Wednesday, July 21, 2010

Bukannya Saya Mengajak Anda Bergabung dalam Jamaah Copas *Sharing Mode ON =)

>>jamaah: kumpulan
>>copas: kegiatan mengkopi sesuatu

>>>> jamaah copas: kumpulan individu yang gemar mengkopi sesuatu.

Saya mendapat istilah ini ketika blogwalking @ yhougam.wordpress.com. ketika asyik membaca, wah ini ada istilah baru yang you and I see(alias unic, RM -ra maksyud- mode on). Jadi tertarik membacanya. Setauku dulu itu adanya JF >> Jamaah Fisbiqiyyah<<. Sekarang ada JC(Jamaah copas) Haha,, ada-ada saja orang itu.

Saya memulai aktivitas copas ini ketika dulu ada tulisan bagus yang ingin saya share ke temen-temen dengan fasilitas tagging dari FB. Karena artikel-artikel yang bagus bejibun, ya saya teuteup copas only. Awalnya saya bikin note FB itu ya tulisan sendiri, namun mengetahui kapasitas saya yang masih low, so saya baru bisa mengcopaskan artikel untuk Anda. Khawatir kalau nanti tulisan yang buat saya dengan kapasitas ilmu yang minimum malah menyesatkan Anda dan malah tidak maksud(read: Ra Maksyudt). Dan sepertinya waktu qta gunakan untuk mengambil nutrisi otak dan hati lebih pentinga daripada menulisakannya, meskipun menuliskannya –dalam bentuk artikel- juga penting.

Kalau qta mau buad artikel dan bermanfaat untuk orang lain serta qta punya argument-argumen aio qta buat artikel tersebut, dan bisa dibagikan via FB ato qta bisa mengekspresikan diri qta dengan blog.

Dengan qta sering mempelajari something, qta jadi akan lebih mudah menuangkannya. Ibaratnya qta punya bak penampungan, kalau qta sering mengisi bak tersebut dengan hal-hal bermanfaat, qta juga akan bisa mengalirkan isi yang bermanfaat tersebut.

Dengan qta sering mengulang-ulang(membaca, mendengar, melihat) sesuatu, qta akan jadi lebih mudah mengungkapkannya kembali.

Kalau qta sering menulis maka untuk menghasilkan something tulisan yang bagus juga gag bermasalah. Qta akan mengalir lancar seakan sungai nan jernih mengalirkan airnya.

Dan bak penampungan yang qta isi itu tak akan bisa penuh. Qta diminta untuk mengisinya dari buaian hingga liang lahat. Dan ketika ilmu Allah ditulis, Semua pohon yang dijadikan pena dan semua lautan yang dijadikan tinta tak akan sanggup menuliskan ilmu Allah.. *teringat sanlat tahunku dulu =)*

Jadi jangan pernah kenyang untuk memberi makanan otak dan hati ini. Jangan pernah puas dengan mutiara-mutiara kehidupan. Carilah karena ia takkan datang dengan sendirinya. Apalagi qta telah dilengkapi teknologi yang maju yang bisa qta gunakan untuk semakin mendekatkan diri qta dengan Pencipta qta.

Ingat, meski qta telah tiada di muka bumi melainkan di dalam bumi, tulisan itu akan tetap ada dan jika bermanfaat doski(tulisan itu) bisa mengalirkan income yang tak disangka-sangka untuk qta. Salah satu hal yang tidak terputus ketika qta mati kan ilmu yang bermanfaat. Dan banyak orang-orang terdahulu dan ilmuwan-ilmuwan yang meskipun mereka telah tiada namun karya qta masih bisa qta rasakan hingga sekarang.

^^ keep blogging n keep sharing^^ =)
Sumber: http://asysya.blogspot.com/2010/06/bukannya-saya-mengajakan-anda-bergabung.html

Wednesday, July 7, 2010

Pesan Untuk Istri

Oleh Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq
Anas berkata, “Para Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika menyerahkan seorang wanita kepada suaminya, maka mereka memerintahkan isteri agar berkhidmat kepada suaminya dan memelihara haknya.”

