Sunday, January 31, 2010

Bahaya Penyakit 'Ain

Penulis: Ummu Ziyad
Muroja’ah: Ust. Subhan Khadafi, Lc.

Kenikmatan adalah hal yang didambakan setiap orang. Dan setiap kenikmatan juga dapat sekaligus menjadi ujian bagi seseorang. Salah satu kenikmatan yang dikaruniakan oleh Allah bagi sepasang insan adalah hadirnya sang buah hati dalam kehidupan. Ketika telah lahir, maka fisiknya yang lucu mengundang orang untuk memandang, memanjakan, menyentuhnya. Dan ketika tumbuh beranjak menjadi sosok kanak-kanak, tetap tingkah lakunya banyak mengundang perhatian orang.

Dengan sebab ini, maka perlulah kita ketahui sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Setiap yang memiliki kenikmatan pasti ada yang iri (dengki).” (Shahihul Jami’ 223. Lihat majalah Al Furqon). Perlu menjadi perhatian bagi orang tua bahwa dalam syari’at Islam telah dijelaskan adanya bahaya ‘ain (pandangan mata) terutama bagi anak-anak. Pandangan mata yang berbahaya ini dapat muncul dengan sebab kedengkian orang yang memandang atau karena kekaguman.

Bahaya ‘Ain

Ibnu Qoyyim rohimahullah dalam kitab Tafsir Surat Muawwadzatain berkata, “Bahaya dari pandangan mata dapat terjadi ketika seseorang yang berhadapan langsung dengan sasarannya. Sasaran tukang pandang terkadang bisa mengenai sesuatu yang tidak patut didengki, seperti benda, hewan, tanaman, dan harta. Dan terkadang pandangan matanya dapat mengenai sasaran hanya dengan pandangan yang tajam dan pandangan kekaguman.” Pengaruh dari bahaya pandangan mata pun hampir mengenai Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana firman-Nya,

وَإِن يَكَادُ الَّذِينَ كَفَرُوا لَيُزْلِقُونَكَ بِأَبْصَارِهِمْ لَمَّا سَمِعُوا الذِّكْرَ وَيَقُولُونَ إِنَّهُ لَمَجْنُونٌ

“Sesungguhnya orang-orang kafir itu benar-benar hampir menggelincirkan kamu dengan pandangan mereka, tatkala mereka mendengar al Qur’an dan mereka mengatakan ‘Sesungguhnya dia (Muhammad) benar-benar gila.” (Al Qalam [68]: 51)

Terdapat pula hadits dari Ibnu Abbas bahwasanya Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

العين حقُُّ ولو كان شيء سابق القدر لسبقته العين

Pengaruh ‘ain itu benar-benar ada, seandainya ada sesuatu yang bisa mendahului takdir, ‘ainlah yang dapat melakukannya.” (HR. Muslim)

Subhanallah, lihatlah bagaimana bahaya ‘ain telah dijelaskan dalam Al-Qur’an dan As Sunnah. Dan terdapat pula contoh-contoh pengaruh buruk ‘ain yang terjadi pada masa sahabat. Salah satunya adalah yang terjadi ada Sahl bin Hunaif yang terkena ‘ain bukan karena rasa dengki namun karena rasa takjub. Sebagaimana dalam hadits,

Dari Abu Umamah bin Sahl bin Hunaif menyebutkan bahwa Amir bin Rabi’ah pernah melihat Sahl bin Hunaif mandi lalu berkatalah Amir, “Demi Allah, Aku tidak pernah melihat (pemandangan) seperti hari ini, dan tidak pernah kulihat kulit yang tersimpan sebagus ini.” Berkata Abu Umamamh, “Maka terpelantinglah Sahl.” Kemudian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi Amir. Dengan marah beliau berkata, “Atas dasar apa kalian mau membunuh saudaranya? Mengapa engkau tidak memohonkan keberkahan (kepada yang kau lihat)? Mandilah untuknya!” Maksudnya Nabi menyuruh Amir berwudhu kemudian diambil bekas air wudhunya untuk disiramkan kepada Sahl dan ini adalah salah satu cara pengobatan orang yang tertimpa ‘ain bila diketahui pelaku ‘ain tersebut (*). Maka Amir mandi dengan menggunakan satu wadah air. Dia mencuci wajah, kedua tangan, kedua siku, kedua lutut, ujung-ujung kakinya dan bagian dalam sarungnya. Kemudian air bekas mandinya itu dituangkan kepada Sahl, lantas dia sadar dan berlalulah bersama manusia.” (HR. Malik dalam al Muwaththa 2/938, Ibnu Majah 3509, dishahihkan oleh Ibnu Hibban 1424. sanadnya shahih, para perawinya terpercaya, lihat Zaadul Ma’ad tahqiq Syu’aib al Arnauth dan Abdul Qadir al Arnauth 4/150 cet tahun 1424 H. Lihat majalah Al Furqon).

(*) Kata mandi yang ada di sini maksudnya adalah berwudhu sebagaimana disebutkan Imam Malik dalam kitab Al Muwattho. Wallahu a’lam.

Tanda-Tanda Terkena ‘Ain

Tanda-tanda anak yang terkena ‘ain di antaranya adalah menangis secara tidak wajar (bukan karena lapar, sakit atau mengompol), kejang-kejang tanpa sebab yang jelas, tidak mau menyusu pada ibunya tanpa sebab, atau kondisi tubuh sang anak kurus kering dan tanda-tanda yang tidak wajar lainnya.

Sebagaimana dalam hadits dari Amrah dari ‘Aisyah radhiallahu’anha, ia berkata, “Pada suatu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk rumah. Tiba-tiba beliau mendengar anak kecil menangis, lalu Beliau berkata,

ما لِصبيِّكم هذا يبكي قهلاََ استرقيتم له من العين

“Kenapa anak kecilmu ini menangis? Tidakkah kamu mencari orang yang bisa mengobati dia dari penyakit ‘ain?” (HR. Ahmad, Baqi Musnadil Anshar. 33304).

Begitu pula hadits Jabir radhiallahu’anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Asma’ binti Umais,

“Mengapa aku lihat badan anak-anak saudaraku ini kurus kering? Apakah mereka kelaparan?” Asma menjawab, “Tidak, akan tetapi mereka tertimpa ‘ain”. Beliau berkata, “Kalau begitu bacakan ruqyah bagi mereka!” (HR. Muslim, Ahmad dan Baihaqi)

Berlindung dari Bahaya ‘Ain

Sesungguhnya syari’at Islam adalah sempurna. Setiap hal yang mendatangkan bahaya bagi umatnya, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentu telah menjelaskan tentang perkara tersebut dan cara-cara mengantisipasinya. Begitu pula dengan bahaya ‘ain ini.

1. Bagi Seseorang yang Memungkinkan Memberi Pengaruh ‘Ain

Berdasarkan hadits Abu Umamah di atas maka hendaknya seseorang yang mengagumi sesuatu dari saudaranya maka yang baik adalah mendoakan keberkahan baginya. Dan berdasarkan surat Al Kahfi ayat 39, maka ketika takjub akan sesuatu kita juga dapat mengucapkan doa:

مَا شَآءَ اللهُ لاَ قُوَّةَ إلاَّ بِا للهِ

Artinya:

“Sungguh atas kehendak Allah-lah semua ini terwujud.”

2. Bagi yang Memungkinkan Terkena ‘Ain

Sesungguhnya ‘ain terjadi karena ada pandangan. Maka hendaknya orang tua tidak berlebihan dalam membanggakan anaknya karena dapat menimbulkan dengki ataupun kekaguman pada yang mendengar dan kemudian memandang sang anak. Adapun jika memang kenikmatan itu adalah sesuatu yang memang telah nampak baik dari kepintaran sang anak, fisiknya yang masya Allah, maka hendaknya orang tua mendoakan dengan doa-doa, dzikir dan ta’awudz yang telah diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, diantaranya adalah surat muawadzatain (surat Annas dan al-Falaq). Ada pula do’a yang biasa diucapkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta perlindungan untuk Hasan dan Husain, yaitu:

أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّةِ مِنْ كُلِّ شَيْطَانِِ وَ هَامَّةِِ وَ مِنْ كُلِّ عَيْنِِ لامَّةِِ

Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang telah sempurna dari godaan setan, binatang beracung dan dari pengaruh ‘ain yang buruk.” (HR. Bukhari dalam kitab Ahaditsul Anbiya’: 3120)

Atau dengan doa,

أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَِ

Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang telah sempurna dari kejahatan makhluk-Nya.” (HR. Muslim 6818).

Kemudian, terdapat pula do’a yang dibacakan oleh malaikat Jibril alaihissalam ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapat gangguan setan, yaitu:

بِسْمِ اللهِ أرْقِيكَ مِنْ كُلِّ شَيْءِِ يُؤْذِيْكََ مِن شَرِّ كُلِّ نَفْسِِ وَ عَيْنِ حَاسِدِِ اللهُ يَشْفِيكَ

“Dengan menyebut nama Allah, aku membacakan ruqyah untukmu dari segala sesuatu yang menganggumu dari kejahatan setiap jiwa dan pengaruh ‘ain. Semoga Allah menyembuhkanmu.”

Dan terdapat do’a-do’a lain yang dapat dibacakan kepada sang anak untuk menjaganya dari bahaya ‘ain ataupun menyembuhkannya ketika telah terkena ‘ain. (lihat Hisnul Muslim oleh DR. Sa’id bin Ali bin Wahf Al Qahthani atau Ad Du’a min Al Kitab wa As Sunnah yang telah diterjemahkan dengan judul Doa-doa Dan Ruqyah dari Al-Qur’an dan Sunnah oleh DR. Sa’id bin Ali bin Wahf Al Qahthani)

Kesalahan-Kesalahan Dalam Penjagaan dari Bahaya ‘Ain atau Sejenisnya

Memang bayi sangat rentan baik dari bahaya ‘ain ataupun gangguan setan lainnya. Terdapat beberapa kesalahan yang biasa terjadi dalam menjaga anak dari gangguan tersebut karena tidak berdasarkan pada nash syari’at. Diantara kesalahan-kesalahan tersebut adalah:

Menaruh gunting di bawah bantal sang bayi dengan keyakinan itu akan menjaganya. Sungguh ini termasuk kesyirikan karena menggantungkan sesuatu pada yang tidak dapat memberi manfaat atau menolak bahaya.

Mengalungkan anak dengan ajimat, mantra dan sebagainya. Ini juga termasuk perbuatan syirik dan hanya akan melemahkan sang anak dan orang tua karena berlindung pada sesuatu selain Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Perlulah kita selalu mengingat, bahwa sekalipun kita mengetahui bahaya ‘ain memiliki pengaruh sangat besar dan berbahaya, namun tidaklah semua dapat terjadi kecuali dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan kita sebagai orang Islam tidaklah berlebihan dalam segala sesuatu. Termasuk dalam masalah ‘ain ini, maka seseorang tidak boleh berlebihan dengan menganggap semua kejadian buruk berasal dari ‘ain, dan juga tidak boleh seseorang menganggap remeh dengan tidak mempercayai adanya pengaruh ‘ain sama sekali dengan menganggapnya tidak masuk akal. Ini termasuk pengingkaran terhadap hadits-hadits shahih Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. Sikap yang terbaik bagi seorang muslim adalah berada di pertengahan, yaitu mempercayai pengaruh buruk ‘ain dengan tidak berlebihan sesuai dengan apa yang dikhabarkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Wallahu a’lam.

Maraji’:
  • Majalah Al Furqon edisi 4 Tahun V/Dzulqo’dah 1426.
  • Doa-Doa dan Ruqyah dari Al Qur’an dan Sunnah. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf Al Qahthani. Media Hidayah. 2004.
  • Tafsir Surah Muawwadzatain. Imam Ibnu Qoyyim Al Jauziyah. Akbar. 2002.
  • Tumbuh di Bawah Naungan Ilahi. Syaikh Jamal Abdul Rahman. Media Hidayah. 2002.

***

Artikel www.muslimah.or.id

Friday, January 29, 2010

Mengambil Kebaikan dari Setiap Firqah

Oleh :Syaikh Abul Hasan Musthafa As-Sulaimani

Kata Pengantar

Sebuah pertanyaan yang diajukan kepada Syaikh Abul Hasan Musthafa As-Sulaimani hafizhahullah, seorang ulama Ahlus Sunnah di Ma’rib, Yaman, murid Muhaddits Diyarul Yaman Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’iy Hafizhahullah. Diterjemahkan oleh Abu Ihsan Al-Atsari Al-Maidani dari Silsilah Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah, soal no. 54 dan dimuat di Majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun V/1421H/2001M hal.28-30]

Pertanyaan

Syaikh Abul Hasan Musthafa As-Sulaimani ditanya: Kami pernah mendengar dari sebagian orang yang cinta kepada kebaikan bahwa menjamurnya jama’ah-jama’ah Islamiyah sekarang ini adalah fenomena yang sehat. Bahwa jama’ah-jama’ah tersebut menegakkan pilar-pilar Islam dalam bidang masing-masing. Jika kita menghendaki ilmu, ambillah dari Salafiyun. Jika kita menghendaki jihad, ambillah dari Jama’atul Jihad. Kalau kita ingin politik, ambillah dari Ikhwanul Muslimin. Kalau kita menghendaki manajemen hati, ambillah dari Jama’ah Tabligh.

Mereka mengatakan : “Kondisinya seperti orang-orang yang sakit matanya, tentu ia tidak berkonsultasi dengan dokter sepesialis saraf. Bagi yang sakut dadanya, tentu ia tidak memeriksakan dirinya kepada dokter spesialis tulang“. Apakah ucapan seperti ini dapat dibenarkan ..?

Jawaban

Orang yang mengatakan ucapan diatas sebenarnya tidak mengerti hakikat dak’wah Ilallah. Dan juga tidak memahami hakekat perbedaan yang terjadi antara jama’ah-jama’ah tersebut. Mustahil sebuah perpecahan dapat menegakan Islam! padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melarang perpecahan.

“Sesungguhnya orang yang memecah belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan , tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka”.[Al-An'am: 159]

Dalam ayat lain Allah berfirman:

“Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka”. [Ar-Ruum: 31-32]

Dan Allah juga berfirman

“Dan berpeganglah kamu semuanya dengan tali Allah (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai”. [Al-Imran: 103]

Realita yang ada menunjukan bahwa jumlah jama’ah-jama’ah itu terus bertambah dari waktu ke waktu. Dan bertambah lebar juga jurang perselisihan dan pertikaian.
Kekeliruan diatas dapat kita jabarkan sebagai berikut :

Pertama.

Kami tidak menampik adanya spesialisasi dalam disiplin ilmu dan pada beberapa aspek dak’wah. Namun hal itu tidak akan baik bila masing-masing kelompok tidak bertolak dari satu pedoman. Mereka harus bertolak dari satu dasar pemahaman dan pedoman. Serta berusaha mewujudkan tuntunan syari’at dengan cara yang dibenarkan syari’at berkaitan dengan spesialisasi masing-masing. Adapun bila pedoman berbeda, tujuan dan metoda juga berbeda, maka kondisinya seperti yang digambarkan syair berikut.

Bilakah satu istana akan sempurna bangunannya, bila kamu sibuk membangun, sementara yang lain merubuhkannya.

Kedua

Realita membuktikan bahwa hakekat perselisihan yang terjadi diantara jama’ah-jama’ah tersebut adalah dalam memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah dan dalam memilih wasilah (metode) dalam menuju sesuatu yang menjadi tuntunan syri’at . Persaingan, perseteruan dan permusuhan diantara jama’ah-jama’ah tersebut dapat terlihat jelas. Setiap jama’ah berusaha merubuhkan bangunan yang telah disusun oleh jama’ah lainnya. Sebagian orang berasumsi bahwa jika dia dapat mengusir sorang khatib/ustadz salafi, seolah-olah dia telah berhasil mengembalikan Masjidil Aqsha dari tangan Yahudi! Dia menganggapnya sebagai sebuah kemenangan besar

Faktor penyebabnya adalah perbedaan persepsi dalam mendiagnosa sebuah penyakit, berakibat komposisis obat yang dipakai juga berbeda. Sebagian jama’ah berpendapat bahwa problem umat sekarang ini seputar penguasa yang tidak berhukum dengan hukum Allah. Mereka lantas berusaha mengenyahkan penguasa itu atau berusaha menyaingi kekuasaan mereka, baik penguasa itu kafir ataupun muslim. Sebagian jama’ah lainnya berpandangan bahwa penyakit hati telah begitu mewabah di tengah-tengah umat. Mereka beranggapan dengan memperbaiki hati selesailah semua problem. Mereka mengerahkan segala upaya untuk menyembuhkan penyakit-penyakit hati. Ironinya mereka mengabaikan penyakit hati yang paling berbahaya yaitu syirik, bid’ah dan lainnya. Sedangkan sebagian jama’ah yang lain memahami bahwa penyakit kronis yang menggerogoti umat ini adalah kejahilan mereka tentang Dinul Islam. Baik yang berkaitan dengan masalah tauhid/aqidah, ibadah dan lainnya. Mereka juga menyadari bahwa di antara panyakit yang menimpa umat ini adalah fenomena perpecahan dan bergolong-golongan. Merekapun berusaha menghidupkan kembali sunnah-sunnah yang sudah dilupakan. Mereka sebarkan aqidah yang benar dan sunnah yang shahih, sekaligus memerangi syirik dengan berbagai macam dan bentuknya. Mereka peringatkkan umat dari bahaya berpecah belah dan fanatik jahiliyah. Namun sayangnya jama’ah ini justru ditentang oleh jama’ah-jama’ah lainnya!, Wallahul Musta’an.

Ketiga

Kita tidak dapat menerima sangkaan (yang berpendapat) bahwa jama’ah-jama’ah tersebut layak diambil ilmunya-kecuali salafiyun meskipun ada kekurangan pada pribadi-pribadi sebagian mereka-. Sebagi buktinya masalah jihad, di dalam Islam jihad disyari’atkan untuk memerangi kaum musyrikin supaya Dienullah menjadi yang paling tinggi. Dan supaya tidak terjadi kemusyrikan sebagaimana firman Allah.

“Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah” [Al-Anfal : 39]

Namun kenyataan yang kita jumpai, seruan jihad itu ditujukan untuk melawan kaum muslimin -walaupun mungkin mereka menyimpang-. Akibatnya terjadilah fitnah (kekacauan) dan kaum musliminpun tercerai berai. Akhirnya musuh-musuh Allah mendapat kesempatan untuk menimpakan berbagai penindasan terhadap wali-wali Allah (orang-orang yang shalih).

Demikian pula masalah politik, pada asalnya yang dibolehkan adalah politik yang sejalan dengan kaidah-kaidah syari’at (siyasah syar’iyyah), bukan politik praktis yang menyimpang dari kaidah-kaidah syari’at (seperti turut serta dalam pesta demokrasi). Sungguh jauh berbeda antara keduanya. Namun kendatipun membandel tetap berkecimpung dalam praktek politik yang menyimpang itu, jama’ah Ikhwanul Muslimin tidak menghasilkan faedah apapun darinya. Kenyataan yang ada cukup sebagai buktinya. Demikain pula Jama’ah Tabligh, sekalipun pada mereka terdapat sisi-sisi positif, namun mereka mengabaikan sisi yang paling urgen, yaitu pembenahan aqidah dan menuntut ilmu hadits 1)

Secara jujur kami katakan, hanya dari salafiyun sajalah yang layak diambil ilmu yang berguna. Ilmu yang mereka miliki telah memimpin dunia. Ulama merekalah yang menjadi panutan umat dan menjadi tempat bertanya tentang Dienullah. Setiap orang berusaha mengikuti pedoman mereka dan bangga menisbatkan diri kepada mereka. Kecuali sekelompok kecil yang tidak begitu dipandang. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala mencurahkan hidayah kepada kita semua.

Keempat

Sekiranya kita anggap jama’ah-jama’ah itu memiliki ilmu-ilmu tersebut, masalahnya adalah : “Apakah kaidah dasar dan pijakan bagi yang ingin beramal .? Bukankah bagi yang ingin berjihad, berkecimpung dalam bidang politik atau berdakwah wajib merujuk kepada ulama terlebih dahulu ..?

Sebelumnya telah kalian sebutkan bahwa salafiyun adalah rujukan dalam masalah ilmu. Sebab salafiyun mengetahui perkara-perkara yang tersamar atas jama’ah-jama’ah tersebut ..? Lalu mengapa mereka tidak merujuk kepada salafiyun yang secara khusus mengetahui masalah? Menanyakan bolehkah berjihad sementara keadaan kami seperti ini ? atau bolehkah berkecimpung dalam kancah politik modern (demokrasi) .?

Realita membuktikan bahwa mereka pada hakikatnya tidak merujuk secara jujur kepada ulama dakwah salafiyah dalam banyak masalah. Masing-masing jama’ah sudah merasa cukup dengan orang yang dianggap ulama diantara mereka. Sekalipun sangat jauh kualitas ilmunya dengan ulama salafiyun. Sekiranya mereka bertanya kepada ulama dakwah salafiyah, maka pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dipolitisir sedemikian rupa supaya jawabannya sesuai dengan kehendak mereka. Misalnya pertanyaan yang berbunyi :

“Kami tinggal di negeri yang menerapkan undang-undang yang menyelisihi hukum Islam, jika kami tidak turut serta duduk bersama mereka di pemerintahan maka musuh-musuh Islam akan bertambah kuat. Jika kami duduk bersama mereka, maka akan dapat mewujudkan maslahat yang banyak dan dapat menolak berbagai kerusakan, bagaimanakah hukum Islam dalam masalah ini ..?”

Redaksi pertanyaan seperti ini jawabannya mudah ditebak. Namun sekalipun demikian, dalam memberikan jawabannya para ulama pasti menyebutkan persyaratan-persyaratan yang ketat. demi terciptanya maslahat dan tertolaknya mudharat. Kenyataan telah membuktikan bahwa mafsadat yang terjadi lebih banyak daripada maslahat yang hendak di raih. Tanyakan saja kepada pentolan-pentolan politik tersebut di Mesir, Syam, Asia Timur, Aljazair dan Yaman, apa yang mereka dapatkan dari tindakan mereka itu ? Tidak lain hanyalah fitnah (kekacauan), provokasi, terhalangnya proses menuntut ilmu, atau pelecehan terhadap ilmu agama dan ulama, tersebarnya buruk sangka terhadap dakwah dan para da’i, tercerai-berainya barisan kaum muslimin, tersamarnya kebenaran di tengah-tengah manusia, tersia-sianya tenaga, waktu dan harta umat untuk perkara-perkara semu bagaikan fatamorgana. maslahat yang dihasilkan tidaklah seberapa dibandingkan mafsadat yang timbul.

Kendatipun pada awal mulanya mereka sulit memprediksi maslahat dan mafsadat dalam masalah ini, namun dalih tersebut tidak mungkin dikemukakan pada hari ini, setelah berlalu lebih dari setengah abad. Kenyatannya, keburukan yang timbul dari waktu ke waktu menjadi lebih jelas.

Seandainya pembagian yang tersebut di dalam pertanyaan di atas dapat di terima, maka kewajiban bagi kita semua adalah merujuk kepada ahli ilmu dengan sejujur-jujurnya, menerima fatwa ulama beserta dalilnya, dan menceritakan kepada mereka segala sesuatunnya. Namun yang terjadi umumnya tidak seperti itu !

Kelima

Kita tidak bisa menerima bulat-bulat, bahwa seorang yang terserang suatu penyakit tidak boleh bertanya kepada selain dokter spesialis penyakit itu. Sering kita dengar seorang yang akan menjalani operasi tulang, terlebih dahulu meminta pertimbangan dari dokter spesialis penyakit dalam, untuk mengetahui apakah ia sanggup menjalani operasi atau tidak, karena sebuah badan itu apabila menderita sakit, maka seluruh anggota tubuh akan merasakan panas dan meriang. Demikian pula da’wah ilallah, harus dilakukan dengan ilmu dan hujah yang nyata. Dan harus merujuk kepada ulama Ahli Sunnah. Jika tidak, maka seluruh usaha akan gagal dan sia-sia. Hendaklah kita bertakwa kepada Allah dalam mengemban amanat da’wah. Dan senantiasa berpegang teguh dengan pedoman salafus-Sholih.

CATATAN (Syaikh Abul Hasan Musthafa):

1. Uraian yang kami cantumkan dalam fatwa ini belum meliput seluruh dalil-dalil yang ada. Untuk lebih luasnya silahkan merujuk kepada buku-buku yang memuat dalil-dalil tersebut secara rinci.
2. Jawaban ini sama sekali tidak bertujuan untuk meremehkan sisi positif yang ada pada jama’ah lain. Namun hanya menampilkan realita yang terjadi di lapangan. dan untuk membuka pandangan aktifis da’wah. Supaya mereka mengetahui kesalahan-kesalahan yang ada, lalu segera memperbaikinya. Dan supaya mereka benar-benar kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai pemahaman As-Salafus-Sholih, dengan demikian akan terbuka pintu-pintu kebaikan dan tertutup pintu-pintu keburukan. Dan supaya mereka dapat mengeluarkan umat dari kejahilan dan perpecahan. Kami sungguh merasa pilu dan prihatin terhadap kondisi kaum muslimin. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala melapangkan dada kita untuk menerima manhaj Salafus-Sholih, baik dalam bidang aqidah, ibadah maupun da’wah. Dan semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menyingkap mendung yang menaungi umat ini dan menyatukan barisan mereka. Sesungguhnya Dia maha berkuasa atas segala sesuatu . Sholawat dan salam semoga tercurah atas Nabi Muhammad ShalaAllahu ‘Alaihi wa Salam, atas keluarga dan segenap sahabat beliau.

_________
Foote Note
[1]. Sebenarnya tidak tampak sisi-sisi positif pada Jama’ah Tabligh sebagaimana yang disebutkan, bila diabandingkan dengan sisis negatif yang mereka timbulkan. Salah satunya adalah berupa banyak orang awam yang terkecoh dengan penampilan lahir mereka kemudian menganggap Jama’ah seperti itulah yang dibutuhkan umat. Tanpa memerperhatikan penyimpangan aqidah yang ada pada Jama’ah itu. Apakah ada kesesatan yang lebih berbahaya daripada penyimpangan aqidah .?
[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun V/1421H/2001M hal.28-30. Syaikh Abul Hasan Musthafa As-Sulaimani hafizhahullah, seorang ulama Ahlus Sunnah di Ma'rib, Yaman. Diterjemahkan oleh Abu Ihsan Al-Atsari Al-Maidani dari Silsilah Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah, soal no. 54]

Thursday, January 28, 2010

Menjadi Ibu Rumah Tangga, Kenapa Harus Malu..?!

“Ah,…Cuma ibu rumah tangga aja kok!” dengan malu-malu dan tersipu seorang akhwat menjawab pertanyaan kawannya tentang aktifitas apa yang di gelutinya sekarang. Sedangkan di kalangan ikhwan yang pernah penulis temui, ada diantara mereka yang malu untuk menjawab profesi istrinya bila istrinya bukan seorang dokter, insinyur, guru, atau profesi terhormat lainnya. Maka jawaban yang muncul adalah : ”biasa di rumah saja, mengurus anak-anak, Cuma ibu RT aja,… ga ada aktifitas lainnya!”

Duh,sebegitu hinakah profesi ini ?

Padahal ketika penulis berinteraksi dengan wanita barat sewaktu di negeri Kanguru diantara mereka ada yang menjawab, “Wow, profesi yang hebat tidak semua wanita mau menekuninya, I can’t do that!” Ya,..karena mereka melihat betapa sulitnya untuk menjadi istri sekaligus ibu yang baik bagi anak-anak. Saking beratnya, mereka memilih memasukkan anak-anak mereka di child care. Anda akan melihat dengan mata kepala sendiri panjangnya daftar antrian para orangtua yang ingin memasukkan anak-anak mereka ke tempat penitipan anak (childcare). Anda harus menunggu minimal selama 6 bulan sebelum nama anak anda di panggil*. Rata-rata mereka memilih bekerja daripada mengasuh anak dirumah. Suatu fakta yang tidak bisa di pungkiri bahwa para ibu dikalangan wanita barat memilih “melarikan diri” dari tugas dan tanggungjawabnya sebagai ibu dengan bekerja. Mereka bilang kepada penulis lebih mudah bekerja daripada tinggal dirumah mengasuh anak. Mengasuh anak membuatku stress! Itu yang penulis dengar. Bukankah itu suatu bukti bahwa mengurus anak-anak adalah suatu pekerjaan dan tanggung jawab yang berat? Lalu dimana penghargaan masyarakat kita terhadap ibu? Terlebih suami?!

Itu baru dilihat dari satu sisi saja,…tidakkah anda melihat bahwa seorang istri atau ibu dirumah tidak pernah berhenti dari tugasnya?. Jika para suami mempunyai jam kerja yang terbatas antara 8-10 jam misalnya maka sesungguhnya seorang ibu rumah tangga mempunyai jam kerja yang lebih panjang yaitu selama 24 jam. Ia harus standby (selalu siap) kapan saja diperlukan. Bila diantara anggota keluarga ada yang sakit, siapakah yang bergerak terlebih dahulu? Bukankan seorang ibu/istri adalah dokter pribadi sekaligus perawat (suster) bagi suami dan anak-anaknya? Karena beliaulah yang akan berusaha meringankan beban sakit “sang pasien” dirumah sebelum di bawa kerumah sakit (yang sebenarnya) apabila ternyata sang ibu tidak sanggup mengobatinya. Pernahkah anda memikirkan berapa jumlah uang yang harus anda keluarkan untuk membayar seorang dokter dan perawat pribadi dirumah anda?

