Monday, February 28, 2011

Ziarah Antar Muslimah

ZIARAH ANTAR MUSLIMAH[1]


Sebelum memasuki pembahasan tentang ziarah, ada baiknya jika kita ulas terlebih dahulu tentang uzlah (mengasingkan diri dari pergaulan dengan manusia), serta kebalikannya yakni mukhalathah (bersosialisasi dengan orang lain). Karena ziarah berkaitan dengan kedua hal tersebut.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menuturkan, ”Sesungguhnya, memilih untuk bergaul dengan manusia secara mutlak merupakan sikap yang salah. Begitu juga menutup diri dari manusia (tidak mau bergaul) secara mutlak, juga merupakan kekeliruan.” [2]

Antara uzlah dan mukhalathah memang tidak bisa dikatakan secara mutlak, mana diantara keduanya yang lebih utama untuk dilakukan. Karena salah satu dari keduanya bisa jadi lebih utama, tergantung tuntutan kondisi, situasi serta keadaan yang dihadapi seseorang.

UZLAH, ANTARA MANFAAT DAN SISI NEGATIFNYA
Diantara manfaat uzlah antara lain ialah:

1. Tersedianya waktu luang untuk lebih berkonsentrasi dalam beribadah, bertaffakur dan bermunajat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, menyibukkan diri dengan berupaya menyingkap rahasia-rahasia Allah dalam berbagai perkara dunia dan akhirat, serta memikirkan hikmah penciptaan makhluk, termasuk kerajaan langit dan bumi yang begitu luas. Seluruh hal tersebut menuntut adanya waktu luang. Sedangkan waktu luang tidak bisa didapat ketika kita banyak menghabiskan waktu dalam bergaul dengan orang lain; dan uzlah merupakan salah satu sarana yang bisa mengantarkan kita kepada tujuan tersebut.

Dzun Nun Al Mishri berkata, ”Kebahagian seorang mukmin dan kelezatanya, yaitu ketika dia bermunajat kepada Rabb-nya.” Sedangkan Fudhail bin Iyadh berkata,”Jika aku melihat malam telah datang, aku bergembira karenanya, dan ku katakan, ‘aku akan berkhalwat bersama Rabb-ku’.”

2. Melepaskan diri dari jeratan maksiat, yang kebanyakan manusia terjerumus ke dalam maksiat tersebut karena sebab bergaul. Seperti: ghibah (menggunjing), namimah (adu domba), riya’ (beramal agar dilihat orang), enggan beramar ma’ruf nahi mungkar, serta perangai-perangai buruk lainnya yang menyebabkan kita hanya berambisi kepada dunia.

3. Membebaskan serta memelihara diri dan jiwa dari tenggelam ke dalam bermacam fitnah dan permusuhan.

Abdullah bin Amr bin Al Ash berkata, Rasulullah menjelaskan tentang berbagai fitnah. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata.

إِّذَا رَأَيْتَ النَّاسَ مُرِجَتْ عُهُودُهُمْ وَ خُفَّتْ أَمَانَاتُهُمْ وَ كَانُوْا هَكَذَا وَ شَبَكَ بَيْن أَصَابِعِهِ ، قُلُتُ:"فَمَا تَأْمُرْ لِيْ؟ فَقَال َ((الْزَمْ بَيْتَكَ وَ أَمْسِكْ عَلَيْكَ لِسَانَكَ وَ خُذْ مَا تَعْرِفُ وَ دَعْ مَا تُنْكرُ وَ عَلَيْكَ بِأَمْرِ الْخَاصَّةِ وَ دَعْ عَنْكَ أَمْرَ الْعَامَّةِ))

Jika engkau lihat manusia, ketika itu perjanjian-perjanjian mereka dilanggar dan amanah mereka diremehkan, serta keadaan mereka seperti ini (beliau mengaitkan jari jemarinya).” Aku bertanya,”Apa yang engkau perintahkan kepadaku?” Maka beliau bersabda,”Tetaplah di rumahmu, tahanlah lidahmu, ambillah apa-apa yang engkau ketahui dan tinggalkanlah hal yang engkau ingkari, kerjakanlah perkara yang khusus bagimu, serta tinggalkanlah urusan orang banyak. [3]

4. Menyelamatkan diri dari kejeleken manusia. Tidak diragukan lagi, orang yang bergaul dengan menusia dan bergabung dengan mereka, tidak akan luput dari orang-orang yang dengki dan berburuk sangka kepadanya. Sebagaimana dikatakan ”Bergaul dengan orang-orang yang jelek akan membuahkan buruk sangka kepada orang-orang baik”. Umar bin Al Khattab berkata,”Pada uzlah ada peristirahatan dari teman-teman yang jelek.”

5. Melenyapkan ketamakan manusia terhadap diri kita, karena ridha manusia merupakan satu hal yang sulit di raih. Artinya, apapun yang kita perbuat tidak akan pernah lepas dari komentar manusia. Disamping itu juga, uzlah memangkas ketamakan diri kita terhadap apa yang ada di tangan orang lain. Rasulullah bersabda.

انْظُرُوُا إِلَى مَنْ هُوَ دُوْنَكُمْ وَ لاَ تنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ فَإِنَّهُ أّجْدَرُ أَنْ لاَ تَزْدَرُ نِغْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ

Lihatlah orang yang berada di bawahmu, dan janganlah engkau melihat orang yang berada di atasmu, karena hal demikian itu lebih membuatmu bersyukur atas nikmat Allah atasmu. [HR Muslim dari Abu Hurairah].

Adapun sisi negatif dari uzlah, kita tidak mendapatkan beberapa manfaat pada hal-hal yang memang tidak mungkin kita dapatkan, kecuali dengan bermu’amalah dengan manusia lain; baik yang berkaitan dengan masalah duniawi maupun ukhrawi.

SOSIALISASI; ANTARA SISI POSITIF DAN NEGATIFNYA

Tentang sisi positif ataupun manfaat bersiosialisasi dengan orang lain, antara lain dapat kita simpulkan sebagai berikut:

1. Manfaat pada sisi ilmiah, baik dengan mendapatkan ilmu dari orang lain maupun dengan mengajarkannya kepada mereka. Hal ini merupakan salah satu hal yang mengharuskan kita keluar dan bergaul dengan manusia. Disamping itu, mengajarkan ilmu merupakan salah satu wasilah agar ilmu kita tetap tsabit. Ia juga merupakan ladang bagi kita untuk mendapatkan pahala karena mengajarkan kebaikan kepada orang lain.

2. Manfaat pada sisi akhlak. Maksudnya, pergaulan merupakan ajang untuk menempa kesabaran diri menghadapi gangguan manusia, menyikapi gangguan mereka dengan sikap baik, serta berlatih untuk bersikap tawadhu’ (rendah hati) kepada mereka. Sebagaimana telah disabdakan oleh qudwah kita Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

المُؤْمِنُ الَّذِي يُخَالِطُ النَّاسَ وَ يَصْبِرُ عَلَى آذَاهُمْ أَفْضَلُ مِنَ الَّذِي لاّ يُخَالِطُ النّاَسَ وَ لاَ يَصْبِرُ عَلَى آذَاهُمْ

Mu’min yang bergaul dengan manusia serta bersabar menghadapi gangguan mereka, lebih utama daripada mu’min yang tidak bergaul dengan manusia, serta tidak bersabar atas ganggaun mereka. [4]

3. Manfaat pada sisi pahala. Bahwa kita mendapatkankan pahala dengan memanfaatkan moment dan kesempatan tertentu, seperti dengan mengunjungi orang sakit, menghadiri undangan walimah, berta’ziah ketika saudara kita tertimba musibah, menghadiri pemakaman jenazah dan lain sebagainya. Kesemuanya itu tidak mungkin kita lakukan, jika kita tidak mengetahui keadaan saudara yang lain. Sehingga dengan mengetahui kondisi mereka, kita bisa memberikan bantuan yang tepat, baik moril maupun materiil. Bukanlah satu hal yang bijaksana jika kita selalu menutup mata dari kesulitan orang lain, padahal kita mampu menolongnya. Betapa banyak orang-orang miskin yang kelaparan setiap harinya, sementara kita mungkin di rumah selalu kekenyangan, bahkan mentabdzir makanan. Betapa banyak orang yang kesusahan yang mengharap bantuan, dan tidak sedikit orang yang kerabatnya meninggal, namun tidak ada seorangpun yang melayat serta membantunya, karena keadaan mereka yang miskin. Sementara kita lihat di sana, di rumah megah seorang pejabat, di gedung gemerlap milik si kaya, orang-orang berbondong-bondong mengunjungi mereka, padahal si miskin lebih membutuhkan bantuan dan uluran tangan. Ingatlah wahai saudariku, suatu saat mungkin kita membutuhkan bantuan orang lain. Oleh karena itu, janganlah kita enggan menolong kesusahan sesama.

Dalam salah satu hadits, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَ مَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ في الدُنْيَا وَ الآخِرَةِ وَ مَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ في الدُنْيَا وَ الآخِرَةِ وَ اللهُ في عَوْنِ العَبُدِ مَ كَانَ العَبْدُ في عَوْنِ أَخِيْهِ

Barangsiapa melepaskan kesulitan seorang mu’min di dunia, niscaya Allah lepaskan kesulitannya di akhirat. Barangsiapa yang membantu orang miskin di dunia, niscaya Allah membantunya di dunia dan akhirat. Barangsiapa yang menutup aib seorang muslim, niscaya Allah tutup aibnya di dunia dan akhirat. Allah senantiasa menolong hambaNya selama si hamba mau menolong saudaranya. [HR Muslim].

4. Manfaat pada sisi ekonomi, baik dengan berjual-beli, sewa menyewa, pinjam-meminjam dan lain sebagainya, serta manfaat-manfaat lain yang bersifat materi dan non materi.

ADAB ZIARAH ANTAR SESAMA MUSLIMAH

Setelah kita memahami uzlah serta muamalah dengan manusia lain, manfaat serta mudharat keduanya, maka hendaklah kita bisa menimbang, mana diantaranya yang lebih baik untuk dikerjakan. Karena situasi dan kondisi yang kita hadapi, tidak selalu sama. Terkadang, ada saat yang memang mengharuskan kita untuk uzlah dan mengasingkan diri dari orang-orang. Namun, pada saat yang lain, kita harus keluar dan bergaul dengan manusia karena beberapa alasan tertentu. Sebaik-baik perkara adalah yang pertengahan. Masalah ziarah antar muslimah, merupakan masalah yang tidak lepas dari kedua hal di atas. Ada beberapa yang harus difahami oleh kaum muslimah berkaitan dengan ziarah sesama mereka, sebagaimana dijelaskan dalam point-point berikut.

1. Hendaklah selektif memilih orang yang hendak dikunjungi. Selektif disini, bukan dalam arti kaya atau miskin. Akan tetapi, semestinya orang yang hendak mereka kunjungi adalah seseorang yang shalih, serta tidak suka berbuat maksiat, sehingga mereka bisa mengambil istifadhah dengan mengunjungi mereka.

2. Janganlah mereka menjadikan ziarah sebagai ajang untuk sering keluar rumah, sehingga melalaikan dari kewajiban utamanya di rumah dan ajang pamer kekayaan dan perhiasan.

3. Menjaga adab-adab keluar rumah, seperti: berhijab sempurna, tidak memakai mewangian, tidak berjalan berlenggak-lenggok sehingga mengundang fitnah, serta tidak mengumbar suara di jalan.

4. Hendaklah mereka melandasi ziarah dengan niat untuk memperoleh pahala di sisi Allah, dengan memberi nasihat kepada kebaikan serta beramar ma’ruf nahi mungkar, -menyelipkan- di sela-sela ziarah.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

لاَ خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِّن نَجْوَاهُمْ إِلاَّ مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلاَحٍ بَيْنَ النَّاسِ

Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan orang yang memerintahkan untuk bersedekah atau berbuat kebajikan, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. [An Nisa:114].

5. Hendaknya menjadikan ziarah sebagai sarana untuk menyambung tali silaturahmi dengan kerabat, ataupun dengan berbuat baik kepada kedua orang tua dengan menziarahi mereka. Karena pada kedua hal tersebut, ada ganjaran yang begitu besar.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي تَسَآءَلُونَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) namaNya kamu saling meminta satu sama lain, dan peliharalah hubungan silaturahim. [An Nisa:1].

Juga firmanNya yang lain.

وَالَّذِينَ يَصِلُونَ مَآأَمَرَ اللهُ بِهِ أَن يُوصَلَ وَيَخشَوْنَ رَبَّهُمْ وَيَخَافُونَ سُوءَ الْحِسَابِ

Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Rabb mereka dan takut kepada hisab yang buruk. [Ar Ra’d:21].

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

مَنْ كانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَ اليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ وَ مَنْ كانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ فَلْيَقُلْ خَيْراً أَوْ لِيَصْمُتْ

Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia menyambung tali silaturahmi, dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berkata baik atau diam. [Mutafaqun alaihi].

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sangat menganjurkan kita untuk memelihara dan menyambung tali silaturahmi, bahkan kepada orang yang memutuskannya dari kita. Dari Abdullah bin Amr dari Nabi, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

لَيْسَ الوَاصِلُ بِالمُكَافىءِ وَلَكِنْ الَوَاصِلُ الَّذِي إِذَا انقَطَعَتْ رَحِمَهُ وَصَلَهَا

Bukanlah orang yang menyambung (tali silarurahmi) adalah orang yang seimbang (membalas usaha menyambung tali silaturahmi dengan perbuatan yang sepadan), akan tetapi orang yang menyambung talu silaturahmi adalah orang yang ketika tali silaturahimnya diputus, ia justru menyambungnya. [5]
Adapun tentang birrul walidain, Allah telah menyebutkannya dalam banyak ayat. Diantaranya ialah firmanNya yang berbunyi,

وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُوا إِلآ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاَهُمَا فَلاَ تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ وَلاَتَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلاً كَرِيمًا {23} وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُل رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا

Dan Tuhanmu telah memerintakan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada kedua orang tua dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang mereka atau kedua-duanya sampai berumur lanjur dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengucapkan kepada keduanya perkataan ”ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: ”Wahai Tuhanku, kasihanilah mereka keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidikku di waktu kecil”. [Al Isra:23-24].

Demikian juga dengan hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang telah menjelaskan dengan begitu gamblang tentang wajibnya birrul walidain, dan besarnya hak kedua orang tua, sebagaimana yang terdapat dalam hadits Abdullah bin Mas’ud. Ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ditanya tentang amalan yang dicintai Allah, kemudian beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan, salah satunya ialah birrul walidain. (Muttafaqqun alaihi).

6. Hendaklah memperhatikan etika meminta izin, ketika telah sampai di rumah yang dituju. Etika tersebut antara lain ialah:
  • Mengetuk pintu sebanyak tiga kali dengan memberi tenggang waktu antara ketukan pertama dengan ketukan selanjutnya.
  • Tidak memaksa untuk masuk, jika memang tidak diizinkan oleh tuan rumah.
  • Tidak berdiri tepat di depan pintu rumah, tetapi berdirilah di samping kiri atau kanannya, agar aurat penghuni rumah tidak terlihat ketika pintu terbuka.
  • Menyebutkan nama dengan jelas ketika penghuni rumah bertanya siapa kita.
7. Hendaklah menjaga adab-adab majelis, ketika sedang berkumpul sesama mereka, menjauhi ghibah, namimah, serta mengumbar perkataan yang tidak bermanfaat. Karena kebanyakan wanita, tidak bisa menahan lidahnya dari perkataan-perkataan yang mungkin tidak disadarinya mengundang murka Allah dan menyebabkan terjadinya perselisihan dan salah faham. Mereka harus memanfaatkan ziarah sebagai ajang ishlah (mendamaikan perselisihan), jika ada diantara mereka yang berseteru dan berselisih. Sehingga hubungan baik tetap terjaga, dan kecintaan satu sama lain tetap terpelihara. Allah berfirman.

مَّا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلاَّ لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ

Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya, melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir. [Qaf:18]

Dalam salah satu haditsnya, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

”Pintu-pintu langit dibuka pada setiap hari Senin dan Kamis. Maka Allah mengampuni dosa-dosa orang yang tidak menyekutukannya, kecuali orang yang antara dia dan saudaranya terdapat perselisihan, hingga dikatakan,’Lihatlah kadaan kedua orang ini’ sebanyak tiga kali, hingga keduanyapun akhirnya berdamai.” [HR Muslim 1/117].

Demikianlah sekelumit pembahasan tentang ziarah antar muslimah; hal yang mungkin telah akrab dalam keseharian kita. Kesimpulan yang bisa kita tarik, bahwa ziarah bisa menjadi hal yang diridhai Allah ataupun sebaliknya, tergantung niat yang mengiringinya serta bagaimana kita menunaikannya. Wallahu a’lamu bish shawab.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun VII/1424H/2003M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Disadur dari kitab Al Kalimat An Nafi’at Lil Akhawatil Mu’minat, karya ‘AshAm bin Muhammad Asy Syarif, halaman 73-90, Cetakan ketiga, Mu’assasah Mu’taman Lin Nasyri Wat Tauzi’, Riyadh.
[2]. Fatawa Ibni Taimiyyah, 1/426.
[3]. Al Iraqi mengatakan, isnad hadits tersebut hasan.
[4]. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami no. 6651 dan dalam Al Silsilah Ash Shahihah no. 939
[5]. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Tirmidzi, 2/178, 1558.

Buah dari Kebaikan yang Paling Asasi

Buah dari amalan kebaikan itu amat mulia. Sebaliknya buah dari amalan kejelekan amat parah. Para salaf seringkali mengatakan, “Buah dari amalan kebaikan adalah kebaikan yang selanjutnya. Sedangkan buah dari amalan kejelekan adalah kejelekan selanjutnya”. Ada kebaikan yang paling asasi yang akan memberikan buah yang baik yang mesti setiap muslim mencurahkan perhatian spesial untuknya.

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),

“Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar.” (QS. Al Lail: 5-11)

Di antara tafsiran ayat di atas sebagaimana disebutkan oleh penulis Al Jalalain, “Barangsiapa yang menunaikan hak Allah dan bertakwa kepada-Nya, serta membenarkan kalimat “laa ilaha illallah”, maka ia akan dimudahkan menuju surga. Sebaliknya, barangsiapa enggan menunaikan hak Allah, merasa cukup dari ganjaran-Nya, dan mendustakan kebajikan, maka ia akan dikembalikan pada kerugian yaitu jurang neraka.” (Tafsir Al Jalalain, 596)

Pelajaran yang dapat dipetik dari ayat di atas, dapat kita lihat dari perkataan sebagian salaf, “Balasan dari amalan kebaikan adalah kebaikan selanjutnya. Sedangkan balasan dari amalan kejelekan adalah kejelekan yang selanjutnya.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 14/372)

Amalan kebaikan yang paling utama adalah tauhid, mengesakan Allah dan tidak menjadikan satu pun makhluk sebagai sekutu bagi-Nya. Dari tauhid inilah muncul berbagai kebaikan lainnya. Sedangkan kerusakan yang paling parah adalah syirik, menyekutukan Allah dengan selain-Nya. Buah dari kebaikan tauhid akan memunculkan kebaikan lainnya. Sebaliknya kesyirikan akan memunculkan kerusakan lainnya.

Ibnul Qayyim rahimahullah memberikan faedah ilmu yang amat berharga. Beliau rahimahulah berkata, “Tahun ibarat pohon. Bulan ibarat cabangnya. Hari ibarat rantingnya. Jam ibarat daunnya. Nafas ibarat buahnya. Barangsiapa yang hela nafasnya untuk ketaatan pada Allah, maka hasil dari pohonnya adalah buah yang baik. Barangsiapa yang hela nafasnya untuk maksiat, maka buahnya adalah hanzholah (buah yang pahit). Setiap orang akan memetik buah dari hasil usahanya pada hari kiamat nanti. Ketika dipetik barulah akan ia rasakan manakah buah (hasil) yang manis dan manakah yang pahit.

Ketahuilah bahwa ikhlas dan tauhid akan menumbuhkan tanaman dalam hati, memunculkan cabang dalam amalan dan menghasilkan buah kehidupan yang baik di dunia dan kenikmatan yang abadi di akhirat. Sebagaimana pula buah di surga tidak mungkin seseorang terhalang untuk memperolehnya, begitu pula dengan buah dari ikhlas dan tauhid di dunia.

Sedangkan syirik, perbuatan dusta dan riya’ akan menumbuhkan tanaman dalam hati dan menghasilkan buah di dunia berupa rasa takut, khawatir, sedih, sempitnya hati dan kelamnya hati. Sedangkan di akhirat ia akan merasakan makanan yang tidak menyenangkan dan adzab yang pedih.

Inilah dua pohon yang dimisalkan Allah dalam surat Ibrahim.” –Demikian faedah berharga dari Ibnul Qayyim- (Al Fawaid, 158).

Surat Ibrahim yang dimaksudkan oleh Ibnul Qayyim adalah pada ayat berikut (yang artinya),

“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat. Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikitpun.” (QS. Ibrahim: 24-26)

Pelajaran menarik dari sini, sesungguhnya asal dari segala kebaikan adalah dengan baiknya aqidah dan tauhid seorang hamba. Amalan shalat, puasa, sedekah dan haji bisa bermanfaat jika memang tauhidnya benar. Coba bayangkan jika seseorang beramal, namun malah dicampuri dengan perbuatan tidak ikhlas, hanya mengharapkan pujian manusia semata, alias riya’? Sungguh, yang terjadi amalan tersebut jadi sia-sia belaka. Lebih-lebih lagi jika yang dilakukan adalah perbuatan syirik akbar yang dapat membatalkan keislaman seseorang.

“Jika kamu mempersekutukan (Rabbmu), niscaya akan hapuslah amalmu.” (QS. Az Zumar: 65)

Amalan yang teramat mulai seperti haji yang ia lakukan bisa jadi sia-sia dikarenakan perbuatan syirik. Jadikanlah perhatian utama dalam aqidah dan tauhid sebelum sibuk memperhatikan amalan lainnya. Jika tauhid ini telah baik, maka itu akan membuahkan amalan kebaikan lainnya dan terus membuahkan kebaikan selanjutnya.

Ya Allah, jadikanlah kami hamba yang selalu mentauhidkan-Mu dan selalu menjauhkan diri dari menyekutukan-Mu dengan selain-Mu.

Hanya Allah yang beri taufik. Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.(*)



Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
http://remajaislam.com/islam-dasar/aqidah/85-buah-dari-amalan-kebaikan-yang-paling-asasi.html

Antara Hak Anak dan Kewajiban Ibu

Anak merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ibunya. Anak merupakan darah daging kedua orang tuanya. Anak mempunyai hak-hak yang merupakan kewajiban orang tuanya, terutama ibunya, untuk menunaikan hak-hak tersebut. Jadi bukan hanya anak yang mempunyai kewajiban atas orang tua, tetapi orang tua pun mempunyai kewajiban atas anak. Secara ringkasnya kewajiban orangtua atas anaknya adalah sebagai berikut:

PERTAMA : MENYUSUI

Wajib atas seorang ibu menyusui anaknya yang masih kecil, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala, yang artinya :

"Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan". [Al Baqarah: 233]

Allah berfirman, yang artinya :

"Kami perintahkan kepada manusia Supaya berbuat baik kepada kedua iorang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkanya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan". [Al Ahqaf : 15]

Al ‘Allamah Siddiq Hasan Khan berkata,” Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan maksudnya adalah jumlah waktu selama itu dihitung dari mulai hamil sampai disapih” [1]

KEDUA : MENDIDIKNYA

Mendidik anak dengan baik merupakan salah satu sifat seorang ibu muslimah dia senatiasa mendidik anak-anaknya dengan akhlaq yang baik yaitu akhlak Muhammad dan para sahabatnya yang mulia.

Mendidik anak bukanlah kemurahan hati seorang ibu kepada anak-anaknya, akan tetapi merupakan kewajiban dan fitrah yang Allah berikan kepada seorang ibu.

Mendidik anak pun tidak terbatas dalam satu perkara saja tanpa perkara lainnya seperti mencucikan pakaiannya atau membersihkan badannya saja, bahkan mendidik anak itu mencakup perkara yang luas, mengingat anak merupakan generasi penerus yang akan menggantikan kita yang kita harapkan menjadi generasi yang tagguh yang akan memenuhi bumi ini dengan kekuatan, hikmah, ilmu, kemuliaan dan kejayaan.

Berikut beberapa perkara yang wajib diperhatikan oleh ibu dalam mendidik anak-anaknya :

1. Menanamkan Aqidah Yang Bersih Yang Bersumber Dari Kitab Dan Sunnah Yang Shahih

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya :

"Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada sesembahan yang haq melainkan Allah". [Muhammad : 19]. 

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, yang artinya :

"Dari Abul Abbas Abdullah bin Abbas dia berkata,”Pada suatu hari aku membonceng di belakang Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian Beliau berkata,” Wahai anak, sesungguhnya aku mengajarimu beberapa kalimat, yaitu : jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu. Jagalah Allah niscaya engkau mendapatiNya dihadapanmu. Apabila engkau meminta, maka mintalah kepada Allah.dan apabila engkau mohon pertolongan maka mohonlah pertolngan kepada Allah. Ketahuilah seandainya seluruh umat berkumpul untuk memberimu satu manfaat, niscaya mereka tidak akan dapat memberimu manfaat kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan untukmu. Dan jika mereka berkumpul untuk memberimu satu bahaya niscaya mereka tidak akan bisa membahayakanmu kecuali dengan sesuatu yamg telah Allah tetapkan atasmu. Pena-pena telah diangkat dan tinta telah kering[2]

Dan dalam riwayat lain (Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata) :

"Jagalah Allah niscaya engkau akan mendapatiNya dihadapanmu. Perkenalkanlah dirimu kepada Allah disaat kamu senang, niscaya Dia akan mengenalimu disaat sulit. Ketahuilah, apa-apa yang (ditakdirkan) luput darimu tidak akan menimpamu, dan apa-apa yang (ditakdirkan) menimpamu tidak akan luput darimu. Ketahuilah bahwa pertolongan ada bersama kesabaran dan bahwa kelapangan ada bersama kesempitan dan bahwa bersama kesusahan ada kemudahan". [3]

Seorang anak terlahir di atas fitrah sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka sesuatu yang sedikit saja akan berpengaruh padanya. Dan wanita muslimah adalah orang yang bersegera menanamkan agama yang mudah ini serta menanamkan kecintaan tehadap agama ini kepada anak-anaknya.

2. Mengajari Mereka Shalat

Mengajarkan anak-anak shalat yaitu dalam hal-hal yang utamanya, wajib-wajibnya, waktunya, cara berwudhu dan dengan shalat dihadapan mereka. Demikian pula dengan pergi bersama mereka ke masjid, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dari hadits Sabroh Radhiyallahu 'anhu [4].

مُرُوا الصَّبِيَّ بِالصَلاَةِ إذَا بَلَغَ سَبْعَ سِنِيْنَ وَ إذا بَلَغَ عَشْرَ سِنِيْنَ فَاضْرِبُوْهُ عَلَيْهَا

"Perintahkanlah anakmu shalat, apabila mereka telah berumur tujuh tahun dan jika mereka telah berumur sepuluh tahun (tetapi tidak shalat) maka pukullah mereka" [5]

Dan hendaknya para ibu mengajari mereka bahwa shalat bukanlah hanya sekedar gerakan atau rutinitas seorang hamba kepada Rabbnya Azza wa Jalla, akan tetapi ia merupakan hubungan yang dalam dan kuat antara seorang hamba dengan Rabbnya. Maka peringatkanlah mereka dengan sungguh-sungguh dari meninggalkan shalat dan berilah mereka ancaman dari perbuatan tersebut. Dan suruhlah mereka untuk senantiasa bersegera menunaikan shalat pada awal waktu. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya:

"Maka datanglah sesudah mereka pengganti yang jelek yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan kecuali orang yang bertaubat serta mengerjakan amal shalih..".[Maryam 59-60]

Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

أمِرْتُ أنْ أقَاتِلَ النَّاسِ حتى يَشْهَدُوا أن لاَ إله إلا الله وَ أنَّ مُحَمّدًا رَسُوْلُ الله وَ يُقِيْمُوْا الصَلاَةَ وَ يُؤْتُوا الزَكَاةَ فَإذَا فَعَلُوا ذَلك عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأمْوَالَهُمْ إلا بِحَقِّ الإسْلاَمِ وَ حِسَابُهُمْ على الله تَعَالَى

"Aku diperintah untuk memerangi manusia sampai mereka bersaks bahwa tidak ada sesembahan yang hak kecuali Allah dan bahwa muhammada adalh utusan Allah, dan sampai mereka mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat. Apabila mereka melakukan itu, maka terjagalah dariku darah-darah mereka dan harta-harta mereka kecuali merupakan hak islam dan perhitungan mereka atas Allah".[6]

Ibnu Hazm berkata,”Barangsiapa mengakhirkan shalat dari waktunya maka dia itu hina” [7]

3. Menanamkan Kecintaan Kepada Allah Dan RasulNya, Dan Mendahulukan Keduanaya.

Dari Anas Radhiyallahu 'anhu dia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

لاَ يُؤْمِنُ أحَدُكُمْ حتى أكُوْنَ أحَبَ إلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَ وَلَدِهِ وَ النَّاسِ أجْمَعِيْنَ

"Tidak sempurna iman seseorang diantara kalian samapi akau menjadi orang yang lebih dicintainya daripada bapaknya, anaknya dan seluruh manusia”" [8]

Dengan mennanamkan kecintaan kepada Allah dan RasulNya di hati anak-anak akan menyebabkan mereka menyambut seruan Allah dan RasulNya, dan ini merupakan motivasi dasar untuk seluruh yang mengikuti dibelakangnya.

4. Mengajari Mereka Al Qur’an Dan Menyuruh Mereka Menghafalnya

Ini merupakan masalah besar yang hanya akan di dapatkan oleh orang yang berusaha sungguh-sungguh menghafalnya dan mengamalkannya. Hendaklah ibu memulainya dengan menuruh menghafal surat Al Fatihah dan surat-surat pendek. Demikian pula hendaklah kita menyuruh mereka menghafal at tahiyyat untuk shalat.

Hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menunjukkan keutamaan itu semua, diantaranya apa yang diriwayatkan oleh Utsman bin Affan Radhiyallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, Beliau bersabda.

خَيْرُكُمْ مضنْ تَعَلَّمَ القُرْآنَ وَ عَلَّمَهُ

"Sebaik-baik kalian adalah yang memepelajari al Qur’an dan mengajarkannya".[9]

Para ibu pada masa kejayaan Islam, benar-benar memotivasi anak-anaknya untuk mendapatkan kebaikan, lebih-lebih al Qur’an, sebagaimana mereka mengusahakan kebaikan bagi jiwa anak-anaknya.

5. Membuat Mereka Cinta Kepada Sunnah Serta Menyuruh Mereka Menjaganya

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya :

"Barangsiapa mentaati Rasul itu, maka sesunguhnya dia telah mentaati Allah". [An Nisaa : 80]

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya :

"Apa yang diberikan rasul kepadamu maka terimalah, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah". [Al Hasyr :7]

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda dari hadits Irbadh bin Sariyah Radhiyallahu 'anhu, yang artinya :

"Aku wasiatkan kepada kalian agar berdakwa kepada allah, mendengar dan taat meskipun yang memerintahkan kalian adalah budak dari Habasyah, karena sesungguhnya barangsiapa diantara kalian hidup seelahku, maka dia akan melihat perselisihan yang banyak. Berpegang teguhlah kalian dengan sunnahku dan sunnah khulafaur Rasyidin yang mendapat yang mendapat pentunjuk, peganglah ia erat-erat dan gigitlah ia dengan gerahammu". [10]

6. Membuat Mereka Benci Kepada Bid’ah

Agama Islam adalah agama yang sempuna. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya :

"Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dia mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan dia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali". [An Nisaa : 115]

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda dari hadits Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu 'anhu.

كُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٍ وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ في النَّارِ

"Setiap perkara yang baru (dalam agama) adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat dan setiap kesesatan tempatnya di neraka".

Jadi setiap bid’ah itu tertolak atas pelakunya sebagaimana yang disebutkan dalam hadits. Adapun tentang pembagian bid’ah menjadi dua, yaitu bid’ah mahmudah (terpuji) dan bid’ah madzmumah (tercela), maka sebenarnya yang dimaksud yang dimaksud adalah bid’ah (perkara baru) secara bahasa saja bukan secara syar’iyyah.

7. Membuat Mereka Cinta Kepada Ilmu Syar’i Dan Bersabar Dalam Mendapatkannya

 Ilmu syar’i merupakan ilmu yang paling mulia. Allah telah memuji ilmu dan ulama lebih dari satu ayat dalam Al Qur’an. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya :

"Sesungguhnya yang takut kepada allah diantra para hamba-hambaNya hanyalah ulama". [Fathir : 28]

Dan katakanlah,” Ya Rabb, tambahkanlah kepadaku ilmu” [Thaha : 114]

Dari Zar bin Hubasyi, dia berkata,”Aku mendatangi Shofan bin ‘Assal Al Muradi, lalu dia berkata,”Untuk tujuan apa engkau datang kemari” Aku menjawab,”Karena mengharapkan ilmu”. Dia berkata,” Sesungguhnya malaikat meletakkan sayap-sayapnya bagi penuntut ilmu karena ridha dengan apa yang mereka cari”

Belajar diwaktu kecil lebih baik daripada belajar di waktu dewasa, sebagaimana dalam sebuah sya’ir.

“Belajar di waktu kecil bagaikan melukis di atas batu”

Pada masa permulaan Islam para ibu memotivasi anaknya untuk menunutut ilmu (syar’I). Bahkan ada yang rela bekerja agar si anak bisa belajar Lihatlah bagaimana manusia memuji Sufyan Ats Tsauri karena keluasan ilmu yang dimilikinya.

Al Auza’i berkata tentang Beliau,”Tidak ada orang yang padanya orang awam berkumpul dengan ridha dan lapang dada, kecuali satu orang di Kufah yaitu Sufyan”

Sufyan tidaklah mencapai apa yang telah beliau capai itu kecuali dengan pertolongan Allah kemudian pertolngan ibunya yang shalihah. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan sanad dari Waki’, dia berkata,” Ummu Sufyan berkata kepada Sufyan,”Wahai anakku, tuntutlah ilmu dan aku akan mencukupimu dengan alat pemintalku”

Alangkah besarnya tokoh-tokoh yang keluar dari madrasah ibu.

Ibu adalah madrasah. Apabila engkau memeprsiapkannya, berarti
Engkau mempersiapkan generai yang kuat akarnya
Ibu adalah tamn. Jika engkua merawatnya, dia akan hidup
Dengan elok, tumbuh daunnya beraneka rupa
Ibu adalah guru pertamanya para guru,
Kemuliaanya terpancar menyebar sepanjang cakrawala

8. Mengajari Anak Minta Izin

Ini termasuk adab mulia yang penting untuk diajarkan dan dibiasakn oleh seorang ibu muslimah kepada anak-anaknya, khusunya jika anak hampir baligh. Islam telah memberikan batasan dan rambu-rambu tentang hal ini dengan jelas. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya :

"Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu milki dan orang-orang yang belum baligh diantara kamu, meminya izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari), yaitu sebelum shalat shubuh, ketika kamu sedang menanggalkan pakaian (luarmu) di tengah hari dan sesudah shalat isya’. (Itulah) tiga aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak pula atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. Mereka melayani kamu, sebagian kamu (ada keperluan) kepada sebagian yang lain. Demikianlah Allah mnejelaskan Ayat-ayat bagi kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha bijaksana. Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur baligh, maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang sebelum mereka minta izin. Demikianlha Allah menjelaskan ayat-ayatNya. Dan allah Maha mengethaui lagi Maha Bijaksana".[An Nur :58-59]

Ayat-ayat tersebut menjelaskan waktu-waktu yang tidak diperbolehkan bagi anak-anak yang belum baligh untuk masuk kecuali setelah mendapat izin. Adapun selan tiga waktu tersebut, maka tidak berdosa atas mereka masuk tanpa izin. Imam Ibnu Katsir menjelaskan tentang sebab minta izin pada tiga waktu tersebut perkataanya,”Allah ta’ala memerintahkan orang-orang beriman agar para budak ynag mereka miliki dan anak-anak mereka yang belum baligh untuk meminta izin kepada mereka dalam tiga waktu, yaitu :

Pertama : Sebelum shalat fajar, karena manusia pada waktu itu sedang tidur di tempat tidur mereka.
Kedua : Ketika menanggalkan pakaian pada siang hari yaitu pada waktu qailulah (tidur siang), karena manusia seringkali sedang menanggalkan pakaiannya bersama istrinya pada waktu itu.
Ketiga : Setelah shalat Isya, karena itu adalah waktu tidur, maka diperintah kepada para budak dan anak-anak (yang belum baligh) untuk tidak masuk kepada ahli bait tanpa izin pada wakut-waktu tersebut, karena dikhawatirkan ketika itu seorang suami sedang berama istrinya atau sedang melakukan hal lainnya.

Oleh karena itu Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, "(Itulah) tiga aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak pula atas mereka selain dari (tiga waktu) itu". Maksudnya yaitu apabila mereka masuk selain dari tiga waktu itu tanpa izin, maka tidak apa-apa atas kalian dan tidak pula atas mereka apabila mereka melihat sesuatu selain dari tiga waktu itu, karena telah diizinkan bagi mereka masuk tanpa izin dan karena mereka banyak berinteraksi dengan kalian untuk melayani kalian atau yang lainnya. [14]

Adapun bagi anak-anak yng telah baligh, maka mereka harus minta izin setiap waktu apabila ingin masuk. Al Auza’i berkata dari Yahya bin Katsir,”Apabila anak masih berumur empat tahun, maka dia meminta izin kepada kedua orang tuanya dalam tiga waktu. Apabila mereka telah baligh maka dia harus minta izin setiap waktu.[14]

Keharusan minta izin ini tidak hanya ketika akan masuk ke rumah orang lain saja, akan tetapi juga ketika masuk ke rumah yang hanya dihuni oleh ibu atau saudara perempuannya. Diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari dalam Adabul Mufrad bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Hudzaifah,”Apakah aku harus minta izin kepada ibuku?”, maka dia menjawab, ”Jika engkau tidak minta izin kepadanya, engkau akan melihat apa yang engkau benci” [15]

Imam Al Bukhari meriwayatkan pula tentang keharusan seorang laki-laki minta izin kepada saudarinya. ‘Atha bertanya kepada Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu tentang meminta izin kepada saudara perempuan, maka Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu berkata,” Ya,” Lalu aku ulangi lagi, ”Dua saudariku itu berada dalam pemeliharaanku, aku yang menjamin dan menafkahi mereka, apakah aku harus izin?” Beliau menjawab,”Ya, apakah engkau suka melihat saudarimu sedang telanjang?”, kemudian beliau membaca, Al-Qur’an surat An Nuur ayat 58.

Kemudian Atha’ berkata,”Mereka diperintahkan minta izin kecuali pada tiga waktu itu,”. Ibnu Abbas membaca, firman Allah yang artinya :

"Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur baligh, maka hendaklah mereka meinta izin, seperti orang-orang sebelum mereka minta izin. [An Nur : 59]

Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu berkata,”Minta izin hukumnya wajib”. Ibnu Juraij menambahkan,”Atas setiap manusia” [17]

9. Menanamkan Kejujuran.

Jujur adalah sikap terpuji yang wajib kita menanamkannya kepada anak-anak kita. Allah berfirman, yang artinya :

"Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar (jujur)". [At Taubah :9]

Ayat-ayat tentang hal ini sangat banyak, demikian pula hadits telah berulang menyitir akhlak terpuji ini.

Dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, Beliau bersabda.

إِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَصْدُقُ حَتَّى يَكُونَ صِدِّيقًا وَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَكْذِبُ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا

"Sesungguhnya kejujuran menunjukkan kepada kebaikan, dan kebaikan menuntun kepada surga, dan sesungguhnya seseorang berkata jujur sehingga dia menjai orangg yang jujjur. Dan sesungguhnya kedustaan menunjukkan kepada kejahatan, sedangkan kejahatan mengantar kepada neraka, dan sesungguhnya seseorang berkata dusta hingga ia tercatat di sisi Allah sebagai pendusta" [18]

Berkata jujur adalah kemuliaan bagi anak-anak kita, dan hal ini tidak akan tersealisasi kecuali dengan berkata jujur dalam segala urusan.

Jika seseoarng biasa berdusta dia akan senantiasa dianggap pendusta di hadapan manusia meskipun dia berkata jujur.

10. Menanamkan Sifat Sabar

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya :

"Sesungguhnya hanya orang yang bersabarlah ynag dicukupkan pahala mereka tanpa hisab".[Az Zumar :10]

Dan juga firmanNya Azza wa Jalla, yang artinya :

"Hai orang-orang yangberiman mohonlah pertolongan kepada Allah dengan sabar dan shalat. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar". [Al Baqarah : 153]

Dari Abu Yahya Shuhaib bin Sinan Radhiyallahu 'anhu, dia berkata,”Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

عَجَبًا لأمْرِ المُؤْمِنِ إنَّ أمْرَهُ كُلَّهُ لَهُ خَيْرٌ. وَ لَيْسَ ذلِكَ إلاَّ للِمُؤْمِنِ إنْ أصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَ إنْ أصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ

"Sungguh menakjubkan urusan orang yang beriman, sesunguhnya semua urusannya adalah baik baginya, dan hal itu tidak terjadi kecuali bagi orang yangberiman. Apabila dia diberi kesenangan maka dia bersyukur, dan itu baik baginya. Dan apabila dia dirtimpa kesusahan maka dia bersabar, dan itupun baik baginya" [19]

11. Menyadarkan Mereka Tentang Berharganya Waktu

Sesungguhnya menjaga waktu akan menanamkan sifat menepati janji pada waktunya, demikian pula harus diperhatikan untuk menyeleaikan suatu pekerjaan tepat pada waktunya. Oleh karena itu Allah menganjurkan kita untuk menyusun jadwal kegiatan dan mengerjakannya ada waktu yang telah direncanakan. Dan waktu sangat terbatas.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya :

"Sesungguhnya shalat atu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman". [An Nisaa : 103]

Ibnu Mas’ud Radhiyallahu 'anhu pernah bertanya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, ”Amal apa yang paling dicintai oleh Allah?” Beliau menjawab,”shalat pada awal waktunya….” [20]

Allah Subhanahu wa Ta'ala mengkhususkan masalah shalat karena shalat dilakukan berulang lima kali sehari semalam. Apabila seseorang menjaga shalatnya dan melaksanakannya pada awal waktunya, maka hal akan menanamkan kedisiplinan dan pemanfaatan waktu. Dan agar dia akan menjadikan waktu sehat dan luangnya sebagai kesempatan untuk melakukan kebaikan, karena umur itu terbatas. Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu berkata bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

نِعْمَتَانِ مَغْبُوْنٌ فِيْهِمَا كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ: الصَّحَّةُ وَ الفَرَاغُ

“Dua nikmat yang banyak manusia tertipu dengannya, yaitu kesehatan dan waktu luang” [21]

Para salafus shalih dan orang-orang yang meniti jalan mereka adalah manusia yang paling ketat dan paling bersemangat dalam menjaga waktu, yakni dengan memanfaatkan dan memenuhinya dengan berbagai kebaikan dan hal-hal bermafaat.

12. Menanamkan Sifat Pemberani

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya :

"Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu’min diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh." [At Taubah : 111]

Dari Abu Aufa Radhiyallahu 'anhu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

وَ اعْلَمُوْا أنَّ الجَنَّةَ تَحْتَ ظِلاَلِ السُّيُوْفِ

"Dan ketahuilah bahwa surga di bawah naungan pedang" [22]

Ibnu Hajar berkata Al Qurtubi berkata,”Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di atas termasuk ucapan yang indah, singkat tapi padat, memiliki gaya bahasa nan indah, ringkas dan lafazhnya bagus. (Ucapan) ini memberi faedah anjuran untuk berjihad, dan mengabarkan pahalanya, serta anjuran untuk menghadapi musuh menggunakan pedang serta bersatu ketika perang sehingga pedang menaungi orang-orang yang sedang berperang” [23]

Ibnul Jauzi,” Maksudnya adalah surga dapat diraih dengan jihad”. [24]

Pada priode awal Islam, para ibu menjadi penolong dan pendorong anak-anaknya agar memiliki sifat pemberani. Dalam sejarah kita mempunyai contoh-contoh tentang hal itu. Sebutlah Abdullah bin Zubair bin Awwam, ketika dia keluar untuk memerangi Hajjaj bin Yusuf, tidak ada bersamanya dan tidak ada orang disekelilingnya kecuali sedikit orang. Ia mengadu kepada ibunya Asma tentang ketidak pedulian manusia dan sikap diam mereka terhadap Hajjaj sampai orang yang paling dekat denganya sekalipun. Abdullah menanyakan pendapat ibunya. Lalu apakah yang dikatakan oleh wanita yang berjiwa besar ini ? Apakah ia berkata kepada putranya “Tinggalkanlah urusan ini” karena ia khawatir akan keselamatan putranya yang merupakan darah dagingnya ? Yidak, demi Allah, bahkan ia memompakan keberanian dan kesabaran sampai ia mati syahid.

Dengan keberanian dan jihad semacam inilah akan tegak berdiri daulah islamiah yang diharapkan, dengan izin Allah Azza wa Jalla.

13. Bersikap Adil Diantara Anak-Anak.

Dari Nu’man bin Basyir Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

اعْدِلُوا بَيْنَ أَبْنَائِكُمْ ،اعْدِلُوا بَيْنَ أَبْنَائِكُمْ ،اعْدِلُوا بَيْنَ أَبْنَائِكُمْ

"Bersikap adillah diantara anak-anakmu, adillah diantara anak-anakmu, adillah diantara anak-anakmu”[25]

Pada akhir dari pembahasan ini, ingin aku sitirkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala melalui lisan Luqman Al Hakim kepada anaknya sebagai nasehat atas anak.

"Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) menerjakan kebaikan dan cegahlah (mereka) dari perbuatan mungkar dan bersabarlah terhadap apa-apa yang manimpamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesunguhnya seburk-buruk suara adalah suara keledai". [Luqman : 17-19]

Saudariku muslimah, sesungguhnya anak-anak kita adalah amanah yang Allah Azza wa Jalla titipkan kepada kita, dan Allah Azza wa Jalla akan menanyakannya kepada kita apakah kita menjaganya atau menyia-nyiakannya. Maka wajib atas kita untuk menjaga amanah ini, dengan keyakinan kita sedang mendidik generasi muslim, kita persiapkan mereka agar menjadi generasi kuat untuk menghadapi orang-orang yang menyimpangkan Al Kitab dan Assunnah. (Salamah Ummu Ismail).

Wallahu waliyyut Taufiiq

(Ditejemahkan oleh Salamah Ummu Ismail dari buku berjudul Wajibatul Mar’atil Muslimah ‘ala Dhou’il Kitab Was Sunnah hal.103-127 karya Ummu ‘Amr binti Ibrahim Badawi)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun VII/1423H/2002M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Husnul uswah hal.215
[2]. H.R Tirmidzi dan berkata hadits hasan shahih
[3]. H.R selain Tirmidzi
[4]. Sabrah yakni Ibnu Abdil Aziz bin Rabi’ bin Sabroh Al Juhani
[5]. Dikeluarkan oleh Abu dawud (494), Tirmidzi (407) dan dia berkata,”Hasan shahih”. Ad Darimi (1/333), Ibnul Jarud (147), Ibnu Khuzaimah (1002), Hakim (1/201) dan dia berkata,’ Sahih atas syarat Muslim dan disepakati oelh Adz Dzahabi” Berkata Al Albani dalam Al Irwa’ (1/267),” Dan dalam apa-apa yag dikatakan keduanya perlu diteliti karena Muslim hanya mengeluarkan satu hadits saja dari Abdul Malli ini dalam hal mut’ah sebagai pendukung sebagaimana yang disebutkan oelh Al Hafizh dan lainnya. Hadits ini sanad-sanadnya dha’if akan tetapi dia mempunyai syahid yang menguatkannya kepada derajat shahih dari hadits Ibnu Amr
[6]. H.R Al Bukhari (25) dan Muslim (1/200 Nawawi)
[7]. Al Muhalla (2/239)
[8]. H.R Al Bukhari (14) Muslim (2/15 Nawawi), Ibnu Majah (67), Ad Darimi (2/307), Ahmad (3/77), Abdurrazzaq (2032), Ibnu Hazm dalam al Muhalla (10/333)
[9]. H.R al Bukhari (5027), Abu dawud (1452), At Tirmidzi (2907-2908), Ibnu Majah (211,212), ahmad (405,412, 413,500) Ath Thayalisi (1880) dan Ad Darimi (2/437)
[10]. H.R Abu dawud (4607), Tirmidzi (2676) dan di berkata,” Hasan shahih”, Ibnu Majah (42), Ad Darimi (1/44,45), Ahmad (4/126,127), Hakim (1/97), Ibnu abdil bar dalam Jami’ul ilmi 92/17,172)
[11]. H.R Tirmidzi (96/3535), Nasai (1/83), Ibnu Majah (284), ad darimi (1/101), ahmad (4/239,240), Ibnu Khuzaimah (17/193,196), Asy syafi’I dalam al umm (1/34,35), Hakim (1/100), Ibnu Abdil bar dalam al jami’ 91/32), Ibnu Hazm dalam Al muhalla (2/830, Ibnul Jarud 94), Humaidi (881)
[12]. Beliau adalah salah seorang imam dari enam madzhab, beliau adalah amirul mu’minin dalam hadits. Syu’bah, Ibnu Mubarak, Abu ‘Ashim, Ibu mu’ayyan dan lebih dari satu ulama lainnya, berkata,”Sufyan adalah amirul mu’minin dalam hadits” Ibnul Mubarak berkata,”Aku menulis dari seribu seratus syaikh, tidaklah aku menulis yang lebih utama daripada Suyan (At Tahdzib 4/112,113). Dikatakan pula bahwa Sufyana adalah penduduk dunia yang paling faqih (Siyar Alamin Nubala)
[13]. ‘Audatul Hijab karya Muhammad Ismail (2/143) dinukil dari Al Imam Sufyan Ats Tsauri” karya Muhammad Abul fath Al Bayanuni
[14]. Tafsir ibnu katsir (3/303,304)
[15]. Tafsir ibnu katsir (3/303,304)
[16]. Al Adabul Mufrad (1060)
[17]. Al Adabul mufrad (1063)
[18]. H.R Al Bukhari (6094), Muslim (16/60 Nawawi), Abu Daud (4989) , Tirmidzi (1972) dan dia berkata,”Hasan Shahih”
[19]. H.R Muslim (18/125 Nawawi)
[20]. H.R Muslim (18/125 Nawawi)
[21]. H.R Al Buhaaari (527), Muslim (2/73 nawawi0, Tirmidzi (173) dan dia berkata,”Hasan Shahih”, Nasaai (1/292), Ad Ddarimi (1/278), Ahmad (1/409,410,439), Humaidi (103), Thabrani dalam Ash shagir (446), Al Baihaqi dalamAl I’tiqad hal.42
[23]. Fathul Bari (6/33)
[24]. Fathul Bari (6/33)
[25]. H.R Abu Dawud 93544), Nasai (6,262), Ahmad (4/275,278,375)
http://almanhaj.or.id/content/1763/slash/0

Mengatur dan Membelanjakan Harta

Agama Islam yang sempurna telah mengatur dan menjelaskan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh kaum muslimin untuk menyelenggarakan semua urusan dalam hidup mereka, untuk kemaslahatan dan kebaikan mereka dalam urusan dunia maupun agama.

Allah Ta’ala berfirman,

{وَنزلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ}

“Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang berserah diri” (QS an-Nahl:89).

Dan ketika sahabat yang mulia, Salman al-Farisy ditanya oleh seorang musyrik: Sungguhkah nabi kalian (nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam) telah mengajarkan kepada kalian segala sesuatu sampai (masalah) adab buang air besar? Salman menjawab: “Benar, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami menghadap ke kiblat ketika buang air besar atau ketika buang air kecil…[1].

Tidak terkecuali dalam hal ini, masalah yang berhubungan dengan mengatur dan membelanjakan rizki/penghasilan, semua telah diatur dalam al-Qur’an dan hadits-hadits yang shahih.

Misalnya, tentang keutamaan menginfakkan harta untuk kebutuhan keluarga, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

«إِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِى بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلاَّ أُجِرْتَ عَلَيْهَا، حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِي فِي امْرَأَتِكَ»

“Sungguh tidaklah engkau menginfakkan nafkah (harta) dengan tujuan mengharapkan (melihat) wajah Allah (pada hari kiamat nanti) kecuali kamu akan mendapatkan ganjaran pahala (yang besar), sampaipun makanan yang kamu berikan kepada istrimu”[2].

Kewajiban Mengatur Pembelanjaan Harta

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

«لاَ تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمْرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَا فَعَلَ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا أَنْفَقَهُ وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَا أَبْلاَهُ»

“Tidak akan bergeser dua telapak kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai dia ditanya (dimintai pertanggungjawaban) tentang umurnya kemana dihabiskannya, tentang ilmunya bagaimana dia mengamalkannya, tentang hartanya; dari mana diperolehnya dan ke mana dibelanjakannya, serta tentang tubuhnya untuk apa digunakannya”[3].

Hadits yang agung ini menunjukkan kewajiban mengatur pembelanjaan harta dengan menggunakannya untuk hal-hal yang baik dan diridhai oleh Allah, karena pada hari kiamat nanti manusia akan dimintai pertanggungjawaban tentang harta yang mereka belanjakan sewaktu di dunia[4].

Dalam hadits lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak menyukai bagi kalian tiga perkara…(di antaranya) idho’atul maal (menyia-nyiakan harta)[5].

Arti “idho’atul maal” (menyia-nyiakan harta) adalah menggunakannya untuk selain ketaatan kepada Allah Ta’ala, atau membelanjakannya secara boros dan berlebihan[6].

Antara Pemborosan dan Penghematan yang Berlebihan

Sebaik-baik cara mengatur pembelanjaan harta adalah dengan mengikuti petunjuk Allah Ta’ala, sebagaimana dalam firman-Nya:

{وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا}

“Dan (hamba-hamba Allah yang beriman adalah) orang-orang yang apabila mereka membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan mereka) di tengah-tengah antara yang demikian” (QS al-Furqaan:67).

Artinya: mereka tidak mubazir (berlebihan) dalam membelanjakan harta sehingga melebihi kebutuhan, dan (bersamaan dengan itu) mereka juga tidak kikir terhadap keluarga mereka sehingga kurang dalam (menunaikan) hak-hak mereka dan tidak mencukupi (keperluan) mereka, tetapi mereka (bersikap) adil (seimbang) dan moderat (dalam pengeluaran), dan sebaik-baik perkara adalah yang moderat (pertengahan)[7].

Juga dalam firman-Nya,

{وَلا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ وَلا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَحْسُورًا}

“Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenngu pada lehermu (terlalu kikir) dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya (terlalu boros), karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal” (QS al-Israa’:29).

Imam asy-Syaukani ketika menafsirkan ayat ini, beliau berkata: “Arti ayat ini: larangan bagi manusia untuk menahan (hartanya secara berlebihan) sehingga mempersulit dirinya sendiri dan keluarganya, dan larangan berlebihan dalam berinfak (membelanjakan harta) sampai melebihi kebutuhan, sehingga menjadikannnya musrif (berlebih-lebihan/mubazir). Maka ayat ini (berisi) larangan dari sikap ifrath (melampaui batas) dan tafrith (terlalu longgar), yang ini melahirkan kesimpulan disyariatkannya bersikap moderat, yaitu (sikap) adil (seimbang) yang dianjurkan oleh Allah”[8].

Waspadai Fitnah (Kerusakan) Harta!

Perlu diwaspadai dalam hal yang berhubungan dengan pembelanjaan harta, fitnah (kerusakan) yang ditimbulkan dari kecintaan yang berlebihan terhadap harta tersebut, sebagaimana yang telah diingatkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau,

«إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةٌ، وَفِتْنَةَ أُمَّتِي الْمَالُ»

“Sesungguhnya pada setiap umat (kaum) ada fitnah (yang merusak/menyesatkan mereka) dan fitnah (pada) umatku adalah harta”.[9]

Maksudnya: menyibukkan diri dengan harta secara berlebihan adalah fitnah (yang merusak agama seseorang) karena harta dapat melalaikan pikiran manusia dari melaksanakan ketaatan kepada Allah Ta’ala dan membuatnya lupa kepada akhirat, sebagaimana firman-Nya,

{إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلادُكُمْ فِتْنَةٌ}

“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu merupakan fitnah (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar” (QS at-Tagaabun:15)[10].

Kerusakan lain yang ditimbulkan dari kecintaan yang berlebihan terhadap harta adalah sifat tamak/rakus dan ambisi untuk mengejar dunia, karena secara tabiat asal nafsu manusia tidak akan pernah merasa puas/cukup dengan harta dan kemewahan dunia yang dimilikinya, bagaimanapun berlimpahnya[11], kecuali orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah Ta’ala.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan hal ini dalam sabda beliau: “Seandainya seorang manusia memiliki dua lembah (yang penuh berisi) harta/emas maka dia pasti akan menginginkan lembah (harta) yang ketiga”[12].

Sifat rakus inilah yang akan terus memacunya untuk mengejar harta dan mengumpulkannya siang dan malam, dengan mengorbankan apapun untuk tujuan tersebut. Sehingga tenaga dan pikirannya akan terus terkuras untuk mengejar ambisi tersebut, dan ini merupakan kerusakan sekaligus siksaan besar bagi dirinya di dunia.

Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata, “Orang yang mencintai dunia/harta (secara berlebihan) tidak akan lepas dari tiga (kerusakan dan penderitaan): Kekalutan (pikiran) yang tidak pernah hilang, keletihan yang berkepanjangan dan penyesalan yang tiada akhirnya[13].

Dalam hal ini, salah seorang ulama salaf berkata, “Barangsiapa yang mencintai dunia/harta (secara berlebihan) maka hendaknya dia mempersiapkan dirinya untuk menanggung berbagai macam penderitaan”[14].


Zuhud dalam Masalah Harta

Zuhud dalam harta dan dunia bukanlah dengan meninggalkannya, juga bukan dengan mengharamkan apa yang dihalalkan Allah Ta’ala. Akan tetapi zuhud dalam harta adalah dengan menggunakan harta tersebut sesuai dengan petunjuk Allah Ta’ala, tanpa adanya keterikatan hati dan kecintaan yang berlebihan kepada harta tersebut. Atau dengan kata lain, zuhud dalam harta adalah tidak menggantungkan angan-angan yang panjang pada harta yang dimiliki, dengan segera menggunakannya untuk hal-hal yang diridhai oleh Allah Ta’ala.

Inilah arti zuhud yang sesungguhnya, sebagaimana ucapan imam Ahmad bin Hambal ketika beliau ditanya: Apakah makna zuhud di dunia (yang sebenarnya)? Beliau berkata: “(Maknanya adalah) tidak panjang angan-angan, (yaitu) seorang yang ketika dia (berada) di waktu pagi dia berkata: Aku (khawatir) tidak akan (bisa mencapai) waktu sore lagi[15].

Salah seorang ulama salaf berkata: “Zuhud di dunia bukanlah dengan mengharamkan yang halal, dan juga bukan dengan menyia-nyiakan harta. Akan tetapi zuhud di dunia adalah dengan kamu lebih yakin dengan (balasan kebaikan) di tangan Allah daripada apa yang ada di tanganmu, dan jika kamu ditimpa suatu musibah (kehilangan sesuatu yang dicintai) maka kamu lebih mengharapkan pahala dan simpanan (kebaikannya diakhirat kelak) daripada jika sesuatu yang hilang itu tetap ada padamu[16].


Jangan Lupa Menyisihkan Sebagian Harta untuk Sedekah

Allah Ta’ala berfirman,

{وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ}

“Dan apa saja yang kamu nafkahkan (sedekahkan), maka Allah akan menggantinya, dan Dia-lah Pemberi rezki yang sebaik-baiknya” (QS Sabaa’:39).

Makna firman-Nya “Allah akan menggantinya” yaitu dengan keberkahan harta di dunia dan pahala yang besar di akhirat[17].

Dan dalam hadits yang shahih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

«مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ، وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا، وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللَّهُ»

“Tidaklah sedekah itu mengurangi harta, dan tidaklah Allah menambah bagi seorang hamba dengan pemberian maafnya (kepada saudaranya) kecuali kemuliaan, serta tidaklah seseorang merendahkan diri di (hadapan) Allah kecuali Dia akan meninggikan (derajat)nya”[18].

Arti “tidak berkurangnya harta dengan sedekah” adalah dengan tambahan keberkahan yang Allah Ta’ala jadikan pada harta dan terhindarnya harta dari hal-hal yang akan merusaknya di dunia, juga dengan didapatkannya pahala dan tambahan kebaikan yang berlipat ganda di sisi Allah Ta’ala di akhirat kelak, meskipun harta tersebut berkurang secara kasat mata[19].

Maka keutamaan besar ini jangan sampai diabaikan oleh keluarga muslim ketika mereka mengatur pembelanjaan harta, dengan cara menyisihkan sebagian dari rizki yang Allah Ta’ala berikan kepada mereka, untuk disedekahkan kepada fakir miskin.

Harta yang disisihkan untuk sedekah tidak mesti besar, meskipun kecil tapi jika dilakukan dengan ikhlas untuk mengharapkan wajah-Nya, maka akan bernilai besar di sisi Allah Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Takutlah kalian (selamatkanlah diri kalian) dari api nereka walaupun dengan (bersedekah dengan) separuh buah kurma”[20].

Dalam hadits lain beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Janganlah sekali-kali engkau menganggap remeh suatu perbuatan baik (meskipun) kecil, walaupun (perbuatan baik itu) dengan engkau menjumpai saudaramu (sesama muslim) dengan wajah yang ceria”[21].

Dan lebih utama lagi jika sedekah tersebut dijadikan anggaran tetap dan amalan rutin, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Amal (ibadah) yang paling dicintai Allah Ta’ala adalah amal yang paling kontinyu dikerjakan meskipun sedikit”[22].

Nasehat dan Penutup

Kemudian yang menentukan cukup atau tidaknya anggaran belanja keluarga bukanlah dari banyaknya jumlah anggaran harta yang disediakan, karena berapa pun banyaknya harta yang disediakan untuk pengeluaran, nafsu manusia tidak akan pernah puas dan selalu memuntut lebih.

Oleh karena itu, yang menentukan dalam hal ini adalah justru sifat qana’ah (merasa cukup dan puas dengan rezki yang Allah berikan) yang akan melahirkan rasa ridha dan selalu merasa cukup dalam diri manusia, dan inilah kekayaan yang sebenarnya. Sebagaimana sabda Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Bukanlah kekayaan itu karena banyaknya kemewahan dunia (harta), akan tetapi kekayaan (yang hakiki) adalah kekayaan (kecukupan) dalam jiwa (hati)”[23].

Sifat qana’ah ini adalah salah satu ciri yang menunjukkan kesempurnaan iman seseorang, karena sifat ini menunjukkan keridhaan orang yang memilikinya terhadap segala ketentuan dan takdir Allah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Akan merasakan kemanisan (kesempurnaan) iman, orang yang ridha kepada Allah Ta’ala sebagai Rabb-nya dan islam sebagai agamanya serta (nabi) Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rasulnya”[24].

Arti “ridha kepada Allah sebagai Rabb” adalah ridha kepada segala perintah dan larangan-Nya, kepada ketentuan dan pilihan-Nya, serta kepada apa yang diberikan dan yang tidak diberikan-Nya[25].

Lebih daripada itu, orang yang memiliki sifat qana’ah dialah yang akan meraih kebaikan dan kemuliaan dalam hidupnya di dunia dan di akhirat nanti, meskipun harta yang dimilikinya tidak banyak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Sungguh sangat beruntung seorang yang masuk Islam, kemudian mendapatkan rizki yang secukupnya dan Allah menganugrahkan kepadanya sifat qana’ah (merasa cukup dan puas) dengan rezki yang Allah Ta’ala berikan kepadanya”[26].

Akhirnya kami akhiri tulisan ini dengan memohon kepada Allah dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, agar dia menganugerahkan kepada kita semua sifat qana’ah dan semua sifat-sifat baik yang diridhai-Nya, serta memudahkan kita untuk memahami dan mengamalkan petunjuk-Nya dengan baik dan benar, sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan doa.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Kendari, 27 Jumadal ula 1431 H
Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA

_____________________
Artikel www.muslim.or.id
[1] HSR Muslim (no. 262).
[2] HSR al-Bukhari (no. 56) dan Muslim (1628).
[3] HR at-Tirmidzi (no. 2417), ad-Daarimi (no. 537), dan Abu Ya’la (no. 7434), dishahihkan oleh at-Tirmidzi dan al-Albani dalam “as-Shahiihah” (no. 946) karena banyak jalurnya yang saling menguatkan.
[4] Lihat kitab “Bahjatun naazhirin syarhu riyaadhish shaalihin” (1/479).
[5] HSR al-Bukhari (no.1407) dan Muslim (no.593).
[6] Lihat kitab “an-Nihaayah fi gariibil hadits wal atsar” (3/237).
[7] Kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (3/433).
[8] Kitab “Fathul Qadiir” (3/318).
[9] HR. Tirmidzi no. 2336, shahih.
[10] Lihat kitab “Faidhul Qadiir” (2/507).
[11] Lihat keterangan imam Ibnul Qayyim dalam kitab “Igaatsatul lahfan” (hal. 84 – Mawaaridul amaan).
[12] HSR al-Bukhari (no. 6075) dan Muslim (no. 116).
[13] Kitab “Igaatsatul lahfan” (hal. 83-84, Mawaaridul amaan).
[14] Dinukil oleh imam Ibnul Qayyim dalam kitab “Igaatsatul lahfan” (hal. 83 – Mawaaridul amaan).
[15] Dinukil oleh oleh Ibnu Rajab dalam kitab beliau “Jaami’ul ‘uluumi wal hikam” (2/384).
[16] Dinukil oleh oleh Ibnu Rajab dalam kitab beliau “Jaami’ul ‘uluumi wal hikam” (2/179).
[17] Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (3/713).
[18] HSR Muslim (no. 2588).
[19] Lihat kitab “Syarhu shahihi Muslim” (16/141) dan “Faidhul Qadiir” (5/503).
[20] HSR al-Bukhari (no. 1351) dan Muslim (no. 1016).
[21] HSR Muslim (no. 2626).
[22] HSR al-Bukhari (no. 6099) dan Muslim (no. 783).
[23] HSR al-Bukhari (no. 6081) dan Muslim (no. 120).
[24] HSR Muslim (no. 34).
[25] Lihat kitab “Fiqhul asma-il husna” (hal. 81).
[26] HSR Muslim (no. 1054).

Jika Orang Tua Melakukan Perbuatan yang Bertolak Belakang dengan Syari'at

Oleh : Syaikh Abdul Aziz bin Baz

Pertanyaan.

Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : Orang tua saya melakukan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan syari'at dan adab-adabnya. Apa yang harus di lakukan terhadap ayah dalam kondisi seperti ini.?

Jawaban.

Waalaikumssalam warahmatullahi wabarakatuhu

Kami do'akan semoga Allah memberikan petunjuk kepada ayah anda dan menganugrahinya taubat. Kami sarankan agar anda bersikap lembut terhadapnya dan menasehatinya dengan cara yang sopan serta tidak putus asa akan kemungkinan mendapat hidayah. Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman.

وَوَصَّيْنَا الإنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ
وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

"Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya ; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepadaKu-lah kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepadaKu".[QS. Luqman : 14-15]

Allah mewasiatkan agar berterima kasih kepada kedua orang tua disamping bersyukur kepadaNya. Allah juga memerintahkan agar sang anak memperlakukan kedua orang tua dengan cara yang baik walaupun mereka memaksanya berbuat kufur terhadap Allah. Berdasarakan ini anda tahu, bahwa yang disyariatkan bagi anda adalah tetap memperlakukan ayah anda dengan baik, tetap berbuat baik kepadanya walaupun ia bersikap buruk terhadap anda. Terus berusaha mengajaknya kepada al-haq. Kendati demikian, anda tidak boleh mematuhinya dalam hal kemaksiatan.

Kami sarankan juga agar anda memohon pertolongan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala agar memberinya petunjuk, di samping itu perlu juga meminta bantuan kepada orang-orang baik dari kalangan kerabat anda, seperti paman-paman anda dan sebagainya, terutama orang-orang yang dihormati dan disegani oleh ayah anda. Mudah-mudahan ia mau menerima nasehat mereka. Semoga Allah memberikan petunjuk untuk bertaubat nasuha kepada kami, anda dan ayah anda. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Mahadekat.

Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuhu

[Majmu Fatawa wa Maqalat Mutawwi'ah, juz 5, hal. 356, Syaikh ibnu Baz]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini-3, Darul Haq]

Kiat Agar Terhindar dari Musik dan Nyanyian

Oleh : Ust. Abu Abdillah al-Atsari

Tentunya seorang muslim yang masih mempunyai hati yang bersih akan berusaha meninggalkan musik dan nyanyian setelah jelas keharamannya.

berikut ini kami berikat sedikit kiat-kiat syar’i agar kita selamat dari pada keharaman musik.

1. Menjauhi dari mendegarkannya lewat radio, TV, dan lain-lain yang bisa membawa dan mengingatkan kita dari musik dan nyanyian. Cobalah dari sekarang, kuatkan imanmu tatkala suara musik terdenganr. Jangan hiraukan suara-suara setan yang mengajak kedalam lumpur dosa dan kemaksiatan.


2. يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ

"Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman." (QS. Yunus {10}: 57)

Karena sesungguhnya al-Qur’an melarang dari mngikuti hawa nafsu, menganjurkan berlaku mulia, dan menjauhkan syahwat di dalam jiwa, melarang dari mengikuti langkah-langkah setan. (Ighatsatul Lahfan I/369)

Sibukkanlah diri anda dengan al-Qur’an pelajarilah sunnah Nabi صلى الله عليه وسلم niscaya akan jelas cahaya kebenaran, dan selamat dari keharaman Allah عزوجل.

3. Mempelajari dan membaca sejarah Rasulullah صلى الله عليه وسلم dan para sahabat dalam menyikapi music, karena hal itu akan dapat mendorong untuk mencontoh mereka dalam menjauhi perkara musik dan nyayian.

4. Bergaul dengan teman yang shalih, bukan dengan teman yang cinta music,. Bagaimana juga, teman memiliki pengaruh yagn kuat dalam diri seseorang, apabila anda berteman dengan teman yang shalih, yagn sibuk dengan ilmu dan membenci music, insya Allah anda akan selamat. Akan tetapi sebaliknya, teman yang jelek yang selalu mengajak mendegarkan musik, dia akan membinasakanmu dan menceburkanmu, kedalam lumpura dosa dan keharaman. Benarlah sabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم yang berbunyi:

Seseorang dipandang dari agama temannya, maka hendaklah salah seorang di antara kalian meliat siapa yang menjadi temannya. (HR. Abu Dawud : 4833, Tirmidzi: 2378, Ahmad 2/303, Hakim 4/171.Lihat ash-Shaihah: 928 oleh al-Albani)

5. Teakhir berdo’alah kepada Allah agar kita diselamatkan dari dosa nyanyian dan music. Dialah yang Maha mengabulkan do’a. mintalah dengan merendahkan diri kepada-Nya, insya Allah kita selamat dari dosa musik.

Inilah yang dapat kami uraikan tentang masalah musik dalam pandangan islam.
[Disalin dari Majalah Al-furqon Edisi 12 tahun V/Rajab 1427 (Agustrus 08)]

Kisah Sarang Laba-Laba di Gua Tsaur

Bismillah,

Diantara hadits2 tidak shahih yang telah sampai kepada kita ,dan sangat terkenal adalah, seperti kisah sarang laba-laba di mulut gua dan adanya burung merpati didalam gua ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan Abu Bakar shiddiq radhiallahu 'anhu bersembunyi di gua tersebut untuk menghindari kejaran orang Quraisy.

Inilah riwayatnya secara makna :

"Saat Rosululloh dan Abu Bakr sudah sampai ke goa, maka beliau bersama Abu Bakar masuk kedalamnya, lalu datanglah seekor laba-laba dan sepasang burung merpati ke mulut goa atas perintah Alloh Ta’ala. Adapun laba-laba maka dia langsung membuat rumah di mulut goa, sedangkan burung merpati segera membuat sarang dan bertelur disitu. Maka tatkala para pemuda Quraisy yang sedang kebingunagn karena kehilangan jejak beliau sudah sampai ke dekat goa, maka salah seorang diantara mereka pergi mendekat, akan tetapi karena melihat dimulut goa ada rumah laba-laba yang belum rusak dan burung merpati yang sedang bertelur, maka dia pun balik dan tidak melihat kedalam goa. Tatkala teman-temannya menanyakan :” Kenapa kok tidak melihat kedalam goa ? maka dia menjawab : Ada seekor laba-laba dan sepasang burung merpati di mulut goa, saya yakin tidak ada siapa-siapa didalamnya.”

[Kisah dengan lafadl semacam ini adalah yang masyhur di Indonesia. Ada sedikit perbedaan redaksi dengan yang terdapat dalam beberapa hadits. Namun inti permasalahannya sama. Walohu a’lam]

Derajat kisah dari kisah ini :

Berkata Syaikh Al Albani dalam Adh Dho’ifah : Hadits ini munkar

Takhrij kisah ini :
Hadits ini memiliki empat jalan dengan redaksi yang sedikit berbeda :

Jalan Pertama : Kisah diatas

Hadits yang menceritakan kisah ini diriwayatkan oleh Thobroni dalam Al Kabir : 1082, Al Bazzar : 1741, Al Uqoili dalam Adh Dhu’afa 1462 dan Baihaqi dalam Ad Dala’il 2/213 dari jalan Aun bin Amr al Qoisi, dia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Mush’ab Al Makki berkata : Saya bertemu dengan Zaid bin Arqom, Mughiroh bin Syu’bah dan Anas bin Malik menceritakan hadits diatas.

Hadits ini hanya diriwayatkan dari jalan Aun dari Abu Mush’ab, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Bazzar, beliau berkata : Kami tidak mengetahui ada yang meriwayatkan hadits ini kecuali Aun bin Amr dan dia adalah seorang dari daerah Bashroh yang masyhur. Sedangkan Abu Mush’ab, kami tidak mengetahui ada yang menceritakan darinya kecuali Aun.”

Sisi cacat hadits dari jalan pertama tersebut :

1. Aun bin Amr Al Qoisi
Berkata Imam Adz Dzahabi dalam Mizanul i’tidal : 6535 : Berkata Ibnu Ma’in : Tidak ada apa-apanya, berkata Imam Bukhori : dia seorang yang munkar hadits dan majhul.”

Imam Adz Dzahabi kemudian membuat contoh hadits munkar yang diriwayatkan oleh Aun, dan hadits ini adalah salah satunya.

2. Abu Mush’ab
Dia seorang yang majhul ain sebagimana yang dikatakan oleh Bazzar dan Al Uqoili. Dan majhul ain adalah seorang yang rowi yang hanya diriwayatkan oleh seorang rowi dan tidak diketahui ketsiqohannya. Hukum hadits majhul ain adalah lemah, sebagaimana yang telah mapan dalam disiplin ilmu hadits.

Jalan kedua :

Sama dengan kisah diatas, namun hanya menyebut laba-laba, tanpa adanya kisah sepasang merpati.

Diriwayatkan oleh Abu Bakr al Qodli dalam Musnad Abu Bakr, beliau berkata : Telah menceritakan kepada kami Basysyar al Khoffaf, dia berkata : “Telah menceritakan kepada kami Ja’far bin Sulaiman , Telah menceritakan kepada kami Abu Imron, Telah menceritakan kepada kami Mu’alla bin Ziyad dari Hasan Al Bashri berkata : Rosululloh berangkat bersama Abu Bakr ke goa, lalu keduanya masuk, maka datanglah seekor laba-laba lalu membuat rumah dimulut goa. Lalu datanglah para pemuda Quraisy, namun tatkala mereka melihat ada sarang laba-aba disitu maka mereka mengatakan : Tidak ada seorangpun yang memasukinya.”

Kisah ini lemah sekali

Sisi kelemahan hadits ini :

1. Mursalnya Hasan al Basri, karena beliau adalah seorang Tabi’in dan langsung menceritakan dari Rosululloh .
Berkata Imam Ahmad : Tida ada hadits mursal yang lebih lemah dibandingkan mursalnya Hasan. (Lihat Tadribur Rowi oleh As Suyuthi 1/204)

2. Basyar al Khofaf
Berkata Nasa’i : Basyar : Tidak tsiqoh (Adh Dhu’afa wa Matrukin : 80)
Berkata Bukhori : Dia munkar hadits ( At Tarikh Al Kabir : 1935)
Berkata Yahya bin Ma’in : Dia seorang yang tidak tsiqoh.
Berkata imam Adz Dzahabi : Dia dilemahkan oleh Abu Zur’ah.
Berkata Ibnu Gholabi : Dia termasuk para pendusta.

Jalan ketiga :

Singkat cerita : Dari Ibnu Abbas berkata : Tatkala orang-orang Quraisy bermusyawarah untuk membunuh Rosululloh, maka Alloh memberitahukan hal itu kepada Rosululloh. Maka Rosululloh memerintahkan Ali bin Abi Tholib untuk tidur di rumah beliau dan beliau pergi sehingga sampai di goa. Pagi harinya orang-orang Quraisy tatkala menyadari bahwa Rosululloh telah pergi maka mereka mencarinya dan sampai kedekat goa, saat mereka melihat ada rumah laba-laba dimulut goa maka mereka berkata : Seandainya dia masuk sini maka tidak mungkin ada rumah laba-laba disini.”

Kisah ini lemah

Diriwayatkan oleh Ahmad 3251, Abdur Rozaq : 9743, Thobroni 12155 dari jalan Ma’mar bin Utsman al Jazri dari Muqsim dari Ibnu Abbas.

Sisi kelemahan hadits ini :

Sisi kelemahan hadits ini adalah Utsman Al Jazri

Berkata Ibnu Abi Hatim dalam Jarh wat Ta’dil 2/162 : Dia tidak bisa dijadikan sebagai hujjah Dia pun dilemahkan oleh Adz Dzahabi dalam Mizan 5510 dan Ibnu Hajar dalam Lisan : 5526.


Jalan keempat :

Silsilah riwayat : “Saya mencintai laba-laba”

Diriwayatkan oleh Ad Dailami dalam Musnad Firdaus. Berkata telah menceritakan kepadaku bapakku berkata : Saya mencintai lala-laba sejak saya mendengar guruku Abu Ishaq bin Ibrohim Al Maroghi dan Muhammad bin Ja’far al Muthohhar – dengan sanad yang panjang semuanya perowinya berkata : “Saya mencintai laba-laba” sampai kepada – Muhammad bin Sirin berkata : Saya mencintai laba-laba sejak saya mendengar dari Abu Huroiroh berkata : “Saya mencintai laba-laba sejak saya mendengar Abu Bakr berkata : Saya selalu mencintai laba-laba sejak saya melihat Rosululloh mencintainya dan beliau bersabda : Semoga Alloh membalas sang laba-laba dengan balasan yang baik, dia membuat sarang untuk melindungiku dan Abu Bakr saat berada di gua, sehingga orang-orang musyrik tidak bisa melihat dan menemukan kami.

Derajat hadits ini :

Berkata Syaikh Al Albani : Ini adalah Munkar

Sisi kelemahannya :

Didalam sanadnya terdapat seorang rowi bernama Abduloh bin Musa as Sulami. Berkata al Khothib al Baghdadi : Dia banyak meriwayatkan hadits-hadits aneh dan mungkar.
Beliau juga berkata : Dia meriwayatkan dari siapa saja, baik orang-orang yang majhul maupun lainnya.

Berkata Imam Adz Dzahabi : dia meriwayatkan hadits yang aneh bin ajaib, dia menceritakan hadits yang tidak ada asal usulnya.”

Berkata Syaikh al Albani : di hadits ini juga ada beberapa perowi yang tidak saya kenal.”


Kesimpulan :

Berkata Syaikh Al Albani :

Ketahuilah, bahwa hadits tentang laba-laba dan dua burung dara tidak shohih meskipun sangat banyak disebut dalam berbagai kitab dan ceramah seputar kisah hijrahnya Rosululloh ke Madinah, oleh karena itu ketahuilah hal ini.” (Lihat Adh Dho’ifah : 1189)

Wallohu a’lam

[disarikan dari Adh Dho’ifah Syaikh Al Albani dan Silsilah Tahdzir Da’iyah oleh Syaikh Ali Al Hasyisy.]
Sumber : http://maktabah-islamiyah.blogspot.com/2010/05/sepenggal-kisah-lemah-seputar.html

Berpindah Tempat Untuk Shalat Sunnah setelah Shalat Wajib

Oleh: Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baaz

Tanya : 

Adakah sunnahnya berpindah tempat untuk melaksanakan shalat sunnah setelah shalat wajib?

Jawab:

Saya tidak mengetahui adanya hadits yang shahih dalam hal ini, akan tetapi Ibnu Umar dan mayoritas ulama salaf melakukan hal itu. Masalah dalam hal ini adalah luas. Walhamdulillah. Terdapat dalam permasalahan ini hadits yang lemah pada riwayat Abu Dawud rahimahullah dan dikuatkan oleh perbuatan Ibnu Umar dan ulama salaf yang lainnya. Semoga Allah memberikan hidayah.

[Sifat Shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam & Fatwa-fatwa Penting Tentangnya oleh Syaikh Nashiruddin Al-Albani dan Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baaz (penerjemah: Al-Ustadz Abu Muhammad Harits Abrar Thalib, Abu Hudzaifah, Khoirur-Rijal, dan Alimuddin), penerbit: Maktabah Al-Ghuroba’, Sukoharjo. Pertanyaan no. 35, hal. 398].

Ustadz. Abu Muawiah , pengasuh situs http://al-atsariyyah.com/ ketika ditanya dengan perkara serupa, beliau menjawab :

Dalil dari amalan berpindah tempat untuk shalat sunnah adalah adanya beberapa hadits yang melarang untuk menyambung shalat sunnah dengan shalat wajib tanpa dipisahkan oleh perpindahan tempat atau dipisahkan oleh ucapan. Karenanya jika setelah shalat wajib seseorang itu berzikir maka dia sudah dianggap memisahkan shalat wajib dengan shalat sunnah dengan suatu ucapan, dan karenanya dia tidak harus berpindah dari tempatnya.


Sumber :
http://fadhlihsan.wordpress.com/2010/08/21/berpindah-tempat-untuk-melaksanakan-shalat-sunnah-setelah-shalat-wajib/
http://al-atsariyyah.com/pembahasan-lengkap-shalat-sunnah-rawatib.html

Sunday, February 27, 2011

Mengkonsumsi Kopi Luwak

Tanya : 

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Bagaimana hukum meminum kopi luwak? Jazakallahu khairan.

Jawab : 

Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.

Kopi Luwak adalah kopi yang diproduksi dari biji kopi yang telah dimakan dan melewati saluran pencernaan binatang bernama luwak. Dan luwak adalah sejenis musang, karenanya biasa dikatakan musang luwak. Dia senang sekali mencari buah-buahan yang cukup baik dan masak termasuk buah kopi sebagai makanannya. Luwak akan memilih buah kopi yang betul-betul masak sebagai makanannya, dan setelahnya, biji kopi yang dilindungi kulit keras dan tidak tercerna akan keluar bersama kotoran luwak. (sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Kopi_luwak)

Berdasarkan keterangan di atas maka kopi luwak hukumnya dikembalikan kepada apakah musang itu halal dimakan ataukah tidak? Dan apakah kotorannya suci ataukah najis?

Adapun dalam hal halal atau haramnya, maka musang luwak adalah halal dan boleh dikonsumsi

Musang (arab: tsa’lab) adalah halal, karena walaupun bertaring, hanya saja dia tidak mempertakuti dan memangsa manusia atau hewan lainnya dengan taringnya dan dia juga termasuk dari hewan yang baik (arab: thoyyib). Ini merupakan madzhab Malikiyah, Asy-Syafi’iyah, dan salah satu dari dua riwayat dari Imam Ahmad. [Mughniyul Muhtaj (4/299), Al-Muqni' (3/528), dan Asy-Syarhul Kabir (11/67)]

Adapun hukum kotorannya, maka pendapat yang paling kuat di kalangan ulama adalah sucinya kotoran musang. Karena musang termasuk hewan yang halal dimakan, sementara semua hewan yang halal dimakan maka kotoran dan kencingnya adalah suci dan tidak najis. Ini adalah mazhab Al-Malikiah dan Al-Hanabilah, bahkan merupakan pendapat para sahabat seluruhnya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam Al-Fatawa Al-Kubra (5/313), “Kencing dan tinja hewan yang boleh dimakan dagingnya adalah suci, tidak ada seorangpun dari para sahabat yang berpendapat najisnya. Bahkan pendapat yang menyatakan najisnya adalah pendapat yang muhdats (baru muncul), tidak ada salafnya dari kalangan para sahabat.”

Di antara dalilnya adalah hadits riwayat Muslim no. 1529 dimana Nabi -alaihishshalatu wassalam- mengizinkan shalat di kandang kambing. Maka ini menunjukkan tinja dan kencing kambing (dan dia adalah hewan yang halal dimakan) adalah suci dan bukan najis, karena tidak boleh shalat pada tempat yang ada najisnya. Dan juga hadits al-uraniyin dimana Nabi -alaihishshalatu wassalam- memerintahkan rombongan orang dari luar Madinah yang terkena penyakit untuk meminum kencing dan susu onta, dan itu menunjukkan kencingnya adalah suci, karena tidak diperbolehkan berobat dengan sesuatu yang najis. Haditsnya diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 233 dan Muslim no. 1671. Dan masih banyak dalil-dalil lainnya.

Kalau begitu hukum kopi luwak adalah halal karena dia halal dimakan dan kotorannya juga suci. Kalaupun anggaplah kotoran musang adalah najis maka tetap saja kopi luwak itu halal karena dari penjelasan di atas diperoleh keterangan bahwa biji kopi yang akan dibuat kopi tidak ikut tercerna, yakni tetap utuh. Jika dia tetap utuh keluar bersama kotoran musang, maka kita tinggal membersihkan najis yang melekat padanya sampai bersih, kemudian setelah itu baru diolah menjadi kopi. Jadi ketika diproses menjadi kopi, tidak ada lagi kotoran musang -kalau dia dianggap najis- yang melekat padanya.

Wallahu a’lam bishshawab.
Sumber: http://al-atsariyyah.com/?p=1438

Saturday, February 26, 2011

Menjauhi Majelis yang Kosong dari Dzikrullah

Allah Ta’ala berfirman:

مَا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلاَّ لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ

“Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaf: 18)

Dari Abu Hurairah -radhiallahu anhu- dia berkata: Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- bersabda:

مَنْ قَعَدَ مَقْعَداً لَمْ يَذْكُرِ اللهَ فِيْهِ كَانَتْ عَلَيْهِ مِنَ اللهِ تِرَةٌ، وَمَنِ اضْطَجَعَ مَضْجِعَاً لاَ يَذْكُرِ اللهَ فِيْهِ كَانَتْ عَلَيْهِ مِنَ اللهِ تِرَةٌ

“Barangsiapa yang duduk pada sebuah tempat lalu dia tidak berzikir kepada Allah di situ maka hal itu akan menjadi tirah (penyesalan) baginya di sisi Allah. Barangsiapa yang berbaring pada sebuah tempat lalu dia tidak berzikir kepada Allah di situ maka hal itu akan menjadi tirah (penyesalan) baginya di sisi Allah.” (HR. Abu Daud no. 4856, 5058 dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Al-Misykah: 2/703)

Dalam kitab An-Nihayah fii Gharib Al-Hadits (1/189) karya Ibnu Al-Atsir disebutkan bahwa makna tirah adalah kekurangan dan pertanggungjawaban.

Dari Abu Hurairah -radhiallahu anhu- dia berkata: Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- bersabda:

مَا جَلَسَ قَوْمٌ مَجْلِساً لَمْ يَذْكُرُوا اللهَ فِيْهِ وَلَمْ يُصَلُّوا عَلَى نَبِيِّهِمْ إِلاَّ كَانَ عَلَيْهِمْ تِرَةٌ, فَإِنْ شَاءَ عَذَّبَهُمْ وَإِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهُمْ

“Tidaklah ada satu kaum yang duduk dalam satu majelis lalu mereka tidak berzikir kepada Allah dan tidak juga bershalawat kepada nabi mereka padanya kecuali majelis itu menjadi tirah atas mereka, jika Dia mau maka Dia akan menyiksa mereka dan jika Dia mau maka Dia akan mengampuni mereka.” (HR. At-Tirmizi no. 3380 dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 5607)

Dari Ibnu Umar -radhiallahu anhuma- dia berkata: Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- bersabda:

لاَ تُكْثِرُوا الْكَلاَمَ بِغَيْرِ ذِكْرِ اللهِ فَإِنَّ كَثْرَةَ الْكَلاَمِ بِغَيْرِ ذِكْرِ اللهِ قَسْوَةٌ لِلْقَلْبِ، وَإِنَّ أَبْعَدَ النَّاسُ مِنَ اللهِ الْقَلْبُ الْقَاسِي

“Janganlah kalian memperbanyak bicara dengan selain zikir kepada Allah, karena memperbanyak bicara dengan selain zikir kepada Allah membuat hati menjadi keras, sementara hamba yang paling jauh dari Allah adalah yang hatinya keras.” (HR. At-Tirmizi no. 2411 dan dinyatakan hasan oleh Al-Arnauth dalam Jami’ Al-Ushul: 11/737)

Penjelasan ringkas:

Setiap orang pasti akan berkumpul dengan orang lainnya dimana mereka akan berbincang-bincang dan berbicara, baik dalam masalah dunia maupun masalah agama. Dan majelis (perkumpulan orang) yang terbaik adalah majelis yang padanya diucapkan zikir kepada Allah dan shalawat kepada Nabi-Nya -shallallahu alaihi wasallam-, dan majelis yang penuh dengan zikir kepada Allah dan shalawat kepada Nabi adalah majelis ilmu dimana kaum muslimin saling membacakan Al-Qur`an dan hadits serta saling mengajarkan di antara mereka. Adapun majelis yang kosong dari kedua amalan ini maka dia adalah majelis yang tercela dan itu akan menjadi kekurangan dan penyesalan bagi setiap orang yang hadir di majelis tersebut karena telah membuang-buang waktunya pada perkara yang tidak bermanfaat. Karenanya Ar-Rasul -shallallahu alaihi wasallam- memperingatkan agar menjauhi majelis seperti itu dan beliau mengabarkan bahwa majelis seperti itu akan membuat hati menjadi keras, yang mana hal itu akan menjauhkan dia dari Allah Ta’ala.

http://al-atsariyyah.com/menjauhi-majelis-yang-kosong-dari-dzikrullah.html