Ummu Humaid berkata, “Para wanita Madinah, jika hendak menyerahkan seorang wanita kepada suaminya, pertama-tama mereka datang kepada ‘Aisyah dan memasukkannya di hadapannya, lalu dia meletakkan tangannya di atas kepalanya seraya mendo’akannya dan memerintahkannya agar bertakwa kepada Allah serta memenuhi hak suami”[1]
‘Abdullah bin Ja’far bin Abi Thalib berwasiat kepada puterinya, “Janganlah engkau cemburu, sebab itu adalah kunci perceraian, dan janganlah engkau suka mencela, karena hal itu menimbulkan kemurkaan. Bercelaklah, karena hal itu adalah perhiasan paling indah, dan farfum yang paling baik adalah air.”

Abud Darda’ berkata kepada isterinya, “Jika engkau melihatku marah, maka redakanlah kemarahanku. Jika aku melihatmu marah kepadaku, maka aku meredakanmu. Jika tidak, kita tidak harmonis.”

Ambillah pemaafan dariku, maka engkau melanggengkan cintaku.
Janganlah engkau berbicara dengan keras sepertiku, ketika aku sedang marah
Janganlah menabuhku (untuk memancing kemarahan) seperti engkau menabuh rebana, sekalipun
Sebab, engkau tidak tahu bagaimana orang yang ditinggal pergi
Janganlah banyak mengeluh sehingga melenyapkan dayaku
Lalu hatiku enggan terhadapmu; sebab hati itu berbolak-balik
Sesungguhnya aku melihat cinta dan kebencian dalam hati
Jika keduanya berhimpun, maka cinta pasti akan pergi

‘Amr bin Hajar, Raja Kindah, meminang Ummu Ayyas binti ‘Auf. Ketika dia akan dibawa kepada suaminya, ibunya, Umamah binti al-Haris menemui puterinya lalu berpesan kepadanya dengan suatu pesan yang menjelaskan dasar-dasar kehidupan yang bahagia dan kewajibannya kepada suaminya yang patut menjadi undang-undang bagi semua wanita. Ia berpesan:

Wahai puteriku, engkau berpisah dengan suasana yang darinya engkau keluar, dan engkau beralih pada kehidupan yang di dalamnya engkau naik untuk orang yang lalai dan membantu orang yang berakal. Seandainya wanita tidak membutuhkan suami karena kedua orang tuanya masih cukup dan keduanya sangat membutuhkanya, niscaya akulah orang yang paling tidak membutuhkannya. Tetapi kaum wanita diciptakan untuk laki-laki, dan karena mereka pula laki-laki diciptakan.

Wahai puteriku, sesungguhnya engkau berpisah dengan suasana yang darinya engkau keluar dan engkau berganti kehidupan, di dalamnya engkau naik kepada keluarga yang belum engkau kenal dan teman yang engkau belum terbiasa dengannya. Ia dengan kekuasaannya menjadi pengawas dan raja atasmu, maka jadilah engkau sebagai abdi, niscaya ia menjadi abdimu pula. Peliharalah untuknya 10 perkara, niscaya ini akan menjadi kekayaan bagimu.

Pertama dan kedua, tunduk kepadanya dengan qana’ah (merasa cukup), serta mendengar dan patuh kepadanya.
Ketiga dan keempat, memperhatikan mata dan hidungnya. Jangan sampai matanya melihat suatu keburukan darimu, dan jangan sampai mencium darimu kecuali aroma yang paling harum.
Kelima dan keenam, memperhatikan tidur dan makannya. Karena terlambat makan akan bergejolak dan menggagalkan tidur itu membuat orang marah.
Ketujuh dan kedelapan, menjaga hartanya dan memelihara keluarga dan kerabatnya. Inti perkara berkenaan dengan harta ialah menghargainya dengan baik, sedangkan berkenaan dengan keluarga ialah mengaturnya dengan baik.
Kesembilan dan kesepuluh, jangan menentang perintahnya dan jangan menyebarkan rahasianya. Karena jika engkau menyelisihi perintahnya, maka hatinya menjadi kesal dan jika engkau menyebarkan rahasianya, maka engkau tidak merasa aman terhadap pengkhianatannya. Kemudian janganlah engkau bergembira di hadapannya ketika dia bersedih, dan jangan pula bersedih di hadapannya ketika dia bergembira”[2]

Seseorang menikahkan puterinya dengan keponakannya. Ketika ia hendak membawanya, maka dia berkata kepada ibunya, “Perintahkan kepada puterimu agar tidak singgah di kediaman (suaminya) melainkan dalam keadaan telah mandi. Sebab, air itu dapat mencemerlangkan bagian atas dan membersihkan bagian bawah. Dan janganlah ia terlalu sering mencumbuinya. Sebab jika badan lelah, maka hati menjadi lelah. Jangan pula menghalangi syahwatnya, sebab keharmonisan itu terletak dalam kesesuaian.

Ketika al-Farafishah bin al-Ahash membawa puterinya, Nailah, kepada Amirul Mukminin ‘Utsman bin ‘Affan Radhitallahu ‘anhu, dan beliau telah menikahinya, maka ayahnya menasihatinya dengan ucapannya, “Wahai puteriku, engkau didahulukan atas para wanita dari kaum wanita Quraisy yang lebih mampu untuk berdandan darimu, maka peliharalah dariku dua hal ini : bercelaklah dan mandilah, sehingga aromamu adalah aroma bejana yang terguyur hujan.”

Abul Aswad berkata kepada puterinya, “Jangalah engkau cemburu, sebab kecemburuan itu adalah kunci perceraian. Berhiaslah, dan sebaik-baik perhiasan ialah celak. Pakailah wewangian, dan sebaik-baik wewangian ialah menyempurnakan wudhu.’”

Ummu Ma’ashirah menasihati puterinya dengan nasihat berikut ini yang telah diramunya dengan senyum dan air matanya: “Wahai puteriku, engkau akan memulai kehidupan yang baru… Suatu kehidupan yang tiada tempat di dalamnya untuk ibumu, ayahmu, atau untuk seorang pun dari saudaramu. Engkau akan menjadi teman bagi seorang pria yang tidak ingin ada seorangpun yang menyekutuinya berkenaan denganmu hingga walaupun ia berasal dari daging dan darahmu. Jadilah engkau sebagai isteri, wahai puteriku, dan jadilah engkau sebagai ibu baginya. Jadikanlah ia merasa bahwa engkau adalah segalanya dalam kehidupannya dan segalanya dalam dunianya. Ingatlah selalu bahwa suami itu anak-anak yang besar, jarang sekali kata-kata manis yang membahagiakannya. Jangan engkau menjadikannya merasa bahwa dengan dia menikahimu, ia telah menghalangimu dari keluargamu.

Perasaan ini sendiri juga dirasakan olehnya. Sebab, dia juga telah meninggalkan rumah kedua orang tuanya dan meninggalkan keluarganya karenamu. Tetapi perbedaan antara dirimu dengannya ialah perbedaan antara wanita dan laki-laki. Wanita selalu rindu kepada keluarganya, kepada rumahnya di mana dia dilahirkan, tumbuh menjadi besar dan belajar. Tetapi dia harus membiasakan dirinya dalam kehidupan yang baru ini. Ia harus mencari hakikat hidupnya bersama pria yang telah menjadi suami dan ayah bagi anak-anaknya. Inilah duniamu yang baru, wahai puteriku. Inilah masa kini dan masa depanmu. Inilah mahligaimu, di mana kalian berdua bersama-sama menciptakannya.

Adapun kedua orang tuamu adalah masa lalu. Aku tidak memintamu melupakan ayah dan ibumu serta saudara-saudaramu, karena mereka tidak akan melupakanmu selama-lamanya. Wahai sayangku, bagaimana mungkin ibu akan lupa belahan hatinya? Tetapi aku meminta kepadamu agar engkau mencintai suamimu, mendampingi suamimu, dan engkau bahagia dengan kehidupanmu bersamanya.”

Diriwayatkan bahwa Ibnu Abi ‘Udzr ad-Du’ali -pada hari-hari pemerintahan ‘Umar Radhiyallahu ‘anhu- menceraikan wanita-wanita yang dinikahinya. Sehingga muncullah kepadanya beberapa peristiwa yang tidak disukainya berkenaan dengan para wanita tersebut dari hal itu. Ketika dia mengetahui hal itu, maka dia memegang tangan ‘Abdullah bin al-Arqam sehingga membawanya ke rumahnya. Kemudian dia berkata kepada isterinya: “Aku memintamu bersumpah demi Allah, apakah engkau benci kepadaku?” Ia menjawab, “Jangan memintaku bersumpah demi Allah.” Dia mengatakan, “Aku memintamu bersumpah demi Allah.” Ia menjawab, “Ya.”

Kemudian dia berkata kepada Ibnul Arqam, “Apakah engkau dengar?” Kemudian keduanya bertolak hingga sampai kepada ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu lalu mengatakan, “Kalian mengatakan bahwa aku menzhalimi kaum wanita dan menceraikan mereka. Bertanyalah kepada al-Arqam.” Lalu ‘Umar bertanya kepadanya dan mengabarkannya. Lalu beliau mengirim utusan kepada isteri Ibnu Abi ‘Udzrah (untuk datang kepada ‘Umar). Ia pun datang bersama bibinya, lalu ‘Umar bertanya, “Engkaukah yang bercerita kepada suamimu bahwa engkau marah kepadanya?” Ia menjawab, “Aku adalah orang yang mula-mula bertaubat dan menelaah kembali perintah Allah kepadaku. Ia memintaku bersumpah dan aku takut berdosa bila berdusta, apakah aku boleh berdusta, wahai Amirul Mukminin?” Dia menjawab, “Ya, berdustalah. Jika salah seorang dari kalian tidak menyukai salah seorang dari kami, janganlah menceritakan hal itu kepadanya. Sebab, jarang sekali rumah yang dibangun di atas dasar cinta, tetapi manusia hidup dengan Islam dan mencari pahala”[3]

Kepada setiap muslimah yang memenuhi hak-hak suaminya dan takut terhadap murka Rabb-nya karena dia mengetahui hak suaminya atasnya! Inilah contoh sebagian pria yang mensifati isterinya yang tidak mengetahui hak suaminya dan tidak pula memelihara kebaikannya. Ia tidak mempercantik diri dan tidak berdandan untuknya, serta bermulut kasar. Ia mensifatinya dengan sifat yang membuat hati bergetar dan telinga terngiang-ngiang. Camkanlah sehingga engkau tidak jatuh ke tempat yang menggelincirkan ini.

[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penulis Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq, Penterjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsair]

__________
Foote Note
[1]. HR. Ibnu Abi Syaibah (IV/305-306).
[2]. Ahkaamun Nisaa’, Ibnul Jauzi (hal. 74-78).
[3]. Syarhus Sunnah (XIII/120).
Sumber: alManhaj.or.id

Terimalah Aku Apa Adanya..

Di bawah naungan ajaran Islam, pernikahan sepasang insan suami istri menjalani hidup mereka dalam satu perasaan, menyatunya hati dan cita-cita. Namun adakalanya pernikahan harus berjalan di atas kerikil. Apalagi saat pandangan mulai berbeda, tujuan tak lagi sama. Mempertahankan keutuhan dan keharmonisan rumah tangga terasa tak lagi mudah. Di mata kita pasangan selalu serba salah dan penuh kekurangan.

Keluarga Samara

Pernikahan adalah fitrah kemanusiaan. Karenanya Islam menganjurkan, sebab nikah merupakan gharizah insaniyah. Sebagaimana Allah berfirman,
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.” (Ar-Ruum : 30).
Islam memberi penghargaan tinggi pada pernikahan dan Allah menyebutnya sebagai ikatan yang kuat. Dalam al-Quran surat An Nisaa : 21
“… dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat”
Demikian agungnya ikatan pernikahan hingga sebanding dengan separuh agama. Begitulah, keputusan dua insan berbeda untuk menikah tentunya dengan pertimbangan matang, faham dan tahu tujuan dari pernikahan. Mengerti betul perbedaan akan disatukan dalam perkawinan. Hingga pemahaman-pemahaman dari ini diharapkan akan membawa pada keharmonisan dan kelangsungan pernikahan pada keabadian.

