Sunday, August 30, 2009

Pengertian Rabb Menurut Quran dan Sunnah

Rabb adalah bentuk mashdar, yang ber arti “mengembang kan sesuatu dari satu keadaan pada keadaan lain, sampai pada keadaan yang sempurna”. Jadi Rabb adalah kata mashdar yang dipinjam untuk fa’il (pelaku). Kata-kata Ar-Rabb tidak disebut sendirian, kecuali untuk Allah yang menjamin kemaslahatan seluruh makhluk.

Adapun jika di-idhafah-kan (ditambahkan kepada yang lain), maka hal itu bisa untuk Allah dan bisa untuk lainNya. Seperti firman Allah Subhannahu wa Ta’ala:
“Rabb semesta alam.” (Al-Fatihah: 2)
Juga firmanNya:
“Tuhan kamu dan Tuhan nenek-nenek moyang kamu yang da hulu”. (Asy-Syu’ara: 26)
Dan di antaranya lagi adalah perkataan Nabi Yusuf Alaihissalam yang difirmankan oleh Allah Subhannahu wa Ta’ala:
“Terangkanlah keadaanku kepada tuanmu.” Maka syaitan men jadikan dia lupa menerangkan (keadaan Yusuf) kepada tuannya.” (Yusuf: 42)
Dan firman Allah Subhannahu wa Ta’ala:
“Kembalilah kepada tuanmu …” (Yusuf: 50)
“Adapun salah seorang di antara kamu berdua, akan memberi minum tuannya dengan khamar …” (Yusuf: 41)
Rasulullah bersabda dalam hadits “Unta yang hilang”: “Sampai sang pemilik menemukannya”. Maka jelaslah bahwa kata Rabb diperuntukkan untuk Allah jika ma’rifat dan mudhaf, sehingga kita mengatakan misalnya: “Tuhan Allah Penguasa semesta alam” atau “Tuhan manusia”.
Dan tidak diperuntukkan kepada selain Allah kecuali jika di-idhafah-kan, misalnya: tuan rumah atau pemilik unta dan lainnya. Makna “Rabbal ‘alamiin” adalah Allah Pencipta alam semesta, Pemilik, Pengurus dan Pembimbing mereka dengan segala nikmat-Nya, serta dengan mengutus para rasulNya, menurunkan kitab-kitab-Nya dan Pemberi balasan atas segala perbuatan makhlukNya.

Imam Ibnul Qayyim berkata bahwa konsekuensi rububiyah ada lah adanya perintah dan larangan kepada hamba, membalas yang ber­buat baik dengan kebaikan, serta menghukum yang jahat atas kejaha tannya. [1]

 Pengertian Rabb Menurut Pandangan Umat-Umat Yang Sesat 

Allah Subhannahu wa Ta’ala menciptakan manusia dengan fitrah mengakui tauhid serta mengetahui Rabb Sang Pencipta. Firman Allah:
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia ti dak mengetahui.” (Ar-Rum: 30)
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).” (Al-A’raf: 172)
Jadi mengakui rububiyah Allah dan menerimanya adalah sesuatu yang fitri. Sedangkan syirik adalah unsur yang datang kemudian. Baginda Rasul bersabda:
“Setiap bayi dilahirkan atas dasar fitrah, maka kedua orang tu a-nyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Seandainya seorang manusia diasingkan dan dibiarkan fitrahnya, pasti ia akan mengarah kepada tauhid yang dibawa oleh para rasul, yang disebutkan oleh kitab-kitab suci dan ditunjukkan oleh alam. Akan tetapi bimbingan yang menyimpang dan lingkungan yang atheis itulah faktor penyebab yang mengubah pandangan si bayi. Dari sanalah seorang anak manusia mengikuti bapaknya dalam kesesatan dan penyimpangan.

Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman dalam hadits qudsi:
“Aku ciptakan hamba-hambaKu dalam keadaan lurus bersih, maka setanlah yang memalingkan mereka.” (HR. Muslim dan Ahmad)
Maksudnya, memalingkan mereka kepada berhala-berhala dan menjadikan mereka itu sebagai tuhan selain Allah. Maka mereka jatuh dalam kesesatan, keterasingan, perpecahan dan perbedaan; karena masing-masing kelompok memiliki tuhan sendiri-sendiri. Sebab, ketika mereka berpaling dari Tuhan yang hak, maka mereka akan jatuh ke dalam tuhan-tuhan palsu.
Sebagaimana firman Allah:
“Maka (Zat yang demikian) itulah Allah Tuhan kamu yang sebenarnya; maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan ke sesatan.” (Yunus: 32)
Kesesatan itu tidak memiliki batas dan tepi. Dan itu pasti terjadi pada diri orang-orang yang berpaling dari Allah Subhannahu wa Ta’ala . FirmanNya:
“…manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Mahaesa lagi Mahaperkasa? Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun tentang nama-nama itu.” (Yusuf: 39-40)
Dan syirik dalam tauhid rububiyah, yakni dengan menetapkan adanya dua pencipta yang serupa dalam sifat dan perbuatannya, adalah mustahil. Akan tetapi sebagian kaum musyrikin meyakini bahwa tuhan-tuhan mereka memiliki sebagian kekuasaan dalam alam semesta ini. Setan telah mempermainkan mereka dalam menyembah tuhan-tuhan tersebut, dan setan mempermainkan setiap kelompok manusia berdasarkan kemampuan akal mereka.

Ada sekelompok orang yang diajak untuk menyembah orang-orang yang sudah mati dengan jalan membuat patung-patung mereka, sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Nabi Nuh Alaihissalam. Ada pula sekelompok lain yang membuat berhala-berhala dalam bentuk planet-planet. Mereka menganggap planet-planet itu mempunyai pengaruh terhadap alam semesta dan isinya.

Maka mereka membuatkan rumah-rumah untuknya serta memasang juru kuncinya. Mereka pun berselisih pandang tentang penyembahannya; ada yang menyembah matahari, ada yang menyembah bulan dan ada pula yang menyembah planet-planet lain, sampai mereka membuat piramida-piramida, dan masing-masing planet ada piramidanya sendiri-sendiri. Ada pula golongan yang menyembah api, yaitu kaum Majusi.

Juga ada kaum yang menyembah sapi, seperti yang ada di India; ke­lompok yang menyembah malaikat, kelompok yang menyembah po­hon-pohon dan batu besar. Juga ada yang menyembah makam atau kuburan yang dikeramatkan. Semua ini penyebabnya karena mereka membayangkan dan menggambarkan benda-benda tersebut mempunyai sebagian dari sifat-sifat rububiyah. Ada pula yang menganggap berhala-berhala itu mewakili hal-hal yang ghaib.