Bukankah seorang ibu juga seorang psikolog? Karena tentu anda melihat sendiri kenyataan ketika datang anak-anak mengeluh dan mengadu atas kesusahan atau penderitaan yang mereka alami maka sang ibu berusaha mencari jalan keluar dengan saran, nasehat dan belaian kasih sayang. Begitupula suami ketika merasa resah dan gelisah bukankah istri menjadi tempat curahan? Tak jarang para istri membantu suami meringankan dan memberi jalan keluar terhadap masalah yang sedang dihadapinya. Penulis lihat sendiri betapa mahalnya bayaran seorang psikolog di Australia ada diantara mereka yang harus membayar $100 perjam dan tentu saja tidak ada jaminan mereka bisa membantu menyelesaikan masalah yang sedang anda hadapi.

Bukankan seorang istri/ibu dituntut untuk pandai memasak? Pernahkah anda membayangkan wahai para suami, anda memiliki juru masak dirumah yang selalu siap anda perintah kapan saja anda mau. Anda memiliki juru masak pribadi dirumah, ketika anda pulang ke rumah maka hidangan lezat tersedia bagimu dan juga untuk anak-anakmu. Pernahkah anda membayangkan berapa juta uang yang harus anda keluarkan untuk mengundang juru masak pribadi datang kerumah anda?
Masih banyak sisi lain yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu. Anda tentu pernah membaca syair Arab yang sangat terkenal yang berbunyi :

”Al-Ummu madrasatun idza a’dadtaha ‘adadta sya’ban tayyibul ‘araq”

maknanya “seorang ibu adalah sebuah sekolah. Jika engkau persiapkan dia dengan baik maka sungguh engkau telah mempersiapkan sebuah generasi yang unggul”. Ditangan ibulah masa depan generasi sebuah bangsa. Karena itulah islam sangat menghormati dan menghargai profesi ini. Kenyataan yang tidak bisa di pungkiri bahwa kedudukan ibu tiga kali lebih tinggi dibandingkan sang ayah.** Karena Islam melihat tanggung jawab yang berat yang di emban seorang ibu, itu menandakan bahwa menjadi seorang ibu rumah tangga adalah profesi yang mulia dan sangat terhormat. Lalu mengapa kita masih malu ya ukhti??

Ayo,..angkatlah wajahmu dan katakan dengan bangga bahwa aku adalah seorang “ibu rumah tangga!!” sebuah profesi yang sangat berat dan tentu saja pahala yang sangat besar Allah sediakan untukmu. Al-jaza’u min jinsil amal artinya balasan tergantung dari amal/perbuatan yang ia lakukan. Semakin berat atau sulit sebuah amal dilakukan seorang hamba maka pahala yang akan didapatinya pun semakin besar. Wallahu a’lam bisshawwab.

Footnote:
*Tak jarang para orang tua ada yang harus menunggu selama 1 tahun karena penuh dan banyaknya antrian (waiting list) dari tahun sebelumnya.
**Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia menceritakan, ada seorang yang datang kepada Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Salam seraya bertanya :
”Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak saya pergauli dengan baik?” Rasulullah menjawab: Ibumu! Orang itu bertanya lagi: “Lalu siapa?” Ibumu! Jawab beliau. Lalu siapa lagi? Tanya orang itu, Beliaupun menjawab: Ibumu!, Selanjutnya bertanya:”Lalu siapa?” Beliau menjawab: Ayahmu” (Mutaffaqun Alaih).
Imam Nawawi mengatakan; Hadits tersebut memerintahkan agar senantiasa berbuat baik kepada kaum kerabat dan yang paling berhak mendapatkannya diantara mereka adalah ibu, lalu ayah dan selanjutnya orang-orang terdekat.
Didahulukannya ibu dari mereka itu karena banyaknya pengorbanan, pengabdian, kasih sayang yang telah diberikannya. Dan, karena seorang ibu telah mengandung, menyusui, mendidik, dan tugas lainnya” tutur para ulama (lihat Al-Jami’ Fi fiqh Nisa bab birru walidain Syaikh Kamil ‘Uwaidah)

Muraja’ah oleh : Ustadz Eko Hariyanto Lc

Tuesday, January 26, 2010

Benih-Benih Kebaikan

Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata :

“Mencari ilmu adalah benih keimanan. Jika keimanan bertemu dengan pencarian ilmu tadi maka akan membuahkan amalan sholih.

Berbaik sangka kepada Alloh adalah benih perasaan butuh kepada-Nya. Jika keduanya bertemu akan membuahkan terkabulnya do’a.

Rasa takut adalah benih kecintaan. Jika keduanya bertemu akan mewariskan kepemimpinan dalam agama. Alloh ta’ala berfirman:

“Dan Kami jadikan diantara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.” QS. As-Sajdah ; 24

Benarnya sikap mencontoh Rosulullah sholallohu ‘alaihi wasallam merupakan benih keikhlasan. Jika keduanya bertemu akan membuahkan diterima dan diperhitungkannya amalan.

Amal adalah benih ilmu. Jika keduanya bertemu maka akan terwujud kemenangan dan kebahagiaan. Jika terpisah satu dengan yang lainnya tidak akan memberi manfaat apa-apa.

Kelembutan adalah benih ilmu. Jika keduanya bertemu maka akan diraih kepemimpinan di dunia dan di akhirat, dan akan terwujud pemanfaatan ilmu dari orang ‘alim. Jika salah satu terpisah dari yang lainnya maka akan hilang manfaat dan pemanfaatan ilmu tersebut.

Kesungguhan adalah benih ilmu. Jika keduanya bertemu maka pemiliknya akan meraih kebaikan dunia dan akhirat, dan akan mencapai puncak tertinggi dari setiap posisi yang mulia. Maka tertinggalnya seseorang dari kesempurnaan-kesempurnaan tadi bisa jadi karena tidak adanya ilmu, bisa jadi pula karena tidak adanya kesungguhan.

Niat yang baik merupakan benih sehatnya akal. Jika tidak ada niat yang baik maka hilang seluruh kebaikan. Jika keduanya (niat yang baik dan akal yang sehat) bertemu maka akan diraih kemenangan dan bagian yang banyak. Jika tidak ada maka yang didapatkan adalah kehinaan dan kerugian.

Jika didapati suatu kecerdasan tanpa adanya keberanian, maka hal itu merupakan sifat penakut dan kelemahan. Jika ada keberanian tanpa didukung dengan kecerdasan maka yang ada kekacauan dan kerusakan.

Kesabaran adalah benih ilmu. Jika keduanya bertemu maka seluruh kebaikan pada pertemuan keduanya.

Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata:

“Jika engkau ingin melihat orang yang berilmu tetapi tidak punya kesabaran maka lihatlah dia. Dan jika engkau ingin melihat orang yang sabar tetapi tidak punya ilmu maka lihatlah dia. Dan jika engkau melihat orang yang sabar dan berilmu, itulah orang yang berbahagia.”

Nasehat adalah benih bagi akal. Semakin kuat nasehat maka akal semakin kuat dan bercahaya.
Mengingat dan berfikir keduanya merupakan benih bagi yang lainnya. Jika keduanya bertemu maka akan melahirkan sikap zuhud terhadap dunia dan kecintaan kepada akhirat.

Ketaqwaan adalah benih tawakkal. Jika keduanya bertemu maka hati akan menjadi istiqomah.
Mengambil (memanfaatkan) karunia adalah persiapan untuk bertemu dengan istana yang diangankan. Jika keduanya bertemu maka seluruh kebaikan pada pertemuan keduanya, serta kejelekan pada perpisahan keduanya.

Benih dari ketinggian cita-cita adalah niat yang benar. Jika keduanya bertemu seorang hamba akan mencapai puncak keinginannya.

[Al-Fawaid / 405]

Renungan Calon Istri Shalihah

Lihatlah pada diri anda wahai Istri…,

Apakah anda sebagai tempat yang tenang bagi suamimu? Dia merasa tenang untuk datang kepada anda setelah pergi dan berpisah, penat, capek dan lelah? Atau anda menghindarkan diri untuk menemaninya, dan sangat berat bagi anda untuk ikut menanggung kegalauan perasaannya ?

Sesungguhnya keberadaan anda sebagai tempat yang tenang bagi suami, mengingatkan anda agar bisa sebagai tempat istirahat baginya dalam segala sisi; menebarkan ketenangan dirumah, menyiapkan makanannya dan membersihkan rumahnya, sehingga dia tidaklah mendengarkan kecuali kebaikan. Dan matanya tidak melihat pada diri anda kecuali kebaikan. Jika anda menginginkan suami yang bisa menyejukkan mata anda, maka jadilah penyejuk mata baginya.

‘Abdullah bin Ja’far berwasiat kepada putrinya pada hari pernikahannya,

“Hindarilah olehmu sifat cemburu, karena merupakan kunci terjadinya perceraian. Jauhilah olehmu banyak mencela, karena akan menyebabkan kebencian. Pergunakanlah celak, karena merupakan perhiasan yang paling baik. Dan wewangian yang paling semerbak adalah air.”

Seorang ibu menasehati putrinya pada malam pernikahan, dia berkata, “Kamu wajib untuk qona’ah, mendengar dan taat, menjaga diri dan tenang. Jagalah kecintaan. peliharalah harta benda. Bantulah pekerjaannya. Kerjakan apa yang menyenangkannya. Simpanlah rahasianya. Jangan menentang perintahnya. Tutuplah cela dan sakunya. Cintailah dia ketika sudah tua. Jagalah lisanmu. Pilihlah tetanggamu. Dan kokohlah didalam keimananmu.”

Lalu dimanakah Anda wahai wanita yang mulia dari wasiat-wasiat berharga ini untuk dipersembahkan kepada seorang suami yang disabdakan oleh Rosulullah, “Dia adalah surga dan nerakamu.”

Maka tidak sepantasnya bagi seorang istri untuk tertawa dihadapan suaminya ketika dia dalam keadaan marah. Dan tidak sepantasnya bagi seorang istri tatkala suaminya marah, dia tinggalkan dan tidak berusaha untuk menjadikannya ridha. Karena hal ini akan semakin menambah kemarahan suami. Betapa banyak istri yang mempunyai tempat tersendiri didalam hati suaminya karena dia selalu berusaha untuk mencintainya dan membuatnya ridha, sampaipun tatkala sang suami marah kepadanya dalam keadaan dia yang salah terhadap hak istrinya.

Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Maukah aku kabarkan kepada kalian tentang wanita-wanita kalian yang berada disurga? Yang penyayang, banyak anak dan banyak meminta maaf; yaitu wanita yang tatkala dizhalimi (oleh suaminya) mengatakan, ‘Ini tanganku berada di tanganmu, aku tidak akan merasakan ketenangan hingga engkau ridha’.”

Dan istri harus tahu bahwa membantu suami adalah wajib baginya. Wajib baginya untuk menaati suami dalam perkara yang halal. Adapun dalam perkara yang harom, maka tidak boleh menaatinya. Karena itu wajib baginya untuk mengerjakan apa yang dibutuhkan oleh suami dirumahnya, tunduk kepadanya dan tidak sombong.

Istri sholihah adalah yang mengetahui tentang agungnya kedudukan suami; dan besarnya hak suami atasnya. Maka dia akan berusaha keras untuk memberikan ketenangan dan kebahagiaan kepadanya. Seorang istri hendaknya merenungkan sabda Rosulullah,

“Seandainya aku (boleh) memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain, niscaya aku perintahkan istri untuk sujud kepada suaminya.”

Maka wajib bagi istri untuk melayani suami dengan baik, menjaga rahasianya dan memelihara hartanya, karena dia adalah orang yang diamanati. Jangan sampai membuka tirainya kepada selain suami. Melembutkan hati anak-anak atasnya. Menghindari sikap keras dan kasar. Jika suami memberikan bantuan atau hadiah -misalnya-, maka berterimakasihlah atas perbuatannya dan memujinya dengan baik. Jangan mencela apa yang dia berikan dan jangan mencaci apa yang dia kerjakan untuk istri dan anak-anaknya. Istri harus mencari tempat-tempat yang bisa menjadikan suami ridha, kemudian bergegas mengerjakannya.

Selalu membantu suami untuk menjaga diri dan menghindar dari fitnah. Maka jangan tinggalkan tempat tidur suaminya, menyingkir tidur sendirian. Nabi bersabda,

“Demi Dzat yang jiwaku berada di Tangan-Nya, tidaklah seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidur, kemudian istri menolaknya, kecuali yang di langit akan marah kepada istri tersebut hingga suami ridha kepadanya.”

Maka temanilah suami didunia dengan cara yang baik. Kerjakan apa yang disukai suami -meski dia tidak menyukainya-, dan tinggalkanlah apa yang tidak disukai suami- meski dia menyukainya- karena mengharap pahala dari Alloh, dan sadar bahwa suami adalah tamu yang sedang singgah ditempatnya dan hampir pergi meninggalkannya, maka janganlah disakiti baik dengan ucapan maupun perbuatan.

Rosulullah bersabda,

“Tidaklah seorang istri menyakiti suaminya didunia, kecuali istrinya dari bidadari berkata, ‘Jangan sakiti dia -semoga Alloh mencelakakan kamu-. Dia di sisimu hanyalah sekedar singgah, sebentar lagi akan meninggalkanmu menuju kami’.”

Ketahuilah bahwa wanita yang paling utama adalah yang selalu menganggap besar apa yang dilakukan oleh suaminya, meski perkara yang kecil. Memuji dihadapan orang lain dengan kebaikan meski suami penuh dengan kekurangan. Dia percaya bahwa semua itu akan berakibat baik baginya. Dan akan menjadi pendorong bagi suaminya pada suatu hari nanti untuk merasakan kecintaan dan kasih sayang istri kepadanya.

Hendaklah bersih hatinya terhadap suaminya. Jika dia kurang didalam memenuhi haknya, maka hendaklah dia pandai-pandai untuk menyampaikan hal tersebut dengan satu cara atau lainnya, tanpa menyakiti atau mencelanya, dengan mencari waktu yang tepat yang ketika itu pikiran suami sedang jernih dan lapang dada.

Kita memohon kepada Alloh agar menegakkan rumah-rumah kita diatas kebahagiaan. Dan kita memohon kepada Alloh agar menjadikan apa yang kita ucapkan ikhlas karena wajah-Nya Yang Mulia.

-dinukil dari Kitab HARMONIS, Idaman Setiap Keluarga; Asy-Syaikh Salim Al-’Ajmi; Pustaka Salafiyah-

Suamiku Bukan Laki-Laki Sempurna

Nikah Vol. 4, No. 6, September 2005

Dulu di tengah hangatnya teh panas dan sepotong rotii di pagi hari, saya dan teman-teman satu kos sering ngobrol tentang sosok ikhwan atau suami ideal.

Menurut kami seorang ikhwan yang paham agama pastilah sosok yang amat ’super’. Super ngemong, sabar, romantis, dan sebagainya, tiada cela dan noda. Dalam pikiran polos kami saat itu, seorang ikhwan itu pasti ittibaussunnah dalam segala hal, termasuk dalam berumah tangga.

Namun seiring berjalannya waktu akhirnya saya menyadari, ternyata dulu kami melupakan satu hal. Yaitu bahwa seorang ikhwan adalah juga manusia, yang tentu saja memiliki sifat “manusiawi”. Mereka pun memiliki sederet masalah, dan mereka bukan malaikat. Jadi, tidak layak tentunya jika berbagai tuntutan kita bebankan kepada mereka.

Membangun harapan adalah sah-sah saja. Hanya saja, jangan kaget setelah bertemu realita. Setelah menikah, menyatukan dua hati yang berbeda bukanlah hal mudah. Menginginkan sosok suami yang bisa menyelesaikan konflik tanpa menyisakan sedikit pun sakit hati atau masalah adalah harapan berlebihan.

Apalagi mengharap suami yang full romantis di antara sekian beban yang ditanggungnya. Suami kita hanyalah laki-laki biasa yang punya masa lalu dan latar belakang berbeda dengan kita. Mereka seperti kita juga, punya banyak kelemahan di samping kelebihannya.

Lantas apakah harus kecewa kalau sudah dapat suami tapi masih jauh dari harapan waktu muda? Tidak juga. Hal terpenting adalah jangan lagi berandai-andai dan mengeluh. Berpikirlah progresif, jangan regresif. Pikirkan solusi, jangan mempertajam konflik atau mendramatisir keadaan. Komunikasikan apa yang ada dalam benak kita dalam situasi terbaik.

Fitrah wanita dengan porsi perasaan yang lebih dominan seharusnya menjadikan kaum hawa lebih pintar memilih waktu curhat yang tepat. Sikap “nrimo” atas kekurangan suami bisa jadi pilihan tepat untuk mengurangi tingkat kekecewaan.

Konsepnya semakin Anda melihat perbedaan, semakin terluka hati ini (self-fulfilling prophecy). Jadi, carilah titik persamaan untuk meraih kebahagiaan. Dan ingat, dari sekian akhwat yang ada, Andalah yang terpilih untuk menjadi belahan hatinya. ^_^ Karena itu cintailah suami Anda apa adanya.

Bagi para akhwat yang belum menikah, tetaplah “memanusiakan” manusia. Para ikhwan itu adalah seperti diri kita juga. Mereka bukan Superman. Ingat pula bahwa jodoh ada di tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tetaplah perbaiki diri baik secara dien maupun fisik. Masalah siapa suami dan bagaimana sosok suami kita kelak adalah hak prerogatif Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Singkirkan sederetan tuntutan “super” bagi calon suami.

Semakin banyak tuntutan, bila tak terpenuhi akan membuat tingkat kekecewaan semakin tinggi. Percayalah pada janji Allah, bahwa suami yang baik adalah untuk istri yang baik pula, insya Allah. Lagi pula Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah menegaskan dalam salah satu haditsnya bahwa memilih suami adalah karena ketinggian agama dan akhlaknya, bukan prioritas sekunder lainnya.

Akhir kata, yuk, sembari menyeruput teh panas, kita ganti topik menjadi ~Bagaimana menjadi istri ideal.~

Wallahu a’lam.

(Ummu Aisyah).
www.jilbab.or.id

Musa Ash Shadr, Penganut Agama Syi’ah

Oleh Ustadz Abu Minhal

Peperangan di wilayah Libanon pada pertengahan 2006M seakan menorehkan kegetiran. Sebuah pertempuran yang konon “dimenangkan” oleh Hizbullah atas Yahudi telah menyihir kaum Muslimin, yang pada umumnya terpesona dengan kemenangan kelompok tersebut. Bahkan sebuah media massa Islam, edisi September 2006 dalam salah satu rubriknya, telah mengulas dan memberikan sanjungan terhadap Musa ash Shadr, salah satu tokoh Syi’ah yang memiliki benang merah dengan Hizbullah.

Oleh karena itu, sebagai kaum Muslimin, kita harus waspada. Betapa tidak? Hizbullah yang merupakan pasukan milik kaum Syi’ah di Libanon itu, tentu tetap mengusung aqidah Syi’ah. Yang dalam perjalanannya, Syi’ah sangat memusuhi Ahlu Sunnah, atau kaum Muslimin secara umum. Semestinya kita bersikap kritis dan waspada, bukan justru tertipu dengan menyanjungnya.

Tulisan berikut hanyalah mengungkap sedikit tentang Musa ash Shadr, yang merupakan tokoh penting sebagai pendahulu munculnya gerakan Syi’ah di Libanon yang kini populer. Lebih jauh tentang data-data empirisnya, bisa dikaji dalam kitab Wa Ja`a Daurul-Majus, karangan Dr. ‘Abdullah bin Muhammad Gharib, Cet. VI, Th. 1408 H – 1988 M, tanpa penerbit.

SIAPAKAH MUSA ASH SHADR?

Dia adalah Musa bin Shadruddin ash Shadr. Meski hidup di pentas Negara Libanon, tetapi ia ternyata seorang keturunan Iran dan berkewarganegaraan Iran pula. Dia lahir pada tahun 1928 M. Menyelesaikan studinya di Universitas Teheran, Fakultas Hukum, Ekonomi dan Politik. Dari latar belakang pendidikannya tersebut, kita dapat mengetahui, ia bukanlah seorang ulama Syi’ah, namun lebih tepat disebut sebagai seorang politikus. Para pengikutnya tidak menerima pernyataan ini. Mereka pun melakukan pembelaan terhadapnya dan meneriakkan, bahwa setelah lulus dari Teheran, Musa ash Shadr menimba ilmu agama di Najef, yaitu berguru kepada Khumaini. [Lihat Wa Ja`a Daurul-Majus, Dr. ‘Abdullah al Gharib, halaman 409].

Hubungannya dengan Khomaini sangat erat. Ahmad, putra Khomaini menikahi kemenakan perempuan Musa Shadr. Sedangkan kemenakan lelakinya kawin dengan cucu Khomaini.

Musa ash Shadr berimigrasi ke Libanon pada tahun 1958, dengan menyandang status sebagai seorang ulama yang didelegasikan dari Najef untuk menghidupkan aktifitas keagamaan di kalangan orang-orang Syi’ah Libanon.

Di Libanon, Musa Shadr menjumpai kondisi yang sangat kondusif. Pimpinan Libanon Fuad Syihab memberinya berbagai fasilitas. Di antaranya kemudahan mendapatkan kewarganegaraan Libanon, yang sebenarnya sulit diraih oleh orang non Nashara. Faktanya, masih banyak suku dan penduduk yang bermukim di sana sejak lama belum berhasil mendapatkan kewarganegaraan Libanon, karena bukan penganut Nashara. Akan tetapi berbeda dengan Musa Shadr. Aneh, dia begitu mudah mendapatkan kewarganegaraan Libanon, padahal merupakan pendatang yang baru saja menginjakkan kakinya di bumi Libanon.

Seperti dinyatakan oleh Dr. Musa al Musawi yang juga seorang politikus, bahwa pada tahun 1958 M, Jendral Bakhtiar, Panglima Angkatan Bersenjata Iran mengutus Musa ash Shadr ke Libanon, membekalinya dengan bekal finansial yang dibutuhkan. Setelah sepuluh tahun, Musa ash Shadr menduduki pimpinan majlis tinggi Syi’ah di Libanon. Pemerintah Iran telah menganggarkan satu juga lira Libanon untuk tujuan tersebut.

Pada tahun 1969 M, ia mendirikan Majlis Tinggi Syi’ah dan langsung memimpinnya. Sejak itu, suara kaum Syi’ah berpengaruh di percaturan politik Libanon. Musa ash Shadr pun membangun sekolah-sekolah dan gelanggang pertemuan sebagai markas kegiatan-kegiatan politiknya yang terselubung.

ORGANISASI PERLAWANAN LIBANON (AMAL)

Pendirian AMAL (Afwajul-Muqamawatil-Lubnaniyyah), merupakan langkah Musa ash Shadr berikutnya. Gerakan ini sebagai sayap militer bagi orang-orang yang terpinggirkan (harakah mahrumin yang ia dirikan) di Libanon (baca, Syi’ah) dan guna mempertahankan kepentingan-kepentingan di sana.

Sebelumnya, sayap militer ini merupakan gerakan di bawah tanah. Namun, pasca meledaknya sebuah granat di kamp latihan mereka, eksistensinya pun disosialisasikan. Padahal sebelumnya, Musa ash Shadr termasuk orang yang menentang mempersenjatai warga sipil.

PEMIKIRAN DAN KEYAKINAN AMAL

Disebutkan dalam al Mausu’ah (1/442), gerakan Afwajul-Muqamawatil-Lubnaniyyah (AMAL), adalah sebuah gerakan yang mengadopsi aqidah Syi’ah dan madzhab Ja’fari dalam seluruh keyakinannya. Pemberontakan dan perlawanan bersenjata menjadi salah satu dasar pendirian gerakan ini. Namun yang layak dipertanyakan ialah, perlawanan kepada siapa?

Kalau melakukan perlawanan kepada Nashara, maka tidak mungkin, lantaran Nashara telah membuka pintu di Libanon bagi AMAL. Dan bukan juga untuk melawan kekuatan Zionisme Yahudi. Sebab, Musa ash Shadr pernah mengatakan : “Kami tidak sedang dalam kondisi peperangan dengan Israil (Yahudi)…“.

Bila bukan Nashara ataupun Yahudi, maka tidak ada lawan yang tersisa, kecuali Ahli Sunnah dan organisasi-organisasi milik warga Pelestina yang ia anggap mewakili Ahli Sunnah, dan berpotensi menjadi duri bagi mereka.

Untuk mengelabui khalayak, ia mengusung motto humanis palsu bagi organisasinya ini, seperti beriman kepada Allah, menghidupkan budaya Libanon, menegakkan keadilan sosial, terutama di wilayah Libanon bagian selatan yang tersebar opini adanya jalinan kerja sama antara pembesar AMAL dengan Yahudi. Begitu pula fakta menunjukkan, jika gerakan ini menjalin hubungan dengan dunia luar. Ini menjadi jelas, dengan adanya kerja sama dengan musuh Islam untuk menghantam kaum Muslimin Sunni di Libanon. Pendanaan baginya dari luar tetap mengalir lancar, kendati muncul gerakan militer baru Syi’ah, yaitu Hizbullah di Libanon yang berafiliasi kepada Iran.

Dari berbagai pemikirannya, dapat disimpulkan (Al Mausu’ah, 1/443), bahwa organisasi AMAL di Libanon bukan merupakan gerakan agama, tetapi merupakan gerakan sekulerisme dan untuk memfasilitasi kaum Syi’ah yang terpinggirkan di sana. Orientasinya sangat jauh dari nilai-nilai Islam. Penetapan orientasi gerakan ini dilakukan oleh 180 pemikir Libanon yang mayoritas beragama Nashara.

Selain itu, organisasi ini justru mendukung kekuatan militer Yahudi di Beirut Barat di Selatan Libanon untuk menyikat penduduk Palestina.

Dengan sedikit catatan tentang dirinya, apakah sepantasnya seorang Musa ash Shadr dielu-elukan dan disanjung? Tentu jawabnya, tidak!

Meski katanya Hizbullah merayakan “kemenangan”, namun pantaslah bagi kita untuk mengajukan sejumlah pertanyaan. Apakah disebut kemenangan, bila peperangan tersebut menimbulkan kerusakan infrastruktur di Libanon yang sangat parah? Sementara kerugian yang diderita pihak “musuh”, yaitu Yahudi tidak nampak? Apakah disebut kemenangan jika penduduk sipil Libanon hingga mencapai 1500 jiwa justru menjadi korban akibat peperangan yang digelorakan Hizbullah? Kemenangan seperti apakah yang mereka rayakan, kalau bukan karena berhasil menghancurkan Libanon dengan menebar opini kamuflase melawan Yahudi? Bukankah perjalanan sejarah menunjukkan, bahwa Syi’ah sangat kuat pertentangannya terhadap Ahlu Sunnah? Maka, bagaimana mungkin kita menyambutnya dengan pujian kepada mereka? Sungguh mustahil!

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memelihara diri kita dari tipu daya musuh, dengan segala muslihatnya. Allahul-Musta’an.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun X/1427H/2006. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]

Pesta Duka di Hari ‘Asyura

Oleh Ustadz Ali Musri Semjan Putra

Para pembaca, kali ini kami mengajak untuk menyimpak berbagai keyakinan sesat Syiah tentang pesta duka di bumi Karbala yang mereka peringati setiap tanggal sepuluh Muharram (hari ‘Asyura). Mereka melakukan berbagai bentuk penyiksaan diri dengan benda-benda tajam, seperti rantai besi, pedang, cambuk dan benda tajam lainnya. Hal itu mereka yakini sebagai bukti cinta (palsu) mereka kepada Ahlul Bait (Keluarga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam), yang diwujudkan dalam bentuk kesedihan dan kedukaan atas terbunuhnya cucu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam Husain Radhiyallahu ‘anhuma di tempat tersebut. Silahkan menyimak dan semoga bermanfaat.

PESTA DUKA DI HARI ‘ASYURA

Hari ‘Asyura, orang-orang Syiah meyakininya sebagai hari sial yang membawa celaka. Sejak awal bulan Muharram (bahkan selama sebulan penuh) mereka tidak melakukan hal-hal penting di rumah, seperti tidak bepergian, tidak melakukan pernikahan, tidak berhias, tidak memakai pakaian yang bagus, tidak memakan makanan yang enak dan lain-lain. Anak yang lahir di bulan Muharram mereka yakini bernasib sial.

Secara khusus, pada hari ‘Asyura, mereka melakukan ritual yang amat mengerikan dengan menyiksa diri dengan benda-benda keras dan tajam. Semangat untuk menyakiti dan melukai tubuh sendiri akan kian terlucut dengan rangsangan sya’ir-sya’ir kisah terbunuhnya Husain bin ‘Ali Radhiyallahu ‘anhu di padang Karbala yang diperdengarkan, karya tokoh-tokoh Syi’ah. Kisah tersebut dibumbui dengan berbagai kebohongan serta cacian terhadap para Sahabat Radhiyallahu ‘anhum.

Jika para pembaca kurang yakin silakan saksikan apa yang sedang berlangsung di padang Karbala pada hari Asyura. Mereka berdatangan dari berbagai negara, dengan berpakaian serba putih. Sambil bergoyang pelan, mereka melantunkan kata ‘haidar’, ‘haidar’. Selanjutnya, sebilah pedang mereka ayun-ayunkan ke salah satu bagian tubuh secara perlahan, sehingga tubuh mereka bersimbah darah. Perayaan duka di Karbala ini lebih dikenal di kalangan Syiah dengan sebutan ritual al-Husainiyyah.[1]

Penyiksaan diri pada hari ‘Asyura tersebut tidak hanya dilakukan di bumi Karbala saja, tetapi juga dilakukan oleh kelompok Syiah di berbagai tempat lain. Menurut mereka, kegiatan penyiksaan diri pada sepuluh Muharram itu memiliki nilai ibadah yang tinggi, sebagaimana diungkapkan oleh imam-imam mereka.

UNGKAPAN PARA TOKOH SYIAH TENTANG HUKUM DAN KEUTAMAAN PESTA DUKA DI HARI ‘ASYURA

Salah seorang dari tokoh Syiah telah menulis buku khusus tentang ritual pada hari ‘Asyura di Karbala dengan judul al-Mâjalis al-Fâkhirah Fi Ma’âtimil ‘Ithrahi ath-Thâhirah[2] atau menurut penulis, kitab tersebut berjudul Manâsik al-Husainiyyah.

Salah seorang tokoh mereka menyebutkan bahwa ritual penyiksaan diri pada hari ‘Asyura di Karbala dimulai pada abad IV Hijriah pada masa dinasti al-Buwaihi. Kemudian berlanjut pada masa dinasti al-Fathimiyah. Acara tersebut sekarang ini diselenggarakan di negara-negara berpenduduk mayoritas orang-orang Syiah. Seperti Irak, Iran, India, Siria, dll.[3]

Ad-Dimastâni, ulama Syiah yang lain menegaskan : “Meratapi kematian Husain dengan berteriak-teriak hukumnya wajib ‘aini (wajib atas setiap pribadi) [4]

Ayatullah al-’Uzhma syaikh Muhammad Husain an-Nâti berkata : “Tidak ada masalah tentang hukum bolehnya memukul pipi dan dada dengan tangan sampai merah dan menghitam. Dan lebih ditekankan lagi, memukul pundak dan punggung dengan rantai sampai kulit kemerahan dan gosong. Bahkan lebih ditekankan lagi jika hal itu menyebabkan keluarnya darah. Begitu pula mengeluarkan darah dari kening dan puncak kepala dengan pedang[5]

Setelah kita menyimak berbagai ungkapan tokoh-tokoh Syiah Rofidhoh di atas dapat kita ketahui bahwa apa yang dinisbahkan kepada mereka itu benar. Dan bukanlah sebuah isu yang dibuat-buat..

Bila ungkapan-ungkapan tersebut kita sorot dengan cahaya al-Qur’ân dan petunjuk Sunnah serta keyakinan para ulama Salaf, niscaya akan dijumpai jurang pemisah yang sangat dalam antara keyakinan orang-orang Syiah dengan keyakinan kaum Muslimin.

SESATNYA PESTA DUKA DI HARI ‘ASYURA

Kekeliruan dan kesesatan acara pesta duka tidak sulit untuk dilacak. Sebab terdapat banyak pelanggaran terhadap ajaran Islam. Berikut ini, keterangannya:

1). Ibnu Katsîr rahimahullah berkata: “Setiap muslim akan merasa sedih atas terbunuhnya Husain Radhiyallahu ‘anhuma. Sesungguhnya dia adalah salah seorang dari generasi terkemuka kaum muslimin, juga salah seorang ulama di kalangan para Sahabat, dan anak dari putri kesayangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia adalah seorang ahli ibadah, seorang pemberani dan pemurah. Tentang apa yang dilakukan Syiah (di hari ‘Asyura) seperti bersedih-sedih dan berkeluh-kesah merupakan tindakan tidak pantas. Boleh jadi, itu mereka lakukan adalah karena pura-pura dan riya. Sesungguhnya ayah Husain (’Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu ‘anhuma) jauh lebih afdhal (utama) darinya. Beliau juga meninggal dalam keadaan terbunuh. Akan tetapi, mereka tidak menjadikan hari kematiannya sebagai hari berkabung layaknya hari kematian Husain Radhiyallahu ‘anhuma (yang diperingati). ‘Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu ‘anhu terbunuh pada hari Jum’at saat keluar rumah mau melaksanakan shalat Subuh, pada tanggal tujuh belas Ramadhan, tahun 40 H.

Demikian juga ‘Utsmân Radhiyallahu ‘anhu, beliau lebih mulia dari ‘Ali Radhiyallahu ‘anhu dalam pandangan Ahlussunnah wal Jama’ah. Beliau dibunuh saat terjadi pengepungan terhadap rumahnya, pada hari tasyriîq di bulan Dzulhijjah, tahun 36 H. Beliau disembelih dari urat nadi ke urat nadi. Tidak pernah ada orang berduka di hari kematiannya.

Demikian pula halnya ‘Umar bin Khaththâb Radhiyallahu ‘anhu. Beliau lebih afdhal dari ‘Utsmân dan ‘Ali Radhiyallahu ‘anhuma. Terbunuh di mihrab saat shalat Subuh saat sedang membaca al-Qur’ân. Namun, tidak ada orang yang menjadikan hari kematiannya sebagai hari berduka.

Dan demikian juga Abu Bakar ash-Shiddîq Radhiyallahu ‘anhu. Beliau lebih afdhal dari ‘Umar Radhiyallahu ‘anhu. Akan tetapi, tidak pernah hari kematiannya dijadikan sebagai hari berkabung.

(Terakhir), Allah Azza wa Jalla telah memanggil Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, penghulu anak Adam di dunia dan akhirat, sama seperti para nabi sebelumnya. Namun, tidak ada seorang pun menjadikan hari wafat beliau sebagai hari bela sungkawa, atau melakukan perbuatan orang-orang dari sekte Syiah pada hari kematian Husain. Tidak seorang pun menyebutkan bahwa terjadi sesuatu sebelum atau sesudah hari kematian mereka, seperti apa yang disebutkan Syiah pada hari kematian Husain. Seperti terjadinya gerhana matahari, adanya cahaya merah di langit dan lain-lain[6]

2). Syaikh Fâdhil ar-Rûmi rahimahullah, seorang ulama Dinasti Utsmaniyah mendudukkan kesalahan Syiah dalam masalah ini : “Adapun menjadikan tanggal sepuluh Muharram sebagai hari berduka karena terbunuhnya Husain bin Ali Radhiyallahu ‘anhuma yang dilakukan kaum Syiah, hal itu adalah perbuatan orang-orang sesat sewaktu di dunia. Tetapi, mereka mengira telah melakukan sesuatu yang amat baik. Padahal, Allah Azza wa Jalla dan Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam saja tidak pernah memerintahkan untuk menjadikan hari musibah para nabi atau hari kematian mereka sebagai hari berduka. Apalagi terhadap hari kematian orang-orang yang kedudukannya di bawah mereka…[7]

Pada kesempatan lain beliau menyatakan: “Diantara bentuk bid’ah yang dilakukan sebagian manusia pada hari ‘Asyura adalah menjadikan hari tersebut sebagai hari berduka. Mereka meratap dan bersedih serta menyiksa diri pada hari tersebut. Disamping itu, mereka mencaci para Sahabat Rasululullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah meninggal, berdusta atas nama keluarga Nabi Shallallahu ‘aliahi wa sallam, dan melakukan berbagai kemungkaran lainnya yang dilarang dalam al-Qur’ân dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta kesepakatan kaum Muslimin.

Sesungguhnya, Husain Radhiyallahu ‘anhuma telah dimuliakan Allah Azza wa Jalla dengan menjadikannya sebagai orang yang mati syahid pada hari tersebut. Dia dan saudaranya Hasan adalah dua pemuda penghuni Jannah. Sekalipun terbunuhnya dua orang bersaudara tersebut merupakan musibah besar, akan tetapi Allah Azza wa Jalla mensyariatkan bagi kaum muslimin ketika mengalami musibah untuk mengucapkan kalimat istirjâ’ (innâ lillâh wa innâ ilaihi raji’ûn) [8].

Kalimat istirjâ’ merupakah salah satu anugerah yang hanya diberikan kepada umat Islam. Sa’id bin Jubair Radhiyallahu ‘anhu berkata:

لَمْ يُعطَ الْاسْتِرْجَاعُ لِأُمَّةٍ مِنَ الْأُمَمِ إِلاَّّ هَذِهِ الْأُمَّةِ، وَلَوْ أعْطِيَ لِأَحَدٍ لَأُعْطِيَ يَعْقُوْبُ النبيّ أَلاَ تَرَى أَنَّهُ قَالَ فِيْ مَقَامِ الْاستِرْجَاعِ: يَا أَسَفَى عَلَى يُوْسُفَ

Kalimat istirjâ’ tidak diberikan bagi umat-umat lain kecuali untuk umat ini (umat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam). Jika seseorang diberi (sebelumnya, red) tentu akan diberikan kepada Nabi Ya’qub Alaihissalam. Tidakkah Anda perhatikan beliau mengucapkan sebagai ganti kalimat istirjâ’ aduhai, betapa sedihnya kehilangan Yusuf‘” [9].

Dalam hadits, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyampaikan kalimat istirjâ’. Beliau bersabda:

مَا مِنْ مُسْلِمٍ تُصِيبُهُ مُصِيبَةٌ فَيَقُولُ مَا أَمَرَهُ اللَّهُ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ اللَّهُمَّ أْجُرْنِي فِي مُصِيبَتِي وَأَخْلِفْ لِي خَيْرًا مِنْهَا إِلَّا أَخْلَفَ اللَّهُ لَهُ خَيْرًا مِنْهَا

“Tidaklah seorang muslim ditimpa musibah, maka ia ucapkan ‘innâ lillâh wa innâ ilaihi raji’ûn’, (dan berdoa) ya Allah beri aku pahala atas musibah yang menimpaku, gantilah untukku dengan sesuatu yang lebih baik darinya, melainkan Allah akan memberinya pahala untuknya atas musibah itu dan mengganti dengan sesuatu yang lebih baik dari yang ia alami” [HR. Muslim 2/632 no (918]

3). Adapun melakukan sesuatu yang dilarang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari peringatan musibah setelah berlalu dalam masa yang cukup lama, perbuatan ini dosanya akan lebih besar lagi. Apalagi, jika disertai dengan memukul-mukul muka, merobek-robek baju, berteriak-teriak yang merupakan kebiasaan bangsa Jahiliyyah, melaknat dan mencaci orang-orang Mukmin (para Sahabat Nabi Radhiyallahu ‘anhum), serta membantu orang-orang zindiq untuk merusak Islam.[10]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menerangkan hukum menyiksa diri atas peristiwa musibah yang menimpa seseorang dalam hadits berikut ini:

لَيْسَ مِنَّا مَنْ ضَرَبَ الْخُدُودَ وَشَقَّ الْجُيُوبَ وَدَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ

“Tidak termasuk golongan kami orang yang memukul-mukul muka, merobek-robek baju dan berteriak-teriak seperti orang-orang jahiliyah” [HR. al-Bukhari dan Muslim]

Dalam hadits lain, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَرْبَعٌ فِي أُمَّتِي مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ لَا يَتْرُكُونَهُنَّ : الْفَخْرُ بِالْأَحْسَابِ وَالطَّعْنُ فِي الْأَنْسَابِ وَالِاسْتِسْقَاءُ بِالنُّجُومِ وَالنِّيَاحَةُ عَلَى الْمَيِّتِ. وَقَالَ : النَّائِحَةُ إذَا لَمْ تَتُبْ قَبْلَ مَوْتِهَا تُقَامُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَعَلَيْهَا سِرْبَالٌ مِنْ قَطْرَانٍ وَدِرْعٌ مِنْ جَرَبٍ

“Ada empat perkara yang termasuk perkara jahiliyah terdapat di tengah umatku; berbangga dengan kesukuan, mencela keturunan (orang lain), meminta hujan dengan bintang-bintang dan meratapi mayat”

Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menambahkan:

“Wanita yang meratapi mayat apabila tidak bertaubat sebelum meninggal, ia akan dibangkit pada hari kiamat dengan memakai mantel dari tembaga panas dan jaket dari penyakit kusta” [HR. Muslim]

Abu Musa al-Asy ‘ari Radhiyallahu ‘anhu berkata:

أَنَا بَرِيءٌ مِمَّا بَرِئَ مِنْهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَرِيءٌ مِنْ الْحَالِقَةِ , وَالصَّالِقَةِ , وَالشَّاقَّةِ
“Aku berlepas diri orang-orang yang Rasulullah berlepas diri dari mereka. Sesungguhnya Rasulullah berlepas diri dari wanita yang mencukur rambutnya, wanita yang berteriak-teriak dan wanita yang merobek-robek baju (saat ditimpa musibah)” [HR. al-Bukhâri dan Muslim]

4). Pelanggaran lain dalam bentuk mencela para Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Banyak sekali ayat maupun hadits yang menerangkan keutaman Sahabat. Dan sebaliknya juga terdapat nash-nash yang mengharamkan melaknat dan mencaci para Sahabat. Secara khusus, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang dengan tegas umatnya mencela para Sahabat Radhiyallahu ‘anhum:

لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ

Jangan kalian mencela para sahabatku. Seandainya salah seorang kalian menginfaqkan emas sebesar gunung Uhud, niscaya tidak akan sampai (nilainya) segegam (pahalanya) salah seorang mereka dan tidak pula separohnya” [HR. al-Bukhari dan Muslim]

Maka, berdasarkan hadits ini, seorang mukmin wajib memuliakan mereka dan menyebut mereka dengan kebaikan serta menahan lisan dari mencela mereka.

Peristiwa terbunuhnya ‘Utsmân dan Husain Radhiyallahu ‘anhuma menyebabkan terjadinya fitnah yang besar dan tersebarnya kedustaan yang banyak. Akibatnya, muncul berbagai bentuk kesesatan dan bid’ah-bid’ah, menjerumuskan sebagian generasi umat ini sejak dulu sampai sekarang. Beragam kedustaan dan kesesatan serta bid’ah-bid’ah semakin hari semakin bertambah dan berkembang. Dan telah menimbulkan berbagai akibat-akibat yang tidak mungkin kita urai dalam bahasan singkat ini.[11]

Imam al-Ghazâli rahimahullah dan ulama lainnya berkata : “Diharamkan para penceramah untuk meriwayatkan kisah terbunuhnya Husain Radhiyallahu ‘anhuma, juga tentang hal-hal yang terjadi antara sesama para Sahabat dalam perselisihan dan pertikaian mereka. Karena, hal itu dapat memotivasi orang untuk membenci para Sahabat g dan mencela mereka. Mereka adalah teladan umat, dimana para ulama mendapatkan ilmu melalui mereka. Kemudian ilmu tersebut sampai kepada kita melalui para ulama yang mengambil ilmu dari mereka. Maka, orang yang mencela mereka adalah orang yang mencela diri dan agamanya”.

Ibnu Shalâh rahimahullah dan Imam Nawawi rahimahullah berkata: “Para Sahabat seluruhnya adalah adil (terpercaya). Saat wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, jumlah Sahabat mencapai seratus empat belas ribu (114.000) orang. Al-Qurân dan Hadits telah menyatakan akan keadilan (ketakwaan) dan kemuliaan mereka. Dan segala sesuatu yang terjadi di antara mereka, terdapat pertimbangan-pertimbangan (yang membuat mereka tidak dihukumi telah berbuat kesalahan murni, red) yang tidak mungkin kita sebutkan satu-persatu dalam tulisan singkat ini.[12]

Imam asy-Syafi’i rahimahullah : “Itu adalah peristiwa pertumpahan darah yang Allah menghindarkan tangan-tangan kita darinya. Maka hendaklah kita mensucikan lidah kita dari membicarakannya”.
Semoga Allah Azza wa Jalla melindungi kita dari berbagai bentuk kesesatan dan kebatilan, baik yang nyata maupun yang tersembunyi.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XII/1430H/2009M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]

________
Footnote
[1]. Penisbatan kepada nama Husain Radhiyallahu ‘anhuma
[2]. Lihat Man Qatalal Husain, hal: 60
[3]. Lihat Man Qatalal Husain, hal: 56
[4]. Lihat Man Qatalal Husain, hal: 65
[5]. Lihat Man Qatalal Husain, hal: 66
[6]. al-Bidâyah wan Nihâyah (8/208)
[7]. Majâlisul Abrâr majlis no 37.
[8]. Ibid.
[9]. Diriwayatkan Imam ath-Thabari rahimahullah dalam Tafsirnya (13/39)
[10]. Lihat Majâlisul Abrâr majlis no 37.
[11]. Lihat Majâlisul Abrâr majlis no 37.
[12]. Lihat “Ash shawa’iq Al Muhriqoh” karangan Al Haitamy: 2/640.

Sunday, January 24, 2010

Bahaya Syi'ah

“Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok? Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman.” (At-Taubah: 65-66)

berhati-hatilah ya ikhwan dg penerbit MIZAN, koran Republika, kalangan Tasawuf/Sufi dan Quraish Shihab. ‘afwan sudah harus dterangkan sejelas-jelasnya krna sudah sangat berbahaya di kalangan kaum muslimin, krna sudah mncakup masalah ‘aqidah!.

“Hendaknya engkau tinggalkan semua kelompok-kelompok (yang menyeru kepada kesesatan) itu, walaupun engkau terpaksa harus menggigit akar pohon, sampai kematian mendatangimu dan engkau dalam keadaan seperti itu”. [Riwayat Al-Bukhari No. 7084 dan Muslim No. 1847, dengan lafadz Muslim].

Seorang penyair pernah berkata: “Aku mengenal keburukan bukanlah untuk mengamalkannya, tetapi untuk menjauhinya, dan barangsiapa yang tidak dapat membedakan kebaikan dari keburukan –dikhawatirkan dia akan terjerumus ke dalam keburukan itu”.

Mudah-mudahan kita dicukupkan dengan apa yang dicontohkan oleh sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya Radhiallahu ‘anhum.

Silakan dengarkan kajian Ust Armen Halim Naro rahimahullah seputar Bahaya Syi’ah di sini.

Adapun foto-foto seputar ritual-ritual syi’ah bisa anda lihat di sini. Terutama seputar Imam Khomeini yg sering mereka gembar-gemborkan!

***

Jika kita ke toko buku, terkadang tertarik dengan suatu buku. Namun jangan tergesa-gesa dahulu untuk membelinya. Lihat dulu pengarangnya. Apakah dari Ahlus Sunnah wal jama’ah atau bukan. Kalo perlu, lihat juga penerjemahnya (untuk yang bahasa Indonesia) dan penerbitnya. Jangan sampai kita salah di dalam memilih buku.
Pada kesempatan ini kami bawakan daftar buku-buku syiah yang kami dapatkan dari situs salah satu yayasan syiah di Yogyakarta.

Maksud kami ini tidak lain dan tidak bukan agar kita tidak tersesat dalam memilih buku. Kita tahu dan belajar kejelekan bukan untuk kita amalkan tapi untuk kita jauhi. List of books » Show/Hide

Sumber: blog.vbaitullah.or.id