Pernikahan adalah bangunan yang bertiang Adam dan Hawa yang membangun kecintaan dan kerjasama, penuh mawadah, ketenteraman, pengorbanan, dan juga hubungan rohani yang mulia dan keterikatan jasad yang disyariatkan.
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (Ar-Ruum :21).
Ayat ini merupakan pondasi kehidupan yang diliputi suasana perasaan yang demikian sejuk. Istri ibarat tempat bernaung bagi suami setelah seharian bekerja keras. Penghiburnya di saat lelah. Suasana rumah yang penuh belas kasih hingga menumbuhkan ketenteraman. Sebaliknya suami yang baik akan memberikan timbal balik yang sama.

 Suami sebagai pemimpin rumahnya dengan bantuan dan dukungan istri akan bertindak sebijaksana mungkin mengatur rumah tangganya tanpa harus bersikap otoriter. Dan jika tugas suami istri berjalan seimbang maka akan memberi ketenteraman dan kemantapan dalam hubungan suami istri. Dan anak-anak yang tumbuh dalam “lembaga” yang bersih ini akan tumbuh dengan baik. Sebab individu yang bernaung di dalamnya tahu hak dan kewajibannya sebagaimana sabda Rasulullah ,
“Setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin bertanggungjawab atas yang dipimpinnya.”
Maka tak heran kalau keluarga harmonis yang saking penuh mawadah warahmah akan mudah diwujudkan. Insyaallah.

Hak dan kewajiban suami istri

Kesan terbaik yang tertangkap dari rumah tangga Nabawi adalah terjaganya hak dan kewajiban dalam hubungan suami istri. Bahkan hak itu tetap diperoleh Khadijah dari Rasulullah meski Khadijah telah wafat hingga membuat Aisyah cemburu. Padahal Aisyah tak pernah berjumpa dengannya. Hal itu semua karena Rasulullah sering mengingat kebaikan dan jasanya.
Keharmonisan dalam rumah tangga akan dengan sendirinya terwujud jika pihak suami atau istri tahu hak dan kewajiban masing-masing. Rasa kasih dan sayang sebagai fitrah Allah di antara pasangan suami dan istri akan bertambah seiring dengan bertambahnya kebaikan pada keduanya.

Sebaliknya, akan berkurang seiring menurunnya kebaikan pada keduanya. Sebab secara alami, jiwa mencintai orang yang memperlakukannya dengan berbuat baik dan memuaskan untuknya, termasuk melaksanakan hak dan kewajiban suami istri.

Suami memiliki hak yang besar atas istrinya. Di antara hak itu misalnya:

Menjaga kehormatan dan harga dirinya, mengurusi anak-anak, rumah dan hartanya saat suami tak ada di sisinya. Allah berfirman :
“….. wanita yang shalihah adalah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri saat suaminya tidak ada karena Allah telah memelihara mereka…… “ (An Nisa: 34).
Dalam haditsnya Rasulullah bersabda,
“Seorang wanita adalah pemimpin di rumah suaminya dan bertanggungjawab atas kepemimpinannya.” (Riwayat Bukhari Muslim).
Berpenampilan menyenangkan di depan suami dan bersikap manis. Sebagaimana Rasulullah bersabda,
“Sebaik-baik wanita adalah yang bisa membuatmu senang saat engkau pandang, menaatimu saat engkau perintah dan menjaga dirinya dan hartamu saat engkau tinggal.” (Riwayat Tabrani)
Hak lain suami adalah tidak mengizinkan istri memasukan orang yang dibenci suami, menjaga rahasia suami istri termasuk dalam urusan ranjang, berusaha menjaga kelanggengan bahtera rumah tangga, tidak meminta cerai tanpa sebab syar’i.
Dari Tsauban, Rasulullah berkata, “wanita manapun yang minta cerai kepada suami tanpa sebab, maka haram baginya mencium bau surga”. (Riwayat Tirmidzi, Abu Daud).
Selain itu istri harus banyak bersyukur dan tidak banyak menuntut. Perintah ini sangat ditekankan Islam, bahkan ancaman Allah tak akan melihatnya pada hari kiamat kelak jika istri berbuat demikian.
“Sesungguhnya Allah tidak akan melihat kepada seorang wanita yang tidak bersyukur kepada suaminya dan dia selalu menuntut (tidak pernah merasa cukup)”
Masih banyak hak-hak suami atas istrinya. Di samping itu suami pun harus memberikan hak istrinya serta menjalankan kewajibannya. Di antaranya adalah memberi makan pada istri apabila ia makan, memberikannya pakaian, tidak memukul wajah istri, tidak menjelek-jelekkan kekurangannya, tidak meninggalkan istri melainkan di dalam rumah, memperlakukan dengan lembut dan menggaulinya dengan baik.

Selain suami memiliki kewajiban memberi nafkah lahir batin, suami berkewajiban mengajarkan ilmu agama apalagi ia memegang kepemimpinan dalam rumah tangga. Hingga ia pun wajib membekali diri dengan ilmu yang syar’i, dengan demikian ia akan mampu membawa keluarganya, istri dan anaknya dalam kebaikan. Jika ia tidak sanggup, mengajar mereka, suami harus mengajak mereka menuntut ilmu syar’i bersama ataupun menghadiri majelis-majelis ilmu. Suami pun harus memberi teladan baik dalam mengemban tanggung jawabnya dan atas apa yang dipimpinnya.

Menerima Kekurangan dan Kelebihan

Kita melihat bagaimana al-Qur’an membangkitkan pada diri masing-masing pasangan suami istri suatu perasaan bahwa masing-masing mereka saling membutuhkan satu sama lain dan saling menyempurnakan kekurangan.

Ibaratnya wanita laksana ranting dari laki-laki dan laki-laki adalah akar bagi wanita. Karena itu akar selalu membutuhkan ranting dan ranting selalu membutuhkan akar. Sebagaimana firman Allah dalam al-A’raf 189,
“Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan daripadanya Dia menciptakan istrinya, agar dia merasa senang kepadanya.”
Karena itu, pernikahan tak hanya menyatukan dua manusia berbeda tapi juga menyatukan dua perbedaan, kelebihan dan kekurangan sepasang anak manusia. Dimana masing-masing akan saling mengisi dan melengkapi kekurangan satu dengan yang lain. Sementara menjadikan kelebihan masing-masing untuk merealisasikan cita-cita pernikahan sesungguhnya.
“Mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka.” (al Baqarah : 187).
Dengan memahami hal ini, kehidupan rumah tangga akan tenteram. Dan tenang berlayar, sangat mustahil ditemukan sepasang suami istri yang sempurna segala sesuatunya. Yang bisa dilakukan adalah dengan jalan saling memahami dan menghargai satu sama lain.

Menerima apa adanya kekurangan atau kelebihan pasangan. Tidak membandingkan pasangan kita dengan yang lain. Karena hal-hal seperti ini tidak akan membuat nyaman hubungan namun hanya akan menjadikan kita makin sensitif dengan segala perbedaan. Dan sekali lagi memaafkan semua kekurangan pasangan adalah lebih baik. Hargailah segala kelebihannya. Dan berterima kasihlah atas semua yang telah dikerjakan dan diberikan pasangan pada kita. Insyaallah ini akan membuat makin manisnya hubungan dengan pasangan : )

Mungkin ada hal-hal yang tak kita sukai pada pasangan kita, namun bukanlah masih ada hal-hal baik yang kita sukai dan lihat ada padanya? Kita harus bijaksana menyikapi hal ini.
Kita tak perlu berpura-pura dan menutupi kekurangan kita hanya karena takut tak sempurna di hadapan si dia. Karena bisa saja justru hal ini akan menyeret kita pada hal-hal berbahaya.

Moralnya saja dengan berbohong menjanjikan ini dan itu serta janji setinggi langit. Padahal kita tahu tak akan bisa memenuhinya. Jika pasangan tahu tentu ia akan marah dan jengkel hingga membuahkan pertengkaran dan hal-hal buruk lain. Bukanlah lebih baik kita selalu tampil apa adanya, karena itu tak akan membebani kita ?

Sungguh, jika si dia benar-benar mencintai kita tentu dia akan menerima kita apa adanya. Mau menerima kekurangan dan kelebihan kita. Tanpa basa-basi. Yang perlu diingat kita selalu berusaha memberikan yang terbaik untuknya, semampu kita. Insya Allah di rumah kita.

Sumber : Majalah-Nikah.com