Thursday, May 31, 2007

Khadijah bintu Khuwailid

Siapakah yang menyangka saat itu, keharuman pribadinya kelak akan merebak di sepanjang sejarah Islam di setiap dada kaum muslimin? Siapakah yang menyangka, bahwa wanita yang mulia ini akan mendapatkan sebuah keutamaan yang besar yang telah ditetapkan Allah baginya? Siapakah yang menyangka, wanita cantik jelita ini akan mendampingi manusia yang paling mulia dalam rentang awal perjalanan dakwahnya? Siapakah yang menyangka saat itu…? 

Muslimin manakah yang tak pernah mendengar sebutan namanya? Khadijah bintu Khuwailid bin Asad bin ‘Abdil ‘Uzza bin Qushay Al-Qurasyiyah Al-Asadiyah radhiyallahu‘anha yang tercatat sebagai istri Rasulullah Shallallahu `alaihi Wasalam sekaligus wanita pertama yang membenarkan pengangkatan Muhammad Shallallahu `alaihi Wasalam sebagai nabi dan beriman kepada Allah dan Rasul-Nya Shallallahu `alaihi Wasalam

Sebelumnya dia dikenal sebagai seorang wanita yang menjaga kehormatan dirinya sehingga melekatlah sebutan ath-thaahirah pada dirinya. Dia seorang janda dari suaminya yang terdahulu, Abu Halah bin Zararah bin an-Nabbasy bin ‘Ady at-Tamimi, kemudian menikah dengan ‘Atiq bin ‘A`idz bin ‘Abdillah bin ‘Umar bin Makhzum. Saat dia kembali menjanda, seluruh pemuka Quraisy mengangankan agar dapat menyuntingnya.

Sebagaimana umumnya Quraisy yang hidup sebagai pedagang, Khadijah radhiyallahu‘anha adalah wanita pedagang yang mulia dan banyak harta. Tiada yang mengira, ternyata pekerjaannya itu akan mengantarkan pertemuannya dengan manusia yang paling mulia, Rasulullah Shallallahu `alaihi Wasalam.

Ia memberikan tawaran kepada seorang pemuda bernama Muhammad Shallallahu `alaihi Wasalam untuk membawa hartanya ke Syam, disertai budaknya yang bernama Maisarah. Perdagangan yang dibawa oleh Muhammad Shallallahu `alaihi Wasalam itu memberikan keuntungan yang berlipat. Tak hanya itu, Maisarah pun membawa buah tutur yang mengesankan tentang diri Muhammad Shallallahu `alaihi Wasalam.

Penuturan Maisarah membekas dalam hati Khadijah radhiyallahu`anha. Dia pun terkesan pada kejujuran, amanah, dan kebaikan akhlak Rasulullah Shallallahu `alaihi Wasalam. Tersimpan keinginan yang kuat dalam dirinya untuk memperoleh kebaikan itu, hingga diutuslah seseorang untuk menjumpai beliau dan menyampaikan hasratnya. Dia tawarkan dirinya untuk dipersunting Muhammad Shallallahu `alaihi Wasalam, seorang pemuda yang saat itu berusia dua puluh lima tahun. Gayung pun bersambut.
Namun, ayah Khadijah enggan untuk menikahkannya. Khadijah, wanita yang cerdas itu tak tinggal diam. Ia tak ingin terluput dari kebaikan yang telah bergayut dalam angannya. Dibuatnya makanan dan minuman, diundangnya ayah beserta teman-temannya dari kalangan Quraisy. Mereka pun makan dan minum hingga mabuk. Saat itulah Khadijah mengemukakan kepada ayahnya, “Sesungguhnya Muhammad bin ‘Abdillah telah mengkhitbahku, maka nikahkanlah aku dengannya.” Dinikahkanlah Khadijah dengan Muhammad Shallallahu `alaihi Wasalam, dan segera Khadijah memakaikan wewangian dan perhiasan pada diri ayahnya, sebagaimana kebiasaan mereka pada saat itu.
Tatkala sadar dari mabuknya, ayah Khadijah mendapati dirinya mengenakan wewangian dan perhiasan. Ia bertanya keheranan, “Mengapa aku? Apa ini?” Khadijah berkata kepada ayahnya, “Engkau telah menikahkanku dengan Muhammad bin ‘Abdillah.” Ayahnya pun berang, “Apakah aku akan menikahkanmu dengan anak yatim Abu Thalib? Tidak, demi umurku!” Khadijah menjawab, “Apakah engkau tidak malu, engkau ingin menampakkan kebodohanmu di hadapan orang-orang Quraisy dengan menyatakan kepada mereka bahwa engkau saat itu menikahkanku dalam keadaan mabuk?” Tak henti-henti Khadijah berucap demikian hingga ayahnya ridha.

Wanita jelita itu, Khadijah radhiyallahu‘anha, mendapati kembali belahan hatinya dalam usia empat puluh tahun. Tergurat peristiwa ini dalam sejarah lima belas tahun sebelum Muhammad Shallallahu `alaihi Wasalam diangkat sebagai nabi.

Allah Subhanahu wa Ta`ala telah menentukan Khadijah radhiyallahu`anha mendampingi seorang nabi. Awal mula wahyu turun kepada Rasulullah Shallallahu `alaihi Wasalam berupa mimpi yang baik yang datang dengan jelas seperti munculnya cahaya subuh. Kemudian Allah jadikan beliau Shallallahu `alaihi Wasalam gemar menyendiri di gua Hira’, ber-tahannuts beberapa malam di sana. Lalu biasanya beliau kembali sejenak kepada keluarganya untuk menyiapkan bekal. Demikian yang terus berlangsung, hingga datanglah al-haq, dibawa oleh seorang malaikat.

Peristiwa ini sangat mengguncang hati Rasulullah Shallallahu `alaihi Wasalam. Bergegas-gegas beliau kembali menemui Khadijah radhiyallahu`anha dalam keadaan takut dan berkata, “Selimuti aku, selimuti aku!” Diselimutilah Rasulullah Shallallahu `alaihi Wasalam hingga beliau merasa tenang dan hilang rasa takutnya. Kemudian mulailah beliau mengisahkan apa yang terjadi padadirinya. Beliau mengatakan kepada Khadijah, “Aku khawatir terjadi sesuatu pada diriku.”

Mengalirlah tutur kata penuh kebaikan dari lisan Khadijah radhiyallahu`anha, membiaskan ketenangan dalam dada suaminya, “Tidak, demi Allah. Allah tidak akan merendahkanmu selama-lamanya. Sesungguhnya engkau adalah seorang yang suka menyambung kekerabatan, menanggung beban orang yang kesusahan, memberi harta pada orang yang tidak memiliki, menjamu tamu dan membantu orang yang membela kebenaran.”

Lalu Khadijah radhiyallahu`anha membawa suaminya menemui Waraqah bin Naufal bin Asad bin ‘Abdil ‘Uzza, anak paman Khadijah radhiyallahu`anha, seorang yang beragama Nashrani pada masa itu dan telah menulis al-Kitab dalam bahasa Ibrani. Dia adalah seorang laki-laki yang lanjut usia dan telah buta. Khadijah radhiyallahu`anha berkata padanya, “Wahai anak pamanku, dengarkanlah penuturan anak saudaramu ini.” Waraqah pun bertanya, “Wahai anak saudaraku, apa yang engkau lihat?”

Rasulullah Shallallahu `alaihi Wasalam menuturkan pada Waraqah apa yang beliau lihat. Setelah itu, Waraqah mengatakan, “Itu adalah Namus yang Allah turunkan kepada Musa. Aduhai kiranya aku masih muda pada saat itu! Aduhai kiranya aku masih hidup ketika kaummu mengusirmu!” Mendengar itu, Rasulullah Shallallahu `alaihi Wasalam bertanya, “Apakah mereka akan mengusirku?” Waraqah menjawab, “Ya. Tidak ada seorang pun yang membawa seperti yang engkau bawa kecuali pasti dimusuhi. Kalau aku menemui masa itu, sungguh-sungguh aku akan menolongmu.” Namun tak lama kemudian, Waraqah meninggal.

Inilah kiprah pertama Khadijah bintu Khuwailid radhiyallahu`anha semenjak masa nubuwah. Dia pulalah orang pertama yang shalat bersama Rasulullah Shallallahu `alaihi Wasalam dan ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu`anha. Terus mengalir dukungan dan pertolongan Khadijah radhiyallahu`anha kepada Rasulullah Shallallahu `alaihi Wasalam dalam menghadapi kaumnya. Setiap kali beliau mendengar sesuatu yang tidak beliau sukai dari kaumnya, beliau menjumpai Khadijah radhiyallahu`anha. Lalu Khadijah pun menguatkan hati beliau, meringankan beban yang beliau rasakan dari manusia.
 
Tak hanya itu kebaikan Khadijah radhiyallahu`anha. Dia berikan apa yang dimiliki kepada suami yang dicintainya. Bahkan ketika Rasulullah Shallallahu `alaihi Wasalam menampakkan rasa senangnya pada Zaid bin Haritsah, budak yang berada di bawah kepemilikannya, Khadijah pun menghibahkan budak itu kepada suaminya. Inilah yang mengantarkan Zaid memperoleh kemuliaan menjadi salah satu orang yang terdahulu beriman.

Dialah Khadijah bintu Khuwailid radhiyallahu`anha. Kemuliaan itu telah diraihnya semenjak ia masih ada di muka dunia. Tatkala Jibril `Alaihis Salam datang kepada Rasulullah Shallallahu `alaihi Wasalam dan mengatakan, “Wahai Rasulullah, ini dia Khadijah. Dia akan datang membawa bejana berisi makanan atau minuman. Bila ia datang padamu, sampaikanlah salam padanya dari Rabbnya dan dariku, dan sampaikan pula kabar gembira tentang rumah di dalam surga dari mutiara yang berlubang, yang tak ada keributan di dalamnya, dan tidak pula keletihan.”

Tiba pungkasnya masa Khadijah radhiyallahu`anha mendampingi suaminya yang mulia. Khadijah radhiyallahu`anha kembali kepada Rabbnya `Azza wa Jalla, tak lama berselang setelah meninggalnya Abu Thalib, paman Rasulullah Shallallahu `alaihi Wasalam. Tahun itu menjadi tahun berduka bagi Rasulullah Shallallahu `alaihi Wasalam. Kaum musyrikin pun semakin berani mengganggu beliau sampai akhirnya Allah perintahkan beliau untuk meninggalkan Makkah menuju negeri hijrah, Madinah, tiga tahun setelah itu.

Khadijah bintu Khuwailid radhiyallahu`anha. Kemuliaannya, kebaikannya dan kesetiaannya senantiasa dikenang oleh Rasulullah Shallallahu `alaihi Wasalam hingga merebaklah kecemburuan ‘Aisyah radhiyallahu`anha, “Bukankah dia itu hanya seorang wanita tua yang Allah telah mengganti bagimu dengan yang lebih baik darinya?” Perkataan itu membuat Rasulullah Shallallahu `alaihi Wasalam marah, “Tidak, demi Allah. Tidaklah Allah mengganti dengan seseorang yang lebih baik darinya. Dia beriman ketika manusia mengkufuriku, dia membenarkan aku ketika manusia mendustakanku, dia memberikan hartanya padaku saat manusia menahan hartanya dariku, dan Allah memberikan aku anak darinya yang tidak diberikan dari selainnya.”

Khadijah bintu Khuwailid radhiyallahu`anha. Kemuliaan itu telah dijanjikan melalui lisan mulia Rasulullah Shallallahu `alaihi Wasalam, “Wanita ahli surga yang paling utama adalah Khadijah bintu Khuwailid, Fathimah bintu Muhammad Shallallahu `alaihi Wasalam, Maryam bintu ‘Imran, dan Asiyah bintu Muzahim istri Fir’aun.” Semoga Allah meridhainya.

Wallahu ta`ala a’lamu bish-shawab.
(Hadiah untuk putriku tersayang, Khadijah bintu Abi Ishaq, untuk suamiku tercinta dan untuk istri-istri suamiku yang mulia)

(Disusun oleh Ummu ‘Abdirrahman Anisah bintu ‘Imran)



DAFTAR PUSTAKA:
Al-Ishabah, Al-Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqalani
Mukhtashar Sirah ar-Rasul, Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab
Shahih Al-Bukhari, Al-Imam Al-Bukhari
Shahih As-Sirah An-Nabawiyah, Asy-Syaikh Ibrahim Al-‘Aly
Siyar A’lamin Nubala’, Al-Imam Adz-Dzahabi

Sumber :http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=8

Ummu Hani bintu Abi Thalib Al-Hasyimiyyah radhiallahu ‘anha

akhwat.co.nr

Dia begitu mengerti tentang agungnya hak seorang suami. Dia pun mengerti tentang hak anak-anak yang ditinggalkan suaminya dalam asuhannya. Dia tak ingin menyia-nyiakan satu pun dari keduanya, hingga dia dapatkan pujian yang begitu mulia, “Sebaik-baik wanita penunggang unta adalah wanita Quraisy, sangat penyayang terhadap anak-anaknya.”

Dia bernama Fakhitah, seorang wanita dari kalangan bangsawan Quraisy. Putri paman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Thalib Abdu Manaf bin Abdil Muththalib bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Qushay. Ibunya bernama Fathimah bintu Asad bin Hasyim bin Abdi Manaf. Dia saudari sekandung ‘Ali, ‘Aqil dan Ja’far, putra-putra Abu Thalib.

Semasa jahiliyah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah meminangnya. Pada saat bersamaan, seorang pemuda bernama Hubairah bin Abi Wahb Al-Makhzumi pun meminangnya pula. Abu Thalib menjatuhkan pilihannya pada Hubairah hingga akhirnya Abu Thalib menikahkan Hubairah dengan putrinya. Dari pernikahan ini, lahirlah putra-putra Hubairah, di antaranya Ja’dah bin Hubairah yang kelak di kemudian hari diangkat ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu -ketika menjabat sebagai khalifah- sebagai gubernur di negeri Khurasan. Putra-putra yang lainnya adalah `Amr –yang dulunya Ummu Hani` berkunyah dengannya, namun putranya ini meninggal ketika masih kecil– serta Hani` dan Yusuf.

Namun pada akhirnya, Islam memisahkan mereka berdua. Ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala membukakan negeri Makkah bagi Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan manusia berbondong-bondong masuk Islam, Ummu Hani` radhiallahu ‘anha pun berislam bersama yang lainnya. Mendengar berita keislaman Ummu Hani`, Hubairah pun melarikan diri ke Najran.

Pada hari pembukaan negeri Makkah itu, ada dua kerabat suami Ummu Hani` dari Bani Makhzum, Al-Harits bin Hisyam dan Zuhair bin Abi Umayyah bin Al-Mughirah, datang kepada Ummu Hani` untuk meminta perlindungan. Waktu itu datang pula ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu menemui Ummu Hani` sambil mengatakan, “Demi Allah, aku akan membunuh dua orang tadi!” Ummu Hani` pun menutup pintu rumahnya dan bergegas menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Saat itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tengah mandi, ditutup oleh putri beliau, Fathimah radhiallahu ‘anha dengan kain. Ummu Hani` pun mengucapkan salam, hingga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Siapa itu?” “Saya Ummu Hani`, putri Abu Thalib,” jawab Ummu Hani`. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menyambutnya, “Marhaban, wahai Ummu Hani`!”

Lalu Ummu Hani` mengadu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kedatangan dua kerabat suaminya untuk meminta perlindungan kepadanya sementara ‘Ali berkeinginan membunuh mereka. Maka beliau pun menjawab, “Aku melindungi orang yang ada dalam perlindunganmu dan memberi jaminan keamanan pada orang yang ada dalam jaminan keamananmu.” Usai mandi, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menunaikan shalat delapan rakaat. Waktu itu adalah waktu dhuha.

Setelah Ummu Hani` berpisah dari suaminya karena keimanan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang untuk meminang Ummu Hani`. Namun dengan halus Ummu Hani` menolak, “Sesungguhnya aku ini seorang ibu dari anak-anak yang membutuhkan perhatian yang menyita banyak waktu. Sementara aku mengetahui betapa besar hak suami. Aku khawatir tidak akan mampu untuk menunaikan hak-hak suami.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengurungkan niatnya. Beliau mengatakan, “Sebaik-baik wanita penunggang unta adalah wanita Quraisy, sangat penyayang terhadap anak-anaknya.”

Ummu Hani` radhiallahu ‘anha meriwayatkan hadits-hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang hingga saat ini termaktub dalam Al-Kutubus Sittah. Dia pun menyebarkan ilmu yang telah dia dulang hingga saat akhir kehidupannya, jauh setelah masa khilafah saudaranya, ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, pada tahun ke-50 H. Ummu Hani` Al-Hasyimiyyah, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala meridhainya….

Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.

Sumber Bacaan:
- Al-Bidayah wan Nihayah, Al-Imam Ibnu Katsir (4/292-293)
- Al-Ishabah, Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani (7/317)
- Al-Isti’ab, Al-Imam Ibnu Abdil Barr (4/1963-1964)
- Ath-Thabaqatul Kubra, Al-Imam Ibnu Sa’d (8/47)
- Siyar A’lamin Nubala`, Al-Imam Adz-Dzahabi (2/311-314)
- Tahdzibul Kamal, Al-Mizzi (35/389-390)

Monday, May 28, 2007

Karenanya,.. Izinkanlah ku Bersedih..

Rasululloh shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “ Tidaklah menimpa seorang mukmin rasa sakit yang terus-menerus, kepayahan, penyakit dan juga kesedihan, bahkan sampai kesusahan yang menyusahkannya, melainkan akan dihapuskan dengannya dosa-dosa“. ( HR. Muslim no 2573 )


Ibnu Qayyim Al Jauziyyah rahimahullah berkata : “ Untuk meringankan cobaan itu ada dua cara; pertama, menghitung nikmat Alloh dan segala nikmat yang ada. Jika ia tidak mampu untuk menghitungnya karena banyak, maka cobaan itu akan terasa ringan. Sehingga cobaan itu dibandingkan dengan nikmat-nikmat Allah, bisa diibaratkan setetes air ditengah lautan. Kedua, mengingat nikmat-nikmat Alloh yang lalu, berarti hal ini berkaitan dengan masa lampau. “ ( Madaarijus Saalikin, II / 174-175 )

Sunday, May 27, 2007

Surat Al-Lahab

Oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Bismillahirrahmaanirrahiim

Allah berfirman.

Artinya :
“Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa” [Al-Lahab : 1]
“Tidaklah berpelajaran kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan” [Al-lahab : 2]
“Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak” [Al-Lahab : 3]
“Dan (begitu pula) isterinya, pembawa kayu bakar” [Al-Lahab : 4]
“Yang di lehernya ada tali dari sabut” [Al-Lahab : 5]

Mengenai “basmalah” telah berlalu penjelasannya.

Dalam surat ini terdapat bukti-bukti yang sangat banyak dan jelas bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas kebenaran. Beliau tidak mengajak demi mendapatkan kekuasaan, kehormatan dan jabatan di kalangan kaummnya. Dalam mensikapi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, para paman beliau terbagi menjadi tiga kelompok.

[a]. Kelompok yang beriman, berjihad bersama beliau dan tunduk kepada Allah Rabb sekalian alam.
[b]. Kelompok yang mendukung dan menolong beliau, namun tetap kafir.
[c]. Kelompok yang ingkar dan berpaling. Mereka ini kafir terhadap agama beliau.

Adapun kelompok pertama, seperti Al-Abbas bin Abdul Muthalib dan Hamzah bin Abdul Muthalib. Hamzah lebih afdhal dari pada Abbas, karena beliau dijuluki sebagai syuhada yang terbaik disisi Allah Azza wa Jalla, dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberinya gelar asadullah dan asudarasuluhu (singa Allah dan rasulNya) [1]. Beliau terbunuh pada perang Uhud di tahun kedua hijrah.[2]

Adapun yang mendukung serta menolong tetapi masih tetap dalam kekafiran, seperti Abu Thalib. Dia telah bersikap baik kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta membela dan mendukung beliau, namun –wal ‘iyaadzu billah- Allah telah menentukan adzab untuknya, tidak memeluk agama Islam sampai akhir hayatnya. Di detik-detik akhir kehidupannya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajaknya masuk Islam tetapi ia tetap enggan dan meninggal dengan pernyataannya bahwa ia berada di atas agamanya Abdul Muthalib [3]. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memintanya syafaat untuknya (untuk meringankan adzab) hingga diadzab di naar dengan cara dipakaikan sandal lalu menggelegak isi otaknya.[4].

Ketiga yaitu yang ingkar dan berpaling, seperti Abu Lahab. Allah menurunkan satu surat penuh, yang dibaca di dalam shalat wajib dan sunnah, shalt sir (yang bacaannya pelan) dan jahar (yang bacaannya terang) diberi pahala orang yang membacanya, setiap huruf sepuluh kebaikan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa” [Al-Lahab : 1]

Ini merupakan bantahan terhadap Abu Lahab, ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajak mereka ke jalan Allah, mengingatkan dan memberi mereka kabar gembira. Berkata Abu Lahab : “Celakalah engkau! Hanya untuk inikah engkau kumpulkan kami?[5] Perkataan “hanya untuk inikah engkau kumpulkan kami” adalah untuk meremehkan. Artinya, ini adalah perkara sepele, sehingga tidak perlu mengumpulkan para pemimpin Quraisy. Yang demikian ini sama seperti firman Allah Ta’ala.

“Artinya : Apakah ini orang yang mencela ilah-ilah kalian?” [Al-Anbiyaa: 36]

Yaitu meremehkannya. Tidak acuh dan tidak peduli. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : Dan mengapa mereka berkata : “Mengapa Al-Qut’an ini tidak diturunkan kepada seorang besar dari salah satu dua negeri (Mekah danThaif) ini?’ [Az-Zukhruf : 31]

Wal hasil, Abu Lahab berkata : “Celakalah engkau, hanya untuk inikah engkau kumpulkan kami?” Maka Allah Ta’ala membantah dengan menurunkan surat ini “Tabbat yadaa abii lahabiw watabb”, Al-Tabaab artinya Al-Khasaar yaitu kerugian. Sebagaimana firman Allah Ta’ala.

“Artinya : … Dan tipu daya Fir’aun itu tidak lain hanyalah membawa kerugian” [Al-Mu’min : 37]

Yaitu kerugian. Dan Allah memulai dengan menyebutkan tangan sebelum yang lainnya, karena kedua tanganlah yang sering bekerja dan bergerak, mengambil dan memberi dan lain-lain. Dan gelar Abu Lahab adalah gelar yang pantas dan sesuai dengan kondisi dan tempat kembalinya. Gelar ini pantas untuknya karena ia akan dimasukkan ke dalam naar yang menyala-nyala yang mengeluarkan lidah api yang dahsyat. Berkata seorang penyair.

Katakan, tidaklah matamu melihat seorang yang punya gelar
Kecuali kamu akan berfikir makna dari gelarnya

Ketika Suhail bin Amr datang pada perang Hudaibiyah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Ini adalah Suhail bin Amr, aku tidak melihat kecuali ia telah mudahkan urusan kalian” [6]

Karena nama tersebut sesuai dengan perbuatannya.

Allah berfirman.

“Artinya : Tidaklah berpelajaran kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan” [Al-Lahab : 2]

-Ma- berkemungkinan mempunyai makna istifham (pertanyaan) yang berarti : Manfaat apa yang ia dapatkan dari hartanya dan apa yang ia usahakan? Jawabnya : Tidak ada sama sekali. Atau bermakna naïf (penolakan), berarti maknanya : Tidaklah bermanfaat kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan. Kedua makna tersebut saling berkaitan, yaitu ; bahwa harta dan apa yang ia usahakan tidak bermanfaat sedikitpun untuknya ? Padahal menurut kebiasaan, harta itu bermanfaat. Harta dapat dijadikan alat penebus jika seseorang ditawan musuh. Ia katakana : “Jika engkau membebaskanku maka aku akan memberimu uang sekian-sekian”. Dengan meminta harta sedikit atau banyak, musuhnya akan membebaskannya. Jika seseorang, sakit atau lapar dapat memanfaatkan hartanya. Harta sangatlah bermanfaat, namun dikatakan tidak bermanfaat jika tidak dapat menyelamatkan pemiliknya dari naar. Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman “ Maa agnaa anhu maaluhu” yakni hartanya tidak dapat menyelamatkannya dari siksaan Allah Ta’ala. FirmanNya “Wamaa kasab” dikatakan maknanya adalah anaknya. Yakni, tidak bermanfaat baginya harta dan anaknya. Sebagaimana yang dikatakan Nabi Nuh ‘Alaihis salam

“Artinya : …. Dan telah mengikuti orang-orang yang harta dan anak-anaknya tidak menambah kepadanya melainkan kerugian belaka…” [Al-Ma’aarij : 21]

Maka mereka artikan “wamaa kasab” ialah anak. Pendapat ini juga didukung dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Sebaik-baik hasil yang kamu makan adalah hasil dari jerih payahmu, dan anak-anakmu tersebut termasuk dari hasil jerih payahmu” [7]

Pendapat yang benar adalah ayat tersebut lebih umum dari yang demikian. Ayat di atas mencakup anak. Juga mencakup harta yang sedang ia usahakan untuk ia dapatkan, juga mencakup apa yang ia usahakan untuk meraih kemuliaan dan kehormatan. Setiap usaha yang dilakukan untuk menambah kemualian dan kehormatan, tidak bermanfaat untuknya sedikitpun “ Maa agnaa anhu maaluhu wamaa kasab” = Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan”

Firman Allah.

“Artinya : Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak” [Al-Lahab : 3]

Huruf –sin- pada “sayashla” untuk ‘at-tanfis’ yang menunjukkan ‘al-haqiqah’ (hakiki) dan al-qurb (waktu dekat). Yakni, Allah Ta’ala mengancamnya dalam waktu dekat dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak. Karena kemewahan dunia, dan bagaimanapun lamanya tinggal di dunia, tetap saja dikatakan akhirat itu dekat. Sehingga manusia yang ada di alam barzakh merasa sebentar walaupun tahun demi tahun yang panjang telah berlalu.

Allah subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : … mereka (merasa) seolah-olah tidak tinggal (di dunia) melainkan sesaat pada siang hari. (Inilah) suatu pelajaran yang cukup, maka tidak dibinasakan melainkan kaum yang fasik”[Al-Ahqaaf : 35]

Sesaat yang ada di siang hari tentunya waktu yang sangat singkat.

Firman Allah
“Artinya : Dan (begitu pula) isterinya, pembawa kayu bakar” [Al-Lahab : 4]

Yaitu wanita (istri) yang yang ada bersamanya. Dia adalah wanita terhormat di kalangan suku Quraisy, namun kehormatan tersebut tidak bermanfaat untuknya karena ikut membantu suaminya dalam permusuhan dan dosa serta tetap di dalam kekafiran. Firman Allah : “Hammaa latal hathab” = pembawa kayu bakar, dibaca nashab (fathah) atau rafa (dhamah). Adapun jika dibaca nasab, maka menunjukkan keadaan istrinya. Yaitu, keadaan istrinya membawa kayu bakar. Atau manshub dengan arti celaan. Karena na’at yang terputus boleh dinashabkan dengan maksud pencelaan. Artinya, Aku mencela si pembawa kayu bakar. Adapun jika dibaca rafa’ menunjukan sifat si wanita tersebut, -Hammaalah- bentuk mubalaghah, artinya banyak membawa. Disebutkan bahwa ia membawa kayu yang berduri kemudian ia letakkan di jalan yang dilalui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, untuk menyakiti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Firman Allah.

“Artinya : Yang di lehernya ada tali dari sabut” [Al-Lahab : 5]

Al-jid ialah al-‘unuq artinya leher. Habl ialah tali, al-masad : sabut. Yakni, ia pergi ke gurun dengan membawa tali untuk mengikat kayu-kayu berduri yang akan ia letakkan di jalan yang dilalui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, na’udzubillah min dzalik. Hal ini mengisyaratkan rendahnya cara berfikir, karena ia menghinakan dirinya sendiri. Seorang wanita dari kabilah yang terkemuka dari kalangan suku Quraisy pergi ke gurun dengan melilitkan tali sabut di lehernya. Tetapi demi untuk menyakiti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ia rela melakukannya.

Nas alullah al’afiyah. Sampai di sini selesailah penjelasan surat ini dengan kemudahan dari Allah Azza wa jalla.

[Disalin dari kitab Tafsir Juz ‘Amma, edisi Indonesia Tafsir Juz ‘Amma, penulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, penerjemah Abu Ihsan Al-Atsari, penerbit At-Tibyan – Solo]
________
Foot Note
[1]. Hadits riwayat Al-Bukhari dalam Kitab Tarikh Kabir (VIII/438) dan Ibnu Abi Ashim dalam kitab Jihad no. 249
[2]. Hadits riwayat Al-Bukhari dalam Kitab Peperangan, bab : Terbunuhnya Hamzah Radhiyallahu ‘anha no. 4072
[3]. Hadits riwayat Al-Bukhari dalam Kitab Tafsir, bab : Firman Allah : “Innaka laa tahdii man ahbabta”, no. 472. Dan Muslim dalam kitab Al-Iman, bab : Dalil sahnya keislaman orang yang menhadapi sekarat, dan dalil bahwa orang yang tetap syirik hingga mati akan menjadi penghuni naar, no. 24, 39
[4]. Telah disebutkan takhrijnya. Lihat hal.382
[5]. Hadits riwayat Al-Bukhari dalam Kitab Tafsir, bab : FirmanNya “Sayashla naaran dzaata lahab” no. 4973
[6]. Hadits riwayat Al-Bukhari dalam Kitab Syarat-Syarat, bab : Syarat-syarat dalam Jihad, no. 2731
[7]. Hadits riwayat At-Tirmidzi dalam kitab Hukum-hukum, bab : Si bapak boleh mengambil harta anaknya, no. 1358. Ia berkata : “hadits hasan shahih

Monday, May 21, 2007

3. RUKUN ISLAM

SYARAH ARBA’IN AN NAWAWI

Judul Asli          : Syarhul arba’iina Hadiitsan An Nawawiyah
Penulis             : Ibnu Daqiqil ‘Ied

RUKUN ISLAM


Abu Abdurrahman, Abdullah bin Umar bin Khathab ra berkata : saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: Islam didirikan diatas lima perkara yaitu bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, mengerjakan haji ke baitullah dan berpuasa pada bulan ramadhan. (HR. Bukhari dan Muslim)

Penjelasan :

Abul ‘Abbas Al-Qurtubi berkata : “Lima hal tersebut menjadi asas agama Islam dan landasan tegaknya Islam. Lima hal tersebut diatas disebut secara khusus tanpa menyebutkan Jihad ïƒ Padahal Jihad adalah membela agama dan mengalahkan penentang-penentang yang kafir ïƒ Karena kelima hal tersebut merupakan kewajiban yang abadi, sedangkan jihad merupakan salah satu fardhu kifayah, sehingga pada saat tertentu bisa menjadi tidak wajib.

Pada beberapa riwayat disebutkan, Haji lebih dahulu dari Puasa Romadhon. Hal ini adalah keraguan perawi. Wallahu A’lam (Imam Muhyidin An Nawawi dalam mensyarah hadits ini berkata, “Demikian dalam riwayat ini, Haji disebutkan lebih dahulu dari puasa. Hal ini sekedar tertib dalam menyebutkan, bukan dalam hal hukumnya, karena puasa ramadhon diwajibkan sebelum kewajiban haji. Dalam riwayat lain disebutkan puasa disebutkan lebih dahulu daripada haji”) Oleh karena itu, Ibnu Umar ketika mendengar seseorang mendahulukan menyebut haji daripada puasa, ia melarangnya lalu ia mendahulukan menyebut puasa daripada haji. Ia berkata : “Begitulah yang aku dengar dari Rosululloh SAW”

Pada salah satu riwayat Ibnu ‘Umar disebutkan “Islam didirikan atas pengakuan bahwa engkau menyembah Allah dan mengingkari sesembahan selain-Nya dan melaksanakan Sholat….” Pada riwayat lain disebutkan : seorang laki-laki berkata kepada Ibnu ‘Umar, “Bolehkah kami berperang ?” Ia menjawab : “Aku mendengar Rosululloh SAW bersabda, “Islam didirikan atas lima hal ….” Hadits ini merupakan dasar yang sangat utama guna mengetahui agama dan apa yang menjadi landasannya. Hadits ini telah mencakup apa yang menjadi rukun-rukun agama.

Wednesday, May 16, 2007

reminder : dufan *dunia fana*

jadilah engkau di dunia ini seperti seorang musafir..
ambil bekalmu.. agar engkau sampai ke tujuanmu…
negri asalmu adalah akhirat..
maka pulanglah dengan selamat,..
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dalam Kitabut Tauhid nya

Tuesday, May 15, 2007

Syariat Islam mengenai Cinta dan Menikah tanpa Cinta

MediaMuslim.Info - Cinta seorang laki-laki kepada wanita dan cinta wanita kepada laki-laki adalah perasaan yang manusiawi yang bersumber dari fitrah yang diciptakan Alloh Subhanallohu wa Ta’ala di dalam jiwa manusia, yaitu kecenderungan kepada lawan jenisnya ketika telah mencapai kematangan pikiran dan fisiknya. Sebagaimana Firman Alloh Subhanallohu wa Ta’ala, yang artinya: “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendir , supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya , dan dijadikan-Nya diantara kamu rasa kasih sayang .Sesungguhnya pada yang demikian itu benar- benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir” (QS. Ar Rum: 21)


Cinta pada dasarnya adalah bukanlah sesuatu yang kotor, karena kekotoran dan kesucian tergantung dari bingkainya. Ada bingkai yang suci dan halal dan ada bingkai yang kotor dan haram. Cinta mengandung segala makna kasih sayang, keharmonisan, penghargaan dan kerinduan, disamping mengandung persiapan untuk menempuh kehiduapan dikala suka dan duka, lapang dan sempit.


Cinta Adalah Fitrah Yang Suci

Cinta bukanlah hanya sebuah ketertarikan secara fisik saja. Ketertarikan secara fisik hanyalah permulaan cinta bukan puncaknya.Dan sudah fitrah manusia untuk menyukai keindahan.Tapi disamping keindahan bentuk dan rupa harus disertai keindahan kepribadian dengan akhlak yang baik.


Islam adalah agama fitrah karena itulah islam tidaklah membelenggu perasaan manusia.Islam tidaklah mengingkari perasaan cinta yang tumbuh pada diri seorang manusia .Akan tetapi islam mengajarkan pada manusia untuk menjaga perasaan cinta itu dijaga , dirawat dan dilindungi dari segala kehinaan dan apa saja yang mengotorinya.


Islam mebersihkan dan mengarahkan perasaan cinta dan mengajarkan bahwa sebelum dilaksanakan akad nikah harus bersih dari persentuhan yang haram.


Menikah Tanpa Cinta

Adakalanya sebuah pernikahan terjadi tanpa dilandasi oleh cinta. Mereka berpendapat bahwa cinta itu bisa muncul setelah pernikahan. Islam memandang bahwa faktor ketertarikan merupakan faktor yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Islam melarang seorang wali menikahkan seorang gadis tanpa persetujuannya dan menghalanginya untuk memilih lelaki yang disukainya seperti yang termuat dalam Al Qur’an dan Al Hadist


Firman Alloh Subhanallohu wa Ta’ala, yang artinya: “Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin dengan bakal suaminya” (QS. Al Baqarah: 232)


“Dari Ibnu Abbas rodhiyallahu anhu , bahwa seorang wanita datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alahi wa sallam , lalu ia memberitahukan bahwa ayahnya telah menikahkannya padahal ia tidak suka , lalu Rasulullah shalallahu ‘alahi wa sallam memberikan hak kepadanya untuk memilih” (HR Abu Daud)


Karena yang menjalani sebuah pernikahan adalah kedua pasangan itu bukanlah wali mereka.


Selain itu seorang yang hendak menikah hendaknyalah melihat dahulu calon pasangannya seperti termuat dalam hadist: “Apabila salah seorang dari kamu meminang seorang wanita maka tidaklah dosa atasnya untuk melihatnya, jika melihatnya itu untuk meminang, meskipun wanita itu tidak melihatnya” (HR. Imam Ahmad)


Memang benar dalam beberapa kasus, pasangan yang menikah tanpa didasari cinta bisa mempertahankan pernikahannya. Tapi apakah hal ini selalu terjadi, bagaimana bila yang terjadi adalah sebuah neraka pernikahan, kedua pasangan saling membenci dan saling mencaci maki satu sama lain. Sebuah pernikahan dalam islam diharapkan dapat memayungi pasangan itu untuk menikmati kehidupan yang penuh cinta dan kasih sayang dengan mengikat diri dalam sebuah perjanjian suci yang diberikan Alloh Subhanallohu wa Ta’ala. Karena itulah rasa cinta dan kasih sayang ini sudah sepantasnya merupakan hal yang harus diperhatikan sebelum kedua pasangan mengikat diri dalam pernikahan. Karena inilah salah satu kunci kebahagian yang hakiki dalam mensikapi problematika rumah tangga nantinya.

Sunday, May 13, 2007

Kullu Nafsin dzaa iqotul Maut..

Penulis: Al Ustadz Muhammad Umar As Sewed
 

Makna Kehidupan


Banyak manusia yang tidak memahami arti kehidupan. Mereka hanya berlomba-lomba untuk mendapatkan kesenangan-kesenangan hidup duniawi. Slogan-slogan mereka adalah memuaskan hawa nafsunya, “Yang Penting Puas”. Prinsip dan misi mereka adalah bagaimana mereka dapat menikmati kehidupan, seakan-akan mereka tumbuh dari biji-bijian, kemudian menguning dan mati tanpa ada kebangkitan, perhitungan dan hisab. 
 

Milik siapakah mereka? Apakah mereka tercipta begitu saja? Ataukah mereka yang menciptakan diri mereka sendiri?



Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu ataukah mereka yang menciptakan? (ath-Thuur: 35)

Allah menciptakan kita, memberikan kepada kita kehidupan adalah untuk suatu tujuan dan tidak sia-sia:




Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan sia-sia? (al-Qiyamah: 36)


Berkata Imam Syafi’i (ketika menafsirkan ayat ini): “Makna sia-sia adalah tanpa ada perintah, tanpa ada larangan.” (Tafsirul Quranul Karim, Ibnu Katsir, jilid 4, cet. Maktabah Darus Salam, 1413 H hal. 478)


Jadi manusia hidup tidak sia-sia, mereka memiliki aturan, hukum-hukum, syariat, perintah dan larangan, tidak bebas begitu saja apa yang dia suka dia lakukan, apa yang dia tidak suka dia tinggalkan.

Hidup dan Mati Adalah Ujian


Setiap yang hidup pasti akan merasakan kematian. Allah menjadikan kehidupan dan kematian sebagai ujian. Siapa di antara manusia yang terbaik amalannya?

 

(Dialah) yang menjadikan mati dan hidup, agar Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (al-Mulk: 2)

Fudhail bin Iyadh berkata: “Amalan yang paling baik adalah yang paling ikhlas dan yang paling sesuai dengan sunnah”. (Iqadhul Himam al-muntaqa min Jami’il Ulum wal Hikam, Syaikh Salim ‘Ied al-Hilali, hal. 35)


Kita hidup di dunia adalah untuk diuji, siapa yang paling ikhlas amalannya hanya murni untuk Allah semata dan siapa yang paling sesuai dengan sunnah rasulullah r.


Oleh karena itu kita perlu memperhatikan apa makna kehidupan dan apa makna kematian?


Saudaraku-saudaraku kaum muslimin, sesungguhnya Allah menciptakan kita adalah untuk satu tugas yang mulia yaitu beribadah hanya kepada-Nya. Allah turunkan kitab-kitabnya, Allah mengutus rasul-rasul –Nya adalah untuk misi ini.


Dan tidaklah aku ciptakan jin dan manusia, kecuali untuk beribadah kepada-Ku. (adz-Dzariyat: 56)


Sehingga hidup kita ini tidaklah sia-sia, melainkan kehidupan sementara yang sarat akan makna dan kelak akan ditanya tentang apa yang kita perbuat di dunia ini.

Kehidupan di dunia hanya sementara


Ingatlah, kehidupan ini hanya sebentar. Pada saatnya nanti kita akan memasuki alam kubur (alam barzakh) sampai datangnya hari kebangkitan. Lalu kita akan dikumpulkan di padang mahsyar, setelah itu kita menghadapi hari perhitungan (hisab). Dan kita akan menerima keputusan dari Allah, apakah kita akan bahagia dalam surga ataukah akan sengsara dalam neraka.

Kehidupan setelah mati ini merupakan kehidupan panjang yang tidak terhingga. Kehidupan ini disebutkan dalam al-Qur’an dengan istilah
?????? ???? (kekal di dalamnya) atau dengan ???? (selama-lamanya) atau dengan istilah ?? ????? (tidak akan terputus).

Sehari dalam kehidupan akhirat adalah lima puluh ribu tahun kehidupan di dunia. Maka kita bisa lihat betapa pendeknya kehidupan manusia yang tidak ada sepersekian puluh ribu dari hari kehidupan akhirat. Berapa umur manusia yang terpanjang dan berapa yang sudah kita jalani? Itu pun kalau kita anggap umur yang terpanjang, sedangkan ajal kita tidak tahu, mungkin esok atau lusa.


Oleh karena itu seorang yang berakal sehat akan lebih mementingkan kehidupan yang panjang ini. Seorang yang cerdas akan menjadikan kehidupan dunia sebagai kesempatan untuk meraih kebahagiaan hidup di akhirat yang abadi.




Dan carilah dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari duniawi…. (al-Qashash: 77)

Namun kebanyakan manusia lalai dari peringatan Allah di atas. Mereka lebih mementingkan kenikmatan dunia yang hanya sesaat dan lupa terhadap kehidupan akhirat yang kekal.

 
Tetapi kalian memilih kehidupan duniawi, padahal kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal. (al-A’laa: 16-17)

Allah hanya meminta kepada kita dalam kehidupan yang pendek ini untuk beribadah kepada-Nya semata dengan cara yang diajarkan oleh Rasul-Nya. Hanya itu. Kemudian Allah akan berikan kepada kita kebaikan yang besar di kehidupan yang panjang yaitu kehidupan akhirat

 

Kematian adalah pasti

Alangkah bodohnya kalau kita lebih mementingkan kesenangan sesaat dengan melupakan kehidupan abadi di akhirat nanti. Alangkah bodohnya manusia yang membuang kesempatan kehidupannya di dunia hingga kematian menjemputnya. Padahal Allah selalu memperingatkan dalam berbagai ayat-Nya bahwa kematian pasti akan datang dan tak tentu waktunya. Jika ia datang tidak akan bisa dimajukan dan dimundurkan. Allah U berfirman:

 

Tiap-tiap umat memiliki ajal (batas waktu); maka apabila telah datang waktunya, mereka tidak akan dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat pula memajukannya. (al-A’raaf: 34)
 

Tiap-tiap yang mempunyai jiwa akan merasakan kematian. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahala kalian. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan. (Ali Imran: 185)

Untuk itu Allah dan rasul-Nya memberikan wasiat kepada kita agar jangan sampai mati kecuali dalam keadaan muslim (berserah diri).



Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kalian kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa kepada-Nya dan janganlah kalian mati melainkan kalian mati dalam keadaan Islam. (Ali Imran: 102)

Dengan demikian berarti kita harus selalu meningkatkan ketaqwaan dan keimanan kita, sehingga ketika datang kematian kita dalam keadaan Islam.


Ibnu Katsir berkata: “Beribadah kepada Allah adalah dengan taat menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Inilah agama Islam karena makna Islam adalah pasrah dan menyerah diri kepada Allah… yang tentunya mengandung setinggi-tingginya keterikatan, perendahan diri dan ketundukan”. (lihat Fathul Majid, Abdur Rahman bin Hasan Alu Syaih hal 14) Yakni kita diperintahkan untuk pasrah dan menyerah kepada Allah. Diri kita dan seluruh anggota badan kita adalah milik Allah, maka serahkanlah kepada-Nya.


“Ya Allah kami hamba-Mu, milik-Mu, Engkau yang menciptakan kami dan memberikan segala kebutuhan kami. Kami menyerahkan diri kami kepada-Mu, kami pasrah dan menyerah untuk diatur, dihukumi, diperintah dan dilarang. Kami taat, tunduk, patuh karena kami adalah milikmu.”


Inilah makna Islam sebagaimana terkandung secara makna dalam sayyidul istighfar:



Ya Allah Engkau adalah Rabb-ku, tidak ada ilah (yang patut disembah) kecuali Engkau, Engkau yang menciptakanku dan aku adalah hamba-Mu. Aku di atas janjiku kepada-Mu semampuku. Aku berlindung kepada-Mu dari kejelekan apa yang aku perbuat. Aku mengakui untuk-Mu dengan kenikmatan-Mu atasku. Dan aku mengakui dosa-dosaku terhadap-Mu, maka ampunilah aku. Karena sesungguhnya tidak ada yang mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau. (HR. Bukhari, juz 7/150)

Tidaklah seseorang meminta ampun kepada Allah dengan doa ini kecuali akan diampuni.


Dengan ikrar dan pernyataan kita tersebut, kita sadar bahwa semua anggota badan kita adalah milik Allah. Untuk itu harus digunakan sesuai dengan kehendak pemiliknya. Kita harus menggunakan tangan kita sesuai dengan kehendak Allah. Kita harus menggunakan kaki kita untuk berjalan di jalan yang diridhai Allah. Mata, lisan dan telinga kita harus dipakai pada apa yang dibolehkan oleh Allah karena pada hakekatnya semua itu milik Allah.

 
Siapakah yang lebih jahat dari orang yang menggunakan sesuatu milik Allah untuk menentang Allah?

Sungguh semua itu akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah dan akan ditanyakan langsung pada anggota badan tersebut. Mereka (anggota badan tersebut) akan menjawab dengan jujur di hadapan Allah untuk apa mereka digun


Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati semuanya itu akan dimintai pertanggungjawabannya. (al-Isra’: 36)


Kematian sebagai peringatan

Ayat-ayat dalam alQur’an yang menceritakan tentang kematian terlalu banyak. Dan tidak ada seorang pun yang mengingkari akan terjadinya kematian ini. Namun mengapa kebanyakan mereka tidak menjadikan kematian sebagai peringatan agar bersiap-siap menuju kehidupan abadi dengan kebahagiaan di dalam surga. Sesungguhnya manusia yang paling bodoh adalah manusia yang tidak dapat menjadikan kematian sebagai peringatan. Dikatakan dalam sebuah nasehat:

 

Barangsiapa yang menginginkan pelindung, maka Allah cukup baginya.
Barangsiapa yang menginginkan teladan, maka Rasulullah cukup baginya.
Barangsiapa yang menginginkan pedoman hidup, maka al-Qur’an cukup baginya.
Barangsiapa yang menginginkan peringatan maka kematian cukup baginya.


Dan barangsiapa tidak cukup dengan semua itu, maka neraka cukup baginya.
Saat ini wahai kaum muslimi, kita masih mempunyai peluang dan kesempatan, maka sekarang juga kita harus memanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk taat kepada rabb kita. Waktu ini bagaikan pedang, jika kita tidak mengisinya maka ia akan menikam kita. Sebagaimana dikatakan oleh para salaf:




Waktu itu bagaikan pedang, jika engkau tidak memutusnya (mengisinya) maka dia yang akan memutusmu (menghilangkan kesempatanmu).

Jika ia tidak cepat dimanfaatkan dia akan membunuh kesempatan kita.


Rasulullah
bersabda:


Dua kenikmatan yang kebanyakan manusia lalai daripadanya: nikmat kesehatan dan nikmat kesempatan. (HR. Bukhari)

Kesempatan adalah suatu kenikmatan besar yang Allah berikan kepada manusia. Namun sayang, kebanyakan manusia lalai daripadanya dan tidak menggunakan kenikmatan tersebut untuk taat kepada Allah, hingga kesempatan itu hilang dengan datangnya kematian.



(Dikutip dari bulletin Manhaj Salaf, Edisi: 55/Th. II, tgl 21 Shafar 1426 H/01 April 2005 M , judul asli Kematian Sebagai Peringatan, penulis asli Al Ustadz Muhammad Umar As Sewed)

Saturday, May 12, 2007

Nasehat dan Kelembutan

Ada beberapa prinsip yang perlu dipahami ketika kita berada dalam posisi sebagai pemberi nasehat. 


Pertama, hal penting yang perlu diperhatikan dalam menasehati saudara kita adalah masalah niat. Sampaikanlah nasehat semata-mata karena Allah, bukan karena tujuan keduniawian atau nafsu dan hasrat pribadi. Dengan begitu, kita tidak perlu berkecil hati bila nasehat kita tidak diterima dengan baik. Anggaplah respon negatif tersebut sebagai ujian kesabaran. Pengalaman mengajarkan, orang-orang yang kecewa –sekalipun karena nasehat yang terbuka dan korektif- pada waktunya akan menghargai dan berterimakasih dalam hati mereka. Mengapa berkecil hati, bukankah nasehat itu ibarat pohon kebaikan yang kita tanam dan kita tidak tahu kapan akan tumbuh dan berbuah (QS. Al-A’raf:164). 

 Kedua, agar sebuah nasehat efektif, tunjukkanlah cinta, kasih sayang dan keikhlasan saat memberi nasehat. Hindari nada bicara yang menunjukan kebanggaan, celaan, olok-olok atau cemoohan. (QS. Al-Hujurat:11)

Ketiga, masalah pemilihan waktu yang tepat, perlu juga diperhatikan. Akhlak Islam menuntut kita menyampaikan nasehat secara pribadi, bukan di depan khalayak ramai, untuk menghindari timbulnya perasaan yang tidak baik. Tujuan nasehat adalah memperbaiki kelemahan dan menyempurnakan kekurangan seseorang, bukan mengumumkan dan mensosialisasikan kesalahannya.

Keempat, bersabar dan berhati-hati dalam menggunakan perkataan dan memilih suasana emosi yang tepat. Kita tidak boleh tersinggung atau kecewa jika nasehat kita tidak berpengaruh bagi orang lain. Mungkin semua itu membutuhkan waktu.

Kelima, jauhi pertentangan yang sia-sia. Adakalanya, pendapat kita salah dan pendapat orang yang kita beri nasehat itu benar. Dalam situasi ini, ubahlah tindakan memberi nasehat menjadi ajang bertukar pikiran dengan penuh persaudaraan. Ingatlah, tanggung jawab kita hanyalah memberi nasehat, bukan hidayah. Sebuah nasehat tak akan bermanfaat kecuali hanya dengan izin-Nya dan bergantung pula pada kadar keimanan penerima nasehat. Allah Swt berfirman, ”dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Adz-Dzariyat: 55)

Keenam, jadilah cermin yang detil dengan memberi informasi yang lebih spesifik. Misalnya nasehat tentang kebersihan masih bersifat global dan umum. Agar saudara kita menyadari masalahnya, sebutkan hal yang spesifik, misalnya nafas yang kurang sedap atau pakai yang kumal.

Dalam manajemen nasehat diperlukan kepekaan dan kearifan yang tinggi agar mencapai hasil optimal (QS. An-Nahl:125). Presiden Lincoln, lebih dari seratus tahun yang lalu, berkata, ”Orang lebih mudah menangkap lalat dengan sirop daripada dengan cuka.” Sesungguhnya ajaran Islam telah lebih dulu menganjurkan umatnya agar ‘menangkap orang’ dengan keramah-tamahan yang manis, bukan dengan gertakan-gertakan yang kecut, sekalipun terhadap anak dan orang kesayangan yang paling dekat. Ini misteri hati yang sangat lemah dan rapuh dalam menghadapi kelembutan.

Allah Swt membekali Nabi Muhammad Saw dengan sifat kelembutan untuk berdakwah menghadapi umatnya (QS. Ali-Imran: 159). Itulah sebabnya dalam beberapa kisah, seringkali orang-orang yang diberikan nasehat oleh Nabi Saw meresponnya sambil mengungkapkan perasaan bahwa orang itu mencintai nabi. Sungguh ini bukan sekedar buah dari nasehat yang berlogika tajam dan cerdas, melainkan nasehat itu bersandar pada sifat kelemah-lembutan yang bisa langsung menyentuh dasar hati penerima nasehat.

Pelajaran ini, insya Allah membuka mata dan kesadaran kita akan dampak dari pemberian nasehat berbobot yang disampaikan dengan penuh kelembutan. Bila hal ini dilakukan secara berkelanjutan dan berulang-ulang, tanpa disadari, diantara pemberi dan penerima nasehat, akan tumbuh jalinan ikatan kasih sayang maupun persaudaraan yang semakin kuat.


Sejauh ini, bila interaksi nasehat menasehati terjadi diantara sesama laki-laki, maupun sesama wanita, dampak dari sikap lembut dan ramah selalu bernilai positif. Akan tetapi, fakta lapangan seringkali menunjukkan hal yang ’negatif’ bila aktifitas saling menasehati terjadi antara seorang laki-laki dan seorang wanita. Kedekatan yang berawal dari motivasi yang ikhlas perlahan-lahan terkontaminasi oleh rasa ketertarikan yang berhembus dari nafsu dan hasrat pribadi. Nasehat yang mulanya mengalir tulus tanpa mengharapkan sesuatu kecuali ingin memperbaiki kekurangan saudaranya, sedikit demi sedikit bergeser menjadi pengharapan akan penerimaan yang lebih dalam. Perhatian yang berlebihan (dalam konotasi negatif) dan rasa ingin selalu dekat selalu bercampur dengan semangat keikhlasan saat ingin memberikan nasehat. Ketergantungan seketika tercipta, seolah-olah hanya sang penasehat yang mampu menasehati dirinya. Lebih jauh lagi, pengakuan verbal sebagai satu-satunya penasehat spiritual acapkali mendorong keinginan untuk memberikan ’wewenang’ tambahan kepada sang penasehat agar mau berperan lebih yaitu sebagai penasehat pribadi dalam rumah tangga.

Kita tidak hendak membahas pro dan kontra dari akibat aktifitas saling menasehati antara lawan jenis, kecuali sekedar menunjukkan benang merah hubungan sebab akibat antara sikap lembut dalam menasehati dan hasrat ketertarikan dari dorongan nafsu manusiawi. Satu hal yang perlu dicermati adalah bahwa kita membutuhkan persiapan dan kewaspadaan ekstra di dalam hati ketika memutuskan untuk terjun dalam wilayah saling menasehati kepada seseorang (dakwah fardiyah) yang berbeda jenis dengan kita. Tanpa kematangan dan kekokohan spiritual yang mantab, sebaiknya urungkan niat anda untuk masuk terlalu dalam ke wilayah ini. Yang pasti, syetan selalu mengintai dan berupaya mencari celah-celah kelalaian dan kelengahan dalam semua aktifitas amal sholeh yang dilakukan oleh setiap hamba Allah. Semoga Allah Swt selalu melindungi kita semua dari godaan syetan yang terkutuk.

Wallahu’alam bishawab.

Thursday, May 10, 2007

2. IMAN, ISLAM, dan IHSAN

SYARAH ARBA’IN AN NAWAWI

Judul Asli          : Syarhul arba’iina Hadiitsan An Nawawiyah
Penulis             : Ibnu Daqiqil ‘Ied 

2. IMAN, ISLAM DAN IHSAN


Umar ra. berkata: ketika kami tengah berada di majelis bersama Nabi SAW pada suatu hari, tiba-tiba tampak dihadapan kami seorang laki-laki yang berpakaian sangat putih, berambut sangat hitam, tidak terlihat padanya tanda-tanda bekas perjalanan jauh dan tidak seorangpun diantara kami yang mengenalnya. Lalu ia duduk di hadapan Nabi SAW dan menyandarkan lututnya pada lutut Nabi SAW dan meletakkan tangannya diatas paha Nabi SAW, selanjutnya ia berkata,Hai Muhammad, beritahukan kepadaku tentang Islam Nabi SAW menjawab,”Islam itu engkau bersaksi bahwa sesungguhnya tiada Tuhan selain Alloh dan sesungguhnya Muhammad itu utusan Alloh, engkau mendirikan sholat, mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Romadhon dan mengerjakan ibadah haji ke Baitullah jika engkau mampu melakukannya.” Orang itu berkata, Engkau benar,” kami pun heran, ia bertanya lalu membenarkannya Orang itu berkata lagi,”Beritahukan kepadaku tentang ImanNabi SAW menjawab,”Engkau beriman kepada Alloh, kepada para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, kepada utusan-utusan Nya, kepada hari Kiamat dan kepada takdir yang baik maupun yang buruk” Orang tadi berkata, “Engkau benar Orang itu berkata lagi, Beritahukan kepadaku tentang IhsanNabi SAW menjawab,”Engkau beribadah kepada Alloh seakan-akan engkau melihat-Nya, jika engkau tidak melihatnya, sesungguhnya Dia pasti melihatmu.” Orang itu berkata lagi,”Beritahukan kepadaku tentang kiamat Nabi SAW menjawab,” Orang yang ditanya itu tidak lebih tahu dari yang bertanya.” selanjutnya orang itu berkata lagi,”beritahukan kepadaku tentang tanda-tandanyaNabi SAW menjawab,” Jika hamba perempuan telah melahirkan tuan puterinya, jika engkau melihat orang-orang yang tidak beralas kaki, tidak berbaju, miskin dan penggembala kambing, berlomba-lomba mendirikan bangunan.” Kemudian pergilah ia, aku tetap tinggal beberapa lama kemudian Nabi SAW berkata kepadaku, “Wahai Umar, tahukah engkau siapa yang bertanya itu?” Saya menjawab,” Alloh dan Rosul-Nya lebih mengetahui” Nabi SAW berkata,” Ia adalah Jibril, dia datang untuk mengajarkan kepadamu tentang agama kepadamu” (Imam Muslim)

Penjelasan:

Hadits ini sangat berharga karena mencakup semua fungsi perbuatan lahiriah dan bathiniah, serta menjadi tempat merujuk bagi semua ilmu syari’at dan menjadi sumbernya. Oleh sebab itu hadits ini menjadi induk ilmu sunnah.
Hadits ini menunjukkan adanya contoh berpakaian yang bagus, berperilaku yang baik dan bersih ketika datang kepada ulama, orang terhormat atau penguasa, karena jibril datang untuk mengajarkan agama kepada manusia dalam keadaan seperti itu.

Kalimat Ia meletakkan kedua telapak tangannya diatas kedua paha beliau, lalu ia berkata : Wahai Muhammad…..adalah riwayat yang masyhur. Nasa’i meriwayatkan dengan kalimat, Dan ia meletakkan kedua tangannya pada kedua lutut Nabi SAW…. Dengan demikian yang dimaksud kedua pahanya adalah kedua lututnya.
Dari hadits ini dipahami bahwa islam dan iman adalah dua hal yang berbeda, baik secara bahasa maupun syari’at. Namun terkadang, dalam pengertian syari’at, kata islam dipakai dengan makna iman dan sebaliknya.

Kalimat, “Kami heran, dia bertanya tetapi dia sendiri yang membenarkannya mereka para shahabat Nabi SAW menjadi heran atas kejadian tersebut, karena orang yang datang kepada Nabi SAW hanya dikenal oleh beliau dan orang itu belum pernah mereka ketahui bertemu dengan Nabi SAW dan mendengarkan sabda beliau. Kemudian ia mengajukan pertanyaan yang ia sendiri sudah tahu jawabannya bahkan membenarkannya, sehingga orang-orang heran dengan kejadian itu.

Kalimat, Engkau beriman kepada Allah, kepada para malaikat-Nya, dan kepada kitab-kitab-Nya…. Iman kepada Allah yaitu mengakui bahwa Allah itu ada dan mempunyai sifat-sifat Agung serta sempurna, bersih dari sifat kekurangan,. Dia tunggal, benar, memenuhi segala kebutuhan makhluk-Nya, tidak ada yang setara dengan Dia, pencipta segala makhluk, bertindak sesuai kehendak-Nya dan melakukan segala kekuasaan-Nya sesuai keinginan-Nya.
Iman kepada Malaikat, maksudnya mengakui bahwa para malaikat adalah hamba Allah yang mulia, tidak mendahului sebelum ada perintah, dan selalu melaksanakan apa yang diperintahkan-Nya.

Iman kepada Para Rasul Allah, maksudnya mengakui bahwa mereka jujur dalam menyampaikan segala keterangan yang diterima dari Allah dan mereka diberi mukjizat yang mengukuhkan kebenarannya, menyampaikan semua ajaran yang diterimanya, menjelaskan kepada orang-orang mukalaf apa-apa yang Allah perintahkan kepada mereka. Para Rasul Allah wajib dimuliakan dan tidak boleh dibeda-bedakan.

Iman kepada hari Akhir, maksudnya mengakui adanya kiamat, termasuk hidup setelah mati, berkumpul dipadang Mahsyar, adanya perhitungan dan timbangan amal, menempuh jembatan antara surga dan neraka, serta adanya Surga dan Neraka, dan juga mengakui hal-hal lain yang tersebut dalam Qur’an dan Hadits Rosululloh.

Iman kepada taqdir yaitu mengakui semua yang tersebut diatas, ringkasnya tersebut dalam firman Allah QS. Ash-Shaffaat : 96, Allah menciptakan kamu dan semua perbuatan kamu dan dalam QS. Al-Qamar : 49, Sungguh segala sesuatu telah kami ciptakan dengan ukuran tertentu dan di ayat-ayat yang lain. Demikian juga dalam Hadits Nabi SAW, Dari Ibnu Abbas, Ketahuilah, sekiranya semua umat berkumpul untuk memberikan suatu keuntungan kepadamu, maka hal itu tidak akan kamu peroleh selain dari apa yang Allah telah tetapkan pada dirimu. Sekiranya merekapun berkumpul untuk melakukan suatu yang membahayakan dirimu, niscaya tidak akan membahayakan dirimu kecuali apa yang telah Allah tetapkan untuk dirimu. Segenap pena diangkat  dan lembaran-lembaran telah kering

Para Ulama mengatakan, Barangsiapa membenarkan segala urusan dengan sungguh-sungguh lagi penuh keyakinan tidak sedikitpun terbersit keraguan, maka dia adalah mukmin sejati.

Kalimat, Engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya…. Pada pokoknya merujuk pada kekhusyu’an dalam beribadah, memperhatikan hak Allah dan menyadari adanya pengawasan Allah kepadanya serta keagungan dan kebesaran Allah selama menjalankan ibadah.

Kalimat, Beritahukan kepadaku tanda-tandanya? sabda beliau: Budak perempuan melahirkan anak tuannya maksudnya kaum muslimin kelak akan menguasai negeri kafir, sehingga banyak tawanan, maka budak-budak banyak melahirkan anak tuannya dan anak ini akan menempati posisi majikan karena kedudukan bapaknya. Hal ini menjadi sebagian tanda-tanda kiamat. Ada juga yang mengatakan bahwa itu menunjukkan kerusakan umat manusia sehingga orang-orang terhormat menjual budak yang menjadi ibu dari anak-anaknya, sehingga berpindah-pindah tangan yang mungkin sekali akan jatuh ke tangan anak kandungnya tanpa disadarinya.

Hadits ini juga menyatakan adanya larangan berlomba-lomba membangun bangunan yang sama sekali tidak dibutuhkan. Sebagaimana sabda Nabi SAW, Anak adam diberi pahala untuk setiap belanja yang dikeluarkannya kecuali belanja untuk mendirikan bangunan

Kalimat, Penggembala Domba secara khusus disebutkan karena merekalah yang merupakan golongan badui yang paling lemah sehingga umumnya tidak mampu mendirikan bangunan, berbeda dengan para pemilik onta yang umumnya orang terhormat.

Kalimat, Saya tetap tinggal beberapa lama maksudnya Umar ra tetap tinggal ditempat itu beberapa lama setelah orang yang bertanya pergi, dalam riwayat yang lain yang dimaksud tetap tinggal adalah Rosululloh.

Kalimat, Ia datang kepada kamu sekalian untuk mengajarkan agamamu maksudnya mengajarkan pokok-pokok agamamu, demikian kata Syaikh Muhyidin An Nawawi dalam syarah shahih muslim. Isi hadits ini yang terpenting adalah penjelasan islam, iman dan ihsan, serta kewajiban beriman kepada Taqdir Allah SWT.

Sesungguhnya keimanan seseorang dapat bertambah dan berkurang, QS. Al-Fath : 4,Untuk menambah keimanan mereka pada keimanan yang sudah ada sebelumnya. Imam Bukhari menyebutkan dalam kitab shahihnya bahwa ibnu Abu Mulaikah berkata, Aku temukan ada 30 orang shahabat Nabi SAW yang khawatir ada sifat kemunafikan dalam dirinya. Tidak ada seorangpun dari mereka yang berani mengatakan bahwa ia memiliki keimanan seperti halnya keimanan Jibril dan Mikail ‘alaihimus salaam

Kata iman mencakup pengertian kata islam dan semua bentuk ketaatan yang tersebut dalam hadits ini, karena semua hal tersebut merupakan perwujudan dari keyakinan yang ada dalam bathin yang menjadi tempat keimanan. Oleh karena itu kata Mukmin secara mutlak tidak dapat diterapkan pada orang-orang yang melakukan dosa-dosa besar atau meninggalkan kewajiban agama, sebab suatu istilah harus menunjukkan pengertian yang lengkap dan tidak boleh dikurangi, kecuali dengan maksud tertentu. Juga dibolehkan menggunakan kata Tidak beriman sebagaimana pengertian hadits Nabi SAW, Seseorang tidak berzina ketika dia beriman dan tidak mencuri ketika dia beriman maksudnya seseorang dikatakan tidak beriman ketika berzina atau ketika dia mencuri.

Kata islam mencakup makna iman dan makna ketaatan, syaikh Abu ‘Umar berkata, kata iman dan islam terkadang pengertiannya sama terkadang berbeda. Setiap mukmin adalah muslim dan tidak setiap muslim adalah mukmin” ia berkata, “pernyataan seperti ini sesuai dengan kebenaran Keterangan-keterangan Al-Qur’an dan Assunnah berkenaan dengan iman dan islam  sering dipahami keliru oleh orang-orang awam. Apa yang telah kami jelaskan diatas telah sesuai dengan pendirian jumhur ulama ahli hadits dan lain-lain.

Wallahu a’lam

Wednesday, May 9, 2007

If Friday is So Special

Saudariku, kabar gembira untuk kita semua bahwa ternyata kita mempunyai hari yang istimewa dalam deretan 7 hari yang kita kenal. Hari itu adalah hari jum’at. Saudariku, hari jum’at memang istimewa namun tidak selayaknya kita berlebihan dalam menanggapinya. Dalam artian, kita mengkhususkan dengan ibadah tertentu misalnya puasa tertentu khusus hari Jum’at, tidak boleh pula mengkhususkan bacaan dzikir, do’a dan membaca surat-surat tertentu pada malam dan hari jum’at kecuali yang disyari’atkan.

Nah artikel kali ini, akan menguraikan beberapa keutamaan-keutamaan serta amalan-amalan yang disyari’atkan pada hari jum’at. Semoga dengan kita memahami keutamaannya, kita bisa lebih bersemangat untuk memaksimalkan dalam melaksanakan amalan-amalan yang disyari’atkan pada hari itu, dan agar bisa meraih keutamaan-keutamaan tersebut.

Keutamaan Hari Jum’at

1. Hari paling utama di dunia

Ada beberapa peristiwa yang terjadi pada hari jum’at ini, antara lain:
  • Allah menciptakan Nabi Adam ‘alaihissallam dan mewafatkannya.
  • Hari Nabi Adam ‘alaihissallam dimasukkan ke dalam surga.
  • Hari Nabi Adam ‘alaihissallam diturunkan dari surga menuju bumi.
  • Hari akan terjadinya kiamat.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
“Hari paling baik dimana matahari terbit pada hari itu adalah hari jumat, pada hari itu Adam diciptakan, dan pada hari itu pula Adam dimasukkan ke dalam surga, serta diturunkan dari surga, pada hari itu juga kiamat akan terjadi, pada hari tersebut terdapat suatu waktu dimana tidaklah seorang mukmin shalat menghadap Allah mengharapkan kebaikan kecuali Allah akan mengabulkan permintannya.” (HR. Muslim)
2. Hari bagi kaum muslimin

Hari jum’at adalah hari berkumpulnya umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam masjid-masjid mereka yang besar untuk mengikuti shalat dan sebelumnya mendengarkan dua khutbah jum’at yang berisi wasiat taqwa dan nasehat-nasehat, serta do’a.
Dari Kuzhaifah dan Rabi’i bin Harrasy radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Allah menyesatkan orang-orang sebelum kami pada hari jum’at, Yahudi pada hari sabtu, dan Nasrani pada hari ahad, kemudian Allah mendatangkan kami dan memberi petunjuk pada hari jum’at, mereka umat sebelum kami akan menjadi pengikut pada hari kiamat, kami adalah yang terakhir dari penghuni dunia ini dan yang pertama pada hari kiamat yang akan dihakimi sebelum umat yang lain.” (HR. Muslim dan Ibnu Majah)
3. Hari yang paling mulia dan merupakan penghulu dari hari-hari
Dari Abu Lubabah bin Ibnu Mundzir radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Hari jum’at adalah penghulu hari-hari dan hari yang paling mulia di sisi Allah, hari jum’at ini lebih mulia dari hari raya Idhul Fitri dan Idul Adha di sisi Allah, pada hari jum’at terdapat lima peristiwa, diciptakannya Adam dan diturunkannya ke bumi, pada hari jum’at juga Adam dimatikan, di hari jum’at terdapat waktu yang mana jika seseorang meminta kepada Allah maka akan dikabulkan selama tidak memohon yang haram, dan di hari jum’at pula akan terjadi kiamat, tidaklah seseorang malaikat yang dekat di sisi Allah, di bumi dan di langit kecuali dia dikasihi pada hari jum’at.” (HR. Ahmad)
4. Waktu yang mustajab untuk berdo’a

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut hari jum’at lalu beliau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Di hari jum’at itu terdapat satu waktu yang jika seseorang muslim melakukan shalat di dalamnya dan memohon sesuatu kepada Allah Ta’ala, niscaya permintaannya akan dikabulkan.” Lalu beliau memberi isyarat dengan tangannya yang menunjukkan sedikitnya waktu itu. (HR. Bukhari Muslim)
Namun mengenai penentuan waktu, para ulama berselisih pendapat. Diantara pendapat-pendapat tersebut ada 2 pendapat yang paling kuat:

a. Waktu itu dimulai dari duduknya imam sampai pelaksanaan shalat jum’at
Dari Abu Burdah bin Abi Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu bahwa ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata padanya, “Apakah engkau telah mendengar ayahmu meriwayatkan hadits dari Rasulullah sehubungan dengan waktu ijaabah pada hari jum’at?” Lalu Abu Burdah mengatakan, “Aku mendengar Rasulullah bersabda, ‘Yaitu waktu antara duduknya imam sampai shalat dilaksanakan.’” (HR. Muslim)
Imam Nawawi rahimahullah menguatkan pendapat di atas. Sedangkan Imam As-Suyuthi rahimahullah menentukan waktu yang dimaksud adalah ketika shalat didirikan.

b. Batas akhir dari waktu tersebut hingga setelah ‘ashar
Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hari jum’at itu dua belas jam. Tidak ada seorang muslimpun yang memohon sesuatu kepada Allah dalam waktu tersebut melainkan akan dikabulkan oleh Allah. Maka peganglah erat-erat (ingatlah bahwa) akhir dari waktu tersebut jatuh setelah ‘ashar.” (HR. Abu Dawud)
Dan yang menguatkan pendapat kedua ini adalah Imam Ibnul Qayyim rahimahullah, beliau mengatakn bahwa, “Ini adalah pendapat yang dipegang oleh kebanyakan generasi salaf dan banyak sekali hadits-hadits mengenainya.”

5. Dosa-dosanya diampuni antara jum’at tersebut dengan jum’at sebelumnya

Dari Salman Al-Farisi radhiyallahu ‘anhu mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tidaklah seseorang mandi pada hari jum’at dan bersuci semampunya, berminyak dengan minyak, atau mengoleskan minyak wangi dari rumahnya, kemudian keluar (menuju masjid), dan dia tidak memisahkan dua orang (yang sedang duduk berdampingan), kemudian dia mendirikan shalat yang sesuai dengan tuntunannya, lalu diam mendengarkan (dengan seksama) ketika imam berkhutbah melainkan akan diampuni (dosa-dosanya yang terjadi) antara jum’at tersebut dan jum’at berikutnya.” (HR. Bukhari)

Amalan-Amalan yang Disyari’atkan pada Hari Jum’at

1. Memperbanyak shalawat
Dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Perbanyaklah shalawat kepadaku setiap hari jum’at karena shalawatnya umatku akan dipersembahkan untukku pada hari jum’at, maka barangsiapa yang paling banyak bershalawat kepadaku, dia akan paling dekat derajatnya denganku.” (HR. Baihaqi dengan sanad shahih)
2. Membaca surat Al Kahfi
Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa membaca surat Al-Kahfi pada hari jum’at akan diberikan cahaya baginya diantara dua jum’at.” (HR. Al Hakim dan Baihaqi dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)
3. Memperbanyak do’a (HR Abu Daud poin 4b.)
4. Amalan-amalan shalat jum’at (wajib bagi laki-laki)
  • Mandi, bersiwak, dan memakai wangi-wangian.
  • Berpagi-pagi menuju tempat shalat jum’at.
  • Diam mendengarkan khatib berkhutbah.
  • Memakai pakaian yang terbaik.
  • Melakukan shalat sunnah selama imam belum naik ke atas mimbar.
Saudariku, setelah membaca artikel tersebut semoga kita bisa mendapat manfaat yang lebih besar dengan menambah amalan-amalan ibadah yang disyari’atkan. Sungguh begitu banyak jalan agar kita bisa meraup pahala sebanyak-banyaknya sebagai bekal perjalanan kita di akhirat kelak. Wallahu a’lam.

Maraji’:
  1. Do’a dan Wirid, Pustaka Imam Asy-Syafi’i
  2. Tafsir Ayat-Ayat Yaa Ayyuhal-ladziina Aamanuu, Pustaka Al-Kautsar
  3. Amalan dan Waktu yang Diberkahi, Pustaka Ibnu Katsir
***

Penyusun: Ummu Aufa
Muroja’ah: Ustadz Abu Salman
Sumber
: www.muslimah.or.id