Imam Ibnul Qayyim berpendapat: “Pembuatan berhala pada mulanya adalah penggambaran ter hadap tuhan yang ghaib, lalu mereka membuat patung berdasarkan bentuk dan rupanya agar bisa menjadi wakilnya serta mengganti kedudukannya. Kalau tidak begitu, maka sesungguhnya setiap orang yang berakal tidak mungkin akan memahat patung dengan tangannya sendiri kemudian meyakini dan mengatakan bahwa patung pahatannya sendiri itu adalah tuhan sembahannya.” [2]

Begitu pula para penyembah kuburan, baik dahulu maupun sekarang, mereka mengira orang-orang mati itu dapat membantu mereka, juga dapat menjadi perantara antara mereka dengan Allah dalam pemenuhan hajat-hajat mereka. Mereka mengatakan:
“Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” (Az-Zumar: 3)
“Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfa’atan, dan mereka berkata: ‘Mereka itu adalah pemberi syafa’at kepada kami di sisi Allah’.” (Yunus: 18)
Sebagaimana halnya sebagian kaum musyrikin Arab dan Nasrani mengira tuhan-tuhan mereka adalah anak-anak Allah. Kaum musyrikin Arab menganggap malaikat adalah anak-anak perempuan Allah. Orang Nasrani menyembah Isa Alaihissalam atas dasar anggapan ia sebagai anak laki-laki Allah.
Sanggahan Terhadap Pandangan Yang Batil Di Atas Allah Subhannahu wa Ta’ala telah menyanggah pandangan-pandangan tersebut:

a. Sanggahan terhadap para penyembah berhala:
“Maka apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) mengang gap Al-Lata dan Al-Uzza, dan Manah yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allah)?” (An-Najm: 19-20)
Tafsir ayat tersebut menurut Imam Al-Qurthubi, “Sudahkah eng kau perhatikan baik-baik tuhan-tuhan ini. Apakah mereka bisa men­datangkan manfaat atau madharat, sehingga mereka itu dijadikan se bagai sekutu-sekutu Allah?”

Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan bacakanlah kepada mereka kisah Ibrahim. Ketika ia berkata kepada bapaknya dan kaumnya: ‘Apakah yang kamu sem bah?’ Mereka menjawab: ‘Kami menyembah berhala-berhala dan kami senantiasa tekun menyembahnya’. Berkata Ibrahim: ‘Apa kah berhala-berhala itu mendengar (do’a) mu sewaktu kamu berdo’a (kepadanya)? atau (dapatkah) mereka memberi manfaat kepadamu atau memberi mudharat?” Mereka men jawab: ‘(Bukan karena itu) sebenarnya Kami mendapati nenek moyang kami berbuat demikian’.” (Asy-Syu’ara: 69-74)
Mereka sepakat, berhala-berhala itu tidak bisa mendengar permo­honan, tidak bisa mendatangkan manfaat dan madharat. Akan tetapi mereka menyembahnya karena taklid buta kepada nenek moyang mereka. Sedangkan taklid adalah hujjah yang batil.

b. Sanggahan terhadap penyembah matahari, bulan dan bintang.

Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman:
“… dan (diciptakanNya pula) matahari, bulan dan bintang-bin tang (masing-masing) tunduk kepada perintahNya.” (Al-A’raf: 54)
“Dan sebagian dari tanda-tanda kekuasaanNya ialah malam, siang, matahari dan bulan. Janganlah bersujud kepada matahari dan janganlah (pula) kepada bulan, tetapi bersujudlah kepada Allah Yang menciptakannya, jika kamu hanya kepadaNya saja menyembah.” (Fushshilat: 37)
c. Sanggahan terhadap penyembah malaikat dan Nabi Isa atas dasar anggapan sebagai anak Allah.

Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman:
“Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, …” (Al-Mu’minun: 91)
“Bagaimana Dia mempunyai anak padahal Dia tidak mempun yai isteri.” (Al-An’am: 101)
“Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.” (Al-Ikhlas: 3-4)
[1] Lihat Madarijus Salikin, I, hal. 68.
[2] Ighatsatul Lahfan, II, hal. 220.
Kitab Tauhid 1 oleh: Dr.Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al fauzan

Wednesday, August 26, 2009

Adab Bertamu

Di antara kelaziman hidup bermasyarakat adalah budaya saling mengunjungi atau bertamu, yang dikenal dengan isitilah silaturrahmi oleh kebanyakan masyarakat. Walaupun sesungguhnya istilah silaturrahmi itu lebih tepat (dalam syari’at) digunakan khusus untuk berkunjung/ bertamu kepada sanak famili dalam rangka mempererat hubungan kekerabatan.

Namun, bertamu, baik itu kepada sanak kerabat, tetangga, relasi, atau pihak lainnya, bukanlah sekedar budaya semata melainkan termasuk perkara yang dianjurkan di dalam agama Islam yang mulia ini. Karena berkunjung/bertamu merupakan salah satu sarana untuk saling mengenal dan mempererat tali persaudaraan terhadap sesama muslim.

Allah berfirman:

“Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan perempuan, dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa, dan bersuku-suku, supaya kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa.” (Al Hujurat: 13)

Rasulullah bersabda:


إِذَا عَادَ الرَّجُلُ أَخَاهُ أَوْ زَارَهُ ، قَالَ اللهُ لَهُ : طِبْتَ وَطِابَ مَمْشَاكَ وَتَبَوَّأْتَ مَنْزِلاً فِي الْجَنَّةِ

Bila seseorang mengunjungi saudaranya, maka Allah berkata kepadanya: “Engkau dan perjalananmu itu adalah baik, dan engkau telah menyiapkan suatu tempat tinggal di al jannah (surga).” (Shahih Al Adabul Mufrad no. 345, dari shahabat Abu Hurairah )

Namun yang tidak boleh dilupakan bagi orang yang hendak bertamu adalah mengetahui adab-adab dan tata krama dalam bertamu, dan bagaimana sepantasnya perangai (akhlaq) seorang mukmin dalam bertamu. Karena memiliki dan menjaga perangai (akhlaq) yang baik merupakan tujuan diutusnya Rasulullah, sebagaimana beliau bersabda:

إِنَّمَا بُعِثْتُ ِلأُ تَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاَقِ

“Sesungguhnya aku diutus dalam rangka menyempurnakan akhlaq (manusia).”


Oleh karena itu, pada kajian kali ini, akan kami sebutkan beberapa perkara yang hendaknya diperhatikan dalam bertamu. Di antaranya sebagai berikut:

1. Beri’tikad Yang Baik

Di dalam bertamu hendaknya yang paling penting untuk diperhatikan adalah memilki i’tikad dan niat yang baik. Bermula dari i’tikad dan niat yang baik ini akan mendorong kunjungan yang dilakukan itu senantiasa terwarnai dengan rasa kesejukan dan kelembutan kepada pihak yang dikunjungi.

Bahkan bila ia bertamu kepada saudaranya karena semata-mata rasa cinta karena Allah dan bukan untuk tujuan yang lainnya, niscaya Allah akan mencintainya sebagaimana ia mencintai saudaranya. Sebagaimana Rasulullah :

زَارَ رَجُلٌ أَخًا لَهُ فِي قَرْيَةٍ لَهُ فَأَرْصَدَ اللهُ مَلَكًا عَلَى مَدْرَحَتِهِ ، فَقَالَ : أَيْنَ تُرِيْدُ ؟ قَالَ : أَخًا لِي فِي هَذِهِ الْقَرْيَةِ. فَقَالَ : هَلْ لَهُ عَلَيْكَ مِنْ نِعْمَةٍ تَرُبُّهَا ؟ لاَ قَالَ : أُحِبُّهُ فِي اللهِ. قَالَ : فَإِنِّي رَسُولُ اللهِ إِلَيْكَ ، أَنَّ اللهَ أَحَبَّكَ كَمَا أَحْبَبْتَهُ

“Ada seseorang yang berkunjung kepada saudaranya di dalam suatu kampung, maka Allah mengirim malaikat untuk mengawasi arah perjalanannya. Ia (malaikat) bertanya kepadanya: “Mau kemana anda pergi? Ia menjawab: “Kepada saudaraku yang ada di kampung ini. Malaikat berkata: “Apakah dia memiliki nikmat (rizki) yang akan diberikan kepada engkau. Dia menjawab: “Tidak, semata-mata saya mencintainya karena Allah. Malaikat berkata: “Sesungguhnya saya diutus oleh Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah mencintaimu sebagaimana kamu mencintai saudaramu.” (Shahih Al Adabul Mufrad no. 350, Ash Shahihah no. 1044)

2. Tidak Memberatkan Bagi Tuan Rumah

Hendaknya bagi seorang tamu berusaha untuk tidak membuat repot atau menyusahkan tuan rumah, sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah :


لاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يُقِيْمَ عِنْدَ أَخِيْهِ حَتَّى يُؤْثِمَهُ. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ وَكَيْفَ يُؤْثِمُهُ؟ قَالَ: يُقِيْمُ عِنْدَهُ وَلاَ شَيْءَ لَهُ يَقْرِيهِ بِهِ

“Tidak halal bagi seorang muslim untuk tinggal di tempat saudaranya yang kemudian saudaranya itu terjatuh ke dalam perbuatan dosa. Para shahabat bertanya: “Bagaimana bisa dia menyebabkan saudaranya terjatuh ke dalam perbuatan dosa?” Beliau menjawab: “Dia tinggal di tempat saudaranya, padahal saudaranya tersebut tidak memiliki sesuatu yang bisa disuguhkan kepadanya.” (HR. Muslim)

Al Imam An Nawawi berkata:

“Karena keberadaan si tamu yang lebih dari tiga hari itu bisa mengakibatkan tuan rumah terjatuh dalam perbuatan ghibah, atau berniat untuk menyakitinya atau berburuk prasangka (kecuali bila mendapat izin dari tuan rumah).” (Lihat Syarh Shahih Muslim 12/28)

3. Memilih Waktu Berkunjung

Hendaknya bagi orang yang ingin bertamu juga memperhatikan dengan cermat waktu yang tepat untuk bertamu. Karena waktu yang kurang tepat terkadang bisa menimbulkan perasaan yang kurang baik dari tuan rumah bahkan tetangganya.


Dikatakan oleh shahabat Anas :

كَانَ رَسُولُ اللهِ لاَ يَطْرُقُ أَهْلَهُ لَيْلاً وَكَانَ يَأْتِيْهِمْ غُدْوَةً أَوْ عَشِيَّةً

Rasulullah tidak pernah mengetuk pintu pada keluarganya pada waktu malam. Beliau biasanya datang kepada mereka pada waktu pagi atau sore.” (Muttafaqun ‘Alaihi)

Demikianlah akhlak Nabi , beliau memilih waktu yang tepat untuk mengunjungi keluarganya, lalu bagaimana lagi jika beliau hendak bertamu/mengunjungi orang lain (shahabatnya)? Tentunya kita semua diperintahkan untuk meneladani beliau .

4. Meminta Izin Kepada Tuan Rumah

Hal ini merupakan pengamalan dari perintah Allah di dalam firman-Nya (artinya):

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu agar kamu selalu ingat.” (An Nur: 27)


Di dalam ayat tersebut, Allah memberikan bimbingan kepada kaum mukminin untuk tidak memasuki rumah orang lain tanpa seizin penghuninya. Di antara hikmah yang terkandung di dalamnya adalah:

 Untuk menjaga pandangan mata 

Rasulullah bersabda:

إِنَّمَاجُعِلَ اْلاسْتِئْذَانُ مِنْ أَجْلِ الْبَصَرِ

“Meminta izin itu dijadikan suatu kewajiban karena untuk menjaga pandangan mata.” (Muttafaqun ‘Alaihi)

Rumah itu seperti penutup aurat bagi segala sesuatu yang ada di dalamnya sebagaimana pakaian itu sebagai penutup aurat bagi tubuh. Jika seorang tamu meminta izin kepada penghuni rumah terlebih dahulu, maka ada kesempatan bagi penghuni rumah untuk mempersiapkan kondisi di dalam rumahnya tersebut. Sehingga tidaklah dibenarkan ia melihat ke dalam rumah melalui suatu celah atau jendela untuk mengetahui ada atau tidaknya tuan rumah sebelum dipersilahkan masuk.

Di antara mudharat yang timbul jika seseorang tidak minta izin kepada penghuni rumah adalah bahwa hal itu akan menimbulkan kecurigaan dari tuan rumah, bahkan bisa-bisa dia dituduh sebagai pencuri, perampok, atau yang semisalnya, karena masuk rumah orang lain secara diam-diam merupakan tanda kejelekan. Oleh karena itulah Allah melarang kaum mukminin untuk memasuki rumah orang lain tanpa seizin penghuninya. (Taisirul Karimir Rahman, Asy Syaikh Abdurrahman As Sa’di)


 Bagaimana Tata Cara Meminta Izin? 

Para pembaca, dalam masalah meminta izin Rasulullah telah memberikan sekian petunjuk dan bimbingan kepada umatnya, di antaranya adalah:

a. Mengucapkan salam

Diperintahkan untuk mengucapkan salam terlebih dahulu, sebagaimana ayat di atas (An Nur: 27).

Pernah salah seorang shahabat beliau dari Bani ‘Amir meminta izin kepada Rasulullah yang ketika itu beliau sedang berada di rumahnya. Orang tersebut mengatakan: “Bolehkah saya masuk?” Maka Rasulullah pun memerintahkan pembantunya dengan sabdanya:

اخْرُجْ إِلَى هَذَا فَعَلِّمْهُ الاسْتِئْذَانَ ، فَقُلْ لَهُ: السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَأَدْخُلُ ؟

“Keluarlah, ajari orang ini tata cara meminta izin, katakan kepadanya: Assalamu ‘alaikum, bolehklah saya masuk?

Sabda Rasulullah tersebut didengar oleh orang tadi, maka dia mengatakan:

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَأَدْخُلُ؟


Akhirnya Nabi pun mempersilahkannya untuk masuk rumah beliau. (HR. Abu Dawud)

Lihatlah wahai pembaca, perkataan “Bolehkah saya masuk” atau yang semisalnya saja belum cukup. Bahkan Nabi memerintahkan untuk mengucapkan salam terlebih dulu.

Bahkan mengucapkan salam ketika bertamu juga merupakan adab yang pernah dicontohkan oleh para malaikat (yang menjelma sebagai tamu) yang datang kepada Nabi Ibrahim u sebagaimana yang disebutkan oleh Allah di dalam firman-Nya (artinya):

“Ketika mereka masuk ke tempatnya lalu mengucapkan salam.” (Adz Dzariyat: 25)

b. Meminta izin sebanyak tiga kali

Rasulullah bersabda:

الاسْتِئْذَانُ ثَلاَثٌ، فَإِنْ أُذِنَ لَكَ وَإِلاَّ فَارْجِعْ

“Meminta izin itu tiga kali, apabila diizinkan, maka masuklah, jika tidak, maka kembalilah.” (Muttafaqun ‘Alaihi)

Hadits tersebut memberikan bimbingan kepada kita bahwa batasan akhir meminta izin itu tiga kali. Jika penghuni rumah mempersilahkan masuk maka masuklah, jika tidak maka kembalilah. Dan itu bukan merupakan suatu aib bagi penghuni rumah tersebut atau celaan bagi orang yang hendak bertamu, jika alasan penolakan itu dibenarkan oleh syari’at. Bahkan hal itu merupakan penerapan dari firman Allah (artinya):


“Jika kamu tidak menemui seorang pun di dalamnya, maka janganlah kamu masuk sebelum kamu mendapat izin. Dan jika dikatakan kepadamu: “Kembalilah, maka hendaklah kamu kembali. Itu lebih bersih bagimu dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (An Nur: 28)

5. Mengenalkan Identitas Diri

Ketika Rasulullah menceritakan tentang kisah Isra’ Mi’raj, beliau bersabda:

“Kemudian Jibril naik ke langit dunia dan meminta izin untuk dibukakan pintu langit. Jibril ditanya: “Siapa anda?” Jibril menjawab: “Jibril.” Kemudian ditanya lagi: “Siapa yang bersama anda?” Jibril menjawab: “Muhammad.” Kemudian Jibril naik ke langit kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya di setiap pintu langit, Jibril ditanya: “Siapa anda?” Jibril menjawab: “Jibril.” (Muttafaqun ‘Alaihi)

Sehingga Al Imam An Nawawi rahimahullah dalam kitabnya yang terkenal Riyadhush Shalihin membuat bab khusus, “Bab bahwasanya termasuk sunnah jika seorang yang minta izin (bertamu) ditanya namanya: “Siapa anda?” maka harus dijawab dengan nama atau kunyah (panggilan dengan abu fulan/ ummu fulan) yang sudah dikenal, dan makruh jika hanya menjawab: “Saya” atau yang semisalnya.”

Ummu Hani’, salah seorang shahabiyah Rasulullah mengatakan:”Aku mendatangi Nabi ketika beliau sedang mandi dan Fathimah menutupi beliau. Beliau bersabda: “Siapa ini?” Aku katakan: “Saya Ummu Hani’.” (Muttafaqun ‘Alaihi)

Demikianlah bimbingan Nabi yang langsung dipraktekkan oleh para shahabatnya, bahkan beliau pernah marah kepada salah seorang shahabatnya ketika kurang memperhatikan adab dan tata cara yang telah beliau bimbingkan ini. Sebagaimana dikatakan oleh Jabir :


”Aku mendatangi Nabi , kemudian aku mengetuk pintunya, beliau bersabda: “Siapa ini?” Aku menjawab: “Saya.” Maka beliau pun bersabda: “Saya, saya..!!.” Seolah-olah beliau tidak menyukainya.” (Muttafaqun ‘Alaihi)

6. Menyebutkan Keperluannya

Di antara adab seorang tamu adalah menyebutkan urusan atau keperluan dia kepada tuan rumah. Supaya tuan rumah lebih perhatian dan menyiapkan diri ke arah tujuan kujungan tersebut, serta dapat mempertimbangkan dengan waktu/ keperluannya sendiri. Hal ini sebagaimana Allah mengisahkan para malaikat yang bertamu kepada Ibrahim u di dalam Al Qur’an (artinya):

“Ibrahim bertanya: Apakah urusanmu wahai para utusan?” Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami diutus kepada kaum yang berdosa.” (Adz Dzariyat: 32)

7. Segera Kembali Setelah selesai Urusannya

Termasuk pula adab dalam bertamu adalah segera kembali bila keperluannya telah selesai, supaya tidak mengganggu tua rumah. Sebagaimana penerapan dari kandungan firman Allah :

“…tetapi jika kalian diundang maka masuklah, dan bila telah selesai makan kembalilah tanpa memperbanyak percakapan,…” (Al Ahzab: 53)

8. Mendo’akan Tuan Rumah

Hendaknya seorang tamu mendoakan atas jamuan yang diberikan oleh tuan rumah, lebih baik lagi berdo’a sesuai dengan do’a yang telah dituntunkan Nabi , yaitu:


اللَّهُمَّ بَارِكْ لَهُمْ فِيْ مَا رَزَقْتَهُمْ وَ اغْفِرْ لَهُمْ وَ ارْحَمْهُمْ

“Ya Allah…, berikanlah barakah untuk mereka pada apa yang telah Engkau berikan rizki kepada mereka, ampunilah mereka, dan rahmatilah mereka.” (HR. Muslim)

Demikianlah tata cara bertamu, mudah-mudahan pembahasan ini menjadi bekal bagi kita (kaum muslimin) untuk lebih bersikap sesuai dengan bimbingan Nabi dalam bertamu.

Wallahu a’lam bis showab.

http://www.assalafy.org/mahad/?p=132

Kandungan Surat AnNaas

Para pembaca yang mulia, semoga Allah subhanahu wata’ala mencurahkan rahmat-Nya kepada kita semua.

Syaithan!!! siapa diantara kita yang tidak pernah mendengar kata ini. Sudah terlalu banyak orang yang terperosok dalam lembah kemaksiatan dan tenggelam dalam syhawat akibat ulahnya.
Penebar “racun” di seluruh sendi-sendi kehidupan manusia. Menyeret manusia menjadi penghuni An Naar. Penampakannya yang kasat mata semakin membuat leluasa gerakannya. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Sesungguhnya syaithan dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka.” (Al A’raaf: 27)
Syaithan adalah sumber dari segala kejelekan yang ada, perancang dari segala makar, peramu segala racun, menghembuskan was-was ke dalam hati-hati manusia, mengemas perbuatan jelek sebagai perbuatan yang baik. Sehingga kebanyakan manusia terpedaya dengan makar dan racunnya.

Namun kita tidak boleh gegabah dengan mengatakan ‘celaka kamu wahai syaithan’, justru syaithan semakin membesar seperti besarnya rumah. Tetapi bacalah basmalah (bismillah) niscaya syaithan semakin kecil seperti lalat. (HR. Abu Dawud no. 4330)

Bukankah Allah subhanahu wata’ala telah memberikan penawar bagi “racun” yang ditimbulkan oleh syaithan tersebut. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Dan Kami turunkan dari Al Qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman”. (Al Isra’: 82)
Dan tidaklah Allah subhanahu wata’ala menurunkan suatu penyakit kecuali Allah subhanahu wata’ala telah menyediakan penawarnya. Salah satu dari penawar tersebut adalah surat An Naas, salah satu surat yang terdapat di dalam Al Quran dan terletak di penghujung atau bagian akhir darinya serta termasuk surat-surat pendek yang ada di dalam Al Quran.

Pada kajian kali ini, kami akan mengajak pembaca untuk mengkaji tentang keutamaan surat An Naas dan apa yang terkandung di dalamnya.

 Keutamaan surat An Naas 

Surat ini termasuk golongan surat Makkiyah (turun sebelum hijrah) menurut pendapat para ulama di bidang tafsir, diantaranya Ibnu Katsir Asy Syafi’i dan Asy Syaikh Abdurrahman As Sa’dy.
Surat An Naas merupakan salah satu Al Mu’awwidzataini. Yaitu dua surat yang mengandung permohonan perlindungan, yang satunya adalah surat Al Falaq. Kedua surat ini memiliki kedudukan yang tinggi diantara surat-surat yang lainnya. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
أُنْزِلَ أَوْ أُنْزِلَتْ عَلَيَّ آيَاتٌ لَمْ يُرَ مِثْلُهُنَّ قَطُّ الْمُعَوِّذَتَيْنِ
“Telah diturunkan kepadaku ayat-ayat yang tidak semisal dengannya yaitu Al Mu’awwidataini (surat An Naas dan surat Al Falaq).” (H.R Muslim no. 814, At Tirmidzi no. 2827, An Naasa’i no. 944)
Setelah turunnya dua surat ini, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mencukupkan keduanya sebagai bacaan (wirid) untuk membentengi dari pandangan jelek jin maupun manusia. (HR. At Tirmidzi no. 1984, dari shahabat Abu Sa’id radhiallahu ‘anhu)

Namun bila disebut Al Mu’awwidzat, maka yang dimaksud adalah dua surat ini dan surat Al Ikhlash. Al Mu’awwidzat, salah satu bacaan wirid/dzikir yang disunnahkan untuk dibaca sehabis shalat. Shahabat ‘Uqbah bin ‘Amir membawakan hadits dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau shalallahu ‘alaihi wasallam berkata:
اقْرَأُوا الْمُعَوِّذَاتِ فِيْ دُبُرِ كُلِّ صَلاَةٍ
“Bacalah Al Mu’awwidzat pada setiap sehabis shalat.” (HR. Abu Dawud no. 1523, dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani dalam Ash Shahihah no. 1514)
Al Mu’awwidzat juga dijadikan wirid/dzikir di waktu pagi dan sore.
Barangsiapa yang membacanya sebanyak tiga kali diwaktu pagi dan sore, niscaya Allah subhanahu wata’ala akan mencukupinya dari segala sesuatu. (HR. Abu Dawud no. 4419, An Naasaa’i no. 5333, dan At Tirmidzi no. 3399)
Demikian pula disunnahkan membaca Al Mu’awwidztat sebelum tidur. Caranya, membaca ketiga surat ini lalu meniupkan pada kedua telapak tangannya, kemudian diusapkan ke kepala, wajah dan seterusnya ke seluruh anggota badan, sebanyak tiga kali. (HR. Al Bukhari 4630)

Al Muawwidzat juga bisa dijadikan bacaan ‘ruqyah’ (pengobatan ala islami dengan membaca ayat-ayat Al Qur’an). Dipenghujung kehidupan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, beliau dalam keadaan sakit. Beliau meruqyah dirinya dengan membaca Al Muawwidzat, ketika sakitnya semakin parah, maka Aisyah yang membacakan ruqyah dengan Al Muawwidzat tersebut. (HR. Al Bukhari no. 4085 dan Muslim no. 2195)

 Tafsir Surat An Naas 
قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ
“Katakanlah (Wahai Muhammad): “Aku berlindung kepada Rabb manusia.”
مَلِكِ النَّاسِ
“Raja manusia.”
إِلَهِ النَّاسِ
“Sembahan manusia.”
Sebuah tarbiyah ilahi, Allah memerintahkan kepada Nabi-Nya sekaligus Khalil-Nya untuk memohon perlindungan hanya kepada-Nya. Karena Dia adalah Rabb (yaitu sebagai pencipta, pengatur, dan pemberi rizki), Al Malik (pemilik dari segala sesuatu yang ada di alam ini), dan Al Ilah (satu-satunya Dzat yang berhak diibadahi). Dengan ketiga sifat Allah subhanahu wata’ala inilah, Allah subhanahu wata’ala memerintahkan Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam untuk memohon perlindungan hanya kepada-Nya, dari kejelekan was-was yang dihembuskan syaithan.

Sebuah pendidikan Rabbani, bahwa semua yang makhluk Allah subhanahu wata’ala adalah hamba yang lemah, butuh akan pertolongan-Nya subhanahu wata’ala. Termasuk Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam, beliau adalah manusia biasa yang butuh akan pertolongan-Nya. Sehingga beliau adalah hamba yang tidak boleh disembah, bukan tempat untuk meminta pertolongan dan perlindungan, dan bukan tempat bergantung.

Karena hal itu termasuk perbuatan ghuluw (ekstrim), memposisikan Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bukan pada tempat yang semestinya. Bahkan beliau shalallahu ‘alaihi wasallam melarang dari perbuatan seperti itu. Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam bersada:
لاَ تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ إِنَّمَا أَنَا عَبْدٌ ، فَقُوْلُوا عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ
“Janganlah kalian berbuat ghuluw kepadaku sebagaimana Nashara telah berbuat ghuluw kepada Ibnu Maryam. Aku ini hanyalah seorang hamba, maka katakanlah Abdullah (hamba Allah) dan Rasul-Nya”. (Muttafaqun ‘Alaihi)
Akan tetapi beliau shalallahu ‘alaihi wasallam adalah seorang nabi dan rasul yang wajib ditaati dan diteladani.
مِن شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ
“Dari kejahatan (bisikan) syaithan yang biasa bersembunyi.”
Makna Al was-was adalah bisikan yang betul-betul tersembunyi dan samar, adapun al khannas adalah mundur. Maka bagaimana maksud dari ayat ini?
Maksudnya, bahwasanya syaithan selalu menghembuskan bisikan-bisikan yang menyesatkan manusia disaat manusia lalai dari berdzikir kepada Allah subhanahu wata’ala. Sebagaimana firman-Nya (artinya):
“Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Rabb yang Maha Pemurah (Al Qur’an), Kami adakan baginya syaitan (yang menyesatkan). Maka syaitan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya.” (Az Zukhruf: 36)
Adapun ketika seorang hamba berdzikir kepada Allah subhanahu wata’ala, maka syaithan bersifat khannas yaitu ‘mundur’ dari perbuatan menyesatkan manusia. Sebagaimana dalam firman-Nya (artinya):
“Sesungguhnya syaitan itu tidak mempunyai kekuasaan atas orang-orang yang beriman dan bertawakkal kepada Rabb-nya.” (An Nahl: 99)
Jawaban ini dikuatkan oleh Al Imam Ibnu Katsir di dalam kitab tafsirnya ketika membawakan penafsiran dari Sa’id bin Jubair dan Ibnu ‘Abbas, yaitu: “Syaithan bercokol di dalam hati manusia, apabila dia lalai atau lupa maka syaithan menghembuskan was-was padanya, dan ketika dia mengingat Allah subhanahu wata’ala maka syaithan lari darinya.
الَّذِي يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ النَّاسِ
“Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia.”
Inilah misi syaithan yang selalu berupaya menghembuskan was-was kepada manusia. Menghiasi kebatilan sedemikian indah dan menarik. Mengemas kebenaran dengan kemasan yang buruk. Sehingga seakan-akan yang batil itu tampak benar dan yang benar itu tampak batil.
Cobalah perhatikan, bagaimana rayuan manis syaithan yang dihembuskan kepada Nabi Adam dan istrinya. Allah subhanahu wata’ala kisahkan dalam firman-Nya (artinya):
“Maka syaitan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup dari mereka yaitu auratnya, dan syaitan berkata: “Rabb-mu tidak melarangmu untuk mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang-orang yang kekal (dalam al jannah/surga)”. (Al A’raf: 20)
Demikian pula perhatikan, kisah ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sedang beri’tikaf. Shafiyyah bintu Huyay (salah seorang istri beliau shalallahu ‘alaihi wasallam) mengunjunginya di malam hari. Setelah berbincang beberapa saat, maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mengantarkannya pulang ke kediamannya. Namun perjalanan keduanya dilihat oleh dua orang Al Anshar. Kemudian syaithan menghembuskan ke dalam hati keduanya perasaan was-was (curiga). Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam melihat gelagat yang kurang baik dari keduanya. Oleh karena itu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam segera mengejarnya, seraya bersabda:
عَلَى رِسْلِكُمَا, إِنَّهَا صَفِيَّةُ بِنْتُ حُيَيّ فَقَالاَ: سُبْحَانَ الله يَارَسُولَ الله. فَقَالَ: إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِي مِنِ ابْنِ آدَمَ مَجْرَى الدََّم, وَإِنِّي خَشِيْتُ أَنْ يُقْذَفَ فِي قُلُوبِكُمَاشَيْئاً, أَوْشَرًّا.
“Tenanglah kalian berdua, dia adalah Shafiyyah bintu Huyay. Mereka berdua berkata: “Maha Suci Allah wahai Rasulullah. Maka Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya syaithan mengalir di tubuh bani Adam sesuai dengan aliran darah, dan aku khawatir dihembuskan kepada kalian sesuatu atau keburukan.” (H.R Muslim no. 2175)
Demikianlah watak syaithan selalu menghembuskan bisikan-bisikan jahat ke dalam hati manusia. Apalagi Allah subhanahu wata’ala dengan segala hikmah-Nya telah menciptakan ‘pendamping’ (dari kalangan jin) bagi setiap manusia, bahkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam juga ada pendampingnya. Sebagimana sabdanya shalallahu ‘alaihi wasallam:
مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ إِلاّ َقَدْ وُكِّلَ بِهِ قَرِيْنُهُ مِنَ الجِنِّ, قَالُوا: وَإِيَّاكَ يَارَسُولَ الله ؟ قَالَ: وَإِيَّايَ, إِلاَّ أَنَّ الله أَعَانَنِي عَلَيْهِ فَأَسْلَمَ, فَلاَ يَأْمُرُنِي إِلاَّبِخَيْرٍ.
“Tidaklah salah seorang dari kalian kecuali diberikan seorang pendamping dari kalangan jin, maka para shahabat berkata: Apakah termasuk engkau wahai Rasulullah? Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab: Ya, hanya saja Allah telah menolongku darinya, karena ia telah masuk Islam, maka dia tidaklah memerintahkan kepadaku kecuali kebaikan”. (HR. Muslim no. 2814)
مِنَ الْجِنَّةِ وَ النَّاسِ
“Dari (golongan) jin dan manusia.”
Dari ayat ini tampak jelas bahwa yang melakukan bisikan ke dalam dada manusia tidak hanya dari golongan jin, bahkan manusia pun bisa berperan sebagai syaithan. Hal ini juga dipertegas dalam ayat lain (artinya):
“Dan Demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia)” (Al An’am: 112)
Maka salah satu jalan keluar dari bisikan dan godaan syaithan baik dari kalangan jin dan manusia adalah sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala (artinya): “Dan jika syaithan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah.” (Fushshilat: 36)
 Penutup 

Maka sudah sepantasnya bagi kita selalu memohon pertolongan dan perlindungan hanya kepada Allah subhanahu wata’ala semata. Mengakui bahwa sesungguhnya seluruh makhluk berada di bawah pengaturan dan kekuasaan-Nya subhanahu wata’ala. Semua kejadian ini terjadi atas kehendak-Nya subhanahu wata’ala. Dan tiada yang bisa memberikan pertolongan dan menolak mudharat kecuali atas kehendak-Nya subhanahu wata’ala pula.

Semoga Allah subhanahu wata’ala menjadikan kita sebagai hamba-hamba-Nya yang senantiasa meminta pertolongan, perlindungan dan mengikhlaskan seluruh peribadahan hanya kepada-Nya.

http://www.darussalaf.or.id/stories.php?id=811

Tuesday, August 25, 2009

Adab Membaca Al-Qur'an

Al Qur’anul Karim adalah firman Alloh yang tidak mengandung kebatilan sedikitpun. Al Qur’an memberi petunjuk jalan yang lurus dan memberi bimbingan kepada umat manusia di dalam menempuh perjalanan hidupnya, agar selamat di dunia dan di akhirat, dan dimasukkan dalam golongan orang-orang yang mendapatkan rahmat dari Alloh Ta’ala. Untuk itulah tiada ilmu yang lebih utama dipelajari oleh seorang muslim melebihi keutamaan mempelajari Al-Qur’an. Sebagaimana sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam,
“Sebaik-baik kamu adalah orang yg mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari)
Ketika membaca Al-Qur’an, maka seorang muslim perlu memperhatikan adab-adab berikut ini untuk mendapatkan kesempurnaan pahala dalam membaca Al-Qur’an:

1. Membaca dalam keadaan suci, dengan duduk yang sopan dan tenang.

Dalam membaca Al-Qur’an seseorang dianjurkan dalam keadaan suci. Namun, diperbolehkan apabila dia membaca dalam keadaan terkena najis. Imam Haromain berkata,
“Orang yang membaca Al-Qur’an dalam keadaan najis, dia tidak dikatakan mengerjakan hal yang makruh, akan tetapi dia meninggalkan sesuatu yang utama.” (At-Tibyan, hal. 58-59)
2. Membacanya dengan pelan (tartil) dan tidak cepat, agar dapat menghayati ayat yang dibaca.

Rosululloh bersabda,
“Siapa saja yang membaca Al-Qur’an (khatam) kurang dari tiga hari, berarti dia tidak memahami.” (HR. Ahmad dan para penyusun kitab-kitab Sunan)
Sebagian sahabat membenci pengkhataman Al-Qur’an sehari semalam, dengan dasar hadits di atas. Rosululloh telah memerintahkan Abdullah Ibnu Umar untuk mengkhatam kan Al-Qur’an setiap satu minggu (7 hari) (HR. Bukhori, Muslim). Sebagaimana yang dilakukan Abdullah bin Mas’ud, Utsman bin Affan, Zaid bin Tsabit, mereka mengkhatamkan Al-Qur’an sekali dalam seminggu.

3. Membaca Al-Qur’an dengan khusyu’, dengan menangis, karena sentuhan pengaruh ayat yang dibaca bisa menyentuh jiwa dan perasaan.

Alloh Ta’ala menjelaskan sebagian dari sifat-sifat hamba-Nya yang shalih,
“Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu’.” (QS. Al-Isra’: 109).
Namun demikian tidaklah disyariatkan bagi seseorang untuk pura-pura menangis dengan tangisan yang dibuat-buat.

4. Membaguskan suara ketika membacanya.

Sebagaimana sabda Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam,
“Hiasilah Al-Qur’an dengan suaramu.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan Al-Hakim).
Di dalam hadits lain dijelaskan,
“Tidak termasuk umatku orang yang tidak melagukan Al-Qur’an.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Maksud hadits ini adalah membaca Al-Qur’an dengan susunan bacaan yang jelas dan terang makhroj hurufnya, panjang pendeknya bacaan, tidak sampai keluar dari ketentuan kaidah tajwid. Dan seseorang tidak perlu melenggok-lenggokkan suara di luar kemampuannya.

5. Membaca Al-Qur’an dimulai dengan isti’adzah.

Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya,
“Dan bila kamu akan membaca Al-Qur’an, maka mintalah perlindungan kepada Alloh dari (godaan-godaan) syaithan yang terkutuk.” (QS. An-Nahl: 98)
Membaca Al-Qur’an dengan tidak mengganggu orang yang sedang shalat, dan tidak perlu membacanya dengan suara yang terlalu keras atau di tempat yang banyak orang. Bacalah dengan suara yang lirih secara khusyu’.

Rosululloh shollallohu ‘alaihiwasallam bersabda,
“Ingatlah bahwasanya setiap dari kalian bermunajat kepada Rabbnya, maka janganlah salah satu dari kamu mengganggu yang lain, dan salah satu dari kamu tidak boleh bersuara lebih keras daripada yang lain pada saat membaca (Al-Qur’an).” (HR. Abu Dawud, Nasa’i, Baihaqi dan Hakim).
Wallohu a’lam.

***
Penulis: Abu Hudzaifah Yusuf
Artikel www.muslim.or.id

Monday, August 24, 2009

Meningkatkan Rasa Percaya Diri pada Anak

Oleh: Ummu Fatimatuzzahra

Adalah sebuah kebahagiaan bagi kita manakala melihat anak-anak kita tumbuh dan berkembang dengan baik, berakhlak karimah, bisa bersosialisasi dengan lingkungan, lebih-lebih bisa meraih prestasi yang membanggakan. Memang, ini bukan pekerjaan mudah. Namun, dengan kesungguhan, kesabaran, ketelatenan, terus mencari ilmunya, serta senantiasa berdo’a kepada Allah, insya Allah akan diberi petunjuk oleh-Nya.
Berikut ini cara mendidik dan menumbuhkan rasa PD pada anak, semoga bisa menjadi masukan yang bermanfaat bagi para pembaca:

1. Menanamkan nilai-nilai aqidah pada anak sehingga mereka mengerti bahwa:

  • Allah adalah Rabb-nya.
  • Allah adalah satu-satunya Dzat yang berhak disembah.
  • Allah adalah Dzat yang menciptakan segala sesuatu.
  • Allah Maha Mengetahui apa pun yang kita lakukan.
  • Allah adalah Dzat yang memerintah dan melarang.
  • Allah adalah Dzat yang memberi rezeki semua makhluk-Nya.

2. Menanamkan nilai-nilai akhlak/perilaku terpuji dengan:

  • Meneladani Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, para sahabatnya, dan orang-orang sholih melalui cerita atau buku-buku bacaan.
  • Menceritakan kisah orang-orang “besar/sukses” dengan kita pahamkan sisi positif dan negatifnya.
  • Menanamkan nilai kejujuran dalam keseharian anak.
  • Memberi pemahaman tentang barang milik sendiri dan milik orang lain.

3. Memberikan rasa aman dan nyaman pada anak dengan:

  • Tidak sering memarahi anak, apalagi di depan orang lain atau temannya. Dengan dialog yang baik, kita akan mengetahui apa yang diinginkan anak sehingga bisa mengarahkannya.
  • Tidak menceritakan aibnya kepada teman-teman kita atau temannya.
  • Tidak menakut-nakutinya.
  • Ketika melarang anak berbuat sesuat, kita jelaskan padanya manfaat dan bahayanya untuk keselamatan dirinya, dan pertimbangan syari’at tentunya.
  • Jangan gunakan kata-kata ”nakal” atau ”bodoh” atau menggarisbawahi kesalahan-kesalahannya. Kata-kata itu bisa diganti dengan “pintarnya sedikit, seperti itu tidak baik, kamu harus berusaha, kamu harus bisa, tidak ada anak yang tidak bisa kalau mau belajar, hal itu untuk kebaikanmu sendiri”, dan lain-lain. Banyak anak yang bermasalah, tidak PD, minder, atau takut orang tua karena tidak memperhatikan hal-hal tersebut di atas.
  • Berikan pujian atau hadiah saat anak berbuat kebaikan atau berprestasi.
  • Ungkapkan kasih sayang dengan membelai, memeluk, atau menciumnya. Juga ucapkan kata ”sayang” padanya dengan lisan, bukan hanya diungkapkan dalam hati semata.

 4. Memberi kesempatan anak untuk bersosialisasi dengan cara:

  • Memilihkan teman yang baik akhlaknya untuk anak kita, lalu membiarkannya bermain dengan mereka selagi permainannya tidak berbahaya.
  • Terkadang, ajaklah anak pada acara berkumpulnya orang dewasa.
  • Jika anak akan pergi ke rumah saudara atau temannya, berilah pesan agar:
    - Selalu berbuat baik selama berada di rumah saudara atau temannya.
    - Tidak meminta sesuatu kecuali jika diberi.
    - Jika terpaksa ingin sesuatu, maka harus izin dulu karena itu bukan punya kita.
  • Bila memungkinkan, beri kesempatan anak untuk menguji kemampuannya dengan membuat halaqoh di rumah bersama keluarga, misalnya. Hal ini untuk mengekspresikan kemampuannya, seperti hafalan do’a harian, hadits, surat pendek, asma’ul husna, dan sebagainya.
  • Bimbingan dan pujian anggota keluarga sangat berarti dan berkesan buat dirinya dana akan menumbuhkan rasa percaya dirinya. Namun demikian, agar anak tidak merasa sombong, kita harus pahamkan bahwa kemampuan dan prestasinya adalah karunia dari Alloh setelah dia berusaha.

Begitulah, mendidik dan belajar adalah sebuah proses dan butuh waktu yang panjang, tak akan berakhir hingga maut menjemput.

Dikutip dari Majalah al-Mawaddah Vol. 21 : Edisi Ke-11 Tahun Ke-2 : Jumadats Tsaniyah 1430 H : Juni 2009

Bersedekah untuk Orangtua yang Sudah Meninggal

Fatwa Syaikh Ibnu Utsaimin Rohimahulloh

Bismillaahirrohmaanirrohiim …

PERTANYAAN:

Bolehkah saya bersedekah dari harta saya dengan meniatkan untuk ibu saya yang sudah meninggal? Dan apakah pahalanya sampai kepadanya?

JAWAB:

Ya, boleh bagi seseorang bersedekah untuk kedua orang tuanya yang sudah meninggal, dan pahalanya sampai kepada orang yang disedekahkan. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dalam Shohih Bukhori, bahwa ada seseorang datang kepada Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dan berkata:

“Sesungguhnya ibu saya telah meninggal. Saya mengira, seandainya dia hidup maka ia akan bersedekah. Bolehkah saya bersedekah untuknya?” Beliau menjawab: “Boleh.” (HR. Bukhori: 1388)

Akan tetapi, harus diketahui bahwa yang lebih utama bagi seseorang adalah mendo’akan kedua orang tuanya, dan menjadikannya pahala amalan-amalan sholihnya untuk dirinya sendiri, sebab itulah yang ma’ruf (dikenal) di kalangan salafush sholih. Bahkan hal ini bersesuaian dengan sabda Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam:

“Apabila seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya, kecuali tiga perkara: shodaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak yang sholih yang mendo’akannya.” (HR. Bukhori: 1388)

Kitab Da’wah, Ibnu Utsaimin, 2/151. Lihat Fatawa Ulama Baladil Haromain hlm. 1638 [Dikutip dari Majalah al-Mawaddah, Edisi 6 Tahun ke-1 : Dzulhijjah 1428 H - Muharrom 1429 H : Januari 2008]