Monday, October 13, 2008

Ilmu itu Seperti Hujan

Disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim hadits dari Abu Musa Al-Asy’ari Radhiyallahu Anhu yang berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa SalIam bersabda,
“Sesungguhnya perumpamaan petunjuk dan ilmu yang diutus Allah kepadaku seperti hujan yang membasahi bumi. Ada bumi yang subur yang menerima air kemudian menumbuhkan rumput yang banyak. Ada bumi yang keras yang menahan air kemudian dengannya Allah memberi manfaat kepada manusia. Mereka meminum dari air ter-sebut, memberi minum hewan ternaknya, dan bercocok tanam. Hujan juga membasahi bumi yang lain, yaitu lembah yang tidak mampu menahan air dan menumbuhkan rumput. Demikianlah perumpamaan orang yang memahami agama Allah kemudian mendapat manfaat dari apa yang aku diutus dengannya. la belajar dan mengajar. Dan itulah perumpamaan orang yang tidak bisa diangkat kedudukannya oleh petunjuk Allah, dan tidak menerima petunjuk Allah yang aku diutus dengannya.” (Diriwayatkan Al-Bukhari, dan Muslim).
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengumpamakan ilmu dan petunjuk yang beliau bawa seperti hujan, karena masing-masing dari ketiganya (ilmu, petunjuk, dan hujan) mendatangkan kehidupan, makanan, obat-obatan, dan seluruh kebutuhan manusia yang lain. Semua itu bisa didapatkan dengan ilmu dan hujan.

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengumpamakan hati manusia seperti tanah yang mendapatkan siraman air hujan, karena tanah adalah tempat yang menahan air hujan kemudian menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang bermanfaat, sebagaimana hati yang memahami ilmu, maka ilmu tersebut berbuah di dalamnya, berkembang, terlihat ke-berkahannya dan buahnya.

Kemudian Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengelompokkan manusia ke dalam tiga kelompok sesuai dengan penerimaan mereka, dan kesiapan mereka menghapal ilmu, memahami makna-maknanya, mengeluarkan hukum-hukumnya, hikmah-hikmahnya dan manfaat-manfaatnya;

Pertama, orang yang mampu menghapal ilmu dan memahaminya. Mereka memahami makna-maknanya, mengeluarkan hukum-hukumnya, hikmah-hikmahnya, dan manfaat-manfaatnya. Mereka seperti tanah yang menerima air kemudian menumbuhkan rumput yang banyak. Pemahamannya terhadap agama, dan istimbath hukum adalah seperti tumbuhnya rumput dengan air.

Kedua, orang yang mampu menghapal ilmu, menjaganya, menyebar-kannya, dan mengendalikannya, namun tidak mampu memahami makna-maknanya, mengeluarkan hukum-hukum, hikmah-hikmah, dan manfaat-manfaat dari ilmu tersebut. Mereka seperti orang yang mampu membaca Al-Qur’an, menghapalnya, memperhatikan makharijul huruf (tempat ke-luarnya huruf), dan harakat-nya, namun tidak dianugerahi pemahaman khusus oleh Allah, seperti dikatakan Ali Radhiyallahu Anhu, “Kecuali pemahaman yang diberikan Allah kepada hamba-Nya di dalam Kitab-Nya.”

Tingkat pemahaman manusia tentang Allah Ta’ala, dan Rasul-Nya itu tidak sama. Terkadang ada orang cuma mampu memahami satu atau dua hukum dari satu dalil, sedang orang lain mampu memahami seratus atau dua ratus hukum dari dalil yang sama.

Mereka seperti tanah yang mampu menahan (menyimpan) air untuk manusia kemudian mereka mendapatkan manfaat darinya. Ada yang minum daripadanya, memberi minum hewan ternaknya, dan bercocok tanam dengannya.

Kedua kelompok di atas adalah kelompok orang-orang yang berbahagia. Kelompok pertama adalah kelompok yang paling tinggi derajatnya dan kebesarannya dari seluruh kelompok-kelompok manusia yang ada. Allah Ta ‘ala berfirman,
“Itulah karunia Allah yang diberikannya kepada siapa yang di-kehendaki-Nya, dan Allah mempunyai karunia yang sangat besar.” (Al-Jumu’ah: A).
Ketiga, orang-orang yang tidak mendapatkan sedikit pun ilmu; baik hapalan, atau pemahaman, atau periwayatan. Mereka seperti tanah lembah yang tidak bisa menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dan menahan (menyim¬pan) air. Mereka adalah kelompok orang-orang celaka.

Kelompok pertama dan kelompok kedua mempunyai ilmu dan mengajarkannya sesuai dengan ilmu yang diterimanya dan sampai padanya. Kelompok kedua mengajarkan kata-kata Al-Qur’an dan menghapalnya, sedang kelompok pertama mengajarkan makna-makna Al-Qur’an, hukum-hukumnya, dan ilmu-ilmunya.

Sedang kelompok ketiga, mereka tidak mempunyai ilmu apalagi mengajarkannya. Mereka tidak bisa “diangkat” dengan petunjuk Allah, dan tidak menerimanya.



Hadits mulia di atas memuat kemuliaan ilmu, pengajarannya, posisinya, dan kecelakaan orang yang tidak mempunyai ilmu.

Hadits di atas juga mengklasifikasi manusia menurut barometer ilmu ke dalam dua kelompok; kelompok orang-orang celaka dan kelompok orang-orang bahagia, dan mengklasifikasi kelompok orang-orang bahagia ke dalam dua kelompok; kelompok pemenang yang didekatkan kepada Allah dan kelompok kanan yang pertengahan.

lni menjadi bukti, bahwa kebutuhan manusia kepada ilmu itu seperti kebutuhan mereka kepada hujan, bahkan lebih besar lagi. Jika mereka tidak memiliki ilmu, mereka tak ubahnya seperti tanah yang tidak mendapatkan hujan.

Imam Ahmad berkata, “Kebutuhan manusia kepada ilmu itu lebih besar daripada kebutuhan mereka kepada makanan dan minuman, karena makanan dan minuman hanya dibutuhkan sekali atau dua kali dalam satu hari, sedang ilmu itu dibutuhkan sebanyak jumlah nafas.”

Allah Ta’ala berfirman,
“Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih yang mengembang. Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang batil. ” (Ar-Ra’du: 17).
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengumpamakan ilmu yang Dia turunkan kepada Rasul-Nya seperti air yang Dia turunkan dari langit, karena masing-masing dari ilmu dan air hujan mendatangkan kehidupan dan kemaslahatan bagi manusia di dunia dan akhirat mereka.

Allah Ta’ala juga mengumpamakan hati manusia lembah. Hati yang besar yang mampu menampung ilmu yang banyak adalah seperti lembah besar yang mampu menampung air yang banyak, dan hati yang kecil yang hanya mampu menampung ilmu yang sedikit adalah seperti lembah kecil yang hanya mampu menampung air yang sedikit. Allah Ta’ala berfirman, “Maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih yang mengembang. ” Itulah perumpamaan yang dibuat Allah Ta’ala tentang ilmu, bahwa jika ilmu telah bercampur dengan hati, maka ilmu mengeluarkan buih syubhat yang batil dari dalam hati kemudian buih syubhat mengapung di permukaan hati, sebagaimana arus di lembah mengeluarkan buih yang mengapung di atas permukaan air.

Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan, bahwa buih itu mengapung, berada di atas permukaan air, dan tidak menempel kuat di tanah lembah. Demikian juga syubhat-syubhat yang batil, jika ia telah diusir oleh ilmu dari dalam hati, ia pun mengapung di permukaan hati, tidak menetap di dalamnya, bahkan kemudian pada tahap berikutnya terbuang, dan yang menetap di dalam hati ialah apa yang bermanfaat bagi pemiliknya dan manusia secara umum, yaitu petunjuk dan agama yang benar, sebagaimana yang menetap di dalam lembah ialah air murni, sedang buihnya musnah karena tidak ada harganya. Tidak ada yang memahami perumpamaan-perumpamaan Allah Ta’ala kecuali orang-orang berilmu.

Allah Ta ‘ala membuat perumpamaan yang lain dengan berfirman, “Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu.” Maksudnya, bahwa jika manusia membakar benda-benda padat seperti emas, perak, tembaga, dan besi, maka benda-benda tersebut mengeluarkan kotoran dalam bentuk buih yang sebelumnya menyatu dengannya. Buih kotoran tersebut dibuang dan dikeluarkan, sedang yang tersisa adalah perhiasan asli saja.

Allah Subhanahu wa Ta’ala membuat perumpamaan berupa air, karena air memberi kehidupan, mendinginkan (menyegarkan), dan mengandung manfaat-manfaat yang banyak sekali. Allah Ta’ala juga membuat per¬umpamaan berupa api, karena api mengandung cahaya, dan membakar apa saja yang tidak bermanfaat. Jadi ayat-ayat Al-Qur’an itu menghidupkan hati sebagaimana tanah dihidupkan dengan air. Ayat-ayat Al-Qur’an juga membakar kotoran-kotoran hati, syubhat-syubhatnya, syahwat-syahwatnya, dan dendam kesumatnya sebagaimana api membakar apa saja yang di-masukkan ke dalamnya. Selain itu, ayat-ayat Al-Qur’an juga membedakan mana yang baik dari yang buruk sebagaimana api membedakan mana yang buruk dan mana yang baik yang ada pada emas, perak, tembaga, dan lain sebagainya.

Inilah sebagian ibrah dan ilmu yang ada dalam perumpamaan yang agung di atas. Allah Ta’ala berfirman,
“Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.” (Al-Ankabut: 43).
___________
Dinukil dari “Buah Ilmu” (kumpulan keutamaan ilmu yang diringkas dari kitab Ibnu Qayyim “Miftah Daar As-Sa’adah” oleh Abu Al-Harits Al-Halbi Al-Atsari), Penerbit, Pustaka Azzam.

Monday, October 6, 2008

Cerita Kehidupan

Ketika seseorang sudah mulai beranjak dewasa, ketika akalnya mulai sempurna, mulailah ia berpikir tentang hakikat kehidupan, yaitu kehidupan yang sedang ia jalani sebagaimana yang dijalani juga oleh yang lainnya. Bumi ini telah penuh sesak dengan manusia, semuanya silih bergani, ada yang datang dan ada yang pergi, ada yang lahir dan ada yang mati.

Jika hari ini berkuasa seorang raja, besok akan berkuasa lagi raja lainnya. Sekiranya hari ini ada pengangkatan seorang mentri atau seorang jendreral, dahulunya kita juga mendengar bahwa di negeri anu telah diangkat pula seorang menteri atau panglima. Yang tetap itu hanya peran manusia dalam kehidupan ini, sedangkan yang silih berganti adalah para pelaku yang memeraninya.

Peran kehidupan itu ada yang baik dan ada yang buruk, hanya saja manusia disuruh untuk memilih peran bai, bukan peran buruk.
“Itu adalah umat yang telah lalu, baginya apa yang diusahakannya dan bagimu apa yang kamu usahakan, dan kamu tidak akan diminta pertanggung-jawaban tentang apa yang telah mereka jerjakan.” QS. Al-Baqarah : 141.
Nabi Musa ‘alayhisSalam, orang-orang disibukkan dengan kekuasaan Fir’aun, bahan cerita orang terfokus pada kekayaan Qarun dan decak kagum orang hanya pada arsitektur bangunan yang dirancang oleh Haman. Akan tetapi, mana cerita kehidupan itu sekarang ini? Semuanya sirna dan punah, yang kita temukan hanya ceritapada lembaran kitab-kitab suci. Dan apa yang tersisa dari sejarah kepongahan tersebut? Yang tersisa hanya bekas-bekasnya saja.

Dari sepanjang perjalanan hidup manusia yang beragam ini, baik pada masa kekuasaan orang-orang shalih, maupun cengkaraman orang-orang thalih, Allah Subhanahu waTa’ala tetap menjaga alam ini, memelihara bumi dan dunia sekitarnya, dalam keseimbangan yang berkesinambungan, dalam keindahan yang menakjubka dan ciptaan yang berjenis dan berpasang-pasangan. Adanya siang dan malam, laki-laki dan perempuan, langit dan bumi, semuanya itu pertanda adanya Pencipta.

Salah seorang Badui Jahiliyyah berkata, “Lautan yang berombak dan langit yang berbintang serta bumi yang berlembah, bukanlah semu itu menunjukkan adanya Sang Pencipta?”
Begitu besar penciptaan langit dan bumi beserta isinya, memberi pengertian kepada kita bahwa Allah Subhanahu waTa’ala menciptakannya bukan sekedar bermain-main.

Allah Subhanahu waTa’ala berfirman:
“Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kam secara main-main (saja) dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” QS. Al-Mu’minun : 115.
“Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan beitu saja (tanpa pertanggunjawaban)?” QS. Al-Qiyamah : 36.
“Dan tiadalah kehidupan dunia ini melankan senda gurau dan main-main. Sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui.” QS. Al-Ankabut : 64.
Sekiranya kehidupan yang penuh kesinambungan ini tidak diciptakan untuk bersenda-gurau, lalu untuk apa Allah Subhanahu waTa’ala ciptakan? Apa tugas manusia? Apakah mereka hanya sekedar makan, minum, menikah dan memiliki keluarga dan mempererat suku saja? Atau ia hidup dalam tidak bertujuan sebagaimana ia mati tidak bertujuan? Tanah terakhir yang diletakkan oleh orang pada kuburannya, itu pula akhir dari cerita kehidupannya?

Bagaimana yang kaya dengan kezhalimannya, bagaimana yang berkuasa dengan kediktatorannya? Apakah mereka dibiarkan begitu saja? Bagaimana pula si Miskin dengan kefakirannya atau rakyat jelata dengan penderitaan mereka? Kapan mereka dapat kebahagiaan pula? Bagaimana pula dengan para nabi dan rasul, para ulama dan ahli ibadah terusir dan belum memperoleh kebahagiaan?

Sekiranya dunia ini diciptakan dengan keadilan Sang Pencipta, tentu balasan baik atau buruk dengan keadilan-Nya juga? Sekiranya dunia ini mampu Dia ciptakan dari asal yang tidak ada, berarti Dia pula mampu untuk membalas kebaikan dengan kebaikan dan keburukan dengan keburukan.

Allah Subhanahu waTa’ala berfirman:
Dan setia mereka semuanya akan dikumpulkan lagi kepada Kami. Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah bumi yang mati. Kami hidupkan bumi itu dan Kami keluarkan dari padanya biji-bijian, maka daripadanya mereka makan. Dan kami jadikan padanya kebun0kebun kurma dan anggur dan kami pancarkan padanya beberapa mata air. Supaya mereka dapat makan dari buahnya dan dari apa yang diusahakan oleh tangan mereka. Maka mengapakah mereka tidak bersyukur? Maha Suci Rabb yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui. Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah malam; kami tanggalkan siang dan malam itu, maka dengan serta merta mereka berada dalam kegelapan. Dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetepan yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. Dan telah kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua. Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mengetahui siang, dan masing-masing beredar pada garis edarnya.” QS. Yasin : 32-40.
Dan Allah Subhanahu waTa’ala berfirman,
“Dan ia membuat perumpamaan bagi kami; dan dia lupa kepada kejadiannya, ia berkata: ‘Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang, yang telah hancur luluh?’ Katakanlah: ‘Ia akan dihidupkan oleh Rabb yang menciptakannnya kali yang pertama. dan Dia Maha Mengetahui tentang segala makhluq. Yaitu Rabb yang menjadikan untukmu api dari kayu yang hijau, maka tiba-tiba kamu nyalakan (api) dari kayu itu.’ Dan tidaklah Rabb yang menciotakan langit dan bumi itu berkuasa menciptakan yang serupa dengan itu? benar, Dia berkuasa. Dan Dialah Maha pencipta lagi Maha Mengetahui.” QS. Yaasin : 78-81.
Diketik ulang dari buku Untukmu Yang Berjiwa Hanif karya Ust.Armen Halim Naro rahimahullaahu ta’ala bab Hakikat Kehidupan pp.9-17, Pustaka Darul ‘Ilmiy - Bogor.