Monday, July 30, 2007

Agar Sendalmu tak Jadi Raib

Semua pasti dah sepakat kalau kita ke mesjid itu untuk shalat, tul kan? Buat ngedapatin pahala shalat jamaah yang dijanjikan Allah setinggi 27 derajat. Buat tempat silaturrahmi sesama kaum muslimin. Buat nuntut ilmu syar’i, de el el. Namun itu bagi mayoritas kaum muslimin.

Lho kok? Iya, soalnya ada juga beberapa saudara kita yang datang ke mesjid karena motivasi sandal or sepatu or barang milik jamaah lainnya. Jadi ke mesjid niatnya bukan hanya shalat jamaah doang tapi karena ada sandal jamaah. Wah.. ck…ck…ck….

Akhirnya saudara-saudara kita yang bermaksud menginginkan shalat jamaah ketika keluar dari shalat jamaah harus rela kehilangan sendal or sepatunya, kan kasihan! Nah buat sahabat (terutama yang ikhwan) yang sering atau biasa sholat di mesjid (terutama mesjid besar), nih ada beberapa tips yang mungkin bisa bermanfaat bagi antum sekalian.

Thayyib, kita mulai dari tahap pencegahan aja dulu.

1. Pakailah sendal atawa sepatu yang sederhana, ngga usah ngejar gengsi atawa gaul kalau hanya soal sepatu atawa sandal. Yang paling penting kan sbg pelindung kaki ketika keluar rumah. Bukankah sendal atawa sepatu seperti itu yang menjadi incaran para penilep ? Lagian Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kepada kita untuk bersikap sederhana. Namun ada juga lho pencuri yang nggak kenal merek. Pokoknya mahal atau murah tetap diembat, yang penting cocok selera dia. Intinya waspada juga perlu dong!

2. Kalau memang antum khawatir sendal antum hilang, cobalah untuk menitipkan atau menaruh sendal antum di rak sepatu yang telah ditentukan (biasanya di mesjid-mesjid besar), dan pastikan kalau disitu ada penjaganya. Kan percuma kalau sendal or sepatu kita taruh di rak sendal tapi nggak ada penjaganya tetep aja jadi incaran para maling. Kecuali kalo antum emang cuek dengan sendalmu.

3. Jika rak sepatu di masjid itu memang tidak ada atau antum tidak mau sendalnya dijaga karena jasa penitipan tersebut dibayar, cobalah untuk meletakkannya di tempat yang kira-kira sulit dijangkau oleh orang lain. Seperti di pot tanaman mesjid, di semak-semak, atau di mana saja yang kira-kira aman menurut antum. Atau kalau mau siapkan aja kantong plastik trus sendal or sepatu kamu masukin plastik itu. Plastiknya pilih yang hitam biar nggak transparan.

4. Kalau masih bingung cari tempat buat nyembunyiin sendal, taruh aja di tempat biasanya orang-orang menaruh sendalnya (biasanya sebelum masuk ke mesjid). Tapi cara naruhnya nggak begitu saja tapi sohib harus mengambil satu sendal mis yang kiri trus letakkan di tempat lain yang jauh dari sendal antum yang sebelah kanan. Selama gunain cara ini, insya Allah sendal sohibku nggak akan hilang karena pencurinya mungkin menganggap bahwa itu adalah sendal or sepatu yang cacat (tidak ada pasangannya) dan nggak masuk dalam target operasinya…

5. (antisipasi biar nggak ketuker juga) Tandai sandalmu dg tanda khusus. Entah nama, kata-kata mutiara (lho?), dll. Tulisi aja, “mas, mohon jangan dicuri!” he..he..he

Nah sekarang adalah apa yang harus sohibku lakukan jika sendal sohibku sudah terlanjur diembat maling.
1. Husnudzan (berprasangka baik) and sabar. Jangan langsung main tuduh apalagi kalau dibumbui melaknat segala, bisa dosa tuh!
2. Cobalah cari disekitar areal mesjid, kali-kali aja ada yang salah pake trus dikembalikan di tempat lain.

3. Kalau emang ketika itu belum ketemu, ya sabar lagi! Insya Allah ada hikmahnya. Jangan menjadi maling baru dengan mengambil sendal milik orang lain.

4. Kalau kebetulan sendal atau sepatu itu antum temukan dan antum yakin kalo itu sendal antum dengan ciri2 yang emang antum sudah kenali, maka kalo ketemu dengan yang kebetulan saat itu make, katakan aja kalau itu sendal antum yang hilang di ….. lengkap dengan tanda khas yang antum kenali dari sendal antum. Dan inget lho tetep sabar, jangan main pukul malah sebaiknya dimaafkan dan dinasehati untuk tidak mencuri lagi.

5. Jika point 4 kamu lakukan trus pencurinya nggak mau ngembaliin, ya… terpaksa harus dengan nunjukin bukti-bukti yang bisa dipertanggungjawabkan, dan dinasehati bahwa Allah Maha Mengetahui apa yang kita ucapkan dan kita sembunyikan, dan segala sesuatu itu pasti ada balasannya.

6. Kalo cara 5 tetep nggak berhasil, gimana kalau sohibku ke pasar atau ke toko buat beli lagi, dan ambil hikmahnya. Itu sih gampang bagi yang punya duit, tapi kalau yang pas-pasan? Ya beli yang paling sederhana aja dulu, ntar kalo dah ada duit baru beli yang lain. Kalo ga punya duit sama sekali? Coba aja pinjem ke teman yang mempunyai persediaan sendal or sepatu lebih.

Moga-moga artikel ini bisa bermanfaat bagi sohibku, emang sih hal segini agak remeh dan jarang kita pikirkan. tapi kalau sendal atau sepatu udah hilang, ya mau apa lagi akhirnya jadi beban pikiran dan mau nggak mau harus beli yang baru. Wallahu a’lam bisshawab.

*Oleh: Abu Fudhail Andi dengan sedikit perubahan

tips aga2 ngaco bin ajaib tapi boljug.. ^-^
sbntar lagi romadhon…

Horee… Horee.. Horee.. Marhaban ya romadhon

Nikahnya Wanita Hamil karena Zina

Syaikh Khalid Ar Raddadi

Pertanyaan:

Apakah sah pernikahan seorang wanita yang hamil karena zina dengan laki-laki yang berzina dengannya atau dengan selain laki-laki yang berzina dengannya?

Jawab:

Permasalahan ini berkaitan dengan dengan pernikahan seorang laki-laki dengan wanita yang hamil karena zina baik itu dengan laki-laki yang menzinainya atau dengan selain laki-laki yang menzinainya, maka permasalahan ini mengandung hal-hal sebagai berikut ini, pertama, bagi wanita yang berzina ini Allah Azza Wa Jalla berfirman (yang artinya):

“Laki-laki yang berzina itu tidak menikahi KECUALI wanita yang berzina atau wanita musyrikah. Dan wanita yang berzina itu tidak dinikahi kecuali oleh laki-laki yang berzina atau seorang laki-laki yang musyrik dan yang demikian itu diharamkan bagi orang-orang beriman”(Surat An-Nuur: 3)

Apabila kita membaca ayat yang mulia ini yang Allah akhiri ayat ini dengan : “…yang demikian itu diharamkan bagi orang-orang beriman“, maka kita bisa simpulkan dari hal ini satu hukum, yaitu HARAMNYA menikahi wanita berzina dan HARAMNYA menikahkan laki-laki yang berzina.
Artinya seorang wanita yang berzina itu tidak boleh bagi orang lain yaitu bagi laki-laki lain untuk menikahinya dan bahwa seorang laki-laki yang berzina itu tidak boleh bagi seseorang untuk menikahkan anak perempuannya dengannya. Dan apabila kita mengetahui hal tersebut dan bahwa hal itu diharamkan bagi orang-orang yang beriman.

Maka sesungguhnya orang yang melakukan perbuatan yang keji ini kondisinya/ keadaannya tidak terlepas dari keadaan orang yang mengetahui haramnya perbuatan tersebut namun ia tetap menikahi wanita itu dikarenakan dorongan hawa nafsu dan syahwatnya, maka pada saat seperti itu laki-laki yang menikahi wanita yang berzina itu juga tergolong sebagai seorang pezina sebab ia telah melakukan akad yang diharamkan yang ia meyakini keharamannya. Dari penjelasan ini jelaslah bagi kita tentang hukum haramnya menikahi wanita yang berzina dan tentang haramnya menikahkan laki-laki yang berzina.

Jadi, hukum asal dalam menikah itu seorang yang berzina itu tidak dinikahi kecuali oleh laki-laki yang berzina. Iya, ada perbedaan diantara para ulama yang memfatwakan, apabila seorang laki-laki berzina dengan seorang wanita dan laki-laki ini bermaksud untuk menikahi wanita tersebut, maka wajib bagi keduanya untuk bertaubat kepada Allah Azza Wa Jalla. Kemudian hendaknya kedua orang tersebut melepaskan dirinya dari perbuatan yang keji ini dan ia bertaubat atas perbuatan keji yang telah dilakukannya dan bertekad untuk tidak kembali pada perbuatan itu serta melakukan amalan-amalan shalih. Dan apabila laki-laki tersebut berkeinginan untuk menikahi wanita itu, maka ia wajib untuk membiarkan wanita itu selama satu masa haid yaitu satu bulan, sebelum ia menikahi atau melakukan ada nikah dengannya. Apabila kemudian wanita itu hamil, maka tidak boleh baginya untuk melakukan akad nikah kepadanya kecuali setelah wanita tersebut melahirkan anaknya. Hal ini berdasarkan larangan Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam,  

“…seseorang untuk menyiramkan airnya ke sawah atau ladang orang lain” dan ini adalah kiasan, yaitu menyiramkan maninya kepada anak dari kandungan orang lain. (Hadits ini dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam shahih Sunan Abu Dawud hadits no 2158)


Tanya jawab via telepon antara Ustadz Wildan di Batam dengan Syaikh Khalid di Madinah tanggal 17 Dzulhijah 1423 / 19 Februari 2003
Sumber: Buletin dakwah Al Minhaj edisi 04 tahun 01

Friday, July 27, 2007

Sabar

Umar Bin Khathtab Radhiyallahu ‘Anhu:
Kehidupan yang terbaik kami dapatkan dengan sabar.
Jika sabar itu ada pada seseorang, pasti ia tergolong orang dermawan.

Ali Bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu:
Posisi sabar bagi iman seperti posisi kepala bagi tubuh.
Ketahuilah tidak beriman orang yang tidak sabar.

Umar Bin Abdul Aziz Rahimahullah:
Allah tidak memberikan suatu kenikmatan kepada salah seorang hambanya
kemudian Dia mencabutnya dari orang tersebut dan menggantinya dengan sabar,
maka penggantinya itu lebih baik daripada yang dicabut darinya.

Al Hasan Al Bashri Rahimahullah:
Sabar adalah salah satu kekayaan dari kekayaan yang baik.
Allah tidak memberikan kecuali kepada hamba-Nya yang mulia di sisi-Nya.

Dinukil dari Kitab ‘Uddatush Shabirin wa Dzakhiratisy Syakirin
Karya Syamsudin Muhammad Bin Abu Bakar Ibnu Qayyim Al Jauziyyah

Sumber: Majalah AsySyariah Vol 1/ No 3/Rabiul Akhir 1424 H/Juni 2003

Muttafaqun’Alayh

Bagi kita yang sering berkecimpung dalam dunia hadits (Ilmu Hadits) mungkin tidak heran jika dikatakan atau mendengar “Hadits Muttafaqun ‘Alaihi”, Namun bagi mereka yang awam, tentunya bertanya-tanya akan hal ini, Pertanyaan yang muncul beragam. Seorang murid MAN pernah saya tanya, “Apa yang dimaksud dengan Muttafaqun ‘Alaihi” ? Trus dengan lugunya dia menjawab, “Ustadz, itu nama kota ya..?”

Apakah Kedua Imam Hadits (Bukhary dan Muslim) pernah bersepakat?

Sebenarnya, kedua imam hadits, al-Bukhari dan Muslim tidak pernah menyatakan secara jelas (implisit) perihal persyaratan yang disyaratkan atau ditentukan oleh mereka berdua sebagai tambahan atas persyaratan-persyaratan yang telah disepakati di dalam menilai hadits yang shahih pada pembahasan sebelumnya. Akan tetapi para ulama peneliti melalui proses pemantauan (follow up) dan analisis terhadap metode-metode yang digunakan oleh keduanya mendapatkan apa yang dapat mereka anggap sebagai persyaratan yang dikemukakan oleh keduanya atau salah seorang dari keduanya.
Dapat dikatakan bahawa yang dimaksudkan dengan persyaratan asy-Syaikhan atau salah satu dari keduanya adalah bahawa hadits tersebut hendaklah diriwayatkan dari jalur Rijal (para periwayat) dari kedua kitab tersebut atau salah satu darinya dengan memperhatikan metode yang digunakan keduanya di dalam meriwayatkan hadits-hadits dari mereka.
 
Makna Kata “Muttafaqun ‘Alaih”

Maksudnya adalah hadits tersebut disepakati oleh kedua Imam hadits, iaitu al-Bukhari dan Muslim, yakni kesepakatan mereka berdua atas keshahihannya, bukan kesepakatan umat Islam. Hanya saja, Ibn ash-Shalâh memasukkan juga ke dalam makna itu kesepakatan umat sebab umat memang sudah bersepakat untuk menerima hadits-hadits yang telah disepakati oleh keduanya. (’Ulûm al-Hadîts:24)
Apakah Agar Dinilai Shahih, Hadits Tersebut Harus Merupakan Hadits ‘Azîz ?
 
Hadits ‘Aziz adalah hadits yang diriwayatkan pada setiap level periwayatannya (thabaqat sanad) tidak kurang dari dua orang periwayat. Dalam hal ini, apakah agar suatu hadits dinyatakan shahih, maka syaratnya harus paling tidak diriwayatkan oleh tidak kurang dari dua periwayat pada setiap level periwayatannya?.
 
Pendapat yang benar, bahawa hal itu tidak disyaratkan sebab di dalam kedua kitab shahih (ash-Shahîhain) dan selain keduanya juga terdapat hadits-hadits shahih padahal ia bukan hadits ‘Aziz itu, tetapi malah hadits Gharîb (yang diriwayatkan pada oleh seorang periwayat saja).
Ada sementara kalangan ulama seperti ‘Ali al-Jubaiy, tokoh mu’tazilah dan al-Hâkim yang mengklaim hal itu namun pendapat mereka ini bertentangan dengan kesepakatan umat Islam.
 
(SUMBER: Taysir Mushthalah al-Hadits karya Mahmud ath-Thahan)
taken from here

Wednesday, July 25, 2007

Kisah Ashabul Kahfi

Kisah ini begitu kesohor. Dengan kekuasaan-Nya, Allah Subhanahu wa Ta’ala menidurkan sekelompok pemuda yang berlindung di sebuah gua selama 309 tahun. Apa hikmah di balik ini semua?

Ashhabul Kahfi adalah para pemuda yang diberi taufik dan ilham oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sehingga mereka beriman dan mengenal Rabb mereka. Mereka mengingkari keyakinan yang dianut oleh masyarakat mereka yang menyembah berhala. Mereka hidup di tengah-tengah bangsanya sembari tetap menampakkan keimanan mereka ketika berkumpul sesama mereka, sekaligus karena khawatir akan gangguan masyarakatnya. Mereka mengatakan:

رَبُّنَا رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ لَنْ نَدْعُوَ مِنْ دُوْنِهِ إِلَهًا لَقَدْ قُلْنَا إِذًا شَطَطًا

“Rabb kami adalah Rabb langit dan bumi, kami sekali-kali tidak akan menyeru Rabb selain Dia, sesungguhnya kami kalau demikian telah mengucapkan perkataan yang jauh.” (Al-Kahfi: 14)
Yakni, apabila kami berdoa kepada selain Dia, berarti kami telah mengucapkan suatu شَطَطًا (perkataan yang jauh), yaitu perkataan palsu, dusta, dan dzalim.
Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan perkataan mereka selanjutnya:

هَؤُلاَءِ قَوْمُنَا اتَّخَذُوا مِنْ دُوْنِهِ آلِهَةً لَوْلاَ يَأْتُوْنَ عَلَيْهِمْ بِسُلْطَانٍ بَيِّنٍ فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللهِ كَذِبًا

“Kaum kami ini telah mengambil sesembahan-sesembahan selain Dia. Mereka tidak mengajukan alasan yang terang (tentang keyakinan mereka?) Siapakah yng lebih dzalim daripada orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah?” (Al-Kahfi: 15)
Ketika mereka sepakat terhadap persoalan ini, mereka sadar, tidak mungkin menampakkannya kepada kaumnya. Mereka berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar memudahkan urusan mereka:

رَبَّنَاآتِنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا

“Wahai Rabb kami, berilah kami rahmat dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami.” (Al-Kahfi: 10)

Mereka pun menyelamatkan diri ke sebuah gua yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala mudahkan bagi mereka. Gua itu cukup luas dengan pintu menghadap ke utara sehingga sinar matahari tidak langsung masuk ke dalamnya. Kemudian mereka tertidur dengan perlindungan dan pegawasan dari Allah selama 309 tahun. Allah Subhanahu wa Ta’ala buatkan atas mereka pagar berupa rasa takut meskipun mereka sangat dekat dengan kota tempat mereka tinggal. Allah Subhanahu wa Ta’ala sendiri yang menjaga mereka selama di dalam gua. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَنُقَلِّبُهُمْ ذَاتَ الْيَمِيْنِ وَذَاتَ الشِّمَالِ

“Dan Kami bolak-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri.” (Al-Kahfi: 18)
Demikianlah agar jasad mereka tidak dirusak oleh tanah. Setelah tertidur sekian ratus tahun lamanya, Allah Subhanahu wa Ta’ala membangunkan mereka لِيَتَسَاءَلُوا (agar mereka saling bertanya), dan supaya mereka pada akhirnya mengetahui hakekat yang sebenarnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

قَالَ قَائِلٌ مِنْهُمْ كَمْ لَبِثْتُمْ قَالُوا لَبِثْنَا يَوْمًا أَوْ بَعْضَ يَوْمٍ قَالُوا رَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَا لَبِثْتُمْ فَابْعَثُوا أَحَدَكُمْ بِوَرِقِكُمْ هَذِهِ إِلَى الْمَدِْينَةِ

“Berkatalah salah seorang dari mereka: ‘Sudah berapa lama kalian menetap (di sini)?’ Mereka menjawab: ‘Kita tinggal di sini sehari atau setengah hari.’ Yang lain berkata pula: ‘Rabb kalian lebih mengetahui berapa lamanya kalian berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kalian pergi ke kota membawa uang perakmu ini’.” (Al-Kahfi: 19)

Di dalam kisah ini terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah yang nyata. Di antaranya:
1. Walaupun menakjubkan, kisah para penghuni gua ini bukanlah ayat Allah yang paling ajaib. Karena sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai ayat-ayat yang menakjubkan yang di dalamnya terdapat pelajaran berharga bagi mereka yang mau memerhatikannya.
2. Sesungguhnya siapa saja yang berlindung kepada Allah, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala melindunginya dan lembut kepadanya, serta menjadikannya sebagai sebab orang-orang yang sesat mendapat hidayah (petunjuk). Di sini, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah bersikap lembut terhadap mereka dalam tidur yang panjang ini, untuk menyelamatkan iman dan tubuh mereka dari fitnah dan pembunuhan masyarakat mereka. Allah menjadikan tidur ini sebagai bagian dari ayat-ayat (tanda kekuasaan)-Nya yang menunjukkan kesempurnaan kekuasaan Allah dan berlimpahnya kebaikan-Nya. Juga agar hamba-hamba-Nya mengetahui bahwa janji Allah itu adalah suatu kebenaran.
3. Anjuran untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat sekaligus mencarinya. Karena sesungguhnya Allah mengutus mereka adalah untuk hal itu. Dengan pembahasan yang mereka lakukan dan pengetahuan manusia tentang keadaan mereka, akan menghasilkan bukti dan ilmu atau keyakinan bahwa janji Allah adalah benar, dan bahwa hari kiamat yang pasti terjadi bukanlah suatu hal yang perlu disangsikan.
4. Adab kesopanan bagi mereka yang mengalami kesamaran atau ketidakjelasan akan suatu masalah ilmu adalah hendaklah mengembalikannya kepada yang mengetahuinya. Dan hendaknya dia berhenti dalam perkara yang dia ketahui.
5. Sahnya menunjuk wakil dalam jual beli, dan sah pula kerjasama dalam masalah ini. Karena adanya dalil dari ucapan mereka dalam ayat:

فَابْعَثُوا أَحَدَكُمْ بِوَرِقِكُمْ هَذِهِ إِلَى الْمَدِيْنَة

“Maka suruhlah salah seorang di antara kamu pergi ke kota membawa uang perakmu ini.” (Al-Kahfi: 19)
6. Boleh memakan makanan yang baik dan memilih makanan yang disenangi atau sesuai selera, selama tidak berbuat israf (boros atau berlebihan) yang terlarang, berdasarkan dalil:

فَلْيَنْظُرْ أَيُّهَا أَزْكَى طَعَامًا فَلْيَأْتِكُمْ بِرِزْقٍ مِنْهُ

“Hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah dia membawa makanan itu untukmu.” (Al-Kahfi: 19)
7. Melalui kisah ini kita dianjurkan untuk berhati-hati dan mengasingkan diri atau menjauhi tempat-tempat yang dapat menimbulkan fitnah dalam agama. Dan hendaknya seseorang menyimpan rahasia sehingga dapat menjauhkannya dari suatu kejahatan.
8. Diterangkan dalam kisah ini betapa besar kecintaan para pemuda yang beriman itu terhadap ajaran agama mereka. Dan bagaimana mereka sampai melarikan diri, meninggalkan negeri mereka demi menyelamatkan diri dari segenap fitnah yang akan menimpa agama mereka, untuk kembali pada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
9. Disebutkan dalam kisah ini betapa luasnya akibat buruk dari kemudaratan dan kerusakan yang menumbuhkan kebencian dan upaya meninggalkannya. Dan sesungguhnya jalan ini adalah jalan yang ditempuh kaum mukminin.
10. Bahwa firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

قَالَ الَّذِيْنَ غَلَبُوا عَلَى أَمْرِهِمْ لَنَتَّخِذَنَّ عَلَيْهِمْ مَسْجِدًا

“Orang-orang yang berkuasa atas urusan mereka berkata: ‘Sungguh kami tentu akan mendirikan sebuah rumah ibadah di atas mereka’.” (Al-Kahfi: 21)
Di dalam ayat ini terdapat dalil bahwa masyarakat di mana mereka hidup (setelah bangun dari tidur panjang) adalah orang-orang yang mengerti agama. Hal ini diketahui karena mereka sangat menghormati para pemuda itu sehingga sangat berkeinginan membangun rumah ibadah di atas gua mereka. Dan walaupun ini dilarang –terutama dalam syariat agama kita– tetapi tujuan diceritakannya hal ini adalah sebagai keterangan bahwa rasa takut yang begitu besar yang dirasakan oleh para pemuda tersebut akan fitnah yang mengancam keimanannya, serta masuknya mereka ke dalam gua telah Allah Subhanahu wa Ta’ala gantikan sesudah itu dengan keamanan dan penghormatan yang luar biasa dari manusia. Dan ini adalah ketetapan Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap orang yang menempuh suatu kesulitan karena Allah, di mana Dia jadikan baginya akhir perjalanan yang sangat terpuji.
11. Pembahasan yang berbelit-belit dan tidak bermanfaat adalah suatu hal yang tidak pantas untuk ditekuni, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

فَلاَ تُمَارِ فِيْهِمْ إلاَّ مِرَاءً ظَاهِرًا

“Karena itu janganlah kamu (Muhammad) bertengkar tentang keadaan mereka, kecuali pertengkaran lahir saja.” (Al-Kahfi: 22)
12. Faedah lain dari kisah ini bahwasanya bertanya kepada yang tidak berilmu tentang suatu persoalan atau kepada orang yang tidak dapat dipercaya, adalah perbuatan yang dilarang. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan:

وَلاَ تَسْتَفْتِ فِيْهِمْ مِنْهُمْ أَحَدًا

“Dan jangan pula bertanya mengenai mereka (para pemuda itu) kepada salah seorang di antara mereka itu.” (Al-Kahfi: 22)
Wallahu a’lam.

(Diambil dari Taisirul Lathifil Mannan karya Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullahu)

http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=432

Monday, July 23, 2007

5. PERBUATAN BID'AH TERTOLAK

SYARAH ARBA’IN AN NAWAWI

Judul Asli         : Syarhul arba’iina Hadiitsan An Nawawiyah
Penulis             : Ibnu Daqiqil ‘Ied

Hadist ke – 5. Perbuatan Bid’ah Tertolak

Ummul mukminin, ummu Abdillah, ‘Aisyah ra. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu dalam urusan agama kami ini yang bukan dari kami, maka dia tertolak“. (Bukhari dan Muslim à Dalam riwayat Muslim : “Barangsiapa melakukan suatu amal yang tidak sesuai urusan kami, maka dia tertolak”)

Penjelasan:
Kata “Raddun” menurut ahli bahasa maksudnya tertolak atau tidak sah. Kalimat “bukan dari urusan kami” maksudnya bukan dari hukum kami.

Hadits ini merupakan salah satu pedoman penting dalam agama Islam yang merupakan kalimat pendek yang penuh arti yang dikaruniakan kepada Nabi SAW. Hadits ini dengan tegas menolak setiap perkara bid’ah dan setiap perkara (dalam urusan agama) yang direkayasa. Sebagian ahli ushul fiqih menjadikan hadits ini sebagai dasar kaidah bahwa setiap yang terlarang dinyatakan sebagai hal yang merusak.

Pada riwayat imam muslim diatas disebutkan, “Barangsiapa melakukan suatu amal yang tidak sesuai urusan kami, maka dia tertolak” dengan jelas menyatakan keharusan meninggalkan setiap perkara bid’ah, baik ia ciptakan sendiri atau hanya mengikuti orang sebelumnya. Sebagian orang yang ingkar (ahli bid’ah) menjadikan hadits ini sebagai alas an bila ia melakukan suatu perbuatan bid’ah, dia mengatakan : “Bukan saya yang menciptakannya” maka pendapat tersebut terbantah oleh hadits diatas.

Hadits ini patut dihafal, disebarluaskan, dan digunakan sebagai bantahan terhadap kaum yang ingkar karena isinya mencakup semua hal. Adapun hal-hal yang tidak merupakan pokok agama sehingga tidak diatur dalam sunnah, maka tidak tercakup dalam larangan ini, seperti menulis Al-Qur’an dalam Mushaf dan pembukuan pendapat para ahli fiqih yang bertaraf mujtahid yang menerangkan permasalahan-permasalahan furu’ dari pokoknya, yaitu sabda Rosululloh SAW. Demikian juga mengarang kitab-kitab nahwu, ilmu hitung, faraid dan sebagainya yang semuanya bersandar kepada sabda Nabi SAW dan perintahnya. Kesemua usaha ini tidak termasuk dalam ancaman hadits diatas.

Wallahu a’lam

Sunday, July 22, 2007

Hati-hati Memilih Pasangan Hidup

Imran bin Hitthan Al-Khariji -seorang pemuka khawarij- dahulu adalah seorang ahlussunnah. Dahulu ia di atas sunnah. Namun kemudian Imran menikah dengan seorang wanita dari kerabatnya. Ada yang mengatakan wanita tersebut adalah sepupunya. Wanita ini adalah salah seorang pemimpin kaum Khawarij. Imran berkata, “Saya akan menikahinya dan meluruskannya”. Akan tetapi ketika ia menikahinya wanita tersebut malah yang menyesatkannya sehingga Imran menjadi pemimpin khawarij yang sebelumnya ia di atas sunnah.Hal ini menandakan kepada kita barakallahu fiik kepada perkara yang penting sekali. Hati-hati kita diantara jari jemari Ar-Rahman bebas Ia membolak-baliknya. Maka seseorang seharusnya tidak merasa aman terhadap dirinya dari fitnah.

(Dinukil dari nasehat Syaikh Abdullah Al-Bukhari tentang menikahi ahlul kitab).

Tuesday, July 17, 2007

Perihal Kasih Sayang

Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah berkata (10/426):

Abul Yaman telah mengabarkan kepada kami, dia berkata: Syu’aib telah mengabarkan kepada kami, dari Zuhri, dia berkata: Abu Salamah bin Abdurrahman telah mengabarkan kepada kami bahwa Abu Hurairah radhiallahu’anh berkata:

“Rasulullah Shalallahu’alaihi wa Sallam mencium Al-Hasan, dan di sisi beliau ada Al-Arta’ bin Habis At-Tamimi sedang duduk. Al-Aqra’ berkata: ‘Sesungguhnya saya memiliki sepuluh orang anak, namun saya tidak pernah mencium seorang pun dari mereka.’ Rasulullah Shalallhu ‘alaihi wa Sallam memandangnya, kemudian bersabda: ‘Barangsiapa yang tidak menyayangi, maka dia tidak akan disayangi’.”

-dikutip dari terjemahan kitab Nashihatii Lin Nisaa’ (Nasehatku untuk Kaum Wanita) karya Ummu ‘Abdillah Al-Wadi’iyyah hal.107-

barang siapa yang tidak disayangi,.. sedih.. ^-^

Imam Ahmad bin Hanbal

Nama dan Nasab :
Kunyah beliau Abu Abdillah, namanya Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin Hilal bin Asad Al Marwazi Al Baghdadi. Ayah beliau seorang komandan pasukan di Khurasan di bawah kendali Dinasti Abbasiyah. Kakeknya mantan Gubernur Sarkhas di masa Dinasti Bani Umayyah, dan di masa Dinasti Abbasiyah menjadi da’i yang kritis.

Kelahiran Beliau :
Beliau dilahirkan di kota Baghdad pada bulan Rabi’ul Awwal tahun 164 Hijriyah. Beliau tumbuh besar di bawah asuhan kasih sayang ibunya, karena bapaknya meninggal dunia saat beliau masih berumur belia, tiga tahun. Meski beliau anak yatim, namun ibunya dengan sabar dan ulet memperhatian pendidikannya hingga beliau menjadi anak yang sangat cinta kepada ilmu dan ulama karena itulah beliau kerap menghadiri majlis ilmu di kota kelahirannya.

Awal mula Menuntut Ilmu
Ilmu yang pertama kali dikuasai adalah Al Qur’an hingga beliau hafal pada usia 15 tahun, beliau juga mahir baca-tulis dengan sempurna hingga dikenal sebagai orang yang terindah tulisannya. Lalu beliau mulai konsentrasi belajar ilmu hadits di awal umur 15 tahun itu pula.

Keadaan fisik beliau :
Muhammad bin ‘Abbas An-Nahwi bercerita, Saya pernah melihat Imam Ahmad bin Hambal, ternyata Badan beliau tidak terlalu tinggi juga tidak terlalu pendek, wajahnya tampan, di jenggotnya masih ada yang hitam. Beliau senang berpakaian tebal, berwarna putih dan bersorban serta memakai kain.
Yang lain mengatakan, “Kulitnya berwarna coklat (sawo matang)”

Keluarga beliau :
Beliau menikah pada umur 40 tahun dan mendapatkan keberkahan yang melimpah. Beliau melahirkan dari istri-istrinya anak-anak yang shalih, yang mewarisi ilmunya, seperti Abdullah dan Shalih. Bahkan keduanya sangat banyak meriwayatkan ilmu dari bapaknya.

Kecerdasan beliau :
Putranya yang bernama Shalih mengatakan, Ayahku pernah bercerita, “Husyaim meninggal dunia saat saya berusia dua puluh tahun, kala itu saya telah hafal apa yang kudengar darinya”.

Abdullah, putranya yang lain mengatakan, Ayahku pernah menyuruhku, “Ambillah kitab mushannaf Waki’ mana saja yang kamu kehendaki, lalu tanyakanlah yang kamu mau tentang matan nanti kuberitahu sanadnya, atau sebaliknya, kamu tanya tentang sanadnya nanti kuberitahu matannya”.

Abu Zur’ah pernah ditanya, “Wahai Abu Zur’ah, siapakah yang lebih kuat hafalannya? Anda atau Imam Ahmad bin Hambal?” Beliau menjawab, “Ahmad”. Beliau masih ditanya, “Bagaimana Anda tahu?” beliau menjawab, “Saya mendapati di bagian depan kitabnya tidak tercantum nama-nama perawi, karena beliau hafal nama-nama perawi tersebut, sedangkan saya tidak mampu melakukannya”. Abu Zur’ah mengatakan, “Imam Ahmad bin Hambal hafal satu juta hadits”.

Pujian Ulama terhadap beliau :
Abu Ja’far mengatakan, “Ahmad bin Hambal manusia yang sangat pemalu, sangat mulia dan sangat baik pergaulannya serta adabnya, banyak berfikir, tidak terdengar darinya kecuali mudzakarah hadits dan menyebut orang-orang shalih dengan penuh hormat dan tenang serta dengan ungkapan yang indah. Bila berjumpa dengan manusia, maka ia sangat ceria dan menghadapkan wajahnya kepadanya. Beliau sangat rendah hati terhadap guru-gurunya serta menghormatinya”.

Imam Asy-Syafi’i berkata, “Ahmad bin Hambal imam dalam delapan hal, Imam dalam hadits, Imam dalam Fiqih, Imam dalam bahasa, Imam dalam Al Qur’an, Imam dalam kefaqiran, Imam dalam kezuhudan, Imam dalam wara’ dan Imam dalam Sunnah”.

Ibrahim Al Harbi memujinya, “Saya melihat Abu Abdillah Ahmad bin Hambal seolah Allah gabungkan padanya ilmu orang-orang terdahulu dan orang-orang belakangan dari berbagai disiplin ilmu”.

Kezuhudannya :
Beliau memakai peci yang dijahit sendiri. Dan kadang beliau keluar ke tempat kerja membawa kampak untuk bekerja dengan tangannya. Kadang juga beliau pergi ke warung membeli seikat kayu bakar dan barang lainnya lalu membawa dengan tangannya sendiri. Al Maimuni pernah berujar, “Rumah Abu Abdillah Ahmad bin Hambal sempit dan kecil”.

Tekunnya dalam ibadah
Abdullah bin Ahmad berkata, “Bapakku mengerjakan shalat dalam sehari-semalam tiga ratus raka’at, setelah beliau sakit dan tidak mampu mengerjakan shalat seperti itu, beliau mengerjakan shalat seratus lima puluh raka’at.

Wara’ dan menjaga harga diri
Abu Isma’il At-Tirmidzi mengatakan, “Datang seorang lelaki membawa uang sebanyak sepuluh ribu (dirham) untuk beliau, namun beliau menolaknya”. Ada juga yang mengatakan, “Ada seseorang memberikan lima ratus dinar kepada Imam Ahmad namun beliau tidak mau menerimanya”. Juga pernah ada yang memberi tiga ribu dinar, namun beliau juga tidak mau menerimanya.

Tawadhu’ dengan kebaikannya :
Yahya bin Ma’in berkata, “Saya tidak pernah melihat orang yang seperti Imam Ahmad bin Hambal, saya berteman dengannya selama lima puluh tahun dan tidak pernah menjumpai dia membanggakan sedikitpun kebaikan yang ada padanya kepada kami”.

Beliau (Imam Ahmad) mengatakan, “Saya ingin bersembunyi di lembah Makkah hingga saya tidak dikenal, saya diuji dengan popularitas”.

Al Marrudzi berkata, “Saya belum pernah melihat orang fakir di suatu majlis yang lebih mulia kecuali di majlis Imam Ahmad, beliau perhatian terhadap orang fakir dan agak kurang perhatiannya terhadap ahli dunia (orang kaya), beliau bijak dan tidak tergesa-gesa terhadap orang fakir. Beliau sangat rendah hati, begitu tinggi ketenangannya dan sangat memuka kharismanya”.

Beliau pernah bermuka masam karena ada seseorang yang memujinya dengan mengatakan, “Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan atas jasamu kepada Islam?” beliau mengatakan, “Jangan begitu tetapi katakanlah, semoga Allah membalas kebaikan terhadap Islam atas jasanya kepadaku, siapa saya dan apa (jasa) saya?!”

Sabar dalam menuntut ilmu
Tatkala beliau pulang dari tempat Abdurrazzaq yang berada di Yaman, ada seseorang yang melihatnya di Makkah dalam keadaan sangat letih dan capai. Lalu ia mengajak bicara, maka Imam Ahmad mengatakan, “Ini lebih ringan dibandingkan faidah yang saya dapatkan dari Abdirrazzak”.

Hati-hati dalam berfatwa :
Zakariya bin Yahya pernah bertanya kepada beliau, “Berapa hadits yang harus dikuasai oleh seseorang hingga bisa menjadi mufti? Apakah cukup seratus ribu hadits? Beliau menjawab, “Tidak cukup”. Hingga akhirnya ia berkata, “Apakah cukup lima ratus ribu hadits?” beliau menjawab. “Saya harap demikian”.

Kelurusan aqidahnya sebagai standar kebenaran
Ahmad bin Ibrahim Ad-Dauruqi mengatakan, “Siapa saja yang kamu ketahui mencela Imam Ahmad maka ragukanlah agamanya”. Sufyan bin Waki’ juga berkata, “Ahmad di sisi kami adalah cobaan, barangsiapa mencela beliau maka dia adalah orang fasik”.

Masa Fitnah :
Pemahaman Jahmiyyah belum berani terang-terangan pada masa khilafah Al Mahdi, Ar-Rasyid dan Al Amin, bahkan Ar-Rasyid pernah mengancam akan membunuh Bisyr bin Ghiyats Al Marisi yang mengatakan bahwa Al Qur’an adalah makhluq. Namun dia terus bersembunyi di masa khilafah Ar-Rasyid, baru setelah beliau wafat, dia menampakkan kebid’ahannya dan menyeru manusia kepada kesesatan ini.

Di masa khilafah Al Ma’mun, orang-orang jahmiyyah berhasil menjadikan paham jahmiyyah sebagai ajaran resmi negara, di antara ajarannya adalah menyatakan bahwa Al Qur’an makhluk. Lalu penguasa pun memaksa seluruh rakyatnya untuk mengatakan bahwa Al Qur’an makhluk, terutama para ulamanya.

Barangsiapa mau menuruti dan tunduk kepada ajaran ini, maka dia selamat dari siksaan dan penderitaan. Bagi yang menolak dan bersikukuh dengan mengatakan bahwa Al Qur’an Kalamullah bukan makhluk maka dia akan mencicipi cambukan dan pukulan serta kurungan penjara.

Karena beratnya siksaan dan parahnya penderitaan banyak ulama yang tidak kuat menahannya yang akhirnya mengucapkan apa yang dituntut oleh penguasa zhalim meski cuma dalam lisan saja. Banyak yang membisiki Imam Ahmad bin Hambal untuk menyembunyikan keyakinannya agar selamat dari segala siksaan dan penderitaan, namun beliau menjawab, “Bagaimana kalian menyikapi hadits “Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian?Khabbab, yaitu sabda Nabi Muhammad ada yang digergaji kepalanya namun tidak membuatnya berpaling dari agamanya”. HR. Bukhari 12/281. lalu beliau menegaskan, “Saya tidak peduli dengan kurungan penjara, penjara dan rumahku sama saja”.

Ketegaran dan ketabahan beliau dalam menghadapi cobaan yang menderanya digambarkan oleh Ishaq bin Ibrahim, “Saya belum pernah melihat seorang yang masuk ke penguasa lebih tegar dari Imam Ahmad bin Hambal, kami saat itu di mata penguasa hanya seperti lalat”.

Di saat menghadapi terpaan fitnah yang sangat dahsyat dan deraan siksaan yang luar biasa, beliau masih berpikir jernih dan tidak emosi, tetap mengambil pelajaran meski datang dari orang yang lebih rendah ilmunya. Beliau mengatakan, “Semenjak terjadinya fitnah saya belum pernah mendengar suatu kalimat yang lebih mengesankan dari kalimat yang diucapkan oleh seorang Arab Badui kepadaku, “Wahai Ahmad, jika anda terbunuh karena kebenaran maka anda mati syahid, dan jika anda selamat maka anda hidup mulia”. Maka hatiku bertambah kuat”.

Ahli hadits sekaligus juga Ahli Fiqih
Ibnu ‘Aqil berkata, “Saya pernah mendengar hal yang sangat aneh dari orang-orang bodoh yang mengatakan, “Ahmad bukan ahli fiqih, tetapi hanya ahli hadits saja. Ini adalah puncaknya kebodohan, karena Imam Ahmad memiliki pendapat-pendapat yang didasarkan pada hadits yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia, bahkan beliau lebih unggul dari seniornya”.

Bahkan Imam Adz-Dzahabi berkata, “Demi Allah, beliau dalam fiqih sampai derajat Laits, Malik dan Asy-Syafi’i serta Abu Yusuf. Dalam zuhud dan wara’ beliau menyamai Fudhail dan Ibrahim bin Adham, dalam hafalan beliau setara dengan Syu’bah, Yahya Al Qaththan dan Ibnul Madini. Tetapi orang bodoh tidak mengetahui kadar dirinya, bagaimana mungkin dia mengetahui kadar orang lain!!

Guru-guru Beliau
Imam Ahmad bin Hambal berguru kepada banyak ulama, jumlahnya lebih dari dua ratus delapan puluh yang tersebar di berbagai negeri, seperti di Makkah, Kufah, Bashrah, Baghdad, Yaman dan negeri lainnya. Di antara mereka adalah:
1. Ismail bin Ja’far
2. Abbad bin Abbad Al-Ataky
3. Umari bin Abdillah bin Khalid
4. Husyaim bin Basyir bin Qasim bin Dinar As-Sulami
5. Imam Asy-Syafi’i.
6. Waki’ bin Jarrah.
7. Ismail bin Ulayyah.
8. Sufyan bin ‘Uyainah
9. Abdurrazaq
10. Ibrahim bin Ma’qil.

Murid-murid Beliau :
Umumnya ahli hadits pernah belajar kepada imam Ahmad bin Hambal, dan belajar kepadanya juga ulama yang pernah menjadi gurunya, yang paling menonjol adalah :
1. Imam Bukhari.
2. Muslim
3. Abu Daud
4. Nasai
5. Tirmidzi
6. Ibnu Majah
7. Imam Asy-Syafi’i. Imam Ahmad juga pernah berguru kepadanya.
8. Putranya, Shalih bin Imam Ahmad bin Hambal
9. Putranya, Abdullah bin Imam Ahmad bin Hambal
10. Keponakannya, Hambal bin Ishaq
11. dan lain-lainnya.

Wafat beliau :
Setelah sakit sembilan hari, beliau Rahimahullah menghembuskan nafas terakhirnya di pagi hari Jum’at bertepatan dengan tanggal dua belas Rabi’ul Awwal 241 H pada umur 77 tahun. Jenazah beliau dihadiri delapan ratus ribu pelayat lelaki dan enam puluh ribu pelayat perempuan.

Karya beliau sangat banyak, di antaranya :
1. Kitab Al Musnad, karya yang paling menakjubkan karena kitab ini memuat lebih dari dua puluh tujuh ribu hadits.
2. Kitab At-Tafsir, namun Adz-Dzahabi mengatakan, “Kitab ini hilang”.
3. Kitab Az-Zuhud
4. Kitab Fadhail Ahlil Bait
5. Kitab Jawabatul Qur’an
6. Kitab Al Imaan
7. Kitab Ar-Radd ‘alal Jahmiyyah
8. Kitab Al Asyribah
9. Kitab Al Faraidh
Terlalu sempit lembaran kertas untuk menampung indahnya kehidupan sang Imam. Sungguh sangat terbatas ungkapan dan uraian untuk bisa memaparkan kilauan cahaya yang memancar dari kemulian jiwanya. Perjalanan hidup orang yang meneladai panutan manusia dengan sempurna, cukuplah itu sebagai cermin bagi kita, yang sering membanggakannya namun jauh darinya.

Dikumpulkan dan diterjemahkan dari kitab Siyar A’lamun Nubala
Karya Al Imam Adz-Dzahabi Rahimahullah
Sumber: Majalah As Salam

Monday, July 16, 2007

Tsumamah bin Utsal

Pada tahun 6 H, Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasalam berazzam hendak memperluas dakwah beliau. Lantas beliau menulis delapan buah surat untuk raja-raja Arab dan non-Arab, lalu mengutus beberapa sahabat untuk mengajak mereka kepada Islam.

Salah satu dari raja-raja tersebut adalah Tsumamah bin Utsal al-Hanafi. Tidak heran, waktu itu Tsumamah dikenal sebagai seorang pemimpin dan orator Arab pada masa Jahiliah. Ia juga seorang pemimpin kabilah bani Hanifah yang agung, seorang Raja Yamamah yang dipatuhi rakyatnya.
Tsumamah menerima surat Nabi Sholallahu ‘alaihi wasalam tersebut dengan penuh rasa merendahkan. Ia berniat hendak melakukan sebuah konspirasi busuk terhadap Nabi dan menutup kedua telinganya dari men­dengar dakwah kepada kebenaran dan kebaikan. Bahkan ia amat marah, sehingga ia berniat untuk membunuh Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasalam dan mengubur habis dakwah beliau. Ia mencari kesempatan yang tepat untuk membunuh pada saat beliau sedang lengah. Konspirasi busuk itu hampir saja menjadi kenyataan jika bukan karena salah seorang paman Tsumamah memuji kemuliaannya pada saat ia hendak melakukan niat jelek itu. Allah menyelamatkan Nabi Sholallahu ‘alaihi wasalam dari niat busuk Tsumamah.

Meskipun telah berhenti mengganggu Nabi Sholallahu ‘alaihi wasalam., ia masih berniat untuk mengganggu para sahabat beliau, sehingga ia mencari kesempatan untuk membunuh mereka. Mendengar hal itu, Rasulullah memberitahukan kepada para sahabat beliau bahwa Tsumamah halal untuk dibunuh.

Beberapa lama kemudian, Tsumamah bin Utsal berniat untuk melakukan umrah. Ia berangkat dari Yamamah menuju Mekah. Ia berniat untuk melakukan thawaf di sekeliling Ka’bah dan me­nyembelih kurban untuk berhala-berhalanya.

Tatkala ia hampir mendekati Madinah, tiba-tiba dirinya melihat sesuatu yang tak pernah ia duga sebelumnya. Pasukan Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasalam sedang mengawasi dan mengontrol setiap rumah karena khawatir ada seseorang yang melewati Madinah atau ingin ber­buat jelek. Pasukan itu menangkap Tsumamah walau mereka tidak mengetahui siapa Tsumamah sebenarnya.

Tsumamah dibawa ke Madinah, lalu diikat di salah satu tiang masjid, menunggu hingga Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasalam melihat sendiri tawanan tersebut dan apa yang dikehendaki Nabi terhadapnya.

Ketika Rasulullah sampai ke masjid dan akan memasuki masjid, beliau melihat Tsumamah terikat di salah satu tiang masjid. Rasulullah pun berkata kepada para sahabat, “Tahukah kalian siapa yang kalian tawan ini?”

Mereka menjawab, “Tidak, ya Rasulullah.”
Beliau berkata, “Ia adalah Tsumamah bin Utsal, perlakukanlah ia dengan baik.”

Kemudian Rasulullah kembali ke rumah beliau dan berkata, “Kumpulkanlah makanan yang kalian miliki dan berikanlah kepada Tsumamah bin Utsal.”
Kemudian beliau menyuruh mereka untuk memerah susu unta beliau dan memberikan susu tersebut kepadanya. Semua pelayanan itu telah Tsumamah terima sebelum Rasulullah kembali me­nemuinya.

Kemudian beliau menemui Tsumamah dan hendak mengajak­nya kepada Islam. Beliau berkata, “Apa kabar, ya Tsumamah?”
Ia menjawab, “Aku baik-baik saja, ya Muhammad. Jika engkau mau membunuhku, bunuhlah. Jika engkau ingin memaafkanku, maafkanlah aku. Jika engkau menginginkan harta, mintalah, maka akan diberikan berapa yang engkau minta.”

Rasulullah pun meninggalkannya selama dua hari, tetapi Tsumamah tetap diberikan makanan dan minuman dan dibawa­kan kepadanya susu.
Lalu Rasulullah kembali menemuinya,”Bagaimana keadaanmu, ya Tsumamah?”

la menjawab, “Masih seperti yang kemarin, ya Muhammad. Jika engkau mau membunuhku, bunuhlah. Jika engkau ingin me­maafkanku, maafkanlah aku. Jika engkau menginginkan harta, mintalah, maka akan diberikan berapa yang engkau minta.”

Rasulullah kembali meninggalkannya dan menemuinya keesok­an harinya dan berkata, “Bagaimana keadaanmu, ya Tsumamah?”
“Aku masih seperti yang kukatakan kepadamu. Jika engkau ingin memaafkanku, maafkanlah aku. Jika engkau mau membunuhku, bunuhlah. Jika engkau menginginkan harta, maka akan aku beri­kan berapa yang engkau pinta.”
Lalu Rasulullah melihat ke arah para sahabat beliau dan berkata, “Bebaskanlah Tsumamah. Peganglah janjinya dan bebaskanlah ia.”

Setelah itu, Tsumamah meninggalkan masjid Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasalam. Ketika ia sampai di sebuah pohon korma di pinggir kota Madinah dekat al-Baqi’, yang tidak ada air di sana, ia berhenti dan me­nambatkan kudanya. Lalu ia membersihkan mukanya dengan sempurna, kemudian ia kembali ke masjid Rasulullah. Ketika ia sampai di sebuah pohan korma di pinggir

Tatkala sampai dan berdiri di kerumunan para sahabat, ia berkata, “Asyhadu alla ilaha illallah wa asyhadu anna muhammadan abduhu wa rasuluhu.” Lalu ia menghadap Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasalam dan berkata, “Ya Muhammad, demi Allah, tiada wajah yang paling aku benci di bumi ini selain wajahmu dan sekarang wajahmu adalah wajah yang paling aku sukai. Demi Allah, tiada agama yang paling aku benci selain agamamu, sekarang agamamu adalah agama yang paling aku cintai. Demi Allah, tiada negeri yang paling aku benci selain negerimu, sekarang negerimu adalah negeri yang paling aku cintai.”

Lalu ia berkata lagi, “Dahulu aku telah membunuh para sahabat­mu, sekarang apakah yang harus aku perbuat?”

Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasalam menjawab, “Tiada celaan bagimu, ya Tsumamah. Sesungguhnya, Islam telah menghapuskan apa yang engkau lakukan sebelumnya.

Rasulullah pun mengabarkan berita gembira yang Allah tetap­kan atasnya karena keislamannya. Tsumamah merasa amat senang dan berkata, “Demi Allah, sungguh, aku akan membalasnya ter­hadap kaum musyrikin melebihi apa yang aku lakukan terhadap para sahabatmu. Sungguh, aku akan memberikan jiwaku, pedang­ku, pengikutku untuk menolongmu dan agamamu.”

Kemudian ia berkata lagi, “Ya Rasulullah, sesungguhnya, pe­ngawalmu telah menangkapku, padahal aku ketika itu ingin me­laksanakan umrah, sekarang apa yang harus aku perbuat?”

Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasalam menjawab, “Tunaikanlah umrahmu, tetapi atas syariat Allah dan Rasul-Nya.”

Lalu beliau mengajarinya tata cara manasik.
Kemudian, Tsumamah melaksanakan keinginannya. Ketika ia tiba di Mekah, ia berdiri dan berkata dengan suara keras, “Labbaika Allahumma labbaik. Labbaika la syariika laka labbaik. Innaal hamda wan ni’mata laka wal mulk. La syarika lak.”

Ia merupakan muslim pertama di dunia yang memasuki Mekah dengan mengucapkan talbiyah.

Quraisy mendengar suara talbiyah itu. Mereka amat marah. Pedang-pedang telah terhunus, menuju sumber suara untuk meng­hentikannya. Tatkala Quraisy menemui Tsumamah yang sedang mengucapkan talbiyah dan melihat mereka dengan sombong, se­orang pemuda Quraisy ingin membunuhnya dengan panah, tapi mereka melarangnya, mereka berkata, “Celaka engkau, tahukah engkau siapa ini?”

“Dia adalah Tsumamah bin Utsal, Raja Yamamah.”
“Demi Allah, jika engkau membunuhnya, maka kaumnya akan menghentikan suplai makanan kepada kita. Kita akan mati kelaparan.”

Quraisy menemui Tsumamah setelah menaruh kembali pedang mereka dalam sarungnya lalu berkata, “Apa yang terjadi pada dirimu, ya Tsumamah?”
“Apakah engkau meninggalkan agamamu dan agama nenek moyangmu?”

Tsumamah menjawab, “Aku hanya mengikuti agama yang paling baik. Aku mengikuti agama Muhammad. Aku bersumpah demi Pemilik Bait (Ka’bah) ini, sesungguhnya, kalian tidak akan pernah menerima anggur atau makanan lainnya dari Yamamah setelah kepulanganku hingga kalian mengikuti agama Muhammad.”

Lalu Tsumamah bin Utsal umrah di hadapan para Quraisy se­bagaimana yang diajarkan Rasulullah. Kemudian ia menyembelih kurban untuk Allah, bukan untuk berhala. Setelah itu, ia pulang ke negerinya dan mengajak kaumnya untuk menghentikan pe­ngiriman makanan ke Quraisy. Mereka mengikuti perintah Tsumamah. Mereka tidak lagi mengirimkan produk-produk mereka kepada penduduk Mekah.

Pemboikotan yang dilakukan Tsumamah itu sedikit demi sedikit menyusahkan Quraisy. Harga-harga melambung naik. Kelaparan dan kesusahan merajalela, sehingga mereka amat takut akan keselamatan diri mereka dan anak-anak mereka karena kelaparan.

Mereka pun akhirnya menulis surat kepada Rasulullah, “Per­janjian kita adalah bahwa engkau boleh melakukan silaturahim, tapi sekarang engkau memutuskan silaturahim kami. Engkau telah membunuh bapak-bapak kami dengan pedang. Engkau telah membunuh anak-anak kami dengan kelaparan. Sesungguhnya, Tsumamah bin Utsal telah memboikot makanan kepada kami dan itu menyusahkan kami. Jika engkau mau, tulislah surat kepada­nya agar ia memenuhi lagi kebutuhan kami.”

Lalu Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasalam pun mengirimkan surat kepada Tsumamah bin Utsal untuk menghentikan pemboikotan itu. Tsumamah pun langsung menghentikan pemboikotan itu.

Sepanjang hidupnya, Tsumamah tetap menjalankan agamanya dan menjaga perjanjian Nabinya. Ketika Rasulullah wafat dan se­bagian Arab keluar dari Islam satu per satu, Musailamah al-­Kadzdzab mengajak kaumnya di Hanifah mengimaninya. Tsumamah berdiri di hadapannya dan berkata kepada kaumnya, “Wahai bani Hanifah, jauhilah ajakan yang sesat itu. Demi Allah, sesungguhnya, dia (Musailamah) adalah kecelakaan yang Allah telah tetapkan bagi siapa yang mengikutinya, ujian bagi siapa yang tidak mengikutinya.”

Kemudian ia berkata, “Wahai bani Hanifah, sesungguhnya, dua kenabian tidak ada pada waktu yang bersamaan. Sesungguhnya, Muhammad adalah Rasulullah, tiada nabi setelahnya, dan tiada nabi lain yang bersamanya.”

Kemudian ia membacakan kepada mereka, surah al-Mukmin ayat 1-3:
“Haa Miim, diturunkan Kitab ini (Al-Qur’an) dari Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui, Yang Mengampuni dosa dan Menerima taubat lagi keras hukuman-Nya; Yang mempunyai karunia. Tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Hanya kepada-Nyalah kembali (semua makhluk).”

Setelah itu, ia berkata, “Itu bukan firman Allah, melainkan adalah perkataan Musailamah.”

Kemudian ia bergabung bersama kaumnya yang masih tetap dalam Islam, membunuh para murtaddin demi berjihad di jalan Allah, dan meninggikan kalimat-Nya di bumi.

Allah telah membalasi Tsumamah bin Utsal atas pengorbanan­nya terhadap Islam dan kaum muslimin dengan balasan yang lebih baik. Dia memuliakannya dengan surga yang Ia janjikan untuk orang-orang yang bertakwa.

Sumber: Shuwar min Hayaati ash-Shahaabah

Astrologi dalam Islam

Al Ustadz Ahmad Hamdani

“Motivasi yang menggebu-gebu untuk mengejar tujuan sangat membantu karier atau studi. Kali ini adalah peluang baik untuk memulai obsesi yang terpendam selama ini. Buatlah kesempatan.”

Tunggu dulu! Jangan terburu-buru saudara menyangka saya mengetahui masa depan dan aktivitas saudara terutama bagi saudara yang terlahir pada tanggal 23 Oktober - 21 November atau seringnya orang menyebut saudara berbintang Scorpio. Akan tetapi kalimat di atas adalah secuplik kalimat ramalan astrolog yang kami ambil dari sebuah koran ternama di kota pelajar dalam rubrik perbintangan.

Dilihat dari nama rubriknya, dapat diketahui bahwa dasar pemikiran para astrolog atau yang sejalan pemikirannya dengan mereka adalah letak dan konfigurasi bintang-bintang di langit. Misalnya, bila letak gugusan bintang Bima Sakti di arah A lalu kebetulan ada seorang bayi lahir tepat pada malam ketika bintang itu terbit maka diramalkan bayi itu akan menjadi orang terkenal setelah besar nanti.

Apabila kita perhatikan ramalan di atas, akan terlihat bahwa si peramal mencoba atau seolah-olah mengetahui hal-hal ghaib. Seakan ia mampu membaca dan menentukan nasib seseorang. Dengan dasar ini ia memerintah dan melarang pasiennya untuk berbuat sesuatu. Bahkan ia sering menakut-nakutinya meskipun akhirnya memberi kabar gembira atau hiburan dengan kata-kata manis. Bagi orang yang senang akan rubrik seperti tersebut di atas atau yang suka membaca buku-buku astrologi (ramalan-ramalan bohong) terkadang ramalan itu cocok dengan keadaan yang di alami. Namun yang menjadi permasalahan, darimana pikiran peramal itu mencuat? Bagaimana pandangan Islam terhadap masalah ini?

Sesungguhnya perkara-perkara ghaib hanyalah Allah yang mengetahui. Dan ini adalah hak prerogatif Allah semata, selain makhluk yang Ia beritahukan tentangnya, seperti sebagian Malaikat dan para Rasul sebagai mukjizat. Dalam hal ini, Allah berfirman (yang artinya):

“(Dia adalah Rabb) Yang mengetahui yang ghaib. Maka Dia tidak memperlihatkan kepada seseorang pun tentang yang ghaib itu kecuali kepada Rasul yang diridlai-Nya. Maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (Malaikat) di muka bumi dan di belakangnya.” (QS. Al Jin : 26-27)

Barangsiapa mengaku mengetahui perkara atau ilmu ghaib selain orang yang dikecualikan sebagaimana ayat di atas, maka ia telah kafir. Baik mengetahuinya dengan perantaraan membaca garis-garis tangan, di dalam gelas, perdukunan, sihir, dan ilmu perbintangan atau selain itu. Yang terakhir ini yang biasa dilakukan oleh paranormal. Bila ada orang sakit bertanya kepadanya tentang sebab sakitnya maka akan dijawab : “Saudara sakit karena perbuatan orang yang tidak suka kepada saudara.” Darimana dia tahu bahwa penyebab sakitnya adalah dari perbuatan seseorang, sementara tidak ada bukti-bukti yang kuat sebagai dasar tuduhannya? Sebenarnya hal ini tidak lain adalah karena bantuan jin dan para syaithan. Mereka menampakkan kepada khalayak dengan cara-cara di atas (melihat letak bintang, misalnya) hanyalah tipuan belaka.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata : “Para dukun dan yang sejenis dengan mereka sebenarnya mempunyai pembantu atau pendamping (qarin) dari kalangan syaithan yang mengabarkan perkara-perkara ghaib yang dicuri dari langit. Kemudian para dukun itu menyampaikan berita tersebut dengan tambahan kedustaan. Di antara mereka ada yang mendatangi syaithan dengan membawa makanan, buah-buahan, dan lain-lain (untuk dipersembahkan) … . Dengan bantuan jin, mereka ada yang dapat terbang ke Makkah atau Baitul Maqdis atau tempat lainnya.” (Kitabut Tauhid, Syaikh Fauzan halaman 25)

Sungguh benar kabar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mengenai syaithan yang mencuri berita dari langit. Diceritakan dalam sebuah hadits (yang artinya):

Tatkala Allah memutuskan perkara di langit, para Malaikat mengepakkan sayap, mereka merasa tunduk dengan firman-Nya, seolah-olah kepakan sayap itu bunyi gemerincing rantai di atas batu besar. Ketika telah hilang rasa takut, mereka saling bertanya : “Apakah yang dikatakan Rabbmu? Dia berkata tentang kebenaran dan Dia Maha Tinggi lagi Maha Besar.” Lalu firman Allah itu didengar oleh pencuri berita langit. Para pencuri berita itu saling memanggul (untuk sampai di langit), lalu melemparkan hasil curiannya itu kepada teman di bawahnya. (HR. Bukhari dari Abi Hurairah radliyallahu ‘anhu)

Seorang dukun atau paranormal yang memberitakan perkara-perkara ghaib sebenarnya menerima kabar dari syaithan itu dengan jalan melihat letak bintang untuk menentukan atau mengetahui peristiwa-peristiwa di bumi, seperti letak benda yang hilang, nasib seseorang, perubahan musim, dan lain-lain. Inilah yang biasa disebut ilmu perbintangan atau tanjim. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam (yang artinya):

“ … Kemudian melemparkan benda itu kepada orang yang di bawahnya sampai akhirnya kepada dukun atau tukang sihir. Terkadang setan itu terkena panah bintang sebelum menyerahkan berita dan terkadang berhasil. Lalu setan itu menambah berita itu dengan seratus kedustaan.” (HR. Bukhari dari Abi Hurairah radliyallahu ‘anhu)

Meskipun demikian, masih banyak orang yang mempercayai dan mau mendatangi peramal atau astrolog atau para dukun, bukan saja dari kalangan orang yang berpendidikan dan ekonomi rendahan bahkan dari orang-orang yang berpendidikan dan berstatus sosial tinggi. Perbuatan orang yang mendatangi atau yang didatangi dalam hal ini para dukun sama-sama mendapatkan dosa dan ancaman keras dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam berupa dosa syirik dan tidak diterima shalatnya selama 40 malam.

Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda (yang artinya) :

“Barangsiapa yang mendatangi dukun dan menanyakan tentang sesuatu lalu membenarkannya, maka tidak diterima shalatnya 40 malam.” (HR. Muslim dari sebagian istri Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam)

Pada kesempatan lain, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam juga mengancam mereka tergolong orang-orang yang ingkar (kufur) dengan apa yang dibawa beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam (yang artinya):

“Barangsiapa yang mendatangi dukun (peramal) dan membenarkan apa yang dikatakannya, sungguh ia telah ingkar (kufur) dengan apa yang dibawa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.” (HR. Abu Dawud)

Ancaman dalam hadits di atas berlaku untuk yang mendatangi dan menanyakan, baik membenarkan atau tidak. (Syaikh Abdurrahman Alu Syaikh 1979)

TUJUAN PENCIPTAAN BINTANG-BINTANG

Alam dan segala isinya diciptakan dengan hikmah karena diciptakan oleh Dzat yang memiliki sifat Maha Memberi Hikmah dan Maha Mengetahui. Dia Maha Mengetahui apa yang di depan dan di balik ciptaan-Nya. Sehingga mustahil Allah mencipta makhluk dengan main-main. Sebab itu, kewajiban atas makhluk-Nya ialah tunduk dan menerima berita, perintah, dan larangan-Nya. Sebagai contoh, yang berhubungan dengan pembahasan kali ini ialah penciptaan bintang-bintang di langit.

Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitakan bahwa penciptaan bintang-bintang itu ialah untuk penerang, hiasan langit, penunjuk jalan, dan pelempar setan yang mencuri wahyu yang sedang diucapkan di hadapan para malaikat. Sebagaimana Dia firmankan :

“Dan sungguh, Kami telah menghiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang dan Kami jadikan bintang-bintang itu alat-alat pelempar setan.”
(QS. Al Mulk : 5)

Dalam kitab Shahih Bukhari disebutkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan bintang-bintang itu untuk tujuan sebagai hiasan langit, alat pelempar setan, dan rambu-rambu jalan. Maka barangsiapa mempergunakannya untuk selain tujuan itu, sungguh terjerumus ke dalam kesalahan, kehilangan bagian akhiratnya, dan terbebani dengan satu hal yang tak diketahuinya.(Perkataan dalam kitab Shahih Bukhari di atas adalah ucapan Qatadah rahimahullah)

HUKUM MEMPELAJARI ILMU FALAK

Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan hukum mempelajari ilmu perbintangan atau ilmu falak (astrologi). Qatadah rahimahullah (seorang tabi’in) dan Sufyan bin Uyainah (seorang ulama hadits, wafat pada tahun 198 H) mengharamkan secara mutlak mempelajari ilmu falak. Sedangkan Imam Ahmad dan Ishaq rahimahullah memperbolehkan dengan syarat tertentu. Menurut Syaikh Muhammad bin Abdil Aziz As Sulaiman Al Qarawi –yang berusaha mengkompromikan perbedaan pendapat para ulama di atas– bahwa mempelajarinya adalah :

Pertama, kafir bila meyakini bintang-bintang itu sendiri yang mempengaruhi segala aktivitas makhluk di bumi. Ini yang pertama.

Kedua, mempelajarinya untuk menentukan kejadian-kejadian yang ada, akan tetapi semua itu diyakini karena takdir dan kehendak-Nya. Maka yang kedua ini hukumnya haram.

Ketiga, mempelajarinya untuk mengetahui arah kiblat, penunjuk jalan, waktu, menurut jumhur ulama hal ini diperbolehkan (jaiz).

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa mengaku mengetahui ilmu ghaib menyebabkan pelakunya kafir. Sedangkan mendatangi dukun dan bertanya kepadanya, hukumnya haram, baik ia membenarkan atau tidak. Dan yang disebut dukun sekarang ini banyak julukannya. Kadang ia disebut orang pintar atau paranormal, astrolog, fortuneteller, atau yang lainnya. Walaupun begitu, hakikatnya sama saja. Penggunaan julukan yang berbeda-beda hanyalah sebagai pelaris dagangan saja (atau agar terkesan tidak ketinggalan jaman). Hal ini karena mempelajari ilmu falak yang ditujukan untuk meramal nasib atau mengaku mengetahui ilmu ghaib merupakan tindakan kekufuran. Tujuan penciptaan bintang adalah sebagaimana yang telah diterangkan Allah dan para ulama, bukan untuk mengetahui perkara ghaib seperti yang diyakini oleh sebagian besar astrolog. Ayat yang mengatakan (yang artinya) :

“Dan (Dia ciptakan) tanda-tanda (penunjuk jalan). Dan dengan bintang-bintang itulah mereka (mendapat petunjuk).” (QS. An Nahl : 16)

Maksudnya, agar manusia mengetahui arah jalan dengan mengetahui letak bintang-bintang, bukan untuk mengetahui perkara ghaib. Banyak hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam yang mengharamkan dan melarang mempelajari ilmu nujum (perbintangan) dengan tujuan yang dilarang syariat, seperti hadits (yang artinya):

“Barangsiapa mempelajari satu cabang dari cabang ilmu nujum (perbintangan) sungguh ia telah mempelajari satu cabang ilmu sihir … .” (HR. Ahmad* , Abu Dawud, dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas)

Sementara Islam mengharamkan orang yang menyihir atau meminta sihir. Dan mengaku mengetahui ilmu ghaib merupakan perkara yang membatalkan atau menggugurkan tauhid dan keimanan orang karena menandingi Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam sifat Rububiyah.
(Kitabut Tauhid, Syaikh Fauzan halaman 25).

Wallahul Musta’an.

*)Hadits hasan, dihasankan oleh Syaikh Ibnu Alis Sinan dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albany dalam Shahihul Jami’ no 5950 dan dalam As Shahihah no 793.

Sumber: Majalah Dinding AL ILMU
Majelis Ta’lim Salafy STT Telkom Bandung

Tuesday, July 10, 2007

Abdul Muthalib dan Perang Gajah

Penyusun: Ustadz Kholid Syamhudi

Di antara kejadian besar yang terjadi menjelang kelahiran Rosululloh shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah perang gajah yang terjadi pada tahun 571 M. Dikisahkan ada seorang gubernur kerajaan Habasyah (Ethiopia) di Yaman bernama Abrahah bin Al Shobaah melihat orang-orang Arab bersiap-siap di musim haji berangkat ke Mekkah. Lalu ia membangun sebuah gereja besar di kota Shan’a yang diberi nama Al Qalies dengan tujuan ingin memindahkan haji bangsa Arab. Ia menulis surat kepada raja Najasyi yang berisi, “Sungguh saya telah membangun untukmu sebuah gereja yang belum ada tandingannya dan saya tidak berhenti sampai saya memalingkan haji bangsa Arab.” Abrahah bersumpah akan menghancurkan Ka’bah dan memberitahu raja Najasyi tentang hal itu, lalu raja Najasyi menghadiahkan seekor gajah besar bernama Mahmuud. Kemudian ia berangkat dengan pasukannya ke Mekkah dan hal ini didengar bangsa Arab.

Setelah mendengar berita keberangkatan Abrahah menghancurkan Ka’bah, maka keluarlah Dzu Nafar salah seorang kepala kabilah Arab bersama kaumnya melawan Abrahah, namun kalah dan ia pun ditawan. Sesampainya Abrahah di daerah Khots’am disambut dengan perlawanan Nufail bin Habieb Al Khots’amy dan bangsa Arab yang ada di sana. Namun mereka pun kalah dan Nufail pun ditawan.

Ketika melewati daerah Thoif, Abrahah ditemui Mas’ud bin Mu’tib bersama beberapa tokoh kabilah Tsaqif dan Mas’ud berkata: “Wahai Abrahah, Kami tunduk kepadamu dan kami mengutus Abu Righal menjadi penunjuk jalanmu.” Lalu Abrahah berangkat kembali menuju Mekkah dengan penunjuk jalan Abu Righol. Sesampainya di Al Mughammas (daerah dekat Makkah di jalan Thoif) Abu Righol mati. Lalu Abrahah mengirim Seorang Habasyi bernama Al Aswad bin Maqshud bersama pasukan berkudanya lalu mengambil ternak orang Mekkah di daerah Al Araak, di antaranya 200 ekor unta milik Abdul Mutholib. Kemudian Abrahah mengutus Hanathoh Al Himyaary kepada ahli Mekkah untuk bertemu dengan pemukanya dan menyatakan bahwa Abrahah hanya ingin menghancurkan Ka’bah kecuali bila mereka melawan maka ia akan menghancurkan mereka. Maka berjumpalah Hanathoh tersebut dengan Abdul Mutholib, dan berkata Abdul Mutholib: “Kami tidak punya kekuatan, kami akan membiarkan Ka’bah dan apa yang akan terjadi, karena ia adalah Rumah Alloh dan rumah kekasih-Nya Ibrohim. Jika Allah melindunginya maka ia adalah rumah-Nya dan bila membiarkannya maka kami tidak punya kekuatan untuk mencegahnya.” Lalu Abdul Mutholib mendatangi Abrahah dengan perantara Anies pawang gajah Abrahah.

Bertemulah Abdul Mutholib dengan Abrahah dan meminta kembali unta-untanya, maka Abrahah berkata melalui penerjemahnya: “Saya tadinya sangat mengagumimu dan sekarang tidak lagi.” Abdul Mutholib Tanya: “mengapa?” Ia menjawab, “Saya datang ke rumah yang menjadi agamamu dan agama kakek moyangmu untuk menghancurkannya, lalu kamu tidak bicarakan hal itu sama sekali, malahan kamu hanya membicarakan 200 ekor untamu saja.”

Maka Abdul Mutholb berkata: “Saya pemilik unta tersebut dan Ka’bah punya pemilik yang akan melindunginya darimu.” Abrahah berkata: “Tidak mungkin mencegahku.” Abdul Mutholib menjawab: “Terserah kamu.”

Lalu Abrahah menyerahkan untanya dan ia pun pulang dan memerintahkan penduduk Mekkah untuk mengungsi di gunung dan lembah-lembah khawatir terkena akibat peperangan tersebut.

Lalu Abrahah pun bersiap-siap masuk Mekkah dan menunggangi gajahnya dengan berdiri. Ketika ia menggerakkan gajahnya, maka gajahnya berhenti hampir tersungkur di tanah dan menderum, lalu ia pukul kepala gajah tersebut untuk maju dan ia enggan maju dan ketika dihadapkan ke arah lain, gajah tersebut berlari. Kemudian diarahkan lagi ke Mekkah dan ia berhenti lagi. Kemudian Alloh kirim burung Ababiel dari arah laut, setiap burung membawa tiga batu, satu di paruhnya dan dua di kakinya dan melemparkannya kepada pasukan gajah tersebut. Tidak ada seorang pun yang terkena kecuali binasa. Maka porak porandalah pasukan Abrahah dan Abrahah lari terbirit-birit ke Yaman dalam keadaan sakit berat sampai di kota Shan’a kemudian binasa. (Diringkas dari Mukhtashor Siroh Al Rosul karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab At Taimi An Najdi hal. 37-40 dan As Siroh An Nabawiyah. Dirosah Tahliliyah karya DR. Muhammad Abdul Qadir Abu Faaris hal. 107-112). Kisah ini disampaikan dan diabadikan Alloh dalam firman-Nya:

“Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Rabbmu telah bertindak terhadap tentara gajah. Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan ka’bah) itu sia-sia, dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong, yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar, lalu Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat).” (QS. Al Fiil: 1-5)Dari kisah ini dapat diambil beberapa hal penting:

1. Kedudukan Ka’bah yang tinggi.
2. Hasad orang Nasrani kepada Ka’bah.
3. Kesucian Ka’bah bukan pada keindahan bangunan tapi pada keagungan dan pengagungan Ka’bah.
4. Alloh akan merendahkan orang yang menghina dan merendahkan Ka’bah.
5. Musyrikin Quraisy beriman kepada Alloh dan kekuasaan-Nya namun mereka berbuat syirik sehingga menjadi kafir.
Iman mereka inilah yang Allah firmankan,
“Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah dengan sembahan-sembahan lain).” (QS. Yusuf: 106)
6. Kekuatan dan kebesaran orang kafir tidak akan mampu melawan kekuasaan dan kebesaran Alloh.
7. Alloh tidak memperkenankan Abrahah dan yang lainnya menghancurkan Ka’bah dan melenyapkannya.

Dikutip dari : Muslim.or.id

Saturday, July 7, 2007

Bersedekap di Dada

BERSEDEKAP DI DADA
 
Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam meletakkan tangan kanannya di atas telapak tangan kiri, dan (terkadang –pen) di pergelangan tangan, serta di hasta. [142] Beliau memerintahkan hal itu kepada shahabatnya. [143] Dan terkadang beliau (bersedekap) dengan menggenggamkan tangan kanannya di atas tangan kiri. [144] Nabi meletakkan keduanya di dada [145] dan melarang perbuatan ikhtisar [146] dalam shalat [147] karenan menyerupai salib yang beliau larang. [148]
 
___________________________
Catatan Kaki:
 
[142] HR. Abu Dawud, An-Nasa’I, dan Ibnu Khuzaimah (1/54/2) dengan sanad yang shahih. Dishahihkan oleh Ibnu Hibban (458).
[143] HR. Malik, Al-Bukhari dan Abu ‘Awanah.
[144] HR. An-Nasa’I dab Ad-Daruquthy dengan sanad yang shahih.
Hadits ini menunjukkan bajwa termasuk sunnah adalah menggenggam tangan kanan di atas tangan kiri. Sementara dalam hadists yang pertama menujukkan beliau hanya meletakkan saja akan tetapi keduanya termasuk sunnah. Adapun menggabungkan “Al-qabdh (menggenggam dengan al-wadhu” (meletakkan –pen) sekaligus sebagaimana yang dianggap baik oleh orang-orang belakangan dari kalangan Hanafiyah (mahdzab Hanafi) maka hal tersebut adalah bid’ah dan bentuknya sebagaimana ang mereka sebutkan yakni tangan kanan diletakkan di atas tangan kiri kemudian jari kelingking dengan ibu jari menggenggam pergelangan sementara tigajemari lainnya dibentangkan – sebagaimana tersebut dalam Hasyiah Ibnu ‘Abidin. (1/454) maka jangan sampai anda tertipu dengan ucapan sebagian orang-orang belakangan semacam ini.
[145] HR. Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya (1/54/2), Ahmad, dan Abu Syaikh dalam Tarikh Ashbahan (hal. 125). Al-Imam At-Tirmidzi menghasankan salah satu sanadnya.  Hadits yang semakna dengan hal ini terdapat dalam Muwatha’ dan diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Shahih-nya bila diperhatikan dengan seksama, dan sungguh telah aku rinci pembahasan seputar jalan-jalan periwayatan hadits ini dalah Ahkamul Janaiz (hal. 118).
Catatan: Meletakkan kedua tangan di dada itulah yang shahih dalam As-Sunnah, sementara lainya adakalanya dhaif riwauatnya atau tidak ada asalnya. Sungguh sunnah yang demikian ini telah diamalkan oleh Al-Imam Ishaq bin Rahawaih sebagaimana yang diturunkan oleh Al-Marwazy dalam Al-Masa’il (hal. 222), beliau menceritakan, “Dahulu Ishaq pernah shalat Witir mengimani kami…. Beliau mengangkat kedua tangan ketika qunut dan melakukan qunut sebelum ruku’. Beliau meletakkan kedua tangannya pada dadanya atau dibawahnya.”
Demikian pula perkataan Al-Qadli ‘Iyadh Al-Maliki dalam Mustahabbatis Shalat dari kitabnya Al-I’lam (hal. 15 cetakan ketiga Ar-Ribath): “Dan meletakkan tangan kanan di atas punggung tangan tangan kiri di sebelah atas dada.”
Yang lebih dekat dari hal itu adalah apa yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Ahmad dalam Masa’il karyaya (hal. 62), beliau menyatakan: “Aku pernah melihat ayahku tatkala shalat meletakkan kedua tangannya, salah satunya di atas yang lain di sebelh atas pusar (yakni di bawah dada –pen).” Lihat Irwaul Ghalil (353).
[146] Yakni meletakkan tangan di atas lambung. Sebagaimana yang ditafsirkan oleh sebagian rawi hadits ini.
[147] HR. Bukhari-Muslim. Lihat takhrijnya dalam Al-Irwa’ (374).
[148] HR. Abu Dawud, An-Nasa’i, dan selain keduanya.
 
 
Disalin dari terjemahan kitab Shifatu Shalaati An-Nabiyyi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam min At-Takbiiri ilaa At-Tasliimi Ka-annaka Taraahaa (Tuntunan Shalat Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam) oleh Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani.