nasa’i dalam Sunan Al-Kubro VI/135 no 10326 dan ini adalah lafal An-Nasa’i)

Berkata Ibnu Hajar, “Al-Qowarir plural (kata jamak) dari singular (kata tunggal) Qoruroh yang artinya adalah kaca…berkata Romahurmuzi, “Para wanita dikinayahkan dengan kaca karena lembutnya mereka dan lemahnya mereka yang tidak mampu untuk bergerak gesit. Para wanita disamakan dengan kaca karena kelembutan, kehalusan, dan kelemahan tubuhnya”…yang lain berkata bahwasanya para wanita disamakan dengan kaca karena begitu cepatnya mereka berubah dari ridho menjadi tidak ridho dan tidak tetapnya mereka (mudah berubah sikap dan pikiran) sebagaimana dengan kaca yang mudah untuk pecah dan tidak menerima kekerasan” (Fathul Bari X/545)

Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin, “…Sebuah kata yang engkau ucapkan bisa menjadikannya menjauh darimu sejauh bintang di langit, dan dengan sebuah kata yang engkau ucapkan bisa menjadikannya dekat hingga di sisimu” (Asy-Syarhul Mumti’ XII/385)

Berkata Al-Qodhi ‘Iyadh, “Para wanita disamakan dengan kaca karena lemahnya hati mereka” ( Masyariqol Anwaar II/177). Demikianlah…Allah telah menciptakan wanita dengan penuh kelembutan dan kelemahan. Hati mereka lemah sehingga sangat perasa. Mudah tersinggung…namun senang dipuji. Mudah berburuk sangka…mudah cemburu…mudah menangis…demikianlah wanita.

Sikap para wanita begitu cepat berubah terhadap sikap suami mereka…terkadang hari ini ridho dengan sikap suaminya…besok hari marah dan tidak ridho…, apalagi jika sang suami melakukan kesalahan….!!!

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَوْ أَحْسَنْتَ إِلَى إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا قَالَتْ مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطٌ

“Seandainya engkau berbuat baik pada salah seorang istri-istrimu sepanjang umurmu kemudian dia melihat suatu (yang tidak disukainya) darimu maka ia akan berkata, “Aku sama sekali tidak pernah kebaikan darimu” (HR Al-Bukhari I/19 no 29 dan Muslim II/626 no 907)



Basa-basi sangat diperlukan dalam menghadapi wanita

Hendaknya seorang suami pandai bersiasat dan berstrategi dalam bergaul dengan istrinya hingga menarik hatinya.

Berkata Ibnu Hajar, “Hadits ini menunjukan akan dianjurkannya untuk berbuat mujamalah (berbasa-basi) untuk menarik hati para wanita dan melembutkan hati mereka. Hadits ini juga menunjukan siasat dalam menghadapi wanita yaitu dengan memaafkan mereka serta sabar dalam menghadapi kebengkokan mereka. Dan barangsiapa yang berharap selamatnya para wanita dari kebengkokan maka ia tidak akan bisa mengambil manfaat dari mereka, padahal seorang pria pasti membutuhkan seorang wanita yang ia merasa tentram bersamanya dan menjalani hidup bersamanya. Seakan-akan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Tidaklah sempurna menikmati (bersenang-senang) dengan seorang wanita kecuali dengan bersabar menghadapinya” (Fathul Bari IX/254)

Berkata Imam An-Nawawi, “Hadits ini menunjukan sikap berlemah lembut terhadap para wanita, bersikap baik kepada mereka, sabar menghadapi bengkoknya akhlak mereka, sabar menghadapi lemahnya akal mereka, dan dibencinya menceraikan mereka tanpa ada sebab, serta janganlah berharap lurusnya seorang wanita” (Al-Minhaj X/57)

Oleh karena itu sikap basa-basi dihadapan wanita sangatlah diperlukan untuk menundukannya, bahkan hal ini disunnahkan sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

أََلآ إِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ وَأَنَّكَ إِنْ تُرِدْ إِقَامَتَهَا تَكْسِرْهَا فَدَارِهَا تَعِشْ بِهَا

“Ketahuilah bahwasanya wanita diciptakan dari tulang rusuk, dan jika engkau ingin untuk meluruskannya maka engkau akan mematahkannya, oleh karenya barbasa-basilah niscaya engkau akan bisa menjalani hidup dengannya” (HR Al-Hakim di Al-Mustadrok IV/192 no 7333, Ibnu Hibban (Al-Ihsan IX/485) no 4178, Ad-Darimi II/198 no 2221 dari hadits Samuroh bin Jundaub. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani (Lihat Shahihul Jami’ no 1944))





Bersambung ...
Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja
Tulisan ke 8 dari artikel Suami Sejati, www.firanda.com

Semakin Rusak Rakyatnya, Semakin Rusak Pula Pemimpinnya

Alhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala alihi wa sallam.

Banyak orang mungkin yang ingin merubah bangsa ini. Namun seringkali yang ditempuh adalah ingin melengserkan penguasa yang ada. Apakah betul memperbaiki bangsa ini dengan jalan seperti itu? Apakah betul ingin menyelesaikan krisis yang ada dengan menjelek-jelekkan penguasa. Ataukah ada jalan lain yang sebaiknya ditempuh.

Semoga tulisan kali ini dapat memberikan jawaban bagi pembaca sekalian.

Bersabarlah terhadap Pemimpin yang Zholim

Ibnu Abil ‘Izz mengatakan,

“Hukum mentaati pemimpin adalah wajib, walaupun mereka berbuat zholim (kepada kita). Jika kita keluar dari mentaati mereka maka akan timbul kerusakan yang lebih besar dari kezholiman yang mereka perbuat. Bahkan bersabar terhadap kezholiman mereka dapat melebur dosa-dosa dan akan melipat gandakan pahala. Allah Ta’ala tidak menjadikan mereka berbuat zholim selain disebabkan karena kerusakan yang ada pada diri kita juga. Ingatlah, yang namanya balasan sesuai dengan amal perbuatan yang dilakukan (al jaza’ min jinsil ‘amal). Oleh karena itu, hendaklah kita bersungguh-sungguh dalam istigfar dan taubat serta berusaha mengoreksi amalan kita.

Perhatikanlah firman Allah Ta’ala berikut,

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ

“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy Syura [42] : 30)

أَوَلَمَّا أَصَابَتْكُمْ مُصِيبَةٌ قَدْ أَصَبْتُمْ مِثْلَيْهَا قُلْتُمْ أَنَّى هَذَا قُلْ هُوَ مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِكُمْ

“Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata: “Dari mana datangnya (kekalahan) ini?” Katakanlah: “Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri”.” (QS. Ali Imran [3] : 165)

مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ

“Apa saja ni’mat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (QS. An Nisa’ [4] : 79)

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَكَذَلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

“Dan demikianlah Kami jadikan sebahagian orang-orang yang zalim itu menjadi teman bagi sebahagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan.” (QS. Al An’am [6] : 129)

Apabila rakyat menginginkan terbebas dari kezholiman seorang pemimpin, maka hendaklah mereka meninggalkan kezholiman.

Semakin Baik Rakyat, Semakin Baik Pula Pemimpinnya

Ibnu Qayyim Al Jauziyah rahimahullah mengatakan,

“Sesungguhnya di antara hikmah Allah Ta’ala dalam keputusan-Nya memilih para raja, pemimpin dan pelindung umat manusia adalah sama dengan amalan rakyatnya bahkan perbuatan rakyat seakan-akan adalah cerminan dari pemimpin dan penguasa mereka. Jika rakyat lurus, maka akan lurus juga penguasa mereka. Jika rakyat adil, maka akan adil pula penguasa mereka. Namun, jika rakyat berbuat zholim, maka penguasa mereka akan ikut berbuat zholim. Jika tampak tindak penipuan di tengah-tengah rakyat, maka demikian pula hal ini akan terjadi pada pemimpin mereka. Jika rakyat menolak hak-hak Allah dan enggan memenuhinya, maka para pemimpin juga enggan melaksanakan hak-hak rakyat dan enggan menerapkannya. Jika dalam muamalah rakyat mengambil sesuatu dari orang-orang lemah, maka pemimpin mereka akan mengambil hak yang bukan haknya dari rakyatnya serta akan membebani mereka dengan tugas yang berat. Setiap yang rakyat ambil dari orang-orang lemah maka akan diambil pula oleh pemimpin mereka dari mereka dengan paksaan.

Dengan demikian setiap amal perbuatan rakyat akan tercermin pada amalan penguasa mereka. Berdasarkah hikmah Allah, seorang pemimpin yang jahat dan keji hanyalah diangkat sebagaimana keadaan rakyatnya. Ketika masa-masa awal Islam merupakan masa terbaik, maka demikian pula pemimpin pada saat itu. Ketika rakyat mulai rusak, maka pemimpin mereka juga akan ikut rusak. Dengan demikian berdasarkan hikmah Allah, apabila pada zaman kita ini dipimpin oleh pemimpin seperti Mu’awiyah, Umar bin Abdul Azis, apalagi dipimpin oleh Abu Bakar dan Umar, maka tentu pemimpin kita itu sesuai dengan keadaan kita. Begitu pula pemimpin orang-orang sebelum kita tersebut akan sesuai dengan kondisi rakyat pada saat itu. Masing-masing dari kedua hal tersebut merupakan konsekuensi dan tuntunan hikmah Allah Ta’ala.

Pada masa pemerintahan ‘Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu ada seseorang yang bertanya kepada beliau, “Kenapa pada zaman kamu ini banyak terjadi pertengkaran dan fitnah (musibah), sedangkan pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak?
‘Ali menjawab, “Karena pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjadi rakyatnya adalah aku dan sahabat lainnya. Sedangkan pada zamanku yang menjadi rakyatnya adalah kalian.”

Oleh karena itu, untuk mengubah keadaan kaum muslimin menjadi lebih baik, maka hendaklah setiap orang mengoreksi dan mengubah dirinya sendiri, bukan mengubah penguasa yang ada. Hendaklah setiap orang mengubah dirinya yaitu dengan mengubah aqidah, ibadah, akhlaq dan muamalahnya. Perhatikanlah firman Allah Ta’ala,

إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ

“Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” (QS. Ar Ra’du [13] : 11)

Cara Menegakkan Negara Islam

Ada seorang da’i saat ini berkata,

أَقِيْمُوْا دَوْلَةَ الإِسْلاَمِ فِي قُلُوْبِكُمْ، تَقُمْ لَكُمْ عَلَى أَرْضِكُمْ

“Tegakkanlah Negara Islam di dalam hati kalian, niscaya negara Islam akan tegak di bumi kalian.”

Bukanlah jalan melepaskan diri dari kezoliman penguasa adalah dengan mengangkat senjata melalui kudeta yang termasuk bid’ah pada saat ini. Pemberontakan semacam ini telah menyelisihi nash-nash yang memerintahkan untuk merubah diri sendiri terlebuh dahulu dan membangun bangunan dari pondasi (dasar). Allah Ta’ala berfirman,

وَلَيَنْصُرَنَّ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ

“Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (QS. Al Hajj [22] : 40)

Jalan keluar dari kezholiman penguasa –di mana kulit mereka sama dengan kita dan berbicara dengan bahasa kita- adalah dengan:

1. Bertaubat kepada Allah Ta’ala
2. Memperbaiki aqidah
3. Mendidik diri dan keluarga dengan ajaran Islam yang benar

Oleh karena itu, hendaklah setiap da’i yang ingin mendakwahkan islam memulai dakwahnya dengan dakwah tauhid. Inilah dakwah para Nabi dan dakwah pertama yang Nabi perintahkan kepada da’i dari kalangan sahabat untuk menyampaikannya kepada umat. Para sahabat tidaklah diperintahkan untuk menegakkan khilafah islamiyah terlebih dahulu atau menguasai pemerintahan melalui politik. Namun, dakwah yang beliau perintah untuk disampaikan pertama kali adalah dakwah tauhid.

Lihatlah nasehat beliau shallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau mengutusnya ke Yaman –negeri Ahli Kitab-,

إِنَّكَ تَقْدَمُ عَلَى قَوْمٍ أَهْلِ كِتَابٍ ، فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ عِبَادَةُ اللَّهِ ، فَإِذَا عَرَفُوا اللَّهَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِى يَوْمِهِمْ وَلَيْلَتِهِمْ

“Sesungguhnya engkau akan mendatangi kaum Ahli Kitab. Jadikanlah dakwah pertamamu kepada mereka adalah untuk beribadah kepada Allah (mentauhidkannya). Apabila mereka sudah mentauhidkan Allah, beritahukanlah mereka bahwa Allah mewajibkan shalat lima waktu sehari semalam kepada mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Semoga Allah senantiasa memperbaiki kondisi kaum muslimin dan juga memperbaiki keadaan pemimpin mereka.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

****

Yang selalu mengharapkan ampunan dan rahmat Rabbnya
Muhammad Abduh Tuasikal
14 Rabi’ul Akhir 1430 H

Apakah Anak Kecil Mendapat Pahala Amal Sholeh?

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Apakah anak kecil jika melakukan shalat dan puasa juga dapat pahala padahal saat itu belum baligh? Jika belum baligh[1] berarti belum dibebani kewajiban syari’at. Lantas masalahnya, apakah ia beramal sholeh dapat pahala?

Mari kita perhatikan hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

رَفَعَتِ امْرَأَةٌ صَبِيًّا لَهَا فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلِهَذَا حَجٌّ قَالَ « نَعَمْ وَلَكِ أَجْرٌ ».

“Seorang ibu mengankat anaknya. Lalu ia berkata pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, apakah ia sudah dikatakan berhaji?” Beliau bersabda, “Iya dan bagimu pahala.”[2]

Penulis kitab Mawahibul Jalil fii Syarh Mkhtashor Asy Syaikh Kholil (kitab fiqh Maliki) berkata tentang masalah anak kecil yang diperintahkan ketika ia telah berumur tujuh tahun,

: قَالَ الْقَرَافِيُّ فِي كِتَابِ الْيَوَاقِيتِ فِي الْمَوَاقِيتِ : الصَّبِيَّ .. يَحْصُلُ لَهُ أَجْرُ الْمَنْدُوبَاتِ إذَا فَعَلَهَا لِحَدِيثِ الْخَثْعَمِيَّةِ

“Al Qorofi mengatakan dalam kitab Al Yawaqit fil Mawaqiit bahwa anak kecil ketika itu juga mendapatkan pahala karena telah melakukan amalan sunnah jika ia melakukannya. Alasannya adalah hadits Al Khats’amiyyah.”

Ibnu Rusyd mengatakan,

إنَّ الصَّغِيرَ لا تُكْتَبُ عَلَيْهِ السَّيِّئَاتُ وَتُكْتَبُ لَهُ الْحَسَنَاتُ عَلَى الصَّحِيحِ مِنْ الأَقْوَالِ

“Sesungguhnya anak kecil tidak dicatat baginya dosa. Namun dicatat baginya (pahala) kebaikan menurut pendapat yang shahih dari pendapat yang ada.”

Tidak ada khilaf (perselisihan antara para ulama) bahwa anak kecil diberi pahala dari ketaatann yang ia lakukan. Namun jika ia melakukan kesalahan (dosa), maka ia dimaafkan karena apa yang sengaja ia lakukan seperti dihukumi orang yang khotho’ (keliru).

Disebutkan dalam kitab Mukhtashor Al Wadhihah,

وَلا تَجِبُ فَرِيضَةُ الْحَجِّ عَلَى الصَّغِيرِ وَالصَّغِيرَةِ حَتَّى يَبْلُغَ الصَّغِيرُ الْحُلُمَ وَالصَّغِيرَةُ الْحَيْضَ وَلَكِنْ لا بَأْسَ أَنْ يُحَجَّ بِهِمَا وَهُوَ مُسْتَحَبٌّ عَمِلَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم انْتَهَى . ثُمَّ ذُكِرَ عَنْ طَلْحَةَ بْنِ مُصَرِّفٍ قَالَ : كَانَ مِنْ أَخْلاقِ الْمُسْلِمِينَ أَنْ يَحُجُّوا بِأَبْنَائِهِمْ وَيَعْرِضُونَهُمْ لِلَّهِ .

“Tidak diwajibkan haji bagi anak kecil laki-laki maupun perempuan sampai ia baligh (ditandai dengan mimpi basah dan pada wanita ditandai dengan haidh). Akan tetapi tidak mengapa jika anak kecil tersebut berhaji. Mereka dinilai melakukan haji yang sunnah, demikianlah yang dimaksud dalam hadits.” Kemudian disebutkan dari Tholhah bin Mushorrif, ia berkata, “Di antara akhlaq kaum muslimin, mereka berhaji dengan anak-anak mereka dan ingin mendapatkan pahala dari Allah.”

Ibnu ‘Abdil Barr dalam At Tamhiid mengatakan,

الأَمْرُ بِالْحَجِّ بِالصِّبْيَانِ وَالأَمْرُ بِاسْتِحْسَانِهِ وَاسْتِحْبَابِهِ وَأَنَّ جُمْهُورَ الْعُلَمَاءِ عَلَى ذَلِكَ , وَقَالَ فِيهِ أَيْضًا : غَيْرَ مُسْتَنْكَرٍ أَنْ يُكْتَبَ لِلصَّبِيِّ دَرَجَةٌ وَحَسَنَةٌ فِي الآخِرَةِ بِصَلاتِهِ وَزَكَاتِهِ وَحَجِّهِ وَسَائِرِ أَعْمَالِ الْبِرِّ الَّتِي يَعْمَلُهَا وَيُؤَدِّيهَا عَلَى سُنَّتِهَا تَفَضُّلا مِنْ اللَّهِ كَمَا تَفَضَّلَ عَلَى الْمَيِّتِ بِأَنْ يُؤْجَرَ بِصَدَقَةِ الْحَيِّ عَنْهُ

“Perintah untuk berhaji bagi anak kecil adalah perintah kebaikan dan sunnah. Mayoritas para ulama menghukumi amalan tersebut sunnah. Dan juga dikatakan bahwa tidak diingkari jika anak kecil tersebut dicatat kebaikannya di akhirat karena shalat, zakat, haji dan amalan kebaikan lainnya yang ia lakukan. Amalan yang ia lakukan tersebut dianggap amalan sunnah sebagai karunia dari Allah sebagaimana mayit diberi pahala karena sedekah yang diniatkan oleh orang yang masih hidup untuknya.”

Demikian faedah ilmu yang kami dapat siang ini dan moga bermanfaat. Semoga semakin membuat kita semangat mendakwahi anak-anak kita (meskipun belum baligh) untuk beramal sholeh. Wallahu waliyyut taufiq.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.



Riyadh-KSA, 28th Rabi’ul Awwal 1432 H (03/03/2011)
www.rumaysho.com

[1] Tanda baligh adalah: (1) Ihtilam, yaitu keluarnya mani dalam keadaan sadar atau saat mimpi; (2) Tumbuhnya bulu kemaluan; atau (3) Dua tanda yang khusus pada wanita adalah haidh dan hamil. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, tebitan Kementrian Wakaf dan Urusan Islam-Kuwait, 8/188-190)

[2] HR. Muslim no. 1336.

Monday, March 7, 2011

Engkau Melarang Anakmu, Tapi Engkau Sendiri..

Renungan Bagi Setiap Orang Tua
Disusun oleh Muhammad Abduh Tuasikal, ST

Wahai para orang tua tercinta …
Wahai para ayah dan ibu, semoga kita selalu mendapatkan taufik Allah.
 
Kenapa engkau larang anakmu dari akhlak yang tercela, namun engkau sendiri melakukannya?!
Kenapa engkau larang anakmu untuk berdusta, malah engkau sendiri yang berdusta?!
Engkau rela berdusta di hadapan mereka. Engkau dicari seseorang di rumah atau di telepon, namun karena ingin menghindar, engkau memerintah anakmu untuk mengatakan kepada orang yang mencarimu itu, “Nak, katakan padanya bahwa bapak tidak sedang ada di rumah.”

Bagaimana engkau mengajarkan anakmu untuk menepati janji, sedangkan engkau sering mengingkari janji?!!
Engkau melarang anakmu untuk bersuara keras.

Engkau mengajarkannya firman Allah Ta’ala,

وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ إِنَّ أَنْكَرَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ

“Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai..” (QS. Luqman : 19) .

Engkau mengajari demikian, namun engkau malah mengeraskan suaramu dengan mencaci, dan teriak-teriak. Engkau malah sering mencaci maki istri, juga anak-anakmu.
Bagaimana pula engkau melarang anak-anakmu merokok dan memandang hal-hal yang haram -seperti gambar porno atau wanita telanjang-, namun engkau sendiri melakukannya?!
Anakmu mungkin berkata, “Kenapa tidak boleh, Pak?” Kenapa engkau mewajibkan sesuatu namun engkau melanggarnya?!

Bukankah Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ (2) كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ (3)

“Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. Ash Shaff : 2-3)

Syu’aib ‘alaihish sholatu was salaam mengatakan,

مَا أُرِيدُ أَنْ أُخَالِفَكُمْ إِلَى مَا أَنْهَاكُمْ عَنْهُ إِنْ أُرِيدُ إِلَّا الْإِصْلَاحَ مَا اسْتَطَعْتُ

“Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu (dengan mengerjakan) apa yang aku larang. Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan.” (QS. Hud : 88)

Mengenai hal ini terdapat pula hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dikeluarkan oleh Bukhari dari hadits Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma. Beliau mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Di hari kiamat nanti akan ada seseorang yang dilemparkan ke dalam neraka. Lalu ususnya keluar di neraka. Kemudian dia berputar sebagaimana berputarnya keledai, dia berputar mengelilingi sebuah penggiling (yang dijalankan dengan tangannya). Lalu para penduduk neraka berkumpul di sekitarnya. Mereka berkata, “Wahai si A, apa yang terjadi padamu? Bukankah dulu engkau mengajak kami pada kebajikan dan melarang kami dari kemungkaran? Orang ini menjawab, “(Iya betul). Dulu memang aku mengajak kalian pada kebajikan namun aku sendiri tidak melaksanakannya. Aku juga melarang kalian dari kemungkaran, namun aku sendiri melakukannya.” (HR. Bukhari no. 3267)

Semoga kita termasuk orang tua yang mengajak anak pada kebaikan, namun kita juga melaksanakan hal itu. Semoga pula kita termasuk orang tua yang melarang dari kemungkaran dan berusaha menjauhinya.

Ya Allah, berkahilah pendengaran, penglihatan, dan hati kami. Ya Allah, berkahilah istri dan anak-anak kami, semoga mereka menjadi penyejuk mata bagi kami.

Rujukan : Fiqh Tarbiyah Al Abna’, Musthofa Al Adawi

Disusun di Pangukan, Sleman di sore hari saat Allah menurunkan berkah hujan,
13 Dzulqo’dah 1429
Yang Selalu Mengharapkan Ampunan dan Rahmat Rabbnya
Muhammad Abduh Tuasikal, ST

Yang Disembelih itu Ishaq, bukan Ismail

Disusun oleh Muhammad Abduh Tuasikal dan Ari Wahyudi
Ringkasan dari tulisan kami berdua yang pernah dipublish di www.muslim.or.id (silakan download artikel selengkapnya di page e-book RUMAYSHO di atas)

Ini juga adalah kerancuan yang dimunculkan oleh Makrus (yang mengaku habib).
Dia mengatakan,

”Isi dalam Al Qur’an itu tidak ada satu pun yang salah, namun hanya terjadi kesalah pahaman. Contoh kecil adalah dalam perayaan Idul Adha. Menurut Islam yang disembelih adalah Ismail sedangkan menurut Kristen adalah Iskak (mungkin yang dimaksudkan adalah Ishaq, pen).” Kemudian dia mengatakan,”Mana dalilnya yang menyatakan bahwa yang disembelih adalah Ismail?” Lalu dia begitu tegasnya mengatakan,”Tidak ada satu pun ayat yang menyatakan bahwa yang disembelih adalah Ismail. Justru yang disembelih oleh Ibrahim adalah Ishaq walaupun pada akhirnya diganti domba. Di dalam kitab suci Al Qur’an, yang dikatakan disembelih adalah Ishaq bukan Ismail.”

Berikut sanggahannya:

Kami begitu heran, kok dia begitu lancangnya menyatakan demikian sebagaimana dia menyatakan pula bahwa tidak ada satu ayat pun yang memerintahkan mengikuti Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Karena dia mengatakan dengan membawa nama Al Qur’an maka kami akan buktikan dengan membawa ayat dan tafsir mengenai hal ini. Marilah kita lihat tentang kisah Ibrahim, Isma’il dan Ishaq pada Surat Ash Shafaat ayat 100-113.

رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ (100) فَبَشَّرْنَاهُ بِغُلَامٍ حَلِيمٍ (101) فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ (102) فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ (103) وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيمُ (104) قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ (105) إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلَاءُ الْمُبِينُ (106) وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ (107) وَتَرَكْنَا عَلَيْهِ فِي الْآَخِرِينَ (108) سَلَامٌ عَلَى إِبْرَاهِيمَ (109) كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ (110) إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُؤْمِنِينَ (111) وَبَشَّرْنَاهُ بِإِسْحَاقَ نَبِيًّا مِنَ الصَّالِحِينَ (112) وَبَارَكْنَا عَلَيْهِ وَعَلَى إِسْحَاقَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِهِمَا مُحْسِنٌ وَظَالِمٌ لِنَفْسِهِ مُبِينٌ (113)

“Ya Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh. Maka Kami beri dia khabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar (yaitu Ismail). Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya ). Dan Kami panggillah dia: “Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, (yaitu)”Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim.” Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman. Dan Kami beri dia kabar gembira dengan (kelahiran) Ishaq seorang nabi yang termasuk orang-orang yang saleh. Kami limpahkan keberkatan atasnya dan atas Ishaq. Dan di antara anak cucunya ada yang berbuat baik dan ada (pula) yang Zalim terhadap dirinya sendiri dengan nyata.”

Lalu apakah betul anak yang disembelih adalah Ishaq?
Hal ini sudah dijawab oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya. Mari kita lihat!

“Maka Kami beri dia khabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar”. Anak ini adalah Ismail ‘alaihis salam. Karena Ismail adalah anak pertama Ibrahim ‘alaihis salam. Dan Ismail lebih tua daripada Ishaq dengan kesepakatan (ijma’) kaum muslimin dan ahlul kitab (Yahudi dan Nashrani, pen). Bahkan di dalam Kitab mereka (Taurat dan Injil, pen), Isma’il lahir pada saat Ibrahim berumur 86 tahun, sedangkan Ishaq lahir pada saat Ibrahim beumur 99 tahun. Menurut Ahlul Kitab, sesungguhnya Allah memerintahkan Ibrahim untuk menyembelih anaknya yang wahid (tunggal). Dan di naskah lain dikatakan ‘bikr (anak pertama)’. Lalu mereka melempar (menghilangkan) perkataan ini dengan melakukan kedustaan dan kebohongan, yaitu sengaja mengganti dengan nama Ishaq. Mereka tidak membolehkan (menyetujui) hal ini karena menyelisihi nash kitab mereka. Sesungguhnya mereka mengganti dengan nama Ishaq karena Ishaq adalah bapak mereka. Sedangkan Isma’il adalah bapak orang Arab. Oleh karena itu mereka dengki kepada orang Arab (umat Islam), lalu menambahkan demikian dan mereka merubah nama anak pertama Ibrahim ini.

Sebagian ulama juga telah berpendapat bahwa yang disembelih adalah Ishaq sebagaimana diceritakan dari beberapa salaf, bahkan dikatakan pula oleh beberapa orang sahabat. Dan pendapat ini tidaklah berlandaskan pada Kitab (Al Qur’an) maupun Sunnah. Aku menduga bahwa hal ini tidaklah didapatkan kecuali dari berita Ahli Kitab lalu diambil oleh kaum muslimin tanpa ada hajat (kebutuhan). Padahal Al Qur’an telah menjadi saksi dan petunjuk bahwa yang disembelih adalah Isma’il. Karena Ismail telah disebut dengan ‘seorang anak yang amat sabar’ dan disebutkan bahwa dia disembelih. Kemudian dikatakan pada ayat berikutnya ‘Dan Kami beri dia kabar gembira dengan (kelahiran) Ishaq seorang nabi yang termasuk orang-orang yang saleh’. Dan tatkala malaikat memberi kabar mengenai kelahiran Ishaq, mereka mengatakan,

{ إِنَّا نُبَشِّرُكَ بِغُلامٍ عَلِيمٍ }

“Sesungguhnya kami memberi kabar gembira kepadamu dengan (kelahiran seorang) anak laki-laki yang alim” (QS. Al Hijr [15] : 53)

Kemudian Allah firmankan pula,

{ فَبَشَّرْنَاهَا بِإِسْحَاقَ وَمِنْ وَرَاءِ إِسْحَاقَ يَعْقُوبَ }

“Maka Kami sampaikan kepadanya berita gembira tentang (kelahiran) Ishak dan setelah Ishak adalah Ya’qub.” (QS. Hud [11] : 71)

Yaitu akan lahir bagi Ibrahim dalam kehidupan Ibrahim dan Istrinya; Ya’qub. Ya’qub inilah yang darinya akan lahir keturunan dan cucu Ibrahim. Dan telah lewat di atas bahwa tidak boleh setelah ini, Ibrahim diperintahkan menyembelih Ishaq padahal dia masih kecil (lihat umur Ishaq dan Ismail di atas selisih 13 tahun). Karena Allah Ta’ala telah menjanjikan bagi Ibrahim dan istrinya keturunan dan cucu. Bagaimana mungkin setelah ini, Ibrahim diperintahkan menyembelih Ishaq sedangkan dia masih kecil? Sedangkan Isma’il disifati dengan ‘hilm’ (sabar) di sini karena hal ini lebih sesuai dengan konteks ayat.” Demikianlah penjelasan dari Ibnu Katsir.

Tafsiran yang lainnya pula –yang insya Allah akan lebih memperjelas- adalah perkataan Syaikh Muhammad Amin Asy Syinqithi dalam tafsirnya Adwa’ul Bayan.

Beliau rahimahullah mengatakan,”Ketahuilah –semoga Allah memberi taufik kepadaku dan kepada engkau-. Sesungguhnya Al Qur’an Al ‘Azhim telah menunjukkan pada dua tempat bahwa yang disembelih adalah Isma’il dan bukanlah Ishaq. Yang pertama pada surat Ash Shoffaat dan yang kedua pada surat Hud.”

Yang pertama adalah pada surat Ash Shoffaat sebagaimana telah kami tunjukkan di atas dan yang kedua adalah surat Hud ayat 71 di atas. Ringkasnya, Syaikh Muhammad Asy Syinqithi menjelaskan bahwa :

Pertama; Yang menunjukkan bahwa Isma’il-lah yang disembelih adalah berdasarkan konteks ayat. Dapat kita lihat dari jalan cerita ayat ini. Pada awalnya Ibrahim dikabarkan akan mendapatkan anak yang amat sabar. Kemudian pada ayat 112, Ibrahim dikabarkan akan mendapatkan Ishaq yang akan lahir darinya cucu yaitu Ya’qub. Maka hal ini menunjukkan bahwa berita pertama adalah berbeda dengan berita kedua. Karena tidak boleh membawa maksud Al Qur’an bahwa berita pertama adalah mengenai Ishaq. Kemudian setelah disembelih, lalu pada akhir kisah disebut lagi ‘telah Kami kabarkan pada Ibrahim mengenai Ishaq’. Maka ini merupakan pengulangan tanpa ada faedah dan apa gunanya Allah menurunkannya berulang. Oleh karena itu, ayat ini menunjukkan dengan sangat jelas bahwa yang anak yang diberitakan pertama kali lalu disembelih adalah Isma’il. Sedangkan berita mengenai Ishaq adalah nash yang berdiri sendiri setelah itu.

Kedua; Adapun pada ayat kedua yaitu surat Hud ayat 17. Yaitu bahwasanya utusan Allah dari malaikat menyampaikan kabar gembira kepada Ibrahim mengenai Ishaq. Lalu Ishaq akan melahirkan Ya’qub. Maka sungguh tidak masuk akal, Ibrahim diperintahkan menyembelih Ishaq padahal dia masih kecil dan Ibrahim telah meyakini bahwa dia akan hidup hingga Ya’qub lahir.

Dari penjelasan ini, kita dapat lihat siapakah yang salah paham, Si Habib ini ataukah para ulama ahli tafsir. Tentu ulama ahli tafsir lebih berilmu dan lebih paham daripada